Jumat, 01 Agustus 2014

FIQH INDONESIA TENTANG WASIAT DAN HIBAH

FIQH INDONESIA TENTANG WASIAT DAN HIBAH
 (Studi Tentang Transformasi dan Sinkronisasi Fiqh Wasiat dan Hibah Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia)

Oleh:
Abu Syhabudin

A.    Latar Belakang Masalah
Secara historis, sejak ratusan tahun silam Islam telah tersebar di Indonesia yang dibawa oleh para ulama. Penyebaran Islam ke Indonesia terdapat beberapa versi tentang mulai masuknya ke Indonesia. Salah satu versi itu menerangkan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau sekitar abad ke-7-8 M.[1] Versi lainnya menerangkan Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-13 Masehi.[2]
Sejak masuknya ke Indonesia para ulama terus menyebarkan ajaran Islam hingga ke Nusantara. Dengan tersebarnya Islam ke pelosok Nusantara, maka semakin banyak penganutnya. Beratus-ratus tahun Islam telah tersebar di kepulauan Nusantara, sehingga Islam menjadi agama mayoritas yang dianut bangsa Indonesia. Karena Islam tersebar dalam waktu yang begitu lama hingga berabad-abad, maka ajaran Islam semakin melekat dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Indonesia.  Dalam penerapan ajaran Islam, umat Islam berkeinginan agar ajaran Islam dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh baik dalam pengamalan masyarakat maupun dalam instansi pemerintah terutama dalam penegakkan hukum negara. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah (2) ayat 208:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷Š$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$Ÿ2 Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B   
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” [3]
Firman Allah di atas menjelaskan bahwa seluruh umat Islam harus masuk Islam secara kâffat (menyeluruh) artinya pengamalan ajaran Islam harus diamalkan seluruhnya, bukan sebagian-sebagian. Bahkan Allah dengan tegas menjelaskan pada surat al-Maidah (5) ayat 44:
!$¯RÎ) $uZø9tRr& sp1uöq­G9$# $pkŽÏù Wèd ÖqçRur 4 ãNä3øts $pkÍ5 šcqŠÎ;¨Y9$# tûïÏ%©!$# (#qßJn=ór& tûïÏ%©#Ï9 (#rߊ$yd tbqŠÏY»­/§9$#ur â$t6ômF{$#ur $yJÎ/ (#qÝàÏÿósçGó$# `ÏB É=»tFÏ. «!$# (#qçR%Ÿ2ur Ïmøn=tã uä!#ypkà­ 4 Ÿxsù (#âqt±÷s? }¨$¨Y9$# Èböqt±÷z$#ur Ÿwur (#rçŽtIô±n@ ÓÉL»tƒ$t«Î/ $YYyJrO WxŠÎ=s% 4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$#     
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.[4]
Ayat di atas menjelaskan bagi orang yang memutuskan hukum tidak berdasarkan ketentuan Allah disebut dengan kafir. Berarti ia telah keluar dari ajaran Allah. Ayat ini menunjukkan keharusan menjalankan aturan yang disyari’atkan Allah.
Pada ayat lain surat al-Maidat (5) ayat 45 dijelaskan pula dengan sebutan zhalim:
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿŸ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$#  

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.[5]

