Senin, 16 Juli 2012

Horor Asy-Syuro...


Disusun Oleh : Ana Nafsi Muthaminah


Hari Asyura (عاشوراء ) adalah hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender Islam. Sedangkan asyura sendiri berarti kesepuluh.
Hari ini menjadi terkenal karena bagi kalangan Syi'ah dan sebagian Sufi merupakan hari berkabungnya atas kesyahidan Husain bin Ali, cucu dari Nabi Islam Muhammad pada Pertempuran Karbala tahun 61 H (680). Akan tetapi, Sunni meyakini bahwa Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut untuk mengekspresikan kegembiraan kepada Tuhan karena kaum Yahudi sudah terbebas dari Fira'un (Exodus). Menurut tradisi Sunni, Muhammad berpuasa pada hari tersebut dan meminta orang-orang pula untuk berpuasa.
Sejarah
Pada masa pra-Islam, 'Asyura diperingati sebagai hari raya resmi bangsa Arab. Pada masa itu orang-orang berpuasa dan bersyukur menyambut 'Asyura. Mereka merayakan hari itu dengan penuh suka cita sebagaimana hari Nawruz yang dijadikan hari raya di negeri Iran.[3]
Dalam sejarah Arab, hari 'Asyura (10 Muharram) adalah hari raya bersejarah. Pada hari itu setiap suku mengadakan perayaan dengan mengenakan pakaian baru dan menghias kota-kota mereka. Sekelompok bangsa Arab, yang dikenal sebagai kelompok Yazidi, merayakan hari raya tersebut sebagai hari suka cita.
Syahidnya Husain bin Ali
Tanggal 10 Muharram 61 H atau tanggal 10 Oktober 680 merupakan hari pertempuran Karbala yang terjadi di Karbala, Iraq sekarang. Pertempuran ini terjadi antara pasukan Bani Hasyim yang dipimpin oleh Husain bin Ali beranggotakan sekitar 70-an orang melawan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Ibnu Ziyad, atas perintah Yazid bin Muawiyah, khalifah Umayyah saat itu.
Pada hari itu hampir semua pasukan Husain bin Ali, termasuk Husain-nya sendiri syahid terbunuh, kecuali pihak perempuan, serta anak Husain yang sakit bernama Ali bin Husain. Kemudian oleh Ibnu Ziyad mereka dibawa menghadap Khalifah di Damaskus, dan kemudian yang selamat dikembalikan ke Madinah.
Peringatan kesyahidan Husain di Indonesia
Tabot adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang tentang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali. Di Pariaman, Sumatera Barat upacara tradisional ini dikenal pula dengan istilah Tabut.
Asyura bagi Muslim Sunni
Sebelum Islam, Hari Asyura sudah menjadi hari peringatan dimana beberapa orang Mekkah biasanya melakukan puasa. Ketika Nabi Muhammad melakukan hijrah ke Madinah, ia mengetahui bahwa Yahudi di daerah tersebut berpuasa pada hari Asyura - bisa jadi saat itu merupakan hari besar Yahudi Yom Kippur. Saat itu, Muhammad menyatakan bahwa Muslim dapat berpuasa pada hari-hari itu.[1][2]
Di kalangan suku Banjar yang merupakan muslim Sunni di Kalimantan, Hari Asyura dirayakan ekspresi kegembiraan dengan membuat bubur Asyura yang terbuat dari beras dan campuran 41 macam bahan yang berasal dari sayuran, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Bubur Asyura tersebut akan disajikan sebagai hidangan berbuka puasa sunat Hari Asyura.
Asyura merupakan peringatan hal-hal di bawah ini dimana Muslim, khususnya Sunni percaya terjadi pada tanggal 10 Muharram.
·       Bebasnya Nabi Nuh dan ummatnya dari banjir besar.
·       Nabi Ibrahim selamat dari apinya Namrudz.
·       Kesembuhan Nabi Yakub dari kebutaan dan ia dibawa bertemua dengan Nabi Yusuf pada hari Asyura.
·       Nabi Musa selamat dari pasukan Fir'aun saat menyeberangi Laut Merah.
·       Nabi Isa diangkat ke surga setelah usaha Roma untuk menangkap dan menyalibnya gagal.


ACARA RITUAL HARI ASYURA

Memukul Kepala dan Dada
Kaum rafidhah memukul-mukul badan mereka untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah dan mendapatkan pahala di sisiNya.

