Minggu, 08 Januari 2012

Sepotong Surga di Andalusia



Naskah asli buku "Sepotong Surga di Andalusia" karya Maria Rosa Menocal
Naskah asli buku "Sepotong Surga di Andalusia" karya Maria Rosa Menocal
Barangkali tidak ada yang lebih membanggakan bagi seorang Muslim, selain bercerita atau mendengar cerita tentang bagaimana agamanya yang lahir di tengah padang pasir, pernah membangun sebuah peradaban adiluhung. Peradaban Islam di abad pertengahan, membentang dari Pegunungan Pyrennes di Barat Laut Eropa sampai ke mata air Sungai Indus di Asia. Wilayah ini bahkan lebih luas daripada Imperium Romawi di puncak kejayaannya.
Namun, Sepotong Surga di Andalusia bukanlah buku yang mendeskripsikan detil-detil kemegahan peradaban Islam dengan panjang lebar. Buku yang ditulis seorang profesor bahasa Spanyol dan Portugis ini,  justru memilih untuk lebih banyak bercerita tentang interaksi antara masyarakat Muslim, Yahudi dan Kristen di salah satu pusat peradaban Islam ketika itu: Andalusia. Cerita ini dibangun dengan mengisahkan kehidupan, pandangan, dan kenangan tokoh-tokoh pilihan Yahudi, Muslim dan Kristen akan tingginya peradaban di Andalusia.
Pilihan ini bukanlah tanpa alasan. Dari paparan tentang interaksi tersebut, sang penulis membangun kesimpulan tentang penyebab bangkit, berkembang, runtuh, dan menjalarnya peradaban Islam di Andalusia. Kesimpulan yang, sepertinya, dapat dipakai untuk pusat-pusat peradaban Islam yang lain.
Setelah pengantar tentang permulaan dan penyebaran Islam sejak Rasulullah hingga kekhalifan Abbasiyah, buku ini memulai kisah Andalusia dengan cerita pelarian Abd Al-Rahman. Abd Al-Rahman adalah satu-satunya pangeran Dinasti Umayyah yang selamat dari pembantaian Dinasti Abbasiyah pada 750 M di Rusafa, villa peristirahatan Keluarga Umayyah di dekat Damaskus (ibukota Umayyah). Penguasa baru Abbasiyah kemudian memindahkan ibukota kekhalifahan Islam ke Baghdad.
Abd Al-Rahman sendiri meneruskan pelariannya ke barat, hingga ke Semenanjung Iberia. Tanah ini kelak disebut Al-Andalus oleh orang-orang Arab, Sefarad oleh orang Yahudi, dan Hispania oleh orang-orang Kristen. Abd Al-Rahman datang ke tanah itu ketika suku bangsa Visigoth, yang berhasil merobohkan kekuasaan Romawi di sana, baru saja diusir oleh ekspedisi-ekspedisi awal tentara Islam dari Afrika Utara (yang paling awal dipimpin Thariq bin Ziyad).
Abd Al-Rahman kemudian mulai membangun propinsi paling barat kekhalifahan Islam ini, menghidupkan kembali kebesaran Umayyah sambil tetap mengakui kedaulatan Abbasiyah. Beliau membangun ibukota Umayyah yang baru, Kordoba (Qurthubah) dengan istana Madinah Az-Zahrah, yang dapat disetarakan dengan istana Versailles di Paris. Setelah menjadi pesaing kegemilangan Abbasiyah di Baghdad selama l.k. 200 tahun, barulah pada 950 M, Abd Al-Rahman III memproklamirkan Kordoba sebagai pusat pemerintahan Islam yang baru, menyusul doyongnya Dinasti Abbasiyah akibat proklamasi yang sama oleh kaum Syiah Fatimiyah di Tunisia.
Dalam rentang waktu berikutnya, kekhalifahan Kordoba mulai mengalami kemunduran. Penyebabnya terutama bukan karena pertikaian dengan kerajaan-kerajaan Kristen di utara Pegunungan Pyrennes atau kerajaan-kerajaan Islam kecil dari Maroko di selatan, akan tetapi lebih karena perang saudara di dalam kekhalifahan sendiri.
Al-Mansur, wazir (perdana menteri) yang menjadi wali cucu Abd Al-Rahman III yang masih belia, bernafsu mencaplok kekuasaan. Khalifah keturunan Abd Al-Rahman akhirnya hanya menjadi boneka Keluarga Al-Mansur, dan jabatan wali menjadi penguasa sesungguhnya di Kordoba. Ketakutan Keluarga Al-Mansur akan rongrongan masyarakat Kordoba yang membenci tindakannya, mendorong mereka mengundang tentara muslim bangsa Barber dari Fez (Maroko). Bangsa ini asing dengan kehidupan masyarakat muslim Andalusia yang sangat toleran terhadap warga Yahudi  dan Kristen. Kecurigaan mereka kepada cara hidup Kaum Umayyah akhirnya berujung pada penghancur leburan istana Madinah Az-Zahrah pada tahun 1009 M. Kekhalifahan Kordoba sendiri berakhir secara resmi pada tahun 1031 M dengan terbunuhnya khalifah terakhir dalam sebuah kerusuhan massa.
Seperti apa kiranya interaksi masyarakat Muslim Kordoba dengan warga Kristen dan Yahudi, sehingga mengundang kecurigaan dan amarah demikian besar dari bangsa Barber yang notabene sama-sama Islam?
