Sabtu, 14 Juni 2014

SPI Series: Dinasti Fatimiyah Mesir

KEMUNCULAN DINASTI FATIMIYAH DAN SYIAH ABAD X
A.    PENDAHULUAN
Perjalanan sejarah peradaban Islam telah menuliskan bahwa dinasti Fatimiyah sebagai salah satu dinasti Islam pada abad X telah membuat prestasi yang gemilang dalam sejarah peradaban di dunia Islam. Dinasti Fathimiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi, cucu Ismail bin Ja’far al-Shidiq ini tergolong ke dalam pengikut Syi’ah Ismailiyah. Ismailiyah adalah salah satu sekte Syi’ah yang mempercayai bahwa Ismail merupakan imam ketujuh, setelah Imam Ja’far al-Shadiq.
Pusat pemerintahan semula berada di Tunisia dengan ibukota Qairuwan (909-971 M.), kemudian pindah ke Kairo, Mesir (972-1171 M.). Dinasti ini merupakan dinasti Syi’ah Isma’iliyah yang pertama kali lahir, diiringi lahirnya Dinasti Bani Buwaih (932 M.) di Baghdad, dan belakangan Kerajaan Safawi (1501 M.) di Persia.
Meskipun pada saat munculnya dinasti Fatimiyah menjadi rival Dinasti Bani Abbas di Baghdad maupun Dinasti Bani Umayyah di Spanyol, Dinasti Fathimiyah membuktikan prestasinya yang luar biasa kepada sejarah Islam di masa klasik. Hal ini juga menunjukkan bahwa pusat peradaban Islam klasik, bukan saja di Baghdad, Spanyol, dan Samarkand, tetapi juga di Mesir di bawah kepemimpinan Syi’ah.
Berangkat dari pemikiran itulah, makalah sederhana ini mencoba mengkaji lebih detail tentang keberhasilan kelompok syi’ah dalam membentuk kepemerintahan dinasti Fatimiyah, pola kebijakan politik yang dianutnya dan dampaknyan bagi pengembangan peradaban Muslim, dan kajian akhir adalah kemunduran dan berakhirnya dinasti Fatimiyah ini.
B.     PEMBAHASAN
1.       1.      Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah.
Fatimiyah adalah dinasti Syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khilafah atau Imam di Afrika Utara (909 – 1171). Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syi’ah keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad saw). Kata fatimiyah dinisbatkan kepada Fatimah, karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah Az Zahra binti Rasulullah. Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan Daulah Ubaidiyah yang dinisbatkan kepada pendiri dinasti yaitu Abu Muhammad Ubaidillah al Mahdi (297-322). Orang-orang Fatimy juga disebut juga kaum Alawy, yang dihubungkan dengan keturunan Ali bin Abi Talib.
Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali Ibn Abu Thalib dan Fathimah binti Rasulillah.Menurut mereka, Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu Isma’il Ibn Ja’far al­ Shadiq.Sedangkan Ismail merupakan Imam Syi’ah yang ketujuh.
Setelah kematian Imam Ja’fah al-Shadiq, Syi’ah terpe­cah menjadi dua buah kelompok.Kelompok pertama meyakini Musa al-Kazim sebagai imam ketujuh pengganti Imam Ja’far, sedang satu kelompok lainnya mempercayai Ismail Ibn Muhammad al-Maktum sebagai Imam Syi’ah ketujuh.Kelompok Syi’ah kedua ini dinamakan Syi’ah Isma’iliyyah. Syi’ah Ismailiyyah tidak menampakkan gerakannya seca­ra jelas[3] hingga muncullah Abdullah Ibn Maymun yang membentuk Syi’ah Isma’iliyyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan. Hal ini merupakan ekses dari dari kekecewaan golongan Isma’iliyah terhadap Bani Abbas atas kerjasamanya merebut kekuasaan Bani Umayah. Seteleh perjuangan berhasil, dan Bani Abbas berkuasa, sedikit demi sedikit mereka disingkirkan
Melihat kenyataan politik yang tidak pernah menguntungkan, kelompok Syi’ah yang dipimpin oleh abdullaah ibn Maymun merubah gerakannya sebagai sebuah system gerakan politik keagamaan, dimana semula Ismai’liyah tidak pernah menampakkan sebagai gerakan yang jelas. Ia berjuang mengorganisir propaganda Syiah Isma’iliyyah dengan tujuan menegak­kan kekuasaan Fatimiyyah. Secara rahasia ia mengirim­kan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syi’ah Isma’iliyyah. Kegiatan ini menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fathimiyah di Afrika dan kemudian berpindah ke Mesir.
