Senin, 07 April 2014

Seri Disertasi: Data Buangan

Penyebarannya dimulai dari wilayah pesisir pantai (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara) kemudian memasuki wilayah pedalaman Nusantara.
Badri Yatim mencatat bahwa perkembangan Islam di Indonesia terbagi menjadi tiga fase yaitu: Fase pertama,  singgahnya pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan  Nusantara, sumbernya adalah berita luar negeri terutama Cina. Fase kedua, adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia sumbernya di samping berita-berita asing,  juga makam-makam Islam dan Fase ketiga, berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.[1]
Pola-pola penyebaran Islam dan intensitas interaksi mereka dengan Islam mempengaruhi corak keberagamaan masyarakat pada masing-masing wilayah. Komunitas yang lebih dulu menerima Islam akan memiliki corak keislaman yang dinamis dan mudah pula dipengaruhi oleh dinamika keislaman secara global. Sementara wilayah yang lebih lambat menerima Islam akan cenderung stagnan dan sulit menerima perubahan.

Fakta bahwa corak Islam di Nusantara menunjukan watak sinkretik tidak selalu dipandang negatif, hal tersebut justru menunjukan sifat dari kearifan lokal yang terbuka dengan budaya lainnya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai sebelumnya. Islam sendiri memiliki sifat adoptif terhadap system budaya lainnya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasarnya.
Sehingga dalam realitasnya tidak semua muslim Nusantara menyerap seluruh aspek hukum Islam secara kaafah. Hal ini tampak dari perbedaan kompetensi priestraad di Jawa dan luar Jawa pada masa-masa Kolonial hingga awal kemerdekaan.[2] Staatssblad Tahun 1882 No. 152 dan 153 yang mengatur tentang peradilan agama (priesterraad) masih mempunyai wewenang yang luas di pulau Jawa dan Madura, yaitu selain mengenai nikah, talak, rujuk, nafkah, dan yang berkaitan dengan perkawinan di antara orang Islam, juga mengenai penyelesaian warisan dan wakaf. Kemudian pada tahun 1937 dengan Staatssblad 1937 No. 116 dan 110, wewenang mengenai warisan dan wakaf dimasukkan ke dalam kekuasaan landraad.
Peradilan agama yang berada di luar Jawa dan Madura belum diatur dengan ordonansi, kecuali di sebagian Kalimantan Selatan dan Timur dimana berlaku peradilan kadi, diatur dengan Staatssblad 1937 No. 638 yaitu kerapatan Qadi. Setelah Indonesia merdeka, dengan peraturan pemerintah No. 45 tahun 1957 diluar Jawa dan Madura dan sebagian Kalimantan di atas berlaku peradilan agama yang disebut dengan Mahkamah Syariah.[3]
Pergumulan antara hukum Islam dan adat lokal di Indonesia telah menarik perhatian dari peneliti Belanda untuk melakukan kajian tentang hal ini, hingga memunculkan Teori Receptio In Complexu yaitu bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam di Indonesia adalah hukum Islam.[4]

Beberapa suku yang mendiami wilayah pulau Jawa bagian barat adalah suku Betawi, Sunda dan Banten. Ketiga suku ini sebenarnya memiliki nenek moyang yang sama yaitu suku Sunda. Namun karena perkembangan zaman akhirnya mereka menjadi suku tersendiri yang independen dengan adat dan budaya yang khas. Lebih lanjut ketiga suku tersebut terbagi-bagi menjadi beberapa komunitas yang mendiami wilayahnya masing-masing.
Apabila dilakukan pemetaan terhadap pola-pola masyarakat dalam menyerap hukum Islam maka didapati ada dua tipe masyarakat yaitu tipe pesisir di mana mereka lebih banyak menyerap hukum Islam sehingga hukum adat mereka sudah hampir tidak dikenal karena sudah menyatu dan digantikan oleh hukum Islam. Kedua, tipe pedalaman di mana mereka menyerap hukum Islam hanya pada beberapa bagian yang selaras dengan adat-istiadat mereka, sehingga hukum Islam hanya mewarnai adat mereka.
