Sabtu, 21 Juli 2012

MADRASAH USHUL FIQH

Oleh : Maman Suherman


Dalam perkembangan sejarah Usuhul Fiqh dikenal adanya Madrasah Ushul Fiqh atau dalam istilah lainnya Aliran Pemikiran Ushul Fiqh. Pertanyaannya adalah bagaimana proses yang mendahului munculnya aliran Ushul Fiqh tersebut?
Perkembangan pemikiran dalam Usuhul Fiqh tidak muncul secara terpisah, akan tetapi berhubungan dengan babakan pemikiran yang terjadi sebelumnya.[1] Perkembangan ushul fiqh yang terjadi pada zaman sahabat dan tabiin turut memberi warna pada pengembangan pemikiran ushul fiqh yang terjadi selanjutnya. Dan yang tidak kalah penting untuk dicatat adalah perkembangan pemikiran usuhul fiqh pada periode Imam Madzhab yang turut juga mewarnai kelahiran Madrasah Ushul Fiqh. Setidak-tidaknya ada tiga periode perkembangan ushul fiqh yang mendahului kelahiran madrasah ushul fiqh. Ketiga periode itu adalah: Pertama, Masa Sebelum Imam Syafi’i, Kedua Masa Imam Syafi’i dan Ketiga Masa sesudah Imam Syafi’i.
Masa sebelum Imam syafi’i ditandai dengan munculnya Imam Abu Hanifah bin Nu’man (wafat 150 H). Beliau dipandang sebagai pendiri madzhab Hanafi, beliau tinggal dan perkembang pemikirannya di Irak.  Dibanding masa tabi'in, metode ijtihad Imam Abu Hanifah sudah semakin jelas polanya. Dalam berijtihad, ia sangat dikenal banyak menggunakan qiyas dan istihsan.
Langkah-langkah ijtihadnya ialah, secara berurutan, merujuk pada Alquran, sunnah, fatwa sahabat yang disepakati (ijma' ash-shahabi), dan memilih salah satu dari fatwa para sahabat yang berbeda-beda dalam satu kasus hukum. Imam Abu Hanifah tidak akan melakukan istinbath hukum sendiri, selama ia menemukan jawaban hukum dari sumber- sumber rujukan tersebut. Yang menarik ialah, Imam Hanafi tidak menjadikan pendapat ulama tabi'in sebagai rujukan. Karena rentang waktu yang sudah jauh antara Rasulullah dan ulama dari generasi tabi'in. Ia berpendapat, kedudukannya sama dengan kedudukan para tabi'in dalam hal berijtihad. Dalam hal ini, sangat terkenal ucapannya: “Hum Rijaal, wa nahnu rijaal, Mereka laki-laki (yang mampu berijtihad), kita juga laki- laki (yang mampu berijtihad)”.
Mujtahid lainnya, Imam Malik bin Anas (w. 179 H), pendiri mazhab Maliki. Ia tinggal dan berkembang di Madinah. Karena faktor sosio kultural yang mempengaruhinya, ia sangat ketat berpegang pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat Madinah ('amal ahl al-madinah). Hal ini tergambar dari sikapnya yang menolak periwayatan hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasulullah M yang dinilainya tidak valid' karena bertentangan dengan tradisi masyarakat Madinah. Ia juga mengritik periwayatan hadis-hadis yang bertentangan dengan nashsh Alquran atau prinsip-prinsip umum ajaran Islam. Misalnya, ia menolak hadis-hadis yang menjelaskan tentang membasuh tujuh kali bekas jilatan anjing, adanya khiyar al-majlis, dan hadis yang menjelaskan pemberian sedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia. Akan tetapi, dalam berijtihad, Imam Malik sangat banyak menggunakan hadis dibandingkan dengan Imam Hanafi. Hal ini karena Madinah yang menjadi domisili Imam Malik adalah juga menjadi domisili Rasulullah M, sehingga tidak mengherankan jika di dalam masyarakat Madinah banyak beredar hadis. Imam Malik sendiri memiliki kitab hadis yang terkenal dengan nama al-Muwaththa.
Apabila Imam Abu Hanifah banyak menggunakan qiyas dan istihsan dalam berijtihad, maka sebaliknya Imam Malik banyak menggunakan mashlahah mursalah. Belakangan metode mashlahah Imam Malik ini berkembang sangat jauh, sehingga salah seorang ulama yang bernama Najmuddin ath-Thufi (657-716 H) dituduh sesat oleh sebagian ulama lainnya, karena dipandang telah mengembangkan metode ini dengan cara yang sangat liberal.
Pada Masa Imam Syafi’i dimulai  ketika tampilnya Imam Muhammad Idris asy-Syafi'i (150-204 H). Berbeda dengan masa se­belumnya, di mana metode ushul fiqh belum tersusun dalam suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan belum dibukukan, maka masa ini ditandai dengan lahirnya karya Imam asy-Syafi'i yang bernama ar-Risalah.