Ayat di atas menerangkan tentang hukum qishash. Menegakkan hukum qishahsh dalam syari’at Islam menjadi suatu keharusan yang pasti. Jika tidak, maka kedzaliman telah dilakukan bagi yang tidak melaksanakannya. Diterangkan pula pada ayat lain dengan sebutan fasik, sebagaimana firman Allah Swt. surat al-Maidah (5) ayat 47:
ö/ä3ósuø9ur ã@÷dr& È@ŠÅgUM}$# !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ÏmŠÏù 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd šcqà)Å¡»xÿø9$#   
“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”.[6]
Semua ayat di atas menjelaskan tentang ketatapan Allah bagi ummat terdahulu agar memutuskan hukum sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah Swt. Allah memvonis hukuman bagi orang yang tidak memutuskan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Ayat-ayat tersebut menjadi ibrat (pelajaran) bagi umat Nabi Muhammad Saw. Ketentuan melaksanakan aturan Allah menjadi suatu kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankannya. Kewajiban memutuskan hukum berdasarkan ketentuan Allah bukan hanya untuk umat terdahulu saja akan tetapi umat manusia setlah Nabi Muhammad Saw. pun dituntut untuk melaksanakannya.
Secara hakiki penjelasan ayat tersebut di atas penekannya bagi umat terdahulu sebelum Nabi Muahammad Saw. akan tetapi secara majazi ayat tersebut juga implisit di dalamnya mengisyaratkan meliputi umat setelah Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian semua ayat di atas menuntut pada setiap umat Islam untuk melaksanakan syari’at Islam. Namun pada kenyataannya secara yuridis hukum Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara kâffah (menyeluruh) di Indonesia belum dilaksanakan. Karena ketidaksinkronan antara hukum Islam dengan hukum nasional yang berlaku di Indonesia.
Hal tersebut di atas dapat dimaklumi secara filosofis, karena bangsa Indonesia penduduknya bukan hanya penganut agama Islam saja, akan tetapi terdapat penganut agama lainnya, seperti Hindu, Kristen, Budha dan Kong Hucu. Sehingga pemberlakuan hukum Islam di Indonesia tidak bisa diberlakukan sebelum terlebih dahulu dijadikan hukum nasional. Pada prosesnya apabila hukum itu sudah dijadikan undang-undang dan masuk dalam lembaran Negara, maka hukum itu menjadi hukum nasional dan bisa diberlakukan di Indonesia.
Secara sosiologis umat Islam yang ada di Indonesia berkeinginan agar ajaran Islam bisa diterapkan untuk seluruh rakyat Indonesia. Namun pada implementasinya tidak begitu saja dapat dilaksanakan, karena bisa diterapkan secara nasional untuk seluruh rakyat apabila sudah menjadi hukum nasional yang diundangkan pemerintah. Terdapat beberapa persoalan yang harus diperhatikan, karena paling tidak fakta sosial ikut berperan penting dalam pelaksanaannya di samping kekuatan politik (political power).
Teori Receptio in complexu [7] menyatakan bahwa hukum Islam dapat berlaku di Indonesia bagi pemeluknya dalam menjalankan syari’at Islam apabila telah memenuhi beberapa unsur:
1.      Hukum Islam dapat berlaku di Indonesia bagi pemeluk Islam.
2.      Umat Islam harus taat pada ajaran Islam.
3.      Hukum Islam berlaku universal pada berbagai bidang ekonomi hukum Pidana dan hukum Perdata.
Berkenaan dengan unsur yang ketiga hubungannya dengan undang-undang dapat memberikan pemahaman bahwa ketika hukum Islam sudah menjadi qanûn maka hukum tersebut dapat berlaku bagi umat Islam secara universal di Indonesia, sehingga dalam pelaksanaannya tidak secara parsial.
Kenyataan demikian, secara tidak langsung menguatkan teori receptive Snouck Hurgronje, meskipun konteksnya agak berbeda. Jika teori Snouck menitikberatkan pada relasi hukum adat dan hukum Islam, sedangkan pada masa Orde baru menitikberatkan relasi antara Negara dengan hukum Islam. Konsekuensinya menyebabkan terjadinya perubahahan paradigma. Yaitu dengan sebuah rumusan proposisi bahwa “hukum Islam tidak sepenuhnya dapat berlaku kecuali setelah ditetapkan Negara melalui legislasi”.[8]
Pembentukan hukum Islam di Indonesia, secara historis terdapat sebuah kumpulan hukum yang berbentuk bab, pasal dan ayat. Yang dibentuk dan disusun oleh sebuah panitia kerja selama kurang lebih lima tahun. Dimulai pada tahun 1983, yaitu setelah penandatanganan SKB [9] Ketua mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI. Hal ini dilakukan untuk keseragaman dan rujukan hakim-hakim pada pengadilan Agama. Sehingga pada tahun 1988 rumusan hukum tersebut diajukan kepada pemerintah untuk dijadikan sebuah perundang-undangan. Selama tiga tahun lebih menanti akan disahkannya rancangan tersebut. Sehingga akhirnya pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden Soeharto menandatangani Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991, yang dekenal dengan nama Kompilasi Hukum Islam (KHI).[10]
Kompilasi Hukum Islam walaupun hanya dengan kekuatan Inpres yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama. Akan tetapi, KHI merupakan sebuah produk hukum Indonesia yang digali oleh para ulama dalam sebuah peraturan hukum yang substansinya berbentuk undang-undang (qanûn). Hal ini mendapat respon positif terutama kalangan umat Islam, karena meskipun ketetapannya berupa Inpres, akan tetapi keberadaannya sangat berfungsi di Indonesia dan dapat dijadikan sumber rujukan dalam penerapan hukum Islam di Indonesia, terutama para hakim pengadilan Agama dalam mengambil sebuah keputusan hukum.