Tehnik pemetaan (mapping) adalah tehnik PRA untuk menggambarkan keadaan wilayah desa dan lingkungannya. Tehnik penelusuran wilayah (transek) adalah tehnik PRA untuk menggali informasi tentang kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan, melalui pengamatan langsung ke lapangan dengan cara berjalan menelusuri wilayah desa dan mengikuti lintasan tertentu yang disiapkan. Tehnik alur sejarah berupa kegiatan untuk mengungkap kembali sejarah masyarakat Baduy dengan cara memaparkan kejadian-kejadian penting yang terjadi di masa lampau. Tehnik wawancara semi terstruktur merupakan tehnik penggalian informasi berupa tanya jawab yang sistematis tentang pokok-pokok tertentu, bersifat semi terbuka tetapi pembicaraannya dibatasi oleh topik yang telah ditentukan. Data dan informasi tentang kondisi wilayah Baduy, sosial ekonomi, dan budaya masyarakat serta dinamika perubahannya termasuk pergeseran-pergeseran aturan adat dalam mengelola hutan dan lingkungannya, dianalisis melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif

Sampai sekarang terlihat pola kehidupan yang sangat berbeda dengan masyarakat luar pada umumnya. Masyarakat Baduy mulai melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk menjalani dan mempertahankan hidupnya. Ketentuan adat (pikukuh karuhun) yang semula berlaku untuk semua masyarakat Baduy mulai mengalami pergeseran, dengan munculnya komunitas Baduy Dalam dan Baduy Luar. Perubahan status masyarakat telah terjadi, awalnya semua masyarakat Baduy harus ikut mentaati pikukuh karuhun, sekarang ini Baduy Luar tugasnya ikut menjaga dan membantu bertahannya pikukuh karuhun orang Baduy Dalam. Ketentuan-ketentuan mutlak yang harus dilakukan oleh seluruh masyarakat Baduy adalah tata cara perladangan dan olah hasilnya, perlakukan terhadap lingkungan hutannya, dan pelaksanaan rukun-rukun sunda wiwitan. Untuk masyarakat Baduy Luar ada kelonggaran aturan adat, terutama yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup
Agar kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan rasa aman, dan dicintai  dapat ditingkatkan, diperlukan upaya dari Pemda untuk lebih memberikan pengakuan atas eksistensi KAT Baduy. Agen pembaharu supaya ditingkatkan kompetensinya agar mampu berinteraksi sosial lebih berkualitas dengan masyarakat Baduy Luar. Diperlukan pengembangan strategi agar perubahan terencana dapat dilakukan untuk lebih memenuhi kebutuhan keluarga komunitas adat Baduy Luar, yaitu dengan membentuk forum kelompok diskusi yang didukung oleh lembaga adat dan pemerintah daerah, dan dukungan agen pembaharu pada usaha dan pola produksi, dan membangkitkan motif atau dorongan untuk berubah.
Studi ini akan mengkaji mengenai unsur-unsur hukum Islam yang diserap oleh komunitas di Kampung Marunda Pulo, Kampung Naga dan Baduy. Selain itu akan dikaji pula mengenai proses penyerapan hukum Islam dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan hukum Islam tersebut.

Oleh karena itu, teori ini tidak mengaitkannya dengan tradisi dan budaya yang ada di masyarakat sehingga diperlukan teori lainnya untuk menjelaskan deskripsi dari penelitian ini.
Alur kerangka berfikir tersebut diharapkan bisa mengeksplorasi permasalahan penelitian dalam disertasi ini. Sehingga ia bisa dijadikan acuan dalam langakah-langkah penelitian tentang penyerapan hukum Islam di tiga lokasi penelitian.

Intensitas interaksi komunitas Kampung Marunda Pulo, Kampung Naga dan Baduy dengan hukum Islam sangat mempengaruhi penyerapan mereka terhadap hukum Islam.
