Rabu, 01 Agustus 2012

Ishtishlah atau Mashlahah?

Oleh : Imam Yazid


Istishlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam yang menjadikan mashlahah yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu hukum sekunder. Karenanya konsep ini lebih dikenal dengan sebutan al-Mashlahah al-Mursalah. Konsep penalaran ini bermula dikembangkan dalam aliran pemikiran hukum islam Malikiyah.[1] Tapi pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad, kalangan Sahabat dan Tabi’in. Kemudian dilanjutkan oleh Imam al-Ghazali dari aliran Syafi’iyah dengan beberapa penyempurnaan. Namun konsep ini ditolak oleh aliran Zhahiriyyah dan Syi’ah.[2]
Istishlah ( اَلْاِسْتِصْلاَحُ ) adalah bentuk mashdar dariيَسْتَصْلِحُ  اِسْتَصْلَحَ - yang berasal dari kata  صَلَحَ yang bermakna “baik”, lawan dari kata buruk atau rusak.[3] Bentuk mashdar dari صَلَحَ adalah الصَلاَحُ yang semakna dengan mashlahat. Mashlahat itu sendiri mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemudaratan dan penyakit. Semua itu bisa dikatakan mashlahah.[4]
Mashlahah dalam bahasa Arab berarti perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam pengertian umum adalah setiap yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudaratan atau kerusakan.



Al-Ghazali menjelaskan bahwa hakikat dari mashlahat adalah
المحافظة على مقصود الشرع ومقصود الشرع من الخلق خمسة وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم[5]
Memelihara tujuan syara’. Tujuan syari’at dari makhluk itu ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka.”

Amir Syarifuddin menyimpulkan bahwa maslahat itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.[6]
Terlihat ada perbedaan antara mashlahah dalam pengertian bahasa dengan mashlahah dalam pengertian syara’. Perbedaannya terlihat dari segi tujuan syara’ yang dijadikan rujukan. Maslahat dalam pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat atau hawa nafsu. Sedangkan pada maslahat menurut syara’ yang selalu menjadi rujukannya adalah tujuan syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta tanpa melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia yaitu mendapatkan kesenangan dan menghindarkan ketidaksenangan.
Ulama ushul menggunakan beberapa peristilahan yang berbeda berkaitan dengan metode mencari kemaslahatan ini.  Sebagian ulama menggunakan istilah al-Mashlahah al-Mursalah ( المصلحة المرسلة ), ada pula yang menggunakan al-Munasib al-Mursal ( المناسب المرسل ) oleh Ibu Hajib dan Baidawi, al-Istidlal al-Mursal ( الاستدلال المرسل ) oleh Syatibi, atau al-Istishlah ( الاستصلة ) oleh Al-Gazali.
Rahmat Syafei menjelaskan bahwa dari ketiga istilah itu meskipun tampak menuju kepada satu tujuan, akan tetapi memiliki tinjauan yang berbeda-beda. Pertama, dari segi kemaslahatan yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan. Kemaslahatan ditinjau dari segi ini disebut al-Mashlahah al-Mursalah (kemaslahatan yang terlepas dari dalil khusus) tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at Islam. Misalnya pembuatan akta nikah dinilai memiliki kemaslahatan sebagai pelengkap administrasi akad nikah di masa sekarang. Kedua, dari segi sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf al-munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan. Misalnya pembuatan akte nikah itu mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan syara’, antara lain menjaga status keturunan. Ketiga, dari segi proses penetapan hukum terhadap suatu kemaslahatan yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Proses seperti ini disebut Istishlah (menggali dan menetapkan suatu kemaslahatan). Istilah al-Istishlah dipakai oleh Al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Mustashfa.[7]
Walaupun berbeda istilah namun hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang di dalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum namun tidak ada dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.
Landasan pemikiran yang membentuk konsep Istishlah ini ialah bahwa syari’ah Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya mengarah kepada terwujudnya mashlahah dan mencegah mafsadah. Dengan kata lain seseorang tidak dituntut untuk melakukan sesuatu melainkan membawa kemaslahatan dalam hidupnya, dan manusia tidak dicegah melakukan perbuatan melainkan karena membahayakan hidupnya. Menurut Al-Ghazali, upaya mewujudkan mashlahah dan mencegah mafsadah adalah sesuatu yang sangat nyata diturunkan oleh Allah dalam menjaga lima pokok yang penting dalam kehidupan manusia yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang menjamin kelima pokok itu adalah mashlahat, dan menolak setiap kerusakan atas pokok-pokok itu juga merupakan mashlahat.[8]


[1] Ali Yafie,Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah : Kosep-konsep Istihsan, Istishlah, Dan Mashlahat Al-Ammah, (Edit.) Budhy Munawar-Rachman (Jakarta: Yayasan paramadina, 1994), h. 365.
[2] Ibid.
[3] Ibn al-Manzhur, Lisan al-Arab (Maktabah Syamilah).
[4] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, cet. iii (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 117.
[5] Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul, juz i (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1413 H), h. 173.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 344.
[7] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, h. 118.
[8] Al-Ghazali, Al-Mustashfa, h. 173.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...