Senin, 02 Februari 2015

Fiqh Sunda

Fiqh Sunda: Dari Membakar Kemenyan Hingga Haramnya Riba
Oleh: Dr. Abdurrahman MBP, SHI., MEI

A.  Pendahuluan
Islam masuk ke Tatar Sunda (Jawa Barat) dalam keadaan masyarakatnya telah memiliki kepercayaan yang diwarisi secara turun-temurun dari para karuhun (salaf). Kepercayaan ini menjadi pedoman moral dan pemandu dalam setiap gerak-langkah (laku-lampah) urang Sunda. Warisan kepercayaan masyarakat Sunda berakar dari kepercayaan lokal di wilayah ini yang apabila diruntut merupakan akulturasi dengan kepercayaan yang datang kemudian. Merujuk pada pendapat Edi S. Ekadjati bahwa agama asli Sunda adalah Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Kepercayaan ini masih eksis dianut oleh komunitas Baduy di Kanekes, Lebak Propinsi Banten.[1]
Kepercayaan Sunda Wiwitan meyakini Batara Tunggal sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Ia adalah pencipta alam semesta dan pengaturnya, semua kekuatan tunduk kepadanya. Ia memiliki sebutan sesuai dengan fungsinya; Batara Jagat (Penguasa Alam), Batara Seda Niskala (Yang Gaib), Nu Kawasa (Yang Berkuasa) dan Sang Hyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Batara Tunggal sebagai Tuhan bersemayam di Buana Panca Luhur (dunia atas) atau Buana Nyungcung sebagai tempat paling tinggi (suci) dalam kepercayaan Sunda Wiwitan. Selain sebagai Tuhan Batara Tunggal juga sebagai manusia yang diyakini turun ke bumi menurunkan para Batara yang menjadi nenek moyang puun sebagai tokoh spiritual tertinggi Baduy.[2]
Kepercayaan Sunda Wiwitan menghasilkan berbagai aturan adat sebagai pedoman bagi masyarakatnya. Aturan adat dalam bentuk larangan menjelma dalam bentuk pamali (makruh li tahrim) yaitu sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Selain itu muncul pula istilah musytari sebagai istilah waktu yang baik untuk melakukan sesuatu (barakah). Haji Hasan Mustapa mencatat berbagai adat yang ada pada masyarakat Sunda semisal; adat kehamilan, khitanan, nikahan, kematian, waktu yang dimuliakan serta berbagai adat harian, bulanan dan tahunan lainnya.[3] Semua adat tersebut dilaksanakan, diwariskan dan mumule (muhafadzah) oleh masyarakat Sunda sebagai warisan (heritage) yang tak ternilai. 
Kehadiran Islam dengan sistem hukumnya (baca fiqh) di Tatar Sunda berdialog dengan adat-istiadat Sunda, hingga menghasilkan satu sistem hukum yang memiliki karakteristik Islam dengan bingkai Sunda atau Sunda berbingkai Islam. Sebagai contoh, tradisi ziarah yang telah mengakar pada masyarakat Sunda bertemu dengan tradisi ziarah Islam. Kesenian Sunda yang bertemu dengan tsaqafah Islam hingga memunculkan seni Islam dengan cita rasa Sunda atau sebaliknya seni Sunda dengan substansi nilai-nilai Islam.
Menjadi materi diskusi menarik ketika kemudian saya memunculkan istilah Fiqh Sunda. Terdengar kontroversial karena menjadi istilah baru yang belum familiar. Selama ini yang muncul dalam pikiran kita fiqh adalah aturan dalam Islam yang sudah baku dan tidak bisa dirubah. Pemikiran ini memunculkan keyakinan tidak adanya perubahan dalam fiqh, hingga muncul berbagai perbedaan di masyarakat yang berkaitan dengan fiqh. Tidak jarang kita dengar masyarakat berbeda pendapat tentang qunut shubuh, shalat qabla jum’at, rakaat shalat tarawih, adzan dua kali dan lain sebagainya. Pada komunitas Sunda terdapat berbagai adat-istiadat dan ritual yang terkesan tidak ada kaitan dengan Islam atau berseberangan dengan nilai-nilai Islam.
Merujuk pada lahirnya fiqh, maka ia berkaitan erat dengan interaksi dan fakta kehidupan yang ada di masyarakat sekitarnya. Ulama sebagai perumus mengadaptasikan antara teks yang tersurat maupun tersirat dalam dalil dengan kontekstual yang ada di masyarakat. Sehingga melahirkan beraneka ragam Fiqh sebagai bentuk pemikiran ulama. Keanekaragaman Fiqh sebagai buah pemikiran para ulama. Terkadang dinisbahkan pada nama ualma pemikirnya. Seperti Fiqh Abu Hanifah (w. 150H), Fiqh Malik bin Anas (w. 179H), Fiqh Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H.) dan Fiqh Ahmad bin Hanbal (241H). Terkadang pula dinisbahkan pada tempat wilayah kemunculannya, seperti Fiqh Irak, Fiqh Madinah, Fiqh Syam dan Fiqh Maghrib. Serta keahlian disiplin ilmu, seperti Fiqh ahl al-ra’yi dan Fiqh ahli al-hadîts.[4]
Berdasarkan hal tersebut maka Fiqh Sunda adalah pemikiran-pemikiran fiqh yang bersumber dari nilai-nilai yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan realitas yang ada pada masyarakat Sunda. Sebagai sebuah gagasan tentu ia bisa dikritik dan disalahkan, namun sebagai teori maka jika ia berdiri di atas pondasi keilmuan kokoh dan tidak bertentangan dengan nila-nilai fundamen sumber-sumber hukum Islam, maka ia sangat menantang untuk dijadikan bahan diskusi. Apalagi masyarakat Sunda saat berada pada era transformasi, di mana nilai-nilai keislam semakin mengalami kebangkitan namun mereka juga tidak mau melepaskan budaya Sundanya.
Para inohong Sunda sejak awal telah merumuskan bagaimana korelasi antara agama dan adat Sunda. Sebagian mereka berteori “Tatali Kumawula, Agama sareng Darigama” sehingga tidak ada alasan menganggap bahwa budaya Sunda berseberangan dengan nilai-nilai Islam, sebaliknya Islam memberi ruang bagi adat-istiadat Sunda.


[1] Misno, Bulan Bintang di Bumi Parahyangan, Yogyakarta: Deepublish, 2015.
[2]  Jacobs, Julius. 2012, De Badoej’s, terj. Judistira K. Garna, Orang Baduy dari Banten. Bandung: Primaco Akademika dan Judistira Garna Foundation. Hlm. 18.
[3] H. Hasan mustapa, Adat Istiadat Sunda, Bandung: Penerbit Alumni, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...