Berdasarkan pengertian ini maka metode penelitian adalah kunci keberhasilan bagi sebuah penelitian. Sehingga ketepatan dalam memilih dan menggunakannya akan menentukan keberhasilan penelitian tersebut. Penggunaan metode penelitian adalah sebagai acuan bagi peneliti agar tujuan dari penelitian tersebut dapat tercapai dan bisa  dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Langkah-langkah tersebut dilakukan agar tujuan dari penelitian ini dapat tercapai sehingga dapat memberikan kontribusi positif bagi ilmu pengetahuan.
Melalui serangkaian aktivitas tersebut, data dalam penelitian yang telah dikumpulkan disederhanakan agar bisa dipahami, dianalisis dan diambil kesimpulannya. Tujuan dari analisis data adalah untuk menemukan kesimpulan dari sebuah permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Proses pemilihannya harus tepat dan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan sehingga hasil dari analisis ini akan bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.  
Sejumlah langkah analisis selama pengumpulan data menurut Miles dan Huberman adalah : Pertama, meringkaskan data kontak langsung dengan orang, kejadian dan situasi di lokasi penelitian. Pada langkah pertama ini termasuk pula memilih dan meringkas dokumen yang relevan. Kedua, pengkodean. Pengkodean hendaknya memperhatikan setidak-tidaknya empat hal :
a.  Digunakan simbol atau ringkasan.
b.  Kode dibangun dalam suatu struktur tertentu.
c.  Kode dibangun dengan tingkat rinci tertentu
d. Keseluruhannya dibangun dalam suatu sistem yang integratif.
Ketiga, dalam analisis selama pengumpulan data adalah pembuatan catatan obyektif. Peneliti perlu mencatat sekaligus mengklasifikasikan dan mengedit jawaban atau situasi sebagaimana adanya, faktual atau obyektif-deskriptif. Keempat, membuat catatan reflektif. Menuliskan apa yang terangan dan terfikir oleh peneliti dalam sangkut paut dengan catatan obyektif tersebut di atas. Harus dipisahkan antara catatan obyektif dan catatan reflektif. Kelima, membuat catatan marginal. Miles dan Huberman memisahkan komentar peneliti mengenai subtansi dan metodologinya. Komentar subtansial merupakan catatan marginal. Keenam, penyimpanan data. Untuk menyimpan data setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan :
a. Pemberian label
b. Mempunyai format yang uniform dan normalisasi tertentu
c. Menggunakan angka indeks dengan sistem terorganisasi baik.
Ketujuh, analisis data selama pengumpulan data merupakan pembuatan memo. Memo yang dimaksud Miles dan Huberman adalah teoritisasi ide atau konseptualisasi ide, dimulai dengan pengembangan pendapat atau porposisi. Kedelapan, analisis antarlokasi. Ada kemungkinan bahwa studi dilakukan pada lebih dari satu lokasi atau dilakukan oleh lebih satu staf peneliti. Pertemuan antar peneliti untuk menuliskan kembali catatan deskriptif, catatan reflektif, catatn marginal dan memo masing-masing lokasi atau masing-masing peneliti menjadi yang konform satu dengan lainnya, perlu dilakukan. Kesembilan, pembuatan ringkasan sementara antar lokasi. Isinya lebih bersifat matriks tentang ada tidaknya data yang dicari pada setiap lokasi.
Mencermati penjelasan ini maka seorang peneliti dituntut memiliki kemampuan berfikir sensitif dengan kecerdasan, keluasan serta kedalaman wawasan yang tertinggi. Berdasarkan kemampuan tersebut peneliti dapat melakukan aktivitas reduksi data secara mandiri untuk mendapatkan data yang mampu menjawab pertanyaan penelitian. Bagi peneliti pemula, proses reduksi data dapat dilakukan dengan mendiskusikan pada teman atau orang lain yang dipandang ahli. Melalui diskusi tersebut diharapkan wawasan peneliti akan berkembang, data hasil reduksi lebih bermakna dalam menjawab pertanyaan penelitian.


.  Prosesnya dapat dilakukan dengan cara menampilkan data, membuat hubungan antar fenomena untuk memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapi tujuan penelitian. Penyajian data yang baik merupakan satu langkah penting menuju tercapainya analisis kualitatif yang valid dan handal.