Sebelum kematian Abdullah Ibn Maymun pada tahun 874 M., ia menunjuk pengikutnya yang paling bersema­ngat yakni Abu Abdullah al-Husayn sebagai pimpinan gerakan Syi’ah Ismailiyah. la adalah orang Yaman dan sampai dengan abad kesembilan ia mengklaim sebagai gerakan wakil al Mahdi. Ia menyebrang ke Afrika Utara, dan berkat propagandanya, ia berhasil menarik simpatisan suku Barbar, khususnya dari kalangan suku Khitamah. Pada saat itu penguasa Afrika Utara, Ibrahim ibn Muhammad, berusaha menekan gerakan Isma’iliyah ini, namun usahanya sia-sia.Ziyadatullah, putra dan sekaligus pengganti Ibrahim ibn Muhammad tidak berhasil menekan gerakan ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah al-Husayn menulis surat kepada Imam Isma’iliyyah, Said Ibn Husayn al Salamah agar menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi gerakan Isma’iliyah. Said mengabulkan undangan tersebut, dan ia memproklamirkan dirinya sebagai putra Muhammad al-Habib, seorang cucu Imam Isma’il. Setelah berhasil merebut kekuatan Ziyadatullah, ia memproklamirkan dirinya sebagai pimpinan tertinggi gerakan Isma’iliyyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunis, pusat pemerintahan dinasti Aghlabi, pada tahun 909 M., dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabi yang terakhir, yakni Ziyadatullah. Sa’id kemudian memproklamirkandiri se­bagai imam dengan gelar “Ubaydullah al-Mahdi”.
Dengan demikian terbentuklah pemerintahan dinasti Fathimiyah di Afrika Utara dengan al-Mahdi sebagai khalifah perta­manya.
1.       2.      Khalifah-khalifah Dinasti Fatimiyah; Perkembangan Politik Dan Pemerintah.
Wilayah kekuasaan Fathimiyah meliputi Afrika Utara, Sicilia, dan Syria.Wilayah ini sebelumnya merupakan wilayah dari Dinasti Bani Abbas, Dinasti Bani Umayyah di Spanyol, dan Dinasti Aghlabiyah di Maroko.Dengan demikian, wilayah ini sangat luas, dari Yaman sampai laut Atlantik, Asia Kecil dan Mosul.Untuk mengetahui upaya-upaya yang ditempuh para khalifah dalam memperluas wilayah politik dan pemerintahanya.Berikut para khalifah dinasti Fatimiyah disarikan dari tulisanya Moh. Nurhakim (Sejarah dan Peradaban Islam; 2003)
Al-Mahdi (909-934 M.) memperluas wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika yang terbentang dari perbatasan Mesir ke wilayah Fes di Maroko. Pada 910 M. ia menguasai Alexandria, kemudian juga kota-kota lainnva seperti Malta, Syria, Sardina, Corsica, dll. Ia juga ingin menaklukkan Spanyol dari kekuasaan Bani Umayyah. Karenanya, ia bekerjasama dengan Muhammad ibn Hafsun, pimpinan oposisi di Spanyol. Namun, ambisi itu belum tercapai sampai ia meninggal pada 934 M.