Sebagaimana layaknya proses lahir dan berkembangnya suatu disiplin ilmu, asy-Syafi'i mewarisi pengetahuannya yang mendalam sebagai hasil proses panjang perkembangan ilmu dari para pendahulunya. Dengan kata lain, harus ditegaskan bahwa asy-Syafi'i bukanlah orang pertama yang merintis ilmu ushul fiqh, sebagaimana dipahami secara keliru oleh beberapa pihak. Akan tetapi, di tangannya untuk pertama kali ilmu ushul fiqh lahir sebagai ilmu yang mandiri. Tentu saja harus ditegaskan, dari segi substansi ilmu, ar-Risalah telah mencakup semua dasar-dasar dan metode ijtihad. Akan tetapi, dari sistematika keilmuan, sebagai orang pertama yang mensistematisir dan membukukan ushul fiqh, kitab ar- Risalah juga belum sebaik sebagaimana sistematika disiplin ilmu yang lahir sesudahnya.
Kitab ar-Risalah sendiri, yang semula bernama al-Kitab, banyak berisi uraian tentang metode istinbath hukum, yaitu Alquran, sunnah, ijma \ fatwa ash-shahabi, dan al-qiyas. Baik juga ditegaskan, secara umum kitab ar-Risalah asy-Syafi'i sangat menekankan al-qiyas sebagai metode ijtihad. Bahkan dalam beberapa, bagian dari buku tersebut ia menegaskan, al-qiyas merupakan satu-satunya metode ijtihad. Dalam hal ini ia berkata, al-ijtihad huwa al-qiyas (ijtihad itu tiada lain adalah qiyas).
Upaya pembukuan dan pensistematisan ushul fiqh sejalan dengan masa keemasan ilmu keislaman yang terjadi pada masanya. Imam asy- Syafi'i banyak memetik manfaat dan mengemukakan sintesis atas tesis dan antitesis dari berbagai keunggulan dan kelemahan yang terpapar dalam perdebatan ilmiah yang terjadi antara kelompok ulama Madinah dan kelompok ulama Irak. Kepakarannya dalam ilmu ini, terutama karena ia adalah murid langsung dari Imam Malik, ulama Madinah, dan dari Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, salah seorang murid Imam Abu Hanifah. Tambahan lagi, ia juga menyerap ilmu fiqh dari para ulama di Mekah, di mana ia lahir dan dibesarkan.
Adapun setelah berlalunya masa Imam asy-Syafi'i, perkembangan ilmu ushul fiqh semakin menunjukkan tingkat kesempurnaannya. Pada masa ini (masih dalam abad ketiga) lahir beberapa karya dalam bidang ushul fiqh, antara lain, an-Nasikh wa al-Mansukh, karya Ahmad bin Hanbal (164-241 H), pendiri mazhab Hanbali, dan Ibthal al-Qiyas, karya Dawud azh-Zhahiri (200-270 H), pendiri mazhab azh-Zhahiri. Kitab terakhir ini merupakan antitesis terhadap pemikiran Imam asy-Syafi'i yang sangat mengunggulkan qiyas dalam berijtihad.
Agaknya, abad ketiga Hijriyyah merupakan puncak dan masa keemasan fiqh Islam, karena pada masa itu suasana perdebatan terbuka dalam ilmu fiqh sangat menggairahkan, sehingga bermunculan para ulama dalam bidang ilmu ini. Akan tetapi fakta sejarah menunjukkan, suasana yang sangat menggembirakan ini tidak berlangsung lama, karena dicemari oleh pemikiran orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki keahlian dalam bidang fiqh. Mereka melahirkan fatwa-fatwa hukum yang kontroversial dan membingungkan masyarakat. Hal itu bukan saja materi fatwa mereka yang saling bertolak belakang dengan fatwa-fatwa para ulama yang kenamaan, tetapi juga karena fatwa mereka pada umumnya tidak dibangun di atas landasan dalil dan metodologi yang memenuhi standar. Akibatnya, pada pertengahan abad keempat, mulai terdengar issus penutupan pintu ijtihad. Keadaan ini diperparah dengan hilangnya rasa percaya diri para ulama yang sebenarnya memiliki kemampuan berijtihad yang tampil pada masa itu, sehingga mereka tidak berani berijtihad sendiri secara bebas. Mereka berkeyakinan, setelah imam mazhab yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, asy-Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal) tidak ada lagi ulama yang memiliki kapasitas keilmuan sebagai mujtahid mutlak. Di samping itu, mereka juga ber­pendapat, semua persoalan fiqh sudah dibahas ulama sebelumnya, sehingga tidak diperlukan ijtihad baru.