Miles and Hubermen menyatakan bahwa hal yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Miles dan Huberman membantu para peneliti kualitatif dengan model-model penyajian data yang analog dengan model-model penyajian data kuantitatif statis, dengan menggunakan tabel, grafiks, amatriks dan semacamyan; bukan diisi dengan angka-angka melainkan dengan kata atau phase verbal.
Miles dan Huberman menyajikan model-model penyajian data untuk data analisis kualitatif. Tujuannya untuk mendorong tumbuhnya kreativitas membuat modelnya sendiri, bukan hanya sekedar konsumen model Miles dan Huberman. Miles dan Huberman menyajikan 9 model dengan 12 contoh penyajian data kualitatif bentuk matriks, gambar atau grafik analog dengan model yang biasanya digunakan dalam metodologi penelitian kuantitatif statistik.
Model 1 adalah model untuk mendeskripsikan model penelitian. Dapat berupa sosiogram, organigram atau menyajikan peta geografis. Model 2  adalah model yang dipakai untuk memantau komponen atau dimensi penelitian, yaitu dengan checklist matrik. Karena matriks itu tabel dua dimensi, maka pada barisnya dapat disajikan komponen atau dimensinya, pada kolom disajikan kurun waktunya. Isi checklist hanyalah tanda-tanda singkat. Model 3 adalah model untuk mendeskripsikan perkembangan antar waktu. Isinya bukan sekedar tanda cek, melainkan ada diskripsi verbal dengan satu kata atau phase. Model 4 adalah matriks tata peran, yang mendeskripsikan pendapat, sikap, kemampuan atau lainnya dari berbagai pemeranan. Model 5  adalah matriks konsep terklaster. Digunakan untuk meringkas berbagai hasil penelitian dari berbagai ahli yang pokok perhatiannya berbeda. Model 6 adalah matriks tentang efek atau pengaruh. Model ini hanya mengubah fungsi-fungsi kolom-kolomnya, diganti untuk mendeskripsikan perubahan sebelum dan sesudah mendapat penyuluhan, sebelum dan sesudah deregulasi dan yang semacamnya. Model 7 adalah matriks dinamika lokasi. Melalui model ini diungkap dinamika lokasi untuk berubah. Model ini berguna bagi peneliti yang memang hendak melihat dinamika sosial suatu lokasi, tetapi memang tidak banyak peneliti yang mengungkap hal tersebut cukup sulit. Model 8 adalah menyusun daftar kejadian. Daftar kejadian dapat disusun kronologis atau diklasterkan. Model 9 adalah jaringan klausal dari sejumlah kejadian yang ditelitinya. Dari deskripsi atau sajian yang diringkaskan dalam berbagai model tersebut dapat diharapkan agar mempermudah kita untuk merumuskan prediksi kita.
Selanjutnya disarankan dalam melakukan display data, selain dengan teks yang naratif juga dapat berupa : bagan, hubungan antar kategori, diagram alur (flow chart), pictogram, dan sejenisnya. Kesimpulan yang dikemukakan ini masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya
Seperti yang dijelaskan di atas bahwa kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti buat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Proses untuk mendapatkan bukti-bukti inilah yang disebut sebagai verifikasi data. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang kuat dalam arti konsisten dengan kondisi yang ditemukan saat peneliti kembali ke lapangan maka kesimpulan yang diperoleh merupakan kesimpulan yang kredibel.
Langkah verifikasi yang dilakukan peneliti sebaiknya masih tetap terbuka untuk menerima masukan data, walaupun data tersebut adalah data yang tergolong tidak bermakna. Namun demikian peneliti pada tahap ini sebaiknya telah memutuskan anara data yang mempunyai makna dengan data yang tidak diperlukan atau tidak bermakna. Data yang dapat diproses dalam analisis lebih lanjut seperti absah, berbobot, dan kuat sedang data lain yang tidak menunjang, lemah, dan menyimpang jauh dari kebiasaan harus dipisahkan.