Cara Memukul Badan
Dalam setiap peringatan hari besar mereka mereka, yang berbeda dengan perayaan hari besar kaum muslimin seperti peringatan terbunuhnya Ali bin Abi Tolib dan peringatan terbunuhnya Husein bin Ali, kaum rafidhoh melakukan upacara-upacara ritual untuk mengekspresikan kesedihan mereka terhadap musibah-musibah yang menimpa ahlul bait, yang kebanyakan cerita2 musibah itu adalah karangan mereka sendiri. Ritual-ritual ini diadakan di setiap wilayah yang memiliki penduduk kaum rafidhoh, tetapi terlihat sangat jelas di beberapa wilayah Pakistan, Iran, India, Irak dan wilayah Nabtiyah di Lebanon.
Dalam merayakan ritual ini pun cara mereka berbeda-beda, di Negara teluk mereka memukul badan mereka dengan tangan kosong karena masyarakat negara teluk lebih “berbudaya”. Tetapi di Pakistan dan Lebanon mereka menyabet badan mereka sendiri dengan pedang dan belati untuk menumpahkan dan melukai anggota badan. Sementara itu kaum rofidhoh di wilayah lainnya menggunakan rantai untuk memukuli badan mereka sendiri.
Acara “pukul memukul” itu tak lupa disertai dengan pembacaan sya’ir-syair kesedihan dan musibah, khotbah duka cita untuk ahlul bait,mencaci maki bani umayyah dan para sahabat Nabi. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan pahala dan keridhoan Allah ta’ala. Tidak ketinggalan pula acara tangis bersama sampai berteriak-teriak, karena mereka mengatakan bahwa para imam mereka memberi kabar gembira: “Barang siapa menangis atau membuat dirinya menangis untuk Husein maka wajib masuk sorga.” Semua ingin masuk sorga, maka semua berlombalomba untuk bertambah sedih dan bertambah kencang tangisnya.

Sejarah Ritual “pukul memukul”
Acara ritual ini bermula dari rasa sedih para pengikut Ali bin Abi Tolib yang telah berjanji untuk berperang membela Ali namun ketka terjadi perang mereka lari meninggal Ali bin Abi Tolib sendirian hingga Ali bin Abi Tolib pun bosan dan membenci mereka karena kemunafikan mereka. Lalu Ali bin Abi Tolib berkhotbah kepada mereka dan menjuluki mereka dengan sifat-sifat yang jelek seperti pengkhianat, pembohong, kaum yang hina, orang yang berakal kerdil dll... ”Aku mengajak kalian untuk berjihad dan kalian menolak, aku telah memberitahu kalian tapi kalian tidak mau mendengarkan, aku telah berdakwah kepada kalian mengajak kepada kebenaran tapi kalian tolak dakwahku, aku telah menasehati kalian tapi kalian enggan untuk menerima...” hingga Ali bin Abi Tolib berkata: “Demi Allah... aku ingin agar Mu’awiyah menukar pengikutnya dengan pengikutku seperti menukar uang, maka 10 orang pengikutku akan kutukar dengan 1 orang pengikut Mu’awiyah."
Kesedihan pengikut Ali bin Abi Tolib makin bertambah ketika mereka menulis surat kepada Husein bin Ali bahwa mereka berbaiat kepada Husein dan berjanji akan menolongnya, tetapi ketika Husein binAli benar-benar datang mereka tinggalkan mati sendirian bersama keluarganya seperti mereka meninggalkan Muslim bin Aqil mati sendirian. Maka bertambahlah kesedihan mereka hingga hati kecil mereka merasa bersalah, lalu mereka mulai menghukum diri mereka sendiri dengan memukul dada dan menampar pipi mereka. Semua ini sebagai hukuman atas perbuatan mereka dan sebagai pembalasan kepada diri mereka atas penghianatan mereka kepada Husein bin Ali, Muslim bin Aqil dan sebelumnya Ali bin Abi Tolib. Begitulah, semakin besar rasa bersalah seseorang, maka dia semakin “bersemangat” dalam memukul dirinya sendiri dan semakin keras pula menangisnya. Demikian ritual ini berkesinambungan, setiap generasi menghukum diri mereka sendiri atas kesalahan yang dilakukan oleh generasi yang hidup jauh sebelum mereka, yaitu pengkhianatan terhadap Allah dan Ahlul bait. Selang berlalunya waktu, generasi yang datang belakangan tidak pernah memahami sebab utama ritual ini dan mengira bahwa ritual ini hanya bertujuan untuk mengungkapkan kesedihan atas kejadian yang menimpa Husein bin Ali dan ahlul bait seperti yang didengungkan oleh para ulama, dan bukannya sebagai penyesalan atas pengkhianatan mereka. Sementara itu generasi belakangan tetap meyakini bahwa ritual ini untuk mencara pahala dengan rasa cinta kepada Husein bin Ali dan mereka lupa bahwa sebenarnya ritual ini diadakan sebagai hukuman kepada diri mereka sendiri yang telah mengkhianati Husein bin Ali. Ini hukuman di dunia, di akherat Allah akan menghukum mereka dengan hukuman yang lebih berat. Subhanallah, bagaimana mereka mengubah ritual ini dari hukuman menjadi ibadah yang berpahala.
Pendapat di atas dikuatkan oleh perkataan Zainab binti Ali yang ditujukan kepada pengikut Ali (Syi’ah, bukan rafidhoh): “Wahai penduduk kufah, wahai para pengkhianat, perumpamaan kalian adalah bagaikan seorang perempuan yang mengurai benang yang sudah dipintal. Kalian hanya mempunyai kesombongan, kejahatan, kebencian dan kedustaan. Apakah kalian menangisi saudaraku? Tentu, demi Allah, maka perbanyaklah tangis dan jangan banyak tertawa, sungguh kalian telah diuji dengan kehinaan... bagaimana kalian menganggap enteng membunuh menantu nabi terakhir?"

