Kamis, 17 April 2014

Persamaan Gender


Persamaan gender yang dihasung para penganut faham feminisme serta musuh-musuh islam telah berhasil meracuni pemikiran banyak kalangan, termasuk kaum muslimah. Padahal model persamaan yang mereka maksud dengan istilah emansipasi, sangat bertentangan dengan syari’at Islam. Secara fitrah, Allah memang telah melebihkan derajat kaum pria atas kaum wanita karena berbagai faktor. Dalam segi fisik serta sisi tertentu wanita memang berada dibawah kaum pria.
Namun hal ini bukanlah merupakan kezhaliman dan diskriminasi atas kaum wanita. Maha suci Allah, justru dengan syari’atNya, Allah telah mengangkat harkat dan derajat kaum wanita sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan.
Kelemahan akal dan agama pada wanita, antara makna dan hikmahnya. Pada bagian tertentu wanita memiliki kelemahan seperti dalam segi fisik, pengendalian emosi, daya pikir serta kemampuan untuk memimpin. Allah telah melebihkan kaum pria diatas kaum wanita. Tidak pernah tercatat dalam sejarah, Allah mengangkat seorang wanita menjadi Nabi dan Rasul. Allah juga telah menjelaskan bahwa salah satu karakter seorang wanita adalah lemah dalam berargumentasi dan kecenderungan gemar berhias dan bersolek.  Allah berfirman: “Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang dibesarkan dalam keadaan berhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran? (QS. Az-Zukhruf: 18).
Sehingga secara umum kaum pria memang lebih berakal dan lebih bisa berpikir panjang dibanding kaum wanita. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan makna kelemahan akal dan agama pada wanita. Dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesungguhnya beliau bersabda: “Wahai sekalian wanita bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar karena aku melihat mayoritas penghuni neraka adalah kalian.” Salah    
seorang wanita cerdik diantara mereka bertanya: “Wahai Rasulullah mengapakah kebanyakan dari kami menjadi mayoritas penghuni neraka?” Beliau menjawab: “(Karena) kalian sering melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami, dan tidaklah aku pernah melihat (seorang) diantara kalian para wanita yang lemah akal serta agamanya, lebih berakal dari (seorang laki-laki) yang berakal.” Wanita itu bertanya lagi: “Apakah maksud dari kurangnya akal dan agama?” Beliaupun menjawab: “Adapun kelemahan akal karena persaksian dua orang wanita sebanding dengan persaksian seorang pria. Inilah (tanda) kurangnya akal, serta kalian berdiam selama beberapa hari tidak melaksanakan shalat dan berbuka di (siang hari) Ramadhan. Inilah kurangnya agama?” (HR. Muslim dalam bagian kitab Al Iman, hadits no. 79).
Dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan sifat kurang pada akal dan agama wanita, bahwa kurangnya akal wanita terletak pada sisi kedhabitan (akurasi) persaksian mereka.  Bahwa persaksian wanita tidak diterima kecuali setelah dikuatkan dengan persaksian satu orang wanita lagi. Hal ini karena lemahnya daya ingat mereka ataupun terkadang mereka menambah keterangan dalam memberikan persaksian. Sedangkan kekurangan agama mereka, karena pada saat haidh dan nifas mereka terhalang untuk melaksanakan shalat dan puasa.
Berbeda dengan kaum pria yang bisa shalat dan puasa sepanjang tahun. Tentu tidaklah sama kondisi orang bisa melaksanakan shalat sepanjang tahun dan puasa Ramadhan sebulan penuh dengan orang tidak shalat selama sekian hari setiap bulannya serta terhalang shaum Ramadhan selama beberapa hari.

