Selasa, 24 Januari 2012

Sejarah dan Dasar Hukum Wakaf

Secara bahasa “wakaf” berasal dari bahasa Arab yaitu kata الوقف (al-waqfu) yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja وقف (waqafa). Kata kerja ini dalam bahasa Indonesia berarti lawan dari duduk yaitu berdiri. Jika dikatakan “waqfu al-syai’” maka artinya adalah “menahan sesuatu”. Kata الوقف (al-waqfu) bermakna juga الحبس من التصرف yaitu menahan dari menggunakannya. Kata الحبس (al-Habs) adalah bentuk masdar (infinitive noun) yang bermakna menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu.  Dalam Kamus Al-Munawwir disebutkan bahwa kata وقف berarti berhenti, berdiri dan mencegah. Sedangkan kata yang semakna adalah الحبس (al-Habs)  juga berarti pemenjaraan dan penahanan. Dengan demikian, pengertian wakaf secara bahasa memiliki dua kata yaitu الوقف (al-waqfu) dan الحبس (al-Habsu) di mana kedua kata tersebut memiliki makna yang sama yaitu berdiri, mencegah dan menahan sesuatu. 
Secara istilah wakaf bermakna penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya. Inilah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama. Madzhab Hanafiyah mengartikan wakaf dengan :
حبس العين على حكم ملك الواقف، والتصدق بالمنفعة على جهة الخير
Menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan.
Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat, wakaf adalah :
إعطاء منفعة شيء مدة وجوده لازماً بقاؤه في ملك معطيها ولو تقديراً
Menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif. 
Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja. Sementara ulama Madzhab Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan:
حبس مال يمكن الإنتفاع به، مع بقاء عينه، بقطع التصرف في رقبته على مصرف مباح موجود
Menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara terus-menerus. 
Pengertian berikutnya disebutkan oleh ulama dari madzhab Hanabilah, mereka  mendefinisikan bahwa wakaf adalah:
تحبيس الأصل وتسبيل المنفعة
Menahan asal harta dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.[1] 
Kamus Besar bahasa Indonesia mendefinisikan wakaf dengan “Tanah negara yg tidak dapat diserahkan kpd siapa pun dan digunakan untuk tujuan amal”, “Benda bergerak atau tidak bergerak yg disediakan untuk kepentingan umum (Islam) sbg pemberian yg ikhlas: tanah -- ini disediakan untuk madrasah atau masjid” dan “Hadiah atau pemberian yg bersifat suci”.[2]
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan “Perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.[3]
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah akad tabaru’ yaitu menahan pokok harta dan memberikan manfaat dari harta tersebut untuk kepentingan umat Islam. Wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan kemaslahatan umat Islam dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam.

1.      Dasar Hukum
Wakaf dalam Islam didasarkan pada sumber-sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ umat Islam. Di dalam Al-Qur’an wakaf masuk ke dalam infaq fi sabilillah, di antara ayat-ayat yang memeirntahkan hal ini adalah firman Allah ta’ala :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا۟ ٱلْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِـَٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغْمِضُوا۟ فِيهِ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” Q.S. al-Baqarah : 267
 لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍۢ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌۭ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai. Q.S. Ali Imran: 92.
 مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنۢبُلَةٍۢ مِّا۟ئَةُ حَبَّةٍۢ ۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Q.S. al-Baqarah: 261.
Ayat-ayat tersebut menunjukan tentang perintah untuk menginfakkan harta yang kita miliki dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala agar mendapatkan pahala dan kebaikan. Infaq sendiri dalam Islam berupa zakat, shadaqah, hibah dan wakaf.
Sumber hukum selanjutnya yaitu dari hadits Nabi, di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab  ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut,  Nabi menganjurkan  untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya. Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah;
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ , فَأَتَى اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا, فَقَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْه ُ قَالَ : إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا, وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ, ]غَيْرَ] أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا, وَلَا يُورَثُ , وَلَا يُوهَبُ , فَتَصَدَّقَ بِهَا فِي اَلْفُقَرَاءِ, وَفِي اَلْقُرْبَى, وَفِي اَلرِّقَابِ, وَفِي سَبِيلِ اَللَّهِ, وَابْنِ اَلسَّبِيلِ, وَالضَّيْفِ, لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ , وَيُطْعِمَ صَدِيقاً ) غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالًا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ, لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ, وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ )
Dari Ibnu umar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata “Umar bin Khattab memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata, “Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya?” maka Rasulullah bersabda “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah:  
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا مَاتَ اَلْإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالَحٍ يَدْعُو لَهُ )  رَوَاهُ مُسْلِم
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah bersabda “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,  dan anak soleh yang mendoakannya.”
Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang.
Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004


[1] Ibnu Qudamah Al-Maqdisy, Al-Mughni
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Kementerian Pendidikan Nasional
[3] Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...