Al-Qaim (934-949 M), putra AI-Mahdi, mengadakan perluasan ke selatan Pantai Perancis pada 934 M. Di sana ia berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria. Saat itu pula ia mengirim pasukan ke Mesir, tetapi gagal dan diusir oleh Dinasti Ikhsidiyah dari Alexandaria. Ia dapat menghalau berbagai serangan dari `pemberontak Khawarij yang dipimpin Abu Yazid, meskipun pada 946 M. meninggal dunia bertepatan dengan terjadinya pemberontakan Abu Yazid di Susa’. Anaknya, Al-Mansur menggantikanya dan mendirikan kota Al-Mansuriyah yang megah di wilayah perbatasan Susa’. Ia mampu mempertahankan prestasi ayahnya dalam mengamankan seluruh wilayah Afrika di bawah kekuasaan Fatamiyyah, meskipun berbagai serangan dari Khawarij terus dilancarkan.
Mu’iz (965-975 M.), putra Al-Mansur, adalah khalifah Fathimiyah yang paling besar.Ia berhasil membawa rakyat damai dan makmur, di samping wilayahnya yang semakin dapat diperluas. Setelah melakukan konsolidasi ke dalam, hingga mendapatkan pengakuan sukses dari rakyat, ia baru melakukan perluasan wilayah. Tidak lama ia dapat menguasai Maroko dari Bani Umayyah di Spanyol dengan pimpinan panglima Jauhar al-Shaqilli, selanjutnya ia mengutus Hasan ibn Ali merebut wilayah pantai Spanyol, tetapi justru Abdurrahman III dari Spanyol menyerbu wilayah Susa’. Sementara Romawi memanfaatkan situasi dengan menyerbu Crete pada 967 M. yang semula dikuasai oleh Islam sejak AI-Makmun. Namun, Fathimiyah berhasil nengambil Sicilia dari kekuasaan Bizantine, kemudian membangun Universitas kedokteran yang sama besarnya dengan universitas-universitas di maupun Cardova.
Prestasi politik muiz yang paling besar adalah penaklukkan Mesir. Penaklukkan kota Fusthat tanpa perlawanan berarti pada 969 M. oleh panglima Jauhar al-Shaqili. Jauhar segera membangun kota ini menjadi kota baru dengan nama Qahirah (Kairo). Sejak 973 kota ini dijadikan ibukota Fathimiyah. Selanjutnya, Mu’iz mendirikan masjid Al-Azhar yang kemudian beralih menjadi Universitas Al-Azhar yang berkembang hingga sekarang. Universitas ini dinilai sebagai universitas tertua di dunia dan paling berpengaruh di dunia Islam.
Al-Aziz (975-996 M.), putra Mu’iz, adalah khalifah yang paling bijaksana dan pemurah, sehingga mampu membawa rakyat lebih makmur.la menekankan adanya perdamaian antara pengikut agama, baik Islam maupun Kristen, sehingga salah satu wazirnya beragama Kristen, yaitu Isa bin Nastur. Ia sberhasil membawa Fathimiyah pada puncak kemajuan yang mengungguli Bani Abbas di Baghdad saat itu. Bangunan megah ia dirikan di Kairo seperti The Golden Palace, The Pearl Pavillion, dan Masjid Karafa, serta Masjid Akademik Al-Azhar diresmikan.
Salah-satu kebijakan al-Aziz yang membawa akibat yang cukup fatal adalah penarikan orang Turki dan Negro sebagai basis pasukan militer.Hal ini dimaksudkan untuk menandingi kekuatan Barbar.Ketika kelompok Barbar mulai menguasai jajaran militer, terjadilah persaingan antar ras di tubuh militer Fatimiyyah yang pada gilirannya jadi salah salah satu factor kemunduran Fatimiyyah.Pada masa­-masa belakangan militer Turki semakin besar kekuatan­nya dan ketika kekuatan Fatimiyyah mulai melemah, unsur-unsur militer mendirikan dinasti-dinasti yang mer­deka.
Al-Aziz meninggal pada tahun 386 H/996 M. dan bersamaan dengan ini berakhirlah kejayaan dinasti Fatimiyyah.
