Oleh: Misno bin Mohamad Djahri
“Lir..ilir.... Lir..ilir....Tandure wis sumilir
ta ijo royo-royo tak sambut pengantin anyar ......” potongan syair ini
mengawali datangnya Islam ke Indonesia. Sebelum itu yaitu pada abad VII wilayah
Nusantara menjadi pusat-pusat penyebaran agama Hindu dan Budha, dengan
dibangunnya Borobudur memperlihatkan eksistensi salah satu dari dua agama ini
begitu kokoh menancap dalam hati sanubari rakyat Indonesia waktu itu.
Namun siapa yang menyangka pada abad-abad
setelahnya dua agama itu perlahan tapi pasti ditinggalkan oleh para
penganutnya. Ada apakah gerangan? terlepas dari konflik antara kerajaan waktu
itu ternyata mentari Islam telah terbit
di ufuk bumi pertiwi ini. Dengan skenario-Nya geo religius (peta iman) telah
berubah, siapa yang menduga? dan siapa yang bisa menahannya?
Islam hadir ke Indonesia dengan damai dan
begitu bersahaja, itulah wajah Islam sebenarnya. Tidak ada tercatat dalam
sejarah bahwa Islam datang ke Indonesia dengan pedang atau kekuasaan.
Kembali ke sya’ir di atas setiap kali penulis
mendengarnya ada semacam getaran halus yang mengalir, rasa bangga haru dan
ghirah yang tinggi untuk meneruskan kehidupan Islam ini. Dengan segala
kemuliaannya Islam datang ke Indonesia tidak dengan penjajahan apalagi
pertumpahan darah, akulturasi budaya yang begitu memikat, sehingga ahli hukum
dari kalangan penjajah menganggap bahwa hukum adat kita adalah hukum Islam. Hal
ini lumrah karena Islam sangat menghormati budaya dan kultur masyarakat
setempat tentunya jika kultur tersebut tidak bertentangan dengan Islam.
Lalu apa yang dapat kita petik dari persitiwa
ini? begitu banyak tugas yang belum terselesaikan oleh para da’i sebagai
penyebar Islam di Nusantara ini, dengan mencoba menguak rahasia Ilahi kita
mempunyai tugas berat untuk terus menyebarkan risalah ini ke seluruh dunia.
Ketika para da’i datang ke Indonesa mereka menghadapi banyak penganut agama
lain, sehingga mereka berijtihad dengan metode dakwahnya, sehingga kita lihat
di antara mereka ada yang menggunakan wayang, sinom, macapat (keduanya sejenis
sya’ir) untuk memperlancar penyampaian da’wah mereka.
Lalu setelah kebanyakan rakyat memeluk Islam
apakah kita akan diam saja? tentu tidak, tugas kita bersama untuk menyampaikan
Islam ini, tashfiyah (penyaringan) terhadap paham-paham yang menyatu dalam
Islam harus kita terapkan, kita harus terus membina ummat agar selalu berislam
sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi. Dan ini adalah tugas kita, sambil
melaksanakan tugas mulia ini kta terus berdo’a agar Islam diterima di seluruh
dunia.
Dan ternyata pada awal abad ke-XXII geo
religius itupun berubah. Eropa yang dulu menjadi basis agama Masehi kini
perlahan mulai mempelajari Islam, cahaya-cahaya kekuningan fajar Islam mulai
tampak. Siapa yang menyangka bahwa Islam akan mendapat tempat di hati benua
putih itu? siapa juga yang bisa menghalanginya?
Geo religius tetaplah misterius tidak ada yang
bisa memprediksikannya, namun bukan itu yang kita fikirkan. Saat ini adalah
bagaiman tugas kita agar fajar Islam itu semakin merekah dan menampakan mentari
Islam baik di Eropa ataupun di belahan dunia lainnya. Amanah yang kita emban
ini adalah sebagai amalan kita yang akan menjadi bekal di Akhirat kelak.
Ketika di Indonesia Islam telah lama hadir maka
kewajiban bagi kita untuk terus memajukan pemikiran Islam, dengan tashfiyah dan
tarbiyah seara terus menerus diharapkan kita akan mampu melaksanakan amanah
ini. Amanah yang menjadi tugas semua ummat Islam. Dan kita semua menunggu hari
kemenangan bagi ummat Islam dan ini menjadi rahasia Allah ta'ala.
Geo religius akan terus berlangsung dan tidak
ada yang tahu ke mana arahnya. Kita sebagai manusia hanya melaksanakan tugas
kita sebagai makhluk-Nya yaitu beribadah kepadanya. Dan salah satu bentuk
ibadah tersebut adalah menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia serta
membersihkan Islam dari hal-hal yang menempel pada Islam yang tidak sesuai
dengan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...