Kaum Dzimmi dan Harbi yang Ter”Arab”kan
Sebagaimana halnya Kaum Abbasiyah di Baghdad, Abd Al-Rahman dan khalifah-khalifah keturunannya di Kordoba sangat menghargai intelektualitas, terlepas dari keyakinan pemiliknya. Perdana Menteri Abd Al-Rahman III misalnya adalah Hasdai Ibn Shaprut, seorang Yahudi yang fasih berbahasa Arab, Latin, Ibrani dan Mozarabik (campuran Arab dan Spanyol). Hasdai inilah yang mengabarkan kegemilangan Kordoba sampai ke ujung utara Eropa, ke kekaisaran Romawi Suci di wilayah yang sekarang menjadi Jerman, bahkan terus ke Khazar (utara Asia).
Bahkan setelah runtuhnya kekhalifahan Kordoba, para cendekiawan dan pahlawan Yahudi-Kristen tetap memegang peran kunci di taifah-taifah (city states) muslim yang saling bersaing menghidupkan kembali kejayaan Kordoba di Andalusia. Bacalah kisah Samuel Ibn Nagrila, seorang Yahudi terpelajar dan pemimpin komunitas Yahudi yang mengomandani tentara Islam Granada (salah satu taifah yang bertahan paling lama) memerangi taifah-taifah di sekitarnya. Atau kisah Rodrigo Diaz, yang terkenal dengan gelar El-Cid (Al Sayyid), panglima Kristen taifah Saragosa, yang tidak saja melawan serangan kaum muslim Al-Murabit, akan tetapi juga serangan raja Alfonso dari Kerajaan Kastilia (tanah air Rodrigo sendiri).
Tokoh-tokoh Yahudi-Kristen ini memiliki satu persamaan yang mencerminkan pandangan masyarakat non Muslim di Andalusia waktu itu: penguasaan dan kekaguman akan bahasa Arab, berikut bentuk-bentuk keindahan yang dibawanya. Bahasa Arab jauh melampaui kemampuan bahasa-bahasa yang ada di Andalusia waktu itu (bahasa Ibrani, Kastilia, Latin, dll.) dalam mengungkapkan cinta dan romantika kehidupan sehari-hari.  Samuel Ibn Nagrilla bahkan terinspirasi untuk mengubah bahasa Ibrani yang semula hanya cocok untuk sembahyang Yahudi, menjadi mampu menjalin syair-syair cinta. Penjabaran penulis atas hubungan antar bahasa di Andalusia, lebih jauh dapat Anda baca langsung di buku ini.
Lebih jauh lagi, kaum Muslim telah menerjemahkan, mengomentari dan mengembangkan khazanah pemikiran bangsa Yunani-Romawi dalam bahasa Arab. Lautan pengetahuan yang demikian luas itu, mau tidak mau mendorong mereka yang ingin meneguknya untuk mempelajari bahasa Arab. Kefasihan dan kecintaan akan bahasa Arab bukan hanya dimiliki kaum Yahudi-Kristen yang hidup dalam kekuasaan kekhalifahan Kordoba. Raja-raja Kastilia, salah satu kerajaan Kristen yang memusuhi Kordoba, pun diketahui sangat fasih berbahasa Arab.  Di saat taifah-taifah di Andalusia satu per satu jatuh ke tangan Kastilia dan tentara Salib, proyek-proyek penerjemahan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Latin dimulai. Salah satu proyek terbesar yang dikepalai Kepala Pendeta Gereja Cluny dari Paris, Peter Yang Mulia, adalah penerjemahan Al-Qur’an.
Kekaguman akan bahasa Arab membawa kekaguman pada budaya dan cara hidup masyarakat Muslim Andalusia. Diceritakan bahwa bangsa Normandia Kristen yang menaklukkan Sisilia, salah satu pulau taifah Muslim, perlahan-lahan terarabkan. Bangsa Normandia yang kelak menaklukkan Kepulauan Inggris ini, menyanyi, menari, berpakaian dan makan masakan Arab.
Epilog
Bangsa Arab Muslim membawa bahasa, budaya, cara hidup, dan pengetahuan tinggi yang membawa kekaguman penduduk asli Semenanjung Iberia, atau Al-Andalus. Kekaguman ini menarik bukan hanya penduduk asli semenanjung tersebut, namun juga masyarakat Eropa di sebelah utara Al-Andalus, untuk ikut mengecapnya. Satu-satunya cara untuk mengecap peradaban tersebut adalah menguasai dan menggunakan bahasanya: bahasa Arab. Lebih lanjut, bahasa Arab menjadi sarana transfer peradaban tersebut ke dalam masyarakat Kristen Eropa, yang bersiap-siap bangkit menggantikan Peradaban Islam. Transfer peradaban ini dijalankan lewat penerjemahan kepustakaan Arab yang mengembangkan khazanah peradaban Yunani-Romawi.
Transfer peradaban tersebut hanya mungkin terjadi berkat toleransi bangsa Arab Muslim terhadap kaum Yahudi dan Kristen Spanyol di Andalusia. Kaum Muslimin mengizinkan mereka menduduki posisi-posisi penting, belajar dan berdialog bersama mengembangkan khazanah yang telah digali oleh Kaum Muslimin. Demikian kiranya yang ingin disampaikan oleh penulis buku ini.
Akan tetapi, ada satu hal yang perlu diingat ketika membaca buku. Buku ini tidak dimaksudkan untuk mengkaji pemikiran-pemikiran yang dihasilkan oleh cendekiawan Muslim, Kristen maupun Yahudi di Andalusia. Buku ini lebih bertujuan menceritakan  bagaimana pemikiran tersebut dapat hidup rukun, saling mengisi dan berkembang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...