Al-Hakim (996-1021 M.), putra Al-Aziz, diangkat menjadi khalifah ketika berusia sebelas tahun.Oleh karenanya, pemerintahan sangat dipengaruhi oleh gubernur Barjawan.Akhirnya, pemerintahan tidak stabil, kekerasan berlangsung, dan tak dapat dihindarkan konflik dengan umat Kristen dan Yahudi yang merasa hak-haknya dipersempit.Ia menyelesaikan pembangunan Dar Al-Hikmah, sebagai pusat ilmu pengetahuan dan pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai sarana penyebaran teologi Syi’ah.
Al-Zahir (1021-1036 M.), putra Al-Hakim, ia diangkat menjadi khalifah pada usia enam belas tahun, sehingga pemerintahan disetir oleh bibinya, Sitt al-Mulk. Setelah sang bibi meninggal, ia dijadikan boneka oleh para menterinya. Karena musibah banjir, rakyat menderita kekurangan pangan, sedang harga barang tidak lagi terjangkau.Ia pernah mengusir sekelompok tokoh mazhab Maliki dari Mesir karena persengketaan keagamaan di tahun 1025 M. Tetapi, pada dasarnya Al-Zahir mempunyai toleransi terhadap Sunni dan Kristen.
Al-Mustanshir (1036-1095 M.), putra Al-Zahir, ia memerintah paling lama, 61 tahun. Masa pemerintahannya yang pertama sepenuhnya di tangan ibunya, sebab sewaktu dinobatkan ia masih berumur tujuh tahun. Padamasanya, pemerintahan Fathimiyah mengalami kemunduran yang drastis. Demikian pula para khalifah setelahnya,  Al-Musta’li, Al-Amir, Al-Hafiz, Al-Zafl, Al-Fa’iz dan Al­ Azid, tidak mampu lagi membawa pemerintahannya untuk kembali seperti semula. Rata-rata mereka dinobatkan masih berusia sangat muda, sehingga pemerintahan disetir oleh pihak lain. Khalifah terakhir Al-Azid berhasil diturunkan dari tahtanya oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada 1171 M. Maka, berdirilah kemudian Dinasti Ayyubiyah di Mesir.
Urutan Nasab Khalifah Dinasti Fatimiyah

1.3.      Prestasi Dinasti Fatimiyah dalam Pengembangan Peradaban Islam.
1.       Prestasi di bidang sains dan kebudayaan.
Dinasti Fatimiyyah di Mesir dapat dikatakan mengungguli prestasi Bani’Abbas di Baghdad dan Bani Umayyah di Spanyol pada saat yang sama, terutama prestasi dalam bidang ilmu pengetahuan (sains). Pengembangan sains di sana bermula dari tradisi yang berhasil dirintis oleh khalifah Al-Aziz. Ia adalah seorang sastrawan yang mempunyai perhatian besar dalam bidang sains, seperti Al-Makmun di Bani Abbas. Tidak heran jika istana dijadikan sebagai pusat kegiatan keilmuwan, tempat diskusi para ulama, fuqaha, qurra, nuhat, ahli hadis dan para pejabat yang ikut juga terlibat di dalamnya.Sebagian para pejabat dan pegawai terdiri dari para ilmuwan dalam berbagai disiplin i1mu.
Al-Aziz memberi gaji yang besar kepada para pengajar, sehingga banyak para ulama besar pindah dari Baghdad ke Kairo.Al-Azhar dijadikan pusat studi ilmu-ilmu dari berbagai disiplin ilmu. Di samping Al-Azhar, pada 1005 M. Al-Hakim mendirikan Dar al-Hikmah, sebagai pusat studi pada tingkat tinggi, di dalamnya dilakukan diskusi, penelitian, penulisan dan penerjemahan, serta pendidikan.
Pada masa ini muncul sejumlah ulama besar, diantaranya; Muhammad al-Tamimi (ahli fisika dan kedokteran), Al Kindi (ahli sejarah dan filsafat), al-Nu’man (ahli hokum dan menjabat sebagai hakim), Ali Ibn Yunus (Ahli Astronomi), Ali al-hassan Ibn al-Khaitami (Ahli fisika dan optik).