Perkembangan Ritual “pukul memukul”
Ibadah ini mulai berkembang dan meluas di awal berkembangnya syi’ah saat mereka ingin mencari ibadah yang berbeda dengan ibadah bani umayyah dan supaya memperlihatkan perbedaan antara mereka dengan kaum muslimin lainnya. Maka mereka selalu berusaha membesarbesarkan dan menekankan pentingnya ritual ini. Bahkan mereka membuat pakaian khusus yang dipakai saat upacara yaitu pakaian berwarna hitam dengan alasan duka cita atas kematian Husein bin Ali dan ahlul bait.
Pada periode Bani Buwaih yang menguasai iran dan irak atas nama melindungi Khilafah Abbasiyah, mereka ikut mengembangkan upacara ini hingga menjadi bagian dari syi’ah yang tidak bisa dipisahkan lagi. Lalu datanglah Syah Ismail Safawi yang berkhianat kepada Khilafah Uthmaniyah mengumumkan hari berkabung nasional yang berlaku di seluruh wilayah kekuasaannya pada 10 hari pertama bulan muharram. Bahkan Syah sendiri mengadakan open house untuk menerima ucapan duka cita dari rakyat dan mengadakan perayaan khusus yang juga dihadiri oleh Syah Ismail. Juga Syah Abbas Al Safawi memakai pakaian hitam pada tanggal 10 muharrom dan melumuri dahinya dengan lumpur serta memimpin pawai di jalan-jalan sambil bersyair dengan syair duka untuk Husein dan melaknat Bani Umayah.

Peranan Iran Dalam Pengembangan Ritual "pukul memukul"
Sejak berubah menjadi negara islam, Iran menggalakkan warganya untuk menghidupkan kembali ritual-ritual seperti ini, bahkan ikut mendanai kaum syiah di mana-mana untuk mengadakan perayaan 10 Muharam besar-besaran. Tapi yang aneh, sebagian syiah tidak memiliki  uang untuk membeli makanan tetapi Iran malah memberikan dana dalam jumlah besar hanya untuk mengadakan perayaan ritual ini dengan alas an agama. Sehabis acara perayaan, kita melihat pemandangan cukup memalukan yang diliput oleh media massa dunia. Darah, gambar orang memukul diri disiarkan oleh media massa dengan menuliskan bahwa ini adalah perayaan hari besar kaum muslimin. Hal ini sangat memalukan kaum muslimin.

Pendapat Dunia Terhadap Ritual Ini
Kantor berita Reuter bagaikan mendapat “harta karun” berharga ketika wartawannya di wilayah Nabtiah Lebanon merekam gambar seorang syi’ah sedang memukul kepala anaknya dengan pedang pada perayaan 10 Muharam. Begitulah, para pengikut aliran sesat selalu memberikan bukti atas kecaman musuh terhadap Islam. Foto-foto berdarah perayaan asyura dimuat di media masa dunia, mereka membahasnya panjang lebar di koran, majalah bahkan channel TV untuk membahas kebuasan dan sifat haus dan ritual ibadah kaum muslimin yang jauh dari kemanusiaan.

SUMBER:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...