Kamis, 19 Juli 2012

Lingkup Kebijakan, Wewenang dan Pelaksanaan Penyelenggaraan Haji



Oleh : Maman Suherman

Ibadah Haji sebagai konsep ajaran dapat ditemukan dalam sumber rujukan agama Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam al-Hadits. Selanjunya, para ulama melakukan upaya pemahaman atas ajaran yang bersumber dari keduanya tersebut, dan melahirkan sekian banyak kitab-kitab fiqh yang membahas persoalan ibadah haji. Pembahasan masalah ibadah Haji tersebut tertuang dalam kitab Fiqh secara umum, dan tertuangkan pula dalam kitab yang secara khusus membahas Ibadah Haji.
Bagaimana pelaksanaan ibadah haji diselenggarakan dalam sebuah komunitas negara? Menurut Al Mawardi dan Abi Ya’la pemahaman terhadap ibadah haji sebagai bagian dari rukun Islam itu dapat dikelompokkan pada dua pemahaman: pertama berupa norma pengaturan penyelenggaraan, dan kedua berupa norma ajaran. Yang pertama dirumuskan sebagai “Tasyiir al-hajiij”, sedangkan yang kedua dirumuskan sebagai “Iqamatu al-hajj”.[1]
Secara teknis travelling, pelaksaan ibadah haji dari negeri-negeri yang berjarak jauh dari pusat pelaksaan di kota Makkah (dan juga Madinah[2]) seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an al-Karim[3] dapat dilaksanakan oleh perorangan ataupun kelompok yang tidak memerlukan keterlibatan negara, akan tetapi dalam gagasan pemikiran kedua ulama ahli siyasah itu tidaklah demikian. Mereka berpendapat bahwa penanganan penyelenggaraan ibadah haji itu meliputi tiga ruang  kewenangan: Pertama Keweangan Politis; Kedua Kewenangan Leadership dan Kelembagaan; Ketiga Kewenangan Manajerial.  Secara ekspilisit mereka menyatakan bahwa:
فَأَمَّا تَسْيِيرُ الْحَجِيجِ فَهُوَ وِلَايَةُ سِيَاسَةٍ وَزَعَامَةٍ وَتَدْبِيرٍ
“Wewenang dalam mengatur perjalanan para jamaah haji (persiapan, pelaksanaan di perjalanan, selama tinggal di tempat tujuan, dan kepungalangan kembali ke negeri asal) merupakan  kewenangan politik, pemerintah, dan menjadi ranah management”.
Sebagai konsekwensi logis dari adanya kewenagan politis yang penerapannya ditetapkan oleh keputusan pihak pemerintah, maka orang-orang yang diberi tugas oleh pemerintah dalam melaksanakan pengaturan penyelenggaraan haji itu tidak boleh sembarangan. Tidak sekedar keahlian dalam pemahaman manasik dan pengalaman yang teruji dalam pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji, akan tetapi moralitas yang tinggi menjadi bagian prasyarat yang harus dimiliki oleh mereka yang bertugas melaksanakan pengaturan penyelenggaraan haji. Al-Mawardi dan Abi Ya’la menetapkan bawa mereka yang diberi tugas dan wewenang pelaksanaan pengaturan penyelenggaraan haji itu harus juga memiliki watak yang teruji sebagai sesorang yang “ditaati, memiliki kemampuan dan keterampilan yang baik, mempunyai syaja’ah (keberanian dan keteguhan dalam menghadapi resiko), memiliki wibawa, dan juga memperoleh hidayah, wawasan yang luas dalam beragama”.


[1]Pemahaman Al Mawardi dan Abi Ya’la tentang masalah pengaturan penyelenggaraan haji tersebut dapat dibedakan kedalam dua kelompok, namun tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaannya.
[2] Sebenarnya kunjungan atau ziarah ke Madinah tidak termasuk pada bagian ibadah haji. Kunjungan ke kota Madinah lebih bersifat penghormatan pada semangat perjuangan Nabi Muhammad dan para sahabat yang jenazahnya tersimpan di dalam Masjid Nabawy dan di pemakaman umum Baqi al-Gorqod.
[3] Surat 22, al-Hajj, ayat 27: Tafsir Muqatil bin Sulaiaman, Juz iii, hal 123; Jami’ul Bayan, Juz 18, hal 605; 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...