Sektor pertanian sangat digalakkan, karena tanah negeri Mesir sangat subur berkat aliran sungai Nil yang sangat melimpah. Karenanya, sistem pengairan melalui perbaikan irigasi dan kanal­-kanal dapat meningkatkan produktivitas pertanian: gandum, kurma, kapas, bawang putih dan merah, serta kayu-kayu hutan untuk industri kapal-kapal dagang dan perang.
Dari sektor industri dan perdagangan, Mesir tekenal dengan hasil tenunan, kain sutra, wol dan sebagainya yang diekspor ke Eropa. Selain textil, dibangun pula industri kristal, keramik, kerajinan tangan, serta tambang besi, baja dan tembaga. Dengan dibangunnya armada laut yang tangguh serta kapal-kapal dagang, maka sektor perdagangan pun sangat maju.Kota Fusthat, Kairo, Qaus, dan Dimyati menjadi pusat perdagangan di Mesir. Iskandariyah adalah kota pelabuhan internasional yang menjadi tulang punggung dan pusat pertemuan kapal-kapal dagang Barat dan Timur. Pajak dari sektor perdagangan ini menjadi andalan utama bagi pemasukan dan penunjang ekonomi negara.
Tradisi yang terbangun dalam dinasti Fatimiyah ini, doktrin Syi’ah begitu kental.Mereka mengadakan hari-hari perayaan, termasuk hari perayaan kaum syi’ah seperti Maulud Nabi, hari jadi sayyidina Hassan dan Husein serta hari jadi Siti Fatimah.Pada malam hari perayaan ini semua masjid dinyalakan lampu dan tilawah turut diadakan di masjid-massjid.
1.       Kebijakan Politik dan Doktrin Keagamaan.
Ketika al-Muiz berhasil menguasai Mesir, di tempat ini berkembang empat madzhab fikih; Maliki, Hanafi, Syafi’I, dan Hanbali.Sedangkan al-Muiz mmenganut faham Syi’ah. Oleh karena itu, al-Muiz mengayomi dua kenyataan ini dengan mengangkat hakim dari kalangan sunni dan syi’ah. Akan tetapi, jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulama’ syi’ah; dan sunni hanya menduduki jabatan-jabatan penting rendah.
Pada tahun 379 M, semua jabatan diberbagai bidang – politik, agama dan militer – dipegang oleh Syi’ah. Oleh karena itu, sebagian pejabat Fatimiyah yang sunni beralih ke Syi’ah supaya jabatannya meningkat.
Doktrin Imamah bagi Syi’ah yang dikembangkan oleh pemerintahan syi’ah tidak hanya berkonotasi theologi, tetapi juga berdimensi politis. Para pengikut Syi’ah berpendirian bahwa jabatan Imamah (Khilafah di kalangan Sunni) merupakan hanya Ahl al-Bait, yakni keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Oleh karenanya, mereka tidak mau tunduk pada pemerintahan para khalifah tersebut. Selain itu, mereka tidak pernah berhenti memperjuangkan apa yang mereka anggap sebagai haknya itu melalui berbagai jalan termasuk pemberontakan dan peperangan. Berdirinya Dinasti Bani Fathimiyah di Mesir ini juga antara lain dilatarbelakangi oleh doktrin di atas.
Pemerintahan Fathimiyah ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan yang bersifat keagamaan.Dalam arti bahwa hubungan-hubungan dengan agama sangatlah kuat, simbol-simbol keagamaan, khususnya.Dalam hubunganya dengan keluarga Ali, sangat ditonjolkan dalam mengurus pemerintahan. Seperti dinyatakan oleh Moh Nurhakim (2003;106-107)[12]bahwa Fatimiyah membangun masjid-masjid., seperti Al Azhar dan Al Hakim, dengan menara serta kubahnya vang menjulang bagaikan ketinggian para Imam, dan mengingatkan terhadap kota suci Makkah dan Madinah  Sebagai suatu cara memuliakan terhadap khalifah karena kesungguhannya dalam berbakti kepada Tuhan.