Issue penutupan pintu ijtihad menyebabkan kemunduran dalam bidang fiqh. Dampak kemunduran tersebut terlihat dari karya-karya yang muncul tidak lagi melahirkan mazhab-mazhab fiqh yang baru. Akan tetapi, berbeda dengan fiqh, ushul fiqh semakin menunjukkan kesempurnaannya. Pembukuan dan pensistematisan ushul fiqh yang dilakukan asy-Syafi'i dikembangkan oleh para ulama selanjutnya. Sebagaimana diketahui, validitas fiqh diukur sejauhmana kesesuaiannya dengan ushul fiqh sebagai metode ijtihad. Oleh karena pada masa itu, ilmu ini sangat diperlukan, terutama karena ia berperan menjadi senjata dalam perdebatan-perdebatan ilmiah di bidang fiqh. - Sebagaimana telah disebutkan, kitab ar-Risalah telah memuat secara agak lengkap dasar-dasar ushul fiqh. Oleh karena itu, para ulama yang tampil setelah masa Imam asy-Syafi'i, baik dari kalangan Syafi'iyyah sendiri maupun dari mazhab lainnya, mengambil peran sebagai pengem­bang dasar-dasar ushul fiqh asy-Syafi'i tersebut.
Meskipun para ulama dari berbagai mazhab mengembangkan ushul fiqh yang ditulis asy-Syafi'i, akan tetapi hal itu tidak menjadikan arah perkembangan ushul fiqh menjadi sama. Jika para ulama Syafi'iyyah meneruskan sepenuhnya perluasan bahasan ushul fiqh asy-Syafi'i, maka para ulama dari mazhab lainnya mengambil arah perkembangan yang agak berbeda. Dalam hal ini, mereka mengambil prinsip-prinsip ushul fiqh asy-Syafi'i, tetapi dalam pengembangannya, mereka kaitkan dengan    prinsip-prinsip mazhab mereka masing-masing. Ulama Hanafiyyah, misalnya, mengembangkan pembahasan tentang al-istihsan dan al- 'urf yang banyak digunakan Imam Abu Hanifah. Sementara ulama Hanabilah banyak mengembangkan ijma' ahl al-Madinah, sadd adz-dzara'i\ dan al-mashlahah al-mursalah.
Satu hal yang perlu dicatat, meskipun arah pengembangan ushul fiqh berbeda-beda pada masing-masing mazhab, namun semua mereka menerima dan mengembangkan empat dalil utama yang ditegaskan oleh asy-Syafi'i, yaitu: Alquran, sunnah, al-ijma \ dan al-qiyas. Bagaimanapun juga, sejalan dengan mazhab mereka masing-masing, tentu saja intensitas penggunaan dalil yang empat itu berbeda-beda pada masing-masing mazhab. Dari perkembangan pemikiran ushul fiqh sebagaimana diungkapkan di atas, maka perkembangan ushul fiqh selanjutnya melahirkan dua aliran/thariqah/madrasah yang besar dalam ushul fiqh, yaitu: thanqa/madrasah asy-Syafi'iyyah atau thartqah/madrasah Mutakallimin, dan thariqah/madrasah Hanafiyyah atau thanqah al-Fuqaha'.


[1] Sebagaimana telah dikemukan pada kajian terdahulu bahwa perkembangan usul fiqh sudah terjadi setidak-tidaknya sejak zaman sahabat yang ditandai terutama oleh adanya ketentuan dalam urutan penggunaan sumber hukum. Urutan penggunaan sumber hukum ini bertolak dari dialog antara Rasulullah dengan sahabat Muadz ibn Jabal pada saat dia diutus ke negeri Yaman. Hadits tersebut tercantum dalam kitab Sunan Abu dawud, dan diniali sebagai hadits dla’if karena dalam susunan rawinya terdapat seorang rawi yang dipandang majhul. Dalam Maktabah Syamilah, hadits tersebut selain tercantumkan dalam kitab Abu Dawud, tercantumkan pula dalam kitab hadits Sunan Baihaqy, dalam al-Madkhal ila Sunan al-Kubra, Syarah Sunnah li al-Baghawy, dan dalam Ma’rifatu al-Sunan wal Atsar. Selengkapnya hadits tersbut adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ أَبِي عَوْنٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرِو ابْنِ أَخِي الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ، مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ: «كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟»، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟»، قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ؟» قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي، وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ، رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ»،

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...