Penarikan kesimpulan penelitian kualitatif diharapkan merupakan temuan baru yang belum pernah ada. Temuan tersebut dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya remang-remang atau gelap menjadi jelas setelah diteliti. Temuan tersebut berupa hubungan kausal atau interaktif, bisa juga berupa hipotesis atau teori
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan penelusuran dokumen. Reduksi data dilakukan secara terus-menerus sejak awal penelitian, proses ini berupa pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data kasar terutama yang muncul dari hasil wawancara di lapangan. Dalam proses pengumpulan data reduksi data juga berupa membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo dan sebagainya. Dalam proses ini peneliti memilih data-data yang relevan dan membuang data yang tidak relevan, pada data yang relevan dilakukan penajaman, penggolongan, pengarahan, membuang data yang tidak perlu dan mengorganisasikan data sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

Tahap penyajian data, pada tahap ini dilakukan penyederhanaan data, penyeleksian dan konfigurasi data kemudian memadukannya sehingga data mudah dipahami dan dapat diambil kesimpulan. Tahap akhir dari analisis data adalah penarikan kesimpulan, tahap ini sebenarnya sudah dimulai sejak awal penelitian berupa kesimpulan sementara (hipotesa) yang belum jelas, seiring berjalannya penelitian maka penarikan kesimpulan semakin terfokus dengan data-data lapangan yang diperoleh hingga akhir penelitian.[5]

Proses penyerapan terjadi karena interaksi antara masyarakat adat dengan masyarakat muslim di wilayah tersebut. Selain itu unsur kekuasaan yang menguasai wilayah mereka menjadi faktor yang “memaksa” mereka untuk menyesuaikan diri dengan tradisi di luar budayanya.

Maka jika adat tersebut didasarkan kepada keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam, maka tidak boleh untuk dilaksanakan. Sedangkan jika hanya berkaitan dengan masalah-masalah sosial dan kehidupan bersama maka diperbolehkan untuk dilaksanakan.
Berdasarkan data yang telah ditemukan maka penyerapan hukum Islam oleh komunitas Baduy, Kampung Naga dan Marunda Pulo dapat digambarkan dalam diagram berikut:

Komunitas Kampung Marunda Pulo menyerap banyak unsur-unsur hukum Islam sehingga adat-istiadat mereka sudah hampir hilang. Sementara Adat Kampung Naga dan adat Baduy dipersepsikan memiliki hubungan yang erat, hal ini terlihat dari struktur hukum dan substansi hukum pada keduanya. Sementara Hukum Islam sebagai basis penelitian diserap oleh kedua komunitas ini dengan penyeleksian yang disesuaikan dengan adat mereka. Pada komunitas Kampung Naga penyerapan hukum Islam lebih besar terutama dengan masuknya seluruh masyarakatnya ke dalam Islam. Sementara komunitas Baduy belum menerima Islam, namun unsur-unsur hukum Islam juga diserap oleh adat mereka.
Sementara adat dalam pandangan hukum Islam adalah segala sesuatu yang dilakukan secara terus-menerus oleh suatu komunitas atau masyarakat dan diterima oleh akal sehat. Maka, adat yang dilaksanakan oleh ketiga komunitas adat tersebut bisa disebut sebagai adat yang dipahami oleh hukum Islam. Adat yang terkait erat dengan masalah hukum Islam adalah yang dipraktikkan oleh mereka secara berbeda pada masing-masing komunitas. Penelitian yang penulis lakukan menemukan beberapa adat yang menjadi ciri khas bagi masing-masing komunitas.
Komunitas adat di Marunda Pulo memiliki beberapa adat yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Seiring perkembangan zaman unsur-unsur Islam masuk ke dalam adat mereka, sehingga saat ini adat mereka sangat kental dengan sentuhan Islam. Adat yang berkaitan dengan daur hidup komunitas Marunda terdiri dari selamatan ibu hamil pada usia kehamilan tujuh bulan, selamatan ini dilakukan dengan pembacaan surat Yusuf dan Maryam. Setelah kelahiran dilakukan pula syukuran atas kelahiran bayi, beberapa keluarga yang memiliki harta melakukan aqiqah pada hari ke-7 setelah kelahiran. Pada usia anak 5-10 tahun dilakukan khitanan dan terkadang disatukan dengan adat khataman al-Qur’an. Proses pernikahan dilakukan dengan cara-cara Islam yang ditambahi dengan beberapa adat lokal seperti iring-iringan dengan menabuh ketimpring dan peragaan silat Betawi. Adat daur hidup diakhiri dengan proses tahlilan sebagai doa bagi orang yang sudah meninggal dunia pada hari pertama, ke-7, ke-14, ke-21, ke-40 dan 100 hari setelah kematian. Beberapa perayaan yang bersifat kolektif adalah pembacaan surat Yasin setiap malam jum’at, malam nishfu sya’ban, Maulud Nabi, tawasulan pada malam idhul fitri, ziarah kubur pada awal ramadhan dan saat hari raya, makan-makan setelah shalat Idhul Adha dan pada hari-hari besar Islam lainnya. 
