Oleh: Abdurrahman M
ياأيها الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم وشفاء لما
في الصدور وهدى ورحمة للمؤمنين(57)
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Yunus 57
وننزل من القرءان ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين ولا
يزيد الظالمين إلا خسارا(82)
Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang
menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu
tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. Al-Isro’ 82
“Orang Miskin Dilarang Sakit“ sebuah judul buku
yang membuat saya tersenyum sendiri, buku itu saya dapati sewaktu mengunjungi
sebuah toko buku di kota Bogor, cukup menggelitik, sebuah pesan yang tersirat
bahwa berobat itu sangat mahal dan tidak akan terjangkau oleh kaum miskin.
Sakit adalah bagian dari qadarullah yang tidak
bisa untuk ditolak, dia tidak memandang kaya atau miskin, tua atau muda, gagah
atau jelek semua pernah mengalami apa yang namanya sakit.
Sebagai seorang Muslim sebenarnya bagaimana
kita mensikapi yang namanya sakit? dan bagaimana pula dengan hukum berobat
dalam Islam?
Gaya hidup masyarakat kita yang serba instant
ternyata membawa pada sebuah sikap ingin serba cepat, termasuk ketika mereka
menghadapi sakit. Sebuah fenomena yang biasa ketika seseorang sakit kepala tentu yang pertama
kali dicari adalah obat sakit kepala, atau mungkin ketika di antara anak kita
sakit panas tentu kepanikan segera menyergap dan jalan keluarnya adalah
memberikan obat turun panas.
Tahukah anda bahwa obat-obatan kimiawi yang ada
di sekitar kita pada hakikatnya adalah bakteri yang dimasukkan ke dalam tubuh?
Allah ta’ala telah memberikan kepada tubuh kita
zat ANTI SAKIT yang disebut ENDORLIN,
maka ketika tubuh kita telah terbiasa dengan zat anti sakit yang berasal dari
luar maka zat alami endorlin tersebut tidak akan lagi memproduksi zat anti
sakit sehingga yang mendominasi anti sakit pada tubuh kita adalah zat-zat asing
yang berasal dari luar tubuh. Hal ini akan bertambah parah ketika zat tersebut
tidak mampu lagi menahan rasa sakit, akibat fatalnya adalah ketergantungan obat.
Pada dasarnya Hukm At-Tadawy (berobat) dalam
Islam adalah mubah sebagai mana sabda Nabi :
يا عباد الله تدواو
“Wahai hamba-hamba Allah berobatlah kalian…..“
HR
Namun ketika pengobatan itu hanya bersifat
spekulasi maka hal ini perlu kita tinjau ulang kembali. Semua dokter sepakat
bahwa diagnosa yang dilakukannya hanya bersifat praduga dan tidak seratus
persen benar, demikian juga ketika dokter memberikan obat-obatan kimiawi, tentu
hal itu hanya persangkaan saja darinya.
Padahal kita tahu bahwa dokter adalah manusia
biasa yang tidak bisa terlepas dari kesalahan. Berita terakhir tentang mala
praktek adalah salah satu bukti bahwa pengobatan dari seorang dokter bisa jadi
salah yang terkadang berakhir dengan kematian.
Lalu, bagaimana sebenarnya seorang Muslim harus
bersikap dengan sakit dan pengobatannya? Anda tentu akan mengatakan bahwa
Rasulullah adalah sebaik-baik contoh bagi manusia
:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ
اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. QS Al-Ahzab :
21.
Semua yang datang dan diucapkan oleh beliau
adalah wahyu :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى(3)إِنْ هُوَ إِلَّا
وَحْيٌ يُوحَى(4)
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya). QS An-Najm : 4.
Bukankah beliau telah memberikan contoh terbaik
bagaimana cara menyembuhkan suatu penyakit? beliau pernah mengalami sakit
kepala (HR Abu Nua’im), kemudian beliau juga pernah sakit panas dan juga sakit
yang lainnya.
Beliau memberikan begitu lengkap tuntunan
bagaimana seseorang itu bersikap terhadap sakit dan tata cara pengobatannya.
Mungkin sebagian anda akan mengatakan bahwa penyakit yang ada saat ini tidak
sama dengan penyakit yang ada pada zaman Nabi. Sehingga kalau kita kembali
dengan cara berobat seperti Nabi berarti kita telah mundur beberapa abad. Saya
katakan bahwa sebagai seorang muslim kita harus membuang jauh-jauh pikiran ini
karena tidak mungkin Allah dan Rasul-Nya akan menyesatkan manusia. Dan tentu
ketika kebenaran relative dari diagnosa dokter kita bandingkan dengan kebenaran
mutlak dari wahyu tidak mungkin bisa bersaing dalam arti bahwa kebenaran wahyu
tidak ada yang bisa membantahnya.
Karena itu merujuk kepada hukum berobat di atas
maka yang sangat diutamakan adalah berobat dengan cara Nabi berobat atau biasa
dikenal thib An-Nabawi.
Pengobatan cara Nabi adalah sebuah ramuan
kombinasi antara keimanan kepada qadar dengan khasiat dari bahan-bahan alamiah.
Ketika pengobatan dengan obat-obat hanya bersifat dzan (spekulasi) semata, maka
pengobatan cara Nabi dituntun oleh wahyu Ilahi yang kebenarannya pasti jika Dia
menghendaki.
Bersamaan dengan menjamurnya tempat-tempat
pengobatan alternatife, kenapa kita sebagai seorang muslim tidak kembali untuk
menggunakan cara pengobatan Nabi, dan ini bukanlah sebuah alternatife tapi
pengobatan yang utama. Hal ini tentu sebagai sebuah konsekwensi iman kepada
Nabi yaitu membenarkan semua yang datang darinya.
Ada beberapa macam pengobatan yang telah
dicontohkan oleh Nabi seperti berbekam, ruqyah, pengobatan dengan madu dan
bahan-bahan alamiyah yang didasarkan kepada wahyu. Semua bentuk pengobatan
tersebut seharusnyalah menjadi pengobatan utama bagi kita bukan lagi pengobatan
alternatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...