Selain itu, menurut Nur Hakim, memuliakan terhadap Imam yang hidup disejajarkan dengan memuliakan terhadap kalangan Svuhada’ dari keluarga Nabi. Fatimiyah membangun sejumlah makam keluarga Ali, seperti makam Husein di Mesir, dalam rangka meningkatkan peziarah serta memberi kesan mendalam kepada masyarakat atas tempat-tempat suci dan keramat. Maka, pada 1153 M. kepala Husein, yang dipenggal dalam peperangan melawan Yazid bin Muawivah, dipindahkan dari Ascalon ke Kairo, lalu di bangunlah makam Sayyaidina Husein yang sekarang disebut perkampungan Husein.
Salah satu doktrin keimaman yang lain adalah bahwa Imam mesti dijaga oleh Allah dari kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh manusia biasa. Selanjutnya, doktrin ini bisa dimanfaatkan oleh para khalifah untuk membuat legitimasi keagamaan pada dirinva. MisaInva, Ubaidillah Al Mahdi, pendiri Fatimiyah, adalah gelar dari Said bin Husain al-Salamiyah, sekaligus dengan gelar ini dia menyatakan diri sebagai Imam dari Syi’ah Isma’iliyah. Dengan gelar ini, maka setidaknya akan menimbulkan kesan umum bahwa sang kholifah adalah seorang imam yang terjaga dari kesalahan-kesalahan fatal.
Imam dalam doktrin Syiah juga bersifat messianistik (Mahdiisme), yakni, ia dipahami sebagai figur penyelamat di kala suatu bangsa yang mengalami keadaan konflik yang berkepanjangan yang tak terselesaikan.
Sebagai akibat dari doktrin-doktrin Syi’ah, maka pemerintahan Fathimiyah mempunyai corak yang militan, khususnya di masa awal kemunculannya.Usaha para pemimpin Syi’ah yang kemudian diwakili oleh Ubaidillah untuk mewujudkan dinasti Fathimiyah dilakukan di bawah tanah dalam waktu yang panjang dengan penuh militansi.Selanjutnya, pemerintahannya bercorak keagamaan, dalam arti penggunaan simbol-simbol ritus maupun mitos dalam agama sangatlah kental.Untuk memperoleh dukungan rakyat, make khalifah sering menggunakan simbol-simbol keagamaan.Hal yang terakhir ini juga membawa pengaruh kepada corak kebuday’aannya yang religius.
1.       Kemunduran dan akhir Dinasti Fatimiyah.
Melihat perjalanan dinasti Fatimiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran dinasti Fathimiyah merupakan akumulasi dari masalah-masalah yang bermunculan khususnya di masa paruh kedua, di mana suatu faktor dapat menyebabkan faktor-­faktor yang lain. Secara ringkas, di antara faktor-faktor yang paling menonjol adalah sebagai berikut[13]:
Pertama, melemahnya para khalifah, khususnya sejak Al­ Mustansir, ia adalah urutan khalifah yang ketujuh. jika seluruh khalifah Fathimiyah berjumlah 14 orang, maka, dapatlah dikatakan bahwa tujuh khalifah yang pertama kuat-kuat, sedang tujuh berikutnya rata-rata lemah. Kelemahan ini disebabkan karena sewaktu dinobatkan menjadi khalifah usia mereka masih sangat muda, seperti; Al-Hakim berusia sebelas tahun, Al­ Zahir berusia enam belas tahun, Al-Amir disebut masih “berusia hijau “, Al-Zafir berusia tujuh belas tahun, AI-Faiz dikatakan“berusia balita”, dan Al-Azid, khalifah terakhir, dinobatkan dalam usia Sembilan tahun.