Komunitas adat di Kampung Naga memiliki adat yang bersumber dari leluhur yang diwarisi dari pendiri kampung mereka. Sebagai komunitas adat, Kampung Naga memiliki berbagai adat yang dilaksanakan baik secara individu maupun kolektif. Beberapa adat telah dipengaruhi oleh Islam, sehingga muncul akulturasi antara Islam dan adat lokal. Ritual daur hidup diawali dengan selamatan ibu hamil, kelahiran, khitan, pernikahan dan selamatan kematian. Adat ini sama dengan yang dilakukan oleh komunitas Marunda Pulo.
Adat yang dilakukan secara kolektif oleh komunitas Kampung Naga adalah ngaruwat lembur yang dilaksanakan pada awal tahun menurut kalender mereka. Ia berupa pemotongan ayam dan kambing sebagai bentuk ucapan syukur dan permohonan doa kepada Allah ta’ala agar memberikan kebaikan bagi seluruh penduduk kampung pada tahun yang akan datang. Pada ritual ini dilakukan penggantian tangtang angin yang berfungsi sebagai penolak bala yang akan diletakan di depan pintu rumah seluruh warga Kampung Naga. Adat ini diakhir pada malam hari dengan makan bersama daging kambing yang telah disemeblih secara bersama-sama di masjid kampung. Pembacaan doa dengan kepulan asap dari pembakaran kemenyan mewarnai ritual ini. 
Adat terbesar di Kampung Naga adalah hajat sasih yang dilaksanakan dua bulan sekali yang disesuaikan dengan hari-hari besar Islam. Adat ini berupa ziarah ke makam leluhur di bagian barat desa yang berada di leuweng karamat (hutan keramat). Tidak semua orang bisa mengikuti ritual ini, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi semisal sudah dewasa, memakai pakaian khusus berupa jubah berwarna putih dan iket kepala, tidak memakai alas kaki dan pakaian dalam serta tidak boleh bercakap-cakap dalam pelaksanaannya. Pada bulan Maulud ritual ini ditambah dengan penggantian kandang jaga yaitu pagar yang mengelilingi makam, bumi ageung dan padepokan. Ritual ini diakhiri dengan ngariung makan bersama dengan hidangan berupa tumpeng yang dibawa oleh seluruh warga Kampung Naga.
Pada perayaan hajat sasih juga dilaksanakan pemberian pahajat kepada kepala desa dan Amil sebagai bentuk ketaatan kepada pemerintah. Pahajat adalah hantaran berupa hasil kebun seperti pisang, padi, ubi, ayam hidup dan yang lainnya. Ia diberikan pada beberapa kali hajat sasih dari Lebe dan Punduh Kampung Naga. Punduh akan memberikan pahajat-nya kepada kepala desa (kuwu) sedangkan Lebe akan memberikannya kepada amil desa Neglasari.  
Pada bulan Maulud dilaksanakan tiga ritual adat, yaitu mapag sasih, muludan dan mileuleuyenkeun sasih. Adat ini berupa pembacaan pantun maulud yang diringi dengan menabuh terebang (rebana) yang disebut dengan terebang gembrung. Pada zaman dahulu adat ini dilakukan hingga pagi hari, namun saat ini hanya hingga pukul 23.00 hingga 00.30 tengah malam. Pada adat ini dibuat masakan gembrung yaitu sejenis sayur lodeh dengan ikan goreng sebagai penawar kantuk. Pada perayaan maulud dilakukan pula pembersihan parabot yang berupa senjata-senjata peninggalan zaman dahulu seperti golok, keris, kujang, pedang dan yang lainnya.
