Oleh: Misno bin Mohamad Djahri
Kehidupan manusia penuh dengan
warna, terkadang suka cita menghampirnya, tidak jarang juga duka nestapa ada di
depan mata. Sementara jiwa manusia juga terkadang merasakan bahagia tiada tara,
namun tidak jarang juga hidup ini terasa hampa. Bagaimana kita menyikapinya?
Sebagian orang mencoba menutupi
hampanya jiwa dengan bersenang-senang dengan berbagai kenikmatan dunia, padahal
semua itu tidaklah menjadi jiwa tenang adanya. Bahkan akan cenderung semakin
hampa, karena justru menjadi racun bagi jiwa manusia. Sebagian lainnya mencoba
mendalami ilmu filsafat, dengan harapan fikirannya akan dipenuhi oleh kebijakan
hidup yang diharapkannya. Sebagian lagi menghiasi diri dengan dzikir-dzikir atau
menyendiri agar jiwa menjadi tenang dan tidak ada lagi hampa.
Faktanya, semua itu bukanlah
jawaban dan solusi yang tepat bagi kehidupan manusia. Karena sejatinya, ketika jiwa
dan hidup anda terasa hampa, maka ada sesuatu yang hilang dalam diri anda. Agama
dan kepercayaan pada Sang Pencipta adalah obat bagi hampanya hidup manusia,
karena ruang kosong dalam jiwa yang menjadi tempat bagi agama tidak terisi
dengan selayaknya. Keyakinan dan kepercayaan akan adanya Allah Ta’ala sebagian
Pencipta dan Sesembahan (Ilaah) adalah obat bagi hampanya jiwa.
Secara lebih spesifik lagi,
hampanya jiwa adalah karena jiwa terkadang tidak yakin dengan kuasa dari Allah
Ta’ala, tidak menerima qadha dan qadarNya hingga seringkali menyesali kuasa
Allah Ta’ala atasnya. Kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan, atau
kekhawatiran yang akhirnya menjadi kenyataan dan berbagai perasaan yang tidak
diserahkan sepenuhnya kepada kuasa Allah Ta’ala adalah sebab utama hampanya
jiwa. Demikian juga merasa diri paling sengsara di dunia, paling miskin di
dunia, paling penuh dengan cobaan hingga penuh dengan segala kekurangan. Padahal
Allah Ta’ala telah memberikan takdir yang terbaik bagi setiap manusia.
Allah Ta’ala tidak menginginkan
hambaNya menjadi yang paling sengsara, paling miskin di dunia, paling jelek
dibandingkan dengan lainnya. Tetapi Allah Ta’ala telah menciptakan manusia
sesuai dengan proporsinya, takdirNya dan semua itu adalah baik adanya. Bagaimana
jika ternyata sebabnya adalah orang lain yang ada di sekitar kita?
Jawabannya tidak jauh berbeda,
bahwa semua yang menimpa kita adalah menjadi takdirNya, sehingga apapun yang
terjadi itu sudah menjadi kuasaNya. Kita sebagai manusia tinggal menjalaninya,
baik yang dzalim akan mendapatkan balasan adzab di dunia dan di akhirat serta
bagi yang bersabar akan mendapatkan pahala yang besar di sisiNya. Inilah sejatinya
ciri dari orang muslim, sebagaimana sabda dari Nabi Muhamamd Shalallahu
alaihi wassalam:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ
أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ
سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ
خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan keadaan
seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali
pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik
baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” HR.
Muslim.
Merujuk pada hadits ini, maka kita
sebagai muslim mestinya tidak akan pernah merasa hampa karena ketika kenikmatan
dan suka cita ada pada kita maka bersyukur kepada Allah Ta’ala adalah sumber
pahala. Sedangkan apabila duka nestapa dan jiwa hampa maka bersabar dengannya
dan berusaha untuk semakin dekat kepadaNya dengan menyerahkan sepenuh jiwa dan
raga kepada Allah Ta’ala.
Sampai di sini, masihkan ada yang
merasa hidupnya hampa? Solusinya adalah dengan meningkatkan keimanan kepada
Allah Ta’ala, berdzikir dan berserah diri padaNya serta berusaha sekuat tenaga
untuk menyikapi segala yang ada sesuai dengan syariahNya. Wallahu a’lam,
06022023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...