Jumat, 06 Juni 2014

Tiga Dimensi Islam


Sebagai agama samawi terakhir yang hadir di muka bumi ini, Islam mempunyai misi rahmatan lil'alamin, yakni menebar rahmat bagi sekalian alam. Kehadiran Islam bukan untuk suku maupun komunitas tertentu, melainkan untuk segenap alam dan isinya. Sebagai agama universal, muatan Islam didesain oleh Tuhan untuk mencakup beragam lini dan sektor kehidupan ummat manusia. Sekurang-kurangnya ada tiga cakupan dimensi ajaran Islam yang mempunyai pretensi mengatur kehidupan ummat manusia di muka bumi ini.
Pertama, dimensi aqidah yang memuat aturan paling dasar menyangkut sistem keimanan dan kepercayaan terhadap entitas Allah SWT sebagai pencipta alam semesta. Pemaknaan iman secara benar dan tulus dalam Islam dimaksudkan untuk dapat menstimulasi rasa spritualisme keagamaan paling asasi dalam wujud penghambaan dan pengabdian secara total kepada Allah SWT.
            Kedua, dimensi syari'at yang mempunyai konsentrasi pada pengaturan pergumulan ummat manusia sehari-hari. Bilamana aqidah dapat ditangkap sebagai sistem keimanan dan kepercayaan yang sifatnya esoteris, maka syari'at dapat dianggap sebagai sisi esoterisnya yang berkompeten mengatur aneka hubungan kemasyarakatan selain juga hubungan vertikal dengan yang maha kuasa. Hubungan vertikal ummat manusia dengan Tuhannya lazim disebut denagan  ibadah, sedangkan hubungan komunal menyangkut interaksi sosial sehari-hari biasa disebut mu'amalah.
            Dimensi ketiga dalam Islam adalah akhlaq atau tashawwuf, yakni nilai-nilai etika dan estetika yang mesti ditegakkan dalam pergumulan hidup sehari-hari. Tentu saja tashawwuf di sini bukan dalam pengertiannya yang pernah disalahgunakan, yakni eskapisme yang cenderung mengabaikan dimensi alam nyata atau menjauhi segala bentuk rupa yang berbau materi. Sebaliknya, tashawwuf adalah upaya pembersihan jiwa dari aneka perangai dan tingkah laku yang tercela sehingga seorang hamba bisa semakin dekat dengan Sang Khaliq-nya dalam pergaulan bermasyarakat sehari-hari.
Hubungan Aqidah dan Syari'at      
Pendapat umum menyatakan bahwa aqidah dan syari'at merupakan dua elemen dasar Islam yang mempunyai hubungan kompelementer, yakni berdiri sendiri serta saling melengkapi satu sama lainnya. Bila aqidah diproyksikan sebagai totalitas keyakinan seorang hamba terhadap ajaran agamanya, maka syari'ah dapat ditangkap sebagai wujud nyata dalam tataran implementasinya. Dalam kaitan ini Imam Mahmud Syaltut, mantan Syaikh Al-Azhar Mesir, mencerminkan hubungan komplementer aqidah dan syari'ah ini dalam sebuah judul bukunya,  الاسلا م عقيدة وشر يعة(Islam adalah aqidah dan syari'at)[1].
            Namun demikian, Sebagian pakar memandang aqidah dan syari'ah sebagai dua hal yang mempunyai hubungan subordinat, yakni aqidah dianggap sebagai bagian dari syari'ah. Menurut pandangan kedua ini, wacana syari'ah merupakan satu kesatuan integral ajaran agama yang dapat menjangkau bagian-bagian terpenting lainnya, seperti aqidah, ibadah, mu'amalah, dan lain-lain.[2] Dalam al-Qur’an sendiri kata syari’at dalam bentuk kata benda pernah disebut sebanyak dua kali, yaitu:
·        ثم جعلناك على شريعة من الأمر فاتبعها ولا تتبع أهواء ا لذ ين لا يعلمون
Artinya: kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at dari urusan (agama itu), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. QS al-Jathiyyah (45): 18.
·        لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا
Artinya: Untuk tiap-tiap ummat di antara kamu kami buatkan aturan (syari’at) dan jalan (metode). QS al-Ma’idah (5): 48.
Sedangkan dalam bentuk kata kerja, kata syari’at juga pernah disebut dalam al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu:
·        شرع لكم من الد ين ما وصى به نوحا والذي أوحينا إليك وما وصينا به إبراهيم وموسى
وعيسى
Artinya: Dia telah mensyari’atkan bagi kamu berupa agama, apa yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa. QS al-Syura (42): 13.
·        أم لهم شركاء شرعوا لهم من الد ين ما لم يأذ ن به الله
Artinya: Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (selain Allah) yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan allah. QS al-Syura (42): 21.