Adapun hikmah dibalik kekurangan wanita tersebut, Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah menuturkan, “... sifat kurang yang ada pada wanita ini bukanlah suatu dosa dan ia tidak disiksa karenanya. Ini merupakan kekurangan yang terjadi karena ketetapan Allah. Dia yang telah mensyari’atkan hal tersebut bagi wanita sebagai wujud kasih sayangNya dan untuk memberikan kemudahan bagi wanita. Karena jika wanita yang sedang haidh ataupun nifas (tetap diwajibkan untuk) berpuasa, hal itu tentu akan membahayakannya. Diantara bentuk rahmat Allah atas wanita yaitu Dia telah mensyari’atkan bagi wanita untuk meninggalkan puasa (pada waktu haidh). Adapun shalat, wanita dilarang untuk mengerjakannya karena pada saat haidh ia terhalang untuk bersuci.  Maka dengan rahmatNya, Dia mensyari’atkan bagi wanita untuk meninggalkan shalat. Demikian juga ketika nifas.  Dan Allah tidak mewajibkannya untuk mengqadha (mengganti) shalat yang ditinggalkan selama haidh dan nifas.
Orang-orang kafir Quraisy berkata, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir, ini (mengesakan Allah) tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan.” (QS. Shaad: 7).
Jika wanita harus mengqadha tentu hal itu sangat memberatkannya. Sebab aktivitas shalat berulang kali sebanyak lima kali dalam sehari semalam dan masa haidh berlangsung selama beberapa hari, kadang mencapai tujuh atau delapan hari sedangkan masa nifas dapat mencapai empat puluh hari. Meskipun demikian tidak berarti kelemahan dan kekurangan akal wanita mencakup semua sisi, juga agamanya lemah dari segala sisi. Dan tidak berarti bahwa kekurangan tersebut menjadikan wanita berada dibawah kaum pria pada seluruh segi, kemudian kaum pria lebih utama daripada wanita dalam segala sisi. (Fatawa Al Mar’ah, halaman 189).
Motivasi bagi wanita untuk berlomba dengan kaum pria dalam kebaikan.
Dalam syari’atNya Allah telah memberikan peluang yang sama besarnya kepada kaum wanita dengan pria untuk berlomba dalam beramal shalih. Allah berfirman: “Maka Rabb mereka memperkenankan do’a mereka (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal diantara kalian baik laki-laki ataupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah keturunan sebagian yang lain.” (QS. Ali Imran: 195).
Pada umumnya memang kaum pria lebih unggul dari kaum wanita. Namun bukan berarti kaum wanita tidak memiliki kesempatan untuk berlomba dengan mereka dalam urusan amal shalih. Betapa banyak wanita muslimah yang menjadi contoh dalam ilmu, amal shalih dan ketakwaan.
Seluruh kaum muslimin mengakui keutamaan Ummahatul Mukminin (istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), terutama Aisyah putri Abu bakr Ash Shiddiq. Sepeninggalan Nabi banyak para sahabat yang meriwayatkan hadits darinya serta bertanya kepadanya mengenai permasalahan agama.
Demikian juga para wanita pada generasi setelahnya seperti putri Al Hafizh Al ‘Iraqi, putri Imam Malik, putri Sa’id bin Musayyib (tabi’in besar) serta masih banyak lagi para wanita yang terabadikan dalam sejarah dikarenakan keteladanan mereka dalam ilmu dan amal shalih. Berkenaan dengan hal ini Syaikh bin Baaz berkata: “Memang benar secara umum kaum laki-laki lebih baik dari kaum perempuan karena beberapa faktor, sebagaimana telah Allah firmankan: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”  (QS. An Nisa’: 34).

Akan tetapi tidak menutup kemungkinan individu wanita tertentu mengungguli sebagian laki-laki. Betapa banyak wanita yang mampu melebihi laki-laki dalam akal, agama serta daya ingatnya.
Dan mungkin juga bagi wanita untuk memperbanyak amal shalih sehingga ia dapat melebihi kaum pria dalam masalah amal shalih, takwa kepada Allah serta kedudukan mulia di akhirat nanti.
Tidak sedikit dari kaum hawa yang menaruh perhatian lebih kepada masalah-masalah tertentu, kemudian ia mampu menghafal hingga melebihi kekuatan hafalan sebagian laki-laki. Lalu ia menjadi sumber rujukan dalam catatan sejarah Islam. Realita ini sangatlah jelas bagi mereka yang mau menelaah keadaan para wanita pada zaman Nabi dan generasi sesudah beliau.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kekurangan yang ada pada wanita tidak menghalangi kita untuk mengambil riwayat (hadits) darinya. Demikian juga dalam masalah persaksian, jika ia telah dikuatkan dengan persaksian seorang wanita lagi. Maka tidak selayaknya kaum laki-laki yang beriman kepada Allah mengolok kaum wanita sebagai makhluk yang kurang akal dan agamanya dalam seluruh segi. Bahkan wajib bagi kita untuk bersikap adil dalam menghukumi masalah ini dan memahami sabda Nabi tersebut dengan pemahaman yang baik dan benar. Wallahu a’lam.  (Fatawa Al Mar’ah, hal.189).
Tidak ada wanita yang sempurna kecuali Maryam dan Asiyah.   
Diantara para wanita hamba Allah, ada yang Allah lebihkan derajat mereka dari sekian hambaNya. Maryam putri Imran adalah salah satunya. Allah telah menyebutkan namanya berulang dalam Al Qur’an. Kemudian Asiyah istri Fir’aun yang Allah kisahkan tentang do’anya ketika mendapat siksaan dari suaminya sendiri dalam mempertahankan keimanannya kepada Allah. Firman Allah: “Dan Allah menjadikan istri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, “Wahai Pemiliharaku, bangunkanlah untuk ku sebuah rumah di sisiMu dalam surga dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim. Dan maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan kedalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat-kalimat Rabbnya dan adalah ia termasuk orang-orang yang taat.” (QS. At Tahrim: 11, 12). Kemudian sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempertegas keutamaan mereka berdua, disamping keutamaan ‘Aisyah. Dari Abu Musa Al ‘Asy’ari ia berkata, Rasulullah telah bersabda: “Banyak diantara kaum lelaki yang sempurna. Namun tidak ada diantara wanita yang sempurna kecuali Maryam putri Imran dan Asiyah istri Fir’aun. Adapun keutamaan Aisyah dari sekalian wanita yaitu seperti keutamaan tsarit dari sekalian makanan.” (HR. Al Bukhari, no. 3769). [diringkas dari Majalah As-Sunnah, edisi 09/Tahun VII/1424H/2003M].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...