Secara yuridis Impres nomor 1 tahun 1991, KHI memiliki kekuatan hukum yang kuat dan mengikat. Inpres No 1 tahun 1991 berdasarkan konsideran UUD pasal 4 ayat 1, bebunyi: Kekuasaan presiden untuk memegang kekuasaan pemerintah Negara baik yang disebut Keputusan Presiden (Kepres) ataupun Instruksi Presiden (Inpres) kedudukan hukumnya adalah sama.[11]
Pelaksanaannya diperkuat dengan terbitnya Keputusan Menteri Aagma No. 254/ 1991 tertanggal 22 Juli 1991, menyebutkan dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1) dan pasal 17 UUD 1945, berbunyi:
Seluruh Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang hukum perkawinan, kewarisan, perwakafan sebagaimana dimaksud dalam dictum pertama instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1/1991 tanggal 10 Juni 1991 untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam masalah-masalah di bidang tersebut. [12]
Perkembangannya, untuk menghindari ketidakpastian hukum tersebut, pada bulan Maret 1985 secara politis Presiden Soeharto mengambil prakarsa dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan menteri Agama. SKB tersebut membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum, masing-masing tentang Hukum Perkawinan (Buku I), Hukum Kewarisan (Buku II) dan Hukum Perwakafan (Buku III).[13]
Berdasar pada hal demikian, Ketentuan penyelesaian masalah hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan bagi pemeluk agama Islam adalah mengacu kepada KHI. Ia telah ditetapkan melalui proses taqnîn dalam bentuk Inpres dan berlaku sebagai hukum positif bagi umat Islam. Oleh karenanya, KHI yang memuat hukum materilnya dapat diterima dan telah ditetapkan oleh Keputusan Hukum Presiden/ Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 dapat dipandang sebagai hukum tertulis. Bahkan sebagian kalangan akademisi dan para pemikir Islam menyebut Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang KHI sebagai qanûn yang dibentuk, diinduksi dari Fiqh versi Indonesia.[14]
Diperkuat dengan penjelasan umum yang terdapat dalam KHI nomor 1 bahwa: Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat bangsa Indonesia. Dan pada nomor 5 : Hukum materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumentasi Yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.[15]
Lalu dengan terbentuknya KHI yang merupakan sebuah hasil karya para ulama Indonesia. Jika dikembalikan kepada istinbâth-nya, setidaknya  memunculkan beberapa pertanyaan. Apakah KHI merupakan tarnsforamasi dari Fiqh? Jika merupakan transformasi, kitab apakah yang menjadi sumber rujukannya?  Sudahkan sinkron dengan sumber aslinya? Bagaimanakah sinkronisasinya dengan sistem hukum dan perundang-undangan yang ada di Indonesia ?
KHI bab wasiat dan hibah apabila dilihat dari isinya menggambarkan bahannya dari sumber Fiqh. Dalam Fiqh dibahas tentang wasiat dan hibah secara khusus. Antara isi KHI tentang wasiat dan hibah dengan Fiqh terdapat persamaan-persamaan. Jika dilihat dalam Fiqh wasiat dan hibah pembahasannya berdasarkan teori ilmu, sedangkan dalam KHI pembahasannya sudah berubah bentuk menjadi bab, pasal dan ayat, perubahan ini berbentuk seperti perundang-perundangan (qanûn). Bentuk seperti ini dikenal dengan istilah transformasi.[16]
Transformasi berasal dari bahasa inggris dari kata transform (dalam bentuk kata benda) yang berarti perubahan atau pergantian bentuk.[17] Istilah transformasi yang tadinya digunakan dalam perubahan bentuk kebendaan, maka dalam penelitian ini dipergunakan perubahan bentuk dari Fiqh menjadi bentuk perundang-undangan. Yaitu bahwa transformasi merupakan perpindahan dan perubahan bentuk yang tadinya teori ilmu menjadi bab, pasal dan ayat atau dalam bentuk perundang-undangan (qanûn).
Penjelasan umum KHI nomor 3 mengatakan: Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan Perwakafan. Berdasarkan surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/I/735 hukum materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas adalah bersumber pada 13 buah kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i”[18]. Kitab-kitab tersebut dalam penelitian ini ditelusuri akan kesesuaian antara apa yang terdapat dalam 13 [19] kitab dengan isi KHI tentang wasiat dan hibah. Terdapat persamaan-persamaan, namun di samping terdapat persamaan terdapat pula hal-hal perbedaan. Di antaranya dalam bab V tentang wasiat  pasal 194 ayat 1 berbunyi:  orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
Pada pasal 194 ayat 1 di atas terdapat kata orang yang telah beumur sekurang-kurangnya 21 tahun. Sedangkan dalam Fiqh syarat bagi yang berwasiat adalah bâligh. Menurut madzhab Syafi’i, bâligh itu usia 15 tahun atau sudah keluar seperma. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa dalam KHI ketentuan usia tertulis 21 tahun ?
Berikutnya masih bab V pasal 195 berbunyi:  wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui  oleh semua ahli waris. Sedangkan dalam sabda Rasulullah Saw. ditegaskan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ نَجْدَةَ ، حَدَّثَنَا ابْنُ عَيَّاشٍ ، عَنْ شُرَحْبِيلَ بْنِ مُسْلِمٍ ، سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ : " إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ  .  رواه ابوداودالترمذي ابن ماجه النساء احمد