Dari berbagai ungkapan al-Qur’an di atas dapat disimpulkan bahawa syari’at adalah metode agama atau perangkat aturan agama yang digariskan oleh Allah SWT untuk dilaksanakan oleh hamba. Pada prinsipnya, syari’at merupakan metode untuk mengapresiasi ajaran agama secara keseluruhan.
Hubungan Syari'at dan Fiqh
Pertanyaan yang muncul kemudian, apa bedanya antara syari'at dan fiqh?. Selain ada pandangan yang mengidentikkan keduanya, terdapat pula sebagian pakar yang menganggap keduanya berbeda. Jika syari’at ditunjukkan oleh dalil-dalil qath’i  dalam al-Qur’an dan al-Hadith maka fiqh lebih mengacu pada dalil-dalil dhanni dalam kedua sumber ajaran asasi tersebut. Terlepas dari perbedaan pandangan ini,  fiqh merupakan bagian terpenting dalam komposisi syari'at. Sebagai produk istinbath yang dilakukan para mujtahid, fiqh tak lain merupakan pilar syari'ah paling konkret dalam upaya merespon masalah-masalah praktis keseharian dalam kehidupan beragama. Fiqh bukan saja mengandung implikasi konkret dari perilaku individu maupun masyarakat, tetapi lebih dari itu ia menempati garda depan dari sejumlah disiplin ilmu agama karena kaya dengan diktum-diktum hukum operasional.
            Pada awal mula perkembangannya, kajian fiqh mencakup persoalan-persoalan ibaadaat, mu'aamalaat, munakahaat, dan jinaayaat. Akan tetapi demi menjawab tantangan perubahan sosial yang terus terjadi, maka perwajahan fiqh sampai saat ini terfragmentasi dalam beberapa bentuk takhasshushaat (spesialisasi) sesuai perkembangan jaman. Ini tanpa mengenyampingkan sama sekali peran ulama terdahulu sebagai peletak batu pertama rumusan fiqh. Pada kenyataannya, pengembangan fiqh kontemporer saat ini memang tidak bisa lepas sama sekali dari formula dasar yang telah mereka bangun pada era kemunculan lembaga fiqh metodologis di abad ke-7 M.
            Elemen dasar fiqh sebenarnya bisa disimplifikasi secara lebih sederhana lagi menjadi dua bagian: ibadah dan mu'amalah. Elemen pertama berkaitan dengan tata cara bagaimana seorang hamba berkontemplasi atau bermunajah dengan sang pencipta. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam praktik amalan ritual keagamaan sehari-hari. Seperti shalat wajib, shalat sunnah, puasa Ramadhan, puasa sunnah, membayar zakat wajib, zakat sunnah dalam bentuk shadaqah tathawwu', membaca Al-qur'an dan masih banyak jenis-jenis amalan yang lain.
            Pada kenyataannya fiqh ibadah ini memiliki watak statis, tidak mengalami format perubahan karena terjadinya perubahan apapun di luar. Percikan perbedaan Fuqaha' (para pakar fiqh) pada elemen yang ini hanya sebatas pada masalah-masalah furu'iyyah (cabang) yang bersifat teknis. Seperti membaca kalimat "ushalli" setiap mau memulai shalat, membaca qunut dalam shalat subuh, mengeraskan bacaan "basmalah" dalam surah Al-Fatihah, dan masih sangat banyak contoh-contoh yang lain.
            Indikasi terjadinya pengembangan --kalau bukan perubahan-- dalam syariah terjadi pada elemen fiqh kedua, mu'amalah. Wujud dinamisme dalam segmen mu'amalah ini bukannya bersifat kebetulan tanpa antisipasi syara'. Sebaliknya Syari' (pembuat syari'ah) melalui wahyunya memang sengaja memberikan aturan-aturan umum berupa nash-nash Al-Qur'an maupun Al-Hadits yang kebanyakan bersifat mujmal (global). Pada tataran aplikasinya, nash-nash ajaran macam itu membutuhkan perangkat pisau analisa yang tajam serta pengamatan yang jernih dalam mengkalkulasi setiap kaitan peristiwa hukum dengan substansi teks ajaran itu sendiri. Dengan demikian diharapkan ajaran agama betul-betul membumi setiap waktu tanpa harus bergeser dari nilai-nilai universal yang diembannya.
Acuan moral bagi penerapan fiqh mu'amalah berupa kaedah-kaedah umum dan universal. Seperti bagaimana menegakkan sendi-sendi keadilan di tengah masyarakat, asas persamaan di depan hukum, menjauhi kedhaliman, pemaksaan, spekulasi dan lain-lain. Dalam aplikasinya, acuan umum tersebut mesti dielaborasi dalam wujud pemetaan implementasi lebih riil demi mengantisipasi terwujudnya tatanan masyarakat madani yang paripurna dan berkeadilan di tengah perubahan yang terus terjadi. Karenanya dalam terminologi fiqh kita kenal idiom kaedah-kaedah kulliah seperti: الضرر يزال (kemudlaratan mesti dihilangkan),  العادة محكمة (adat kebiasaan dapat dijadikan standar hukum), المصلحة العامة مقد مة على المصلحة الفردية (kepentingan publik diprioritaskan atas kepentingan privat), dan lain-lain.