Lemahny para khalifah ini menyebabkan tampilnya “orang­-orang kuat” dan berpengaruh sebagai pemegang kekuasaan yang sebenarnya, dan khalifah hanya sebagai  boneka “orang-orang kuat” misalnya, Barjawan, seorang gubernur Al Hakim, Sitt al-Mulk, bibi Al-Zahir, dan Al-Azfal, perdana menteri Al-Amr. Tampilnya  “orang-orang kuat” ini mengakibatkan kecemburuan di pihak saudara-s­audara para khalifah, dan membuat keadaan pemerintahan diktator dan tidak stabil.
Di samping itu, lemahnya para khalifah disebabkan oleh intrik di sekitar istana sendiri yang bersumber pada perasaan tidak adil jika terjadi pengangkatan khalifah berdasarkan “kelompok kepentingan” yang kuat, dan bukan berdasarkan suatu sistem atau melalui wasiat. Sebagai contoh, Nizar, kakak Al-Musta’li, merasa kecewa berat karena al-Musta’li, adiknya itu, diangkat menjadi khalifah pengganti bapaknya Al-Mustanshir yang wafat.la merasa bahwa dia adalah yang lebih berhak untuk jabatan itu dari pada adiknya. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadi gerakan oposisi terhadap adiknya yang dikenal dengan gerakan Assasin yang dipimpin oleh Al-Hasan bin Al-Sabah. Gerakan ini belakangan berhasil membunuh dua orang khalifah, Al-Musta’li dan Al-Amir.
Kedua, perpecahan dalam tubuh militer. Dalam tubuh militer terdapat tiga unsur kekuatan.Pertama, unsur bangsa Barbar yang sejak awal ikut berjuang mendirikan Dinasti Fathimiyah.Kedua, unsur bangsa Turki yang berhasil masuk karena didatangkan oleh khalifah Al-Aziz.Ketiga, unsur kekuatan bangsa Sudan yang didatangkan oleh khalifah Al-Mustanshir. Tiga faksi ini selalu.bersaing dan sesekali terlibat dalam peperangan antar mereka. Peperangan terbuka yang paling dahsyat adalah peperangan antara unsur Turki dan unsur Barbar.Sedang khalifah yang lemah tidak mampu berbuat apa-apa.Hal ini menyebabkan kontrol milter terhadap wilyah-wilayah menjadi lemah. Akhirnya, wilayah-wilayah dinasti yang demikian luas menjadi berkurang secara berangsur-angsur karena melepaskan diri atau dikuasahi oleh dinasti yang lain.
Ketiga, bencana alam. Kekeringan yang melanda Mesir di samping menimbulkan penderitaan rakyat karena kelaparan, wabah penyakit, perampokan dan lainnya, juga, bagi negara, menyebabkan lumpuhnya perekonomian agraris yang hasilnya justru merupakan sumber devisa utama Mesir. Kekurangan pangan yang melanda Mesir memaksa khalifah meminta bantuan kepada Konstantin Monomachus untuk mengirim bahan-bahan makanan ke Mesir.
Kelemahan yang menyebabkan terjadinya kemunduran dalam dinasti Fathimiyah, pada gilirannya memancing datangnya serangan dari pihak luar, yakni panglima Shalahuddin dari dinasti Ayyubiyah. Karena prestasinya dalam Perang Salib, maka ia mudah mendapatkan simpati masyarakat luas yang akhirnya dapat menaklukkan dinasti Fathimiyah dengan mudah pula.

C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dari pemaparan si atas dapat kami simpulkan bahwa Dinasti Fatimiyah juga disebut dengan Dinasti Ubaidillah, dengan pendirinya yaitu Ubaidillah al-Mahdi yang datang dari Syria ke Afrika Utara.Dinasti ini beraliran Syi’ah Islami’ilah, pusat pemerintahannya di Cairo.Dinasti ini mengalami kejayaannya pada masa khalifah Abu Mansur Nizar Al-Aziz (975 M – 996 M). Dan pada masa itulah, dengan prestasi gemilangnya dalam bidang pemerintahan, ekonomi sosial, di bidang ilmu dan perkembangan intelektual islam, syiah Ismailiyah sebagai doktrin teologi dan madzhab tata Negara Negara Fatimiyah mengalami masa keemasan.
