Kamis, 09 Juli 2015

Baduy dan Perbankan Syariah

Persepsi Komunitas Baduy terhadap Perbankan Syariah
Studi Kasus di Kampung Kaduketug, Desa Kenekes Kec. Leuwidamar, Kab. Lebak, Provinsi  Banten
Oleh: Abdurrahman MBP

A.      Latar Belakang Masalah

Perkembangan perbankan syariah hingga saat ini masih kurang menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan, baik jaringan maupun volume usaha, dibandingkan dengan pertumbuhan bank konvensional. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah bank syariah yang masih sedikit khususnya di daerah-daerah terpencil Indonesia.
Pendirian bank syariah, merupakan suatu indikasi akan kemudharatan system bunga atau riba. Hal ini ditegaskan dengan lahirnya fatwa MUI (16-12-2003) tentang haramnnya berbagai bunga yang dikukuhkan Januari 2004. Keluarnya beberapa fatwa MUI tentang ekonomi syariah, lebih mengukuhkan eksistensi perbankan syariah di tengah prosesi pertumbuhan kegiatan usaha perbankan syariah di semua nusantara. Eksistensi perbankan sebagai layanan jasa keuangan berbasis pada kepercayaan nasabah.
Bank syariah mulai eksis setelah undang-undang No 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan mengakui keberadaan bank konvensional dan bank syariah secara berdampingan ( dual banking sistem ). Berdasarkan undang-undang tersebut bank dapat beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang memungkinkan kegiatan bank syariah menjadi lebih leluasa atau luas. Eksistensi bank syariah bahkan semakin di perkuat dengan adanya undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 3 tahun 2004 ( UU BI ). Penetapan Undang-undang ini memungkinkan diterapkannya kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Dalam menjalankan aktivitas bank, Bank syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Prinsip keadilan.
Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara bank dengan nasabah.
2. Prinsip kesederajatan.
Bank syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, resiko dan keuntungan yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana maupun bank.
3. Prinsip ketentraman
Produk-produk bank syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah muamalah Islam, antara lain tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta. Dengan demikian, nasabah akan merasakan ketentraman lahir dan bathin Pelaksanaan prinsip-prinsip diataslah yang merupakan pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional, sebagaimana telah ditulis Dixon (1992) : .....the basic difference between islamic and western banks is that the former operate on an aquity-based system in which a predetermined rate of return is not guaranteed, whilst in the latter case the system is based on enterest financing. This fundamental difference stems from the sharia’s prohibition of riba ( usury or interest ) and gharar (uncertainty, risk or speculation)”.
Konsep riba tersebut sebenarnya telah lama dikenal dan telah mengalami perkembangan makna. Visser ( 1998 ), misalnya mengungkapkan perkembangan pengertian riba tersebut. “ the concept of ‘usury’ has a long historical life, throughout most of charging financial interest in excess of the principal a mount of a loan, although in some instances, and more especially in more recent times, it has been interpreted as interest above the legal or socially acceptable rate”
Pemungutan riba dengan jelas dan tegas telah diharamkan Allah, sebagaimana termaktub dalam Al-qur’an surah 2 : 278- 279 : “ Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba ( yang belum di pungut ) jika kamu orang-orang yang beriman, maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat ( dari pengambilan riba ) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
Pelarangan riba ini tentunya terkait dengan keburukan-keburukan praktik riba. Yusuf al-Qardawi mengemukakan setidaknya ada empat alasan pelarangan riba, yakni:
1.    Taking interest implies taking another person’s property without giving him anything in exchange. The lender receives something for nothing.
2.    Dependence on interest discourages people from working to earn money. Money lent at interest will not be used in industry, trade or commerce, all of which need capital, thus depriving society of benefits.
3.    Permitting the taking of interest discourages people from doing good. If interest is prohibited, people will lend to each other with goodwill expecting nothing more back than they have loaned.
4.    The lender is likely to be wealthy and the borrower poor. The poor will be exploited by the wealthy through the charging of interest on loans. (Journal Ali Mutasowifin. 2003 ).
Kenyataan ini harus diakui merupakan ironi, mengingat masyarakat Lebak mayoritas beragama Islam, tetapi belum menunjukkan persepsi yang baik terhadap perbankan syariah. Kehadiran bank syariah, ternyata belum mampu mengalihkan secara signifikan persepsi nasabah bank konvensional ke bank syariah. Permasalahan tersebut diidentifikasi dalam cetak biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia Bank Indonesia (2002) sebagai hal-hal penting yang harus diperhatikan, dalam upaya mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah. Hal-hal penting tersebut adalah :
1. Kerangka dan perangkat pengaturan perbankan syariah belum lengkap.
2. Cakupan pasar yang masih terbatas
3. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai produk dan jasa perbankan syariah
4. Institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif
5. Efisiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal
6. Porsi skim pembiayaan bagi hasil dalam transaksi perbankan syariah yang masih perlu ditingkatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...