Secara faktual, dinamisasi pemikiran fiqh mu'amalah menunjukkan adanya grafik perkembangan dari waktu ke waktu. Lebih jelasnya, dokumen fiqh mu'amalah saat ini terfragmentasi ke dalam bidang-bidang lebih spesifik demi merespon kecenderungan modern yang menyiratkan terjadinya reformulasi pemikiran hukum Islam dalam tataran yang lebih operasional. Kecenderungan ini berkorelasi pula secara signifikan dengan datangnya periode legislasi (daur al-taqniin) di mana materi fiqh dituangkan dalam formula perundang-undangan di negara-negara islam tertentu, seiring dengan menyeruaknya teori-teori negara hukum. Tak pelak lagi sebagai ujungnya, para pakar fiqh kontemporer mencoba memunculkan berbagai karya monografis berupa cabang-cabang fiqh mu'amalah. Sebut saja sebagai contoh cabang-cabang fiqh tersebut, misalnya:
1.      الأحوال الشخصية (hukum keluarga), yaitu upaya hukum untuk membentuk perangkat aturan mengenai masyarakat kecil di lingkungan keluarga. Baik menyangkut hubungan suami isteri maupun hubungan sesama anggota rumah tangga secara keseluruhan. Ayat Al-Qur'an yang secara langsung berhubungan dengan masalah ini, menurut Abdul Wahhab Khallaf, tidak kurang dari 70 ayat.[3]
2.      الأحكام المد نية (hukum perdata), yaitu hukum-kukum private sejenis jual beli, simpan pinjam, gadai, sewa, dan masih banyak yang lain. Ayat-ayat Al-Qur'an mengenai hukum perdata ini berjumlah sekitar 70 ayat.[4]
3.      الأحكام الجنائية (hukum pidana), yaitu hukum-hukum yang berkaitan langsung dengan delik ataupun pelanggaran pidana berikut sangsi dan hukumannya. Hukum pidana ini bertujuan mengayomi jiwa, harta benda, kehormatan, serta hak-hak manusia lainnya. Tidak kurang dari 30 ayat dalam Al-Qur'an berkaitan langsung dengan masalah ini.[5]
4.      أحكام المرافعات (hukum acara), yaitu hukum-hukum yang mengatur tentang proses perbal di pengadilan demi tegaknya sendi-sedi keadilan dan asas persamaan sesama manusia di depan hukum. Ayat-ayat Al-Qur'an yang berkenaan langsung dengan masalah ini ada sekitar 13 ayat.[6]
5.      الأحكام الد ستو ر ية (hukum perundang-undangan/konstitusi), yaitu hukum yang mempunyai korelasi langsung dengan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan. Tujuannya tak lain adalah untuk mengatur  hubungan pihak yang berkuasa dengan rakyat. Atau lebih jelasnya untuk mengayomi hak-hak individu maupun golongan dari kesewenang-wenangan. Sedangkan ayat Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah ini ada sekitar 10 ayat.[7]
6.      الأحكام الد و لية  (hukum internasional), yaaitu hukum yang berpretensi mengatur hubungan internasional. Baik menyangkut lembaga kenegaraan seperti hubungan negara islam dengan non-islam, ataupun menyangkut hubungan personal seperti hubungan seorang muslim dengan non-muslim dalam keadaan damai, dalam keadaan perang, dan lain-lain. Terdapat sekitar 25 ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan masalah ini.[8]
7.     الأحكام الاقتصاد ية والمالية (hukum ekonomi dan keuangan), yakni hukum-hukum yang mempunyai tujuan penegakan prosperitas dan pemerataan ekonomi. Termasuk hubungan simbiotik si kaya dengan si miskin dalam pelataran kehidupan ekonomi serta hubungan negara dengan rakyat menyangkut pendayagunaan sumber-sumber kekayaan negara (natural resource) maupun sumber daya manusia (human resource). Adapun ayat yang berhubungan dengan masalah ini tidak kurang dari 10 ayat dalam al-Qur'an.[9]



[1] Hubungan inhern aqidah dan syari'ah bisa dilihat di bukunya Mahmud Syaltut tersebut pada hal. 11-12.
[2] Lihat: Al-Qatthan, Manna’ Khalil, Wujub Tahkim al-Syari'ah al-Islamiyyah, hal. 9.
[3] Lihat: Abdul Wahhab Khallaf, 'Ilm Ushuul Al-Fiqh, hal. 32. Lihat juga: Dr. Abdul ‘Aal Salim Mukrim, Al-Fikr Al-Islami baina al-'Aql wa al-Wahy, hal 44.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...