Dinasti Fatimiyah dengan segala prestasi dan kemundduranya dalam tinta sejarah peradaban dunia Islam telah menjadi perjalanan dinamika umat Islam di Mesir. Dalam rentang beberapa periode dinasti ini telah mengukirkan nama harumnya bagi kemajuan dan kebesaran serta kejayaan Islam.

2.      Penutup
Demikian makal ini kami sampaikan, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan keterbatasan kami.Oleh karena itu, saran da kritik sangat kami harapkan agar makalah ini menjadi lebih baik, sempurna dan komprehensif.

[1] Dalam buku Sejarah Dan Peradaban Islam, A. Syalabi menjelaskan bahwa kaum Syi’ah adalah orang-orang yang mendukung kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib r.a. mereka adalah Jabir ibn Abdillah, Huzail ibn yaman, Salman Al Farisi, Abu Dzar al Ghifari, dll. Dalam perrjalanan sejarahnya, syi’ah terpecah menjadi beberapa kelompok, yaitu; Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, dan Syi’ah Ismailiyah.
[2] Ensklopedi Islam 2, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, ), 4.
[3] Imam-imam golongan Ismailiyah sesudah Isma’il tidak pernah muncul. Yang muncul hanyalah juru-juru dakwah mereka.Sebab itu, Imam-imam yang tak pernah muncul itu disebut “al Aimmah al-masturun”. Imam-imam Ismailiyah barulah muncul kembali setelah keadaan mereka bertambah kuat di Afrika Utara pada tahun 297 H (909 M), kemudian mereka pindah ke Mesir.(A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Terj. M. Sanusi Latief (Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003), 186).
[4] Moh Nurhakim, Sejarah Peradaban Islam (Malang, UMM Pres, 2003) 100.
[5] K. Ali, Sejarah Islam; Tarikh Pramodern, Terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 326.
[6] Nurhakim, Sejarah Peradaban Islam, 101-103.
[7] Seperti nama kedinastiannya, nama Jami’ Al-Azhar dinisbahkan kepada nama julukan dari Fatimah, putri Rasulullah saw, yaitu “Az-Zahra”. Ada juga yang berpendapat bahwa nama Al-Azhar mempunyai makna “cemerlang” yang diambil dari kata “zuhra” atau “zahrah” (planet Venus). Selanjutnya, dengan nama tersebut diharapkan Jami’ Al-Azhar dapat bersinar cemerlang dan menyinari kehidupan umat Islam.Paling tidak ada empat fungsi yang diharapkan dari pembangunan Jami’ Al-Azhar saat itu. Antara lain: pertama, sebagai pusat peribadatan umat Islam; kedua, sebagai pusat pengembangan sosial religius; ketiga, sebagai sentral pendidikan; keempat, sebagai pusat kegiatan (politik) pemerintahan Dinasti Fatimiyah(www. warungbaca.blogspot.com/2008/09/dinasti-fatimiyah.html+dinasti+fatimiyah&cd)
[8] K. Ali, Sejarah Islam; Tarikh Pramodern, Terj. Ghufron A. Mas’adi, 333.
[9] Muhammad Jamal al-Din, Al Dawlat Al-Fatimiyah Fi Mishr, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1979), 68.
[10] Mahayudin Hj. Yahaya, Sejarah Islam, (Kuala Lumpur; Fajar Bakti Sdn, Bhd. 1995), 336.
[11] Lihat Jaih Mubarak, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung; Pustaka Islamika, 2008), 191-192.
[12] Nurhakim; Sejarah Dan Peradaban Islam, 106-107.
[13] Untuk lebh detailnya faktor-faktor kemunduran dinasti Fatimiyah bisa dilihat di: Moh. Nurhakim; Sejarah Dan Peradaban Islam, hal; 107-109, dan Yusuf  Isy, Dinassti Abbasiyah,terj. Arif Munandar, (Jakarta: al Kautsar, 2007), 236-243.
http://aliahmadzainuri.wordpress.com/2013/03/24/dinasti-fatimiyyah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...