Oleh: Misno Mohamad Djahri
Memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, walaupun masih berada di
bawah bayang-bayang Covid-19 namun umat Islam semakin meningkatkan amal
ibadahnya. Sepuluh hari terakhir Ramadhan sebagai hari-hari yang penuh dengan
kemuliaan dimaknai sangat mendalam oleh umat Islam sejak masa kenabian. Adanya malam
yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu malam Lailatul Qadar adalah motivasi
terbesar umat Islam untuk mengisi hari-hari ini dengan amal ibadah khususnya
membaca Al-Qur’an, shalat taraweh, berdzikir dan amalan lainnya.
Bagaimana jika ternyata memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan ini
justru semangat kita semakin melemah? Maka jawabannya adalah karena hidayah itu
mahal harganya. Hidayah untuk mendapatkan keutamaan (fadhilah) lailatul qadar
itu mahal, sehingga tidak semua orang bisa mendapatkannya. Hanya mereka yang
bersungguh-sungguh bahkan bisa jadi sejak awal Ramadhan yang akan mendapatkan
malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Hidayah itu mahal harganya, hingga sebagian orang mengatakan “Saya belum
dapat hidayah”. Padahal hidayah itu bukan hanya diberikan begitu saja tanpa
adanya sebab-akibat, walaupun ada juga jika Allah berkehendak maka kun fa
yakun. Namun secara umum bahwa hidayah itu adalah hasil dari jerih payah
manusia dalam mendapatkannya. Perlu berbagai perjuangan bahkan terkadang harus
bersimbah darah dan air mata untuk mendapatkannya. Maka berusaha untuk
mendapatkan hidayah adalah sebuah keniscayaan, bukan hanya tinggal diam dan
menunggunnya datang.
Perjuangan untuk mendapatkan hidayah masing-masing orang berbeda, ada
yang melalui bacaan, tontonan, teman atau dari media sosial. Masa lalu yang
kelam juga seringkali menjadi sebab seseorang untuk kembali ke jalan yang
benar. Banyak dari para pengguna narkoba yang kemudian sadar dan kembali ke
jalan yang benar karena hidayah padanya. Banyak juga para artis yang kemudian
memakai hijab dan menapaki jalan hidayah. Tentu saja ada tahapan yang mereka
lalui dalam meraih indahnya hidayah tersebut.
Bertambahnya usia dan kematangan dalam berfikir juga menjadikan manusia merenung
tentang hakikat dari kehidupan. Bisa jadi ketika muda dia memuaskan segala
keinginannya, ia turuti semua hawa nafsu dunianya. Ketika usia semakin
bertambah dan raga tidak lagi sekuat ketika muda maka perlahan ia sadar bahwa
jalan yang benar dengan berusaha menggapai hidayah harus segera ia lakukan. Ketika
usia semakin bertambah bukan lagi hawa nafsu yang dikedepankan, bukanlah
kenikmatan sementara yang diinginkan tapi ketenangan dan persiapan menuju
negeri keabadian itulah yang selayaknya dilakukan.
Ketika hidayah sudah menyapa, apakah kita kemudian terpedaya tanpa ada
usaha untuk menjaganya? Justru di sinilah mahalnya hidayah. Menjaga dan
memeliharanya bisa jadi lebih berat dari mendapatkannya. Berusaha istiqamah dan
berada di jalan hidayah itulah sejatinya perjuangan yang sebenarnya. Karena menjaga
itu lebih sulit dari mendapatkannya. Mahalnya hidayah teruji dengan bagaimana
seseorang itu bisa menjaganya, memeliharanya dan menjadikan ianya selalu
menghiasi hari-hari harinya. Maka benarlah sabda rasul yang mulia agar kita
sentiasa membaca doa “Ya Muqallibal quluub tsabbit qalby ‘ala diinika, Ya
Musharifal quluub sharrif qolby ‘ala tha’atika” artinya “Wahai Dzat yang
membolak-balikan hati tetapkan hatiku atas agamaMu”.
Semoga di sepuluh akhir Ramadhan 1441 H, hidayah ini selalu tetap dalam
diri kita, agar malam yang lebih baik dari seribu bulan bisa kita dapatkan. Jika
kita merasa ia belum hadir dalam jiwa berusahalah untuk bisa menghadirkannya
sebelum Ramadhan berakhir, sebelum kemuliaan ini berlalu tanpa kita
mendapatkannya. Bogor, 14 Mei 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...