Abdul Wahab bin Najdah telah memberitakan hadits pada kami, Ibnu Abbasy telah memberitakan hadits pada kami, dari Syurahbil bin Muslim, aku telah mendengar Abu Amamah, aku telah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memberi hak tiap-tiap ahli waris, maka dengan pemberian itu tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli waris”.[20] Hadits Riwayat Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah, Nasa’i dan Ahmad.

Selanjutnya dalam bab VI tentang hibah pasal 210 ayat 1 berbunyi: Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
Pada bab, pasal dan ayat di atas tentang hibah dismping terdapat ketentuan usia 21 tahun juga terdapat batasan menghibahkan harta tidak lebih dari 1/3. Ketentuan sepertiga tentang hibah dalam beberapa kitab Fiqh tentang hibah tidak ditemukan. Akan tetapi ketentuan 1/3 itu yang ada adalah wasiat.
Pada bab VI  bab VI pasal 211 berbunyi: Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Kalimat di atas meberikan pengertian tidak jelas antara warisan dengan hibah. Warisan didapatkan ahli waris dari pewaris setelah pewaris meninggal dunia. Sedangkan hibah bisa didapatkan ahli waris ketika pewaris masih hidup. Dalam pasal ini perlu adanya penjelasan tentang perhitungan hibah. Apakah semua pemberian dari orang tua pada anaknya dari sejak lahir hingga dewasa itu dapat diperhitungkan sebagai hibah ? atau hibah itu semata-mata pemberian dari orang tua pada anaknya sebatas ucapan (shighât) orang tua pada ahli waris baik lisan maupun tulisan ? pada pasal ini belum ada penjelasan pasti, sehingga kalau tidak ada penjelasan akan muncul berbagai penafsiran yang bermacam-macam. Sehingga pada akhirnya akan muncul penafsiran sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Memperhatikan beberapa problem di atas berkenaan dengan pasal-pasal dalam KHI tentang wasiat dan hibah. Dimungkinkan bahwa KHI tentang wasiat dan hibah merupakan transformasi dari Fiqh. Akan tetapi masih terdapat beberapa pasal dan ayat yang tidak sinkron dengan Fiqh.
Mengingat dalam pembentukan perundang-undangan hukum di Indonesia ada kemungkian dipengaruhi oleh beberapa hukum yaitu Hukum Islam, Hukum Perdata (BW) dan Hukum Adat. Bangsa Indonesia termasuk masyarakat majemuk yang dalam cara pengambilan sumber hukumnya beraneka ragam. Hal ini terjadi sudah berlangsung berabad-abad. Warisan hukum Islam yang dibawa para ulama Islam ke Indonesia, warisan hukum adat dari nenek moyang bangsa Indonesia dan warisan hukum BW yang dibawa penjajah Belanda. Sehingga pembentukan hukum di Indonesia tidak dapat diklaim murni dari salah satu sumber hukum saja.[21]


