Senin, 13 Februari 2012

‘Urf Adalah ...

Ole : Abdurrahman

Pengertian ‘Urf
Secara etimologi kata العرف (al-‘urf) berasal dari Fi’il (kata kerja) عرف (‘arafa) yang berarti mengetahui. Bentuk derivatif dari kata ini adalah al-ma’ruf  yang berarti segala sesuatu yang sesuai dengan adat (kepantasan).
Sedangkan secara terminology العرف (al-‘urf) adalah kebiasaan kebanyakan masyarakat, baik dalam perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara terus menerus dan diakui sebagai sesuatu yang baik di masyarakat. Al-Jurjani di dalam kamus al-Ta‘rifat, menyebutkan bahwa ‘Urf  adalah perbuatan atau kepercayaan yang dipegang teguh oleh sebagian besar anggota masyarakat dan mereka menerimanya sebagai suatu kebenaran. Al-Ghazali mendefinisikan adat atau ‘urf dengan sesuatu yang telah diakui oleh jiwa manusia yang dapat diterima oleh akal fikiran manusia serta dapat diterima oleh akal sehat dan seluruh masyarakat muslim yang tidak bertentangan dengan syara’. Ibnu Faris di dalam kamusnya menyatakan bahwa kata arafa dan arfun menunjukkan sesuatu yang berkesinambungan berhubungan satu dengan lainnya atau membawa ketenangan dan ketentraman. Dalam penggunaannya kalimat Urf lebih mencerminkan kepada kedua makna tersebut yaitu bersifat kontinyu dan berhubungan satu dengan lainnya. An-Nasafi (710 H) menyebutan bahwa Urf adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa yang akal menerimanya dan sesuai dengan tabiat yang masih bersih.
Dari beberapa definisi tersebut terkandung beberapa segi bahwa urf selalu sejalan dengan tabiat yang masih bersih sehingga jiwa merasa tenang yakni:
a.       Dalam prosesnya urf membutuhkan waktu sehingga menjadi kebiasaan yang tetap dan jiwa menjadi terbiasa dengan sesuatu tersebut.
b.      Dibenarkan oleh akal dan tidak bertentangan dengan ukuran-ukuran kebenaran dalam sebuah komunitas.
Jadi menetap dan diterimanya sesuatu tersebut karena seringnya dilakukan dan meluasnya dalam suatu komunitas. Ketika sesuatu yang menetap pada jiwa tersebut tidak memenuhi syarat-syarat di atas, misalnya terjadi hanya pada orang tertentu atau belum menjadi sesuatu yang familiar dalam prilaku atau akal tidak membenarkan seperti kebiasaan minum-minuman keras perilaku jahat dan seterusnya itu semuanya tidak termasuk urf.
Dalam definisi yang lain ditambahkan syarat kesesuaiannya dengan syariah seperti yang kemukakan oleh Ibnu Athiyah bahwa “Urf adalah segala sesuatu yang familiar pada jiwa manusia dan tidak bertentangan dengan syariah”. Definisi sejenis juga dikemukakan Ibnu Dhofar (565 H) bahwa Urf adalah sesuatu yang menurut akal dibenarkan dan ditetapkan oleh syariah.
Dalam dua definisi tersebut mengangkat syarat kesesuaian dengan syariah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Jika dilihat dari kronologisnya maka definisi ini merupakan definisi yang belum dikenal sebelumnya oleh karena itu muallif kitab Asar Al-Urf memberikan definisi yang lebih luas yaitu bahwa urf adalah sesuatu yang menetap pada jiwa manusia yang dibenarkan oleh akal sehat dan diterima oleh tabiat yang masih bersih dan bersifat turun-menurun yang tidak bertentangan dengan syariah.
Pada masa-masa selanjutnya ‘Urf  secara umum digunakan dengan makna tradisi, yang tentu saja meliputi tradisi baik (al-urf al-shahih) dan tradisi buruk (al-‘urf al-fasid). Dalam konteks ini, al-ma’ruf bermakna segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi yang baik. Arti “baik” disini adalah sesuai dengan tuntunan wahyu. Kalimat al-ammr bi al-ma’ruf berarti memerintahkan sesama manusia untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat, yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai wahyu.
Nilai-nilai yang pantas menurut suatu masyarakat merupakan manifestasi hati-hati nurani masyarakat tersebut dalam konteks kondisi lingkungan yang melingkupi masyarakat tersebut. Kondisi lingkungan yang berbeda pada masyarakat yang berbeda akan menyebabkan variasi pada nilai-nilai kepantasan yang dianut. Karena itu, tradisi pada suatu masyarakat bisa berbeda dengan tradisi pada masyarakat yang lain.
Sebagai sebuah contoh, apabila Al-Qur’an menyatakan “wa ‘asyiru hunna bi al-ma’ruf (…dan pergaulilah isteri-isteri kalian secara ma’ruf)” maka yang dimaksud adalah tuntutan kepada para suami untuk memperlakukan isteri-isteri mereka sesuai dengan nilai-nilai kepantasan yang berlaku dalam masyarakat, yang mana nilai-nilai itu bisa jadi berbeda dengan yang ada pada masyarakat lainnya. Namun perlu diingat bahwa nilai-nilai kepantasan itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...