[1] Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam (Pokok-pokok Fikiran Tentang Islam dan Ummatnya), (Jakarta: CV Rajawali, 1986), Edisi ke-2, cet. Ke-1, h. 253-254. Pendapat ini dikemukakan oleh H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Sayed  Ali bin Thahir al-Hadad, H.M. Zainuddin,  Hamka, Djuned Parinduri, T.W. Arnold. Dan  menurut Hamka  Islam dibawa oleh saudagar bangsa Arab (Mekah), dan menurut P.A. Hoesein Djajadiningrat, Islam dibawa bangsa Persia. Menurut Moens: Islam disebarkan oleh saudagar muslim dari Persia, Husein Nainar; Islam dibawa oleh saudagar dari India.
[2] Ibid.  Sedangkan pendapat ini dikemukakan oleh N.H. Krom dan Van Den Berg, bangsa yang membawanya menurut Snouck Hurgronje, H. Kramer dan Van Den Berg adalah bangsa Gujarat dari India, dan menurut Sayid Alwi dan Van Den Berg Islam disebarkan oleh para mubaligh Muslim.
[3] Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Mujamma’ Al-Malik Fahd  li Thiba’at al-Mushaf Asy-Syarif Medina Munawwarah P.O. Box 6262, Kerajaan  Saudi Arabia, t.t.)  h. 50.
[4] Ibid. h. 167.
[5] Ibid. h. 167.
[6] Ibid. h. 167-168.
[7] Juhaya S. Praja, Teori-teori Hukum (Suatu Telaah Dengan Pendekatan Filsafat) (Bandung: Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, 2009), h. 108. Teori Receptio in complexu dikemukakan oleh Gibb yang mendapat dukungan dari Lodewijek Willem Cristian Van Den Berg (1845-1927), menurut teori ini: Bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk Islam walaupun dalam pelaksanaannya masih terdapat penyimpangan-penyimpangan.
[8] Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2001), cet. ke-1, h. 12.
[9] SKB merupakan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Dan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 07/KMA/1985 nomor 25 tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi Ketua Mahkamah Agung Dan Menteri Agama Republik Indonesia. 
[10] Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2011), Edisi ke-2, cet. ke-1, h. 53.
[11] Ibid., h. 60.
[12]Ibid., h. 60. Dikutif dari Ismail Suny, Kompilasi Hukum Islam Ditinjau dari Sudut Pertumbuhan Teori Hukum di Indonesia, (dalam Harian Pelita edisi 5 Agustus 1991).
[13] Ibid. h. 60-61.
[14] Ibid. h. 61.
[15] Humaniora Utama Press, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Humaniora Utama Press, t.t.), h. 97-98
[16] Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani, 2002), cet. ke-2, h. 24.
[17] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian Dictionary,) (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), cet. ke-26, h. 601.
[18] Ibid. h. 97.
[19] Dirjen Bimbaga Islam, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agam Islam Departemen Agama, 1993/ 1994), h. 129-130. Tiga belas kitab itu diantaranya adalah Al-Bajuriy, Fath al-Mu’in, Syarqawy ‘alâ al-Tahrîr, Qalyubi Mahaly, Fath al-Wahab dan Syarahnya,, Tuhfah, Targhîb al-Musytaq, Qawân Sayyid bin Yahya, Qawânin asy-Syar’iyat li al-Sayyid Sadaqah Dahlan, Syamsury fî al-Farâid, Bugiyat al-Musytarsyidîn, Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, Mughni al-Muhtaj.  
[20] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats  al-Sijtany, Sunan Abî Dâwud,  (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/ 1994 M), juz ke-2, h. 5. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Turmudzi, Ibnu Majah. Dan dari jalur riwayat yang lain Ahmad dan Nasa’i meriwayatkan dari jalur ‘Amr bin Kharijah. Dalam Maktabat al-Syamîlat hadits nomor 2872 dan dalam Jawâmi’ al-Kalîm hadits nomor 2870/ 2490.
[21] Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Persfektif, Adat, dan BW, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), cet. ke-2, h. 7-9. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...