Adat berikutnya yang ada di Kampung Naga adalah yang berkaitan dengan pertanian. Adat ini didasarkan pada keyakinan bahwa padi adalah penjelmaan dari Dewi Sri atau Nyi Pohaci yang harus dihormati. Sehingga sejak awal pemilihan benih, penanaman, penyiangan, pemupukan, panen hingga penyimpanan di gowah harus dilakukan dengan cara-cara khusus yang telah mereka warisi dari nenek moyang. Bentuk-bentuk khusus tersebut adalah pembakaran kemenyan, penyediaan sesajen pada saat menanam dan memanen serta sesajen yang diletakan di tempat penyimpanan padi dan beras. Selain itu dilakukan pula adat ngarasulkeun dan nganyaran ketika pertama padi dipanen.
Adat ziarah kubur ke makam umum dilakukan secara bersama-sama pada bulan Muharam sebagai awal tahun. Pelaksanaannya dipimpin oleh Kuncen yang membacakan doa-doa dan tidak pula dilakukan pembakaran kemenyan. Berbeda dengan ziarah kubur pada saat hajat sasih yang hanya diikuti oleh laki-laki. Maka, ziarah kubur ke makam umum dilakukan oleh seluruh warga Kampung Naga baik laki-laki ataupun perempuan. Adat ini diakhiri dengan makan bersama seluruh warga Kampung Naga.
Adat yang berkaitan dengan lingkungan adalah bentuk-bentuk pamali (larangan) yang hingga saat ini masih dilaksanakan oleh mereka. Larangan yang ada adalah tidak boleh mengambil pohon, menebang dan masuk ke hutan larangan serta hutan keramat, tidak boleh mendekati air terjun yang ada di sebelah barat kampung, larangan membangun rumah dengan semen dan atap selain injuk, larangan membangun rumah di atas air, larangan memasuki dan memotret dari dekat Bumi Ageung dan Katarajuan, dan yang lainnya.
Adat yang bersifat pribadi dalam arti etika yang tidak boleh dilakukan oleh seseorang diantaranya adalah tidak boleh duduk berselonjor ke arah barat. Mengucapkan kata “Singaparna” dan “Garing”, menuliskan kalimat “Kampung Naga” dalam berbagai media, menggunakan listrik untuk penerangan, menggunakan gas elpiji untuk memasak dan larangan adat lainnya. Penggunaan media komunikasi seperti HP diperbolehkan karena adanya kebutuhan, demikian pula radio, tape recorder dan TV sebagai media informasi. 
Pada bidang akhlak dan etika umum, terdapat beberapa larangan yang bersumber dari adat dan sentuhan hukum Islam, yaitu larangan untuk membunuh, berjudi, mabuk-mabukan dan berzina. Poligami juga menjadi cadu (larangan) yang tidak tertulis namun dilaksanakan dengan ketat, hingga saat ini tidak ada satu orangpun yang melakukannya. Padahal berdasarkan survey penduduk yang penulis lakukan, jumlah janda di Kampung Naga cukup banyak dengan kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
Berdasarkan adat yang dilaksanakan di Kampung Naga, Nampak bahwa terjadi akulturasi antara adat lokal dan hukum Islam. Adat ini didasarkan kepada keyakinan lokal di masa lalu dan tambahan nilai-nilai Islam. Memperhatikan masalah ini maka Islam memandang bahwa adat-adat tersebut berkedudukan sebagai adat yang ada dalam hukum Islam. Namun ia harus diperinci sehingga bisa diambil kesimpulan status hukumnya. Sebagaimana syarat sebuah adat bisa diterima dan boleh dilaksanakan adalah yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam, tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, tidak mengandung mudharat, bisa diterima oleh akal sehat, serta memiliki mashlahat bagi manusia.
Adat di Kampung Naga apabila ditimbang dari hukum Islam terbagi menjadi dua, yaitu adat yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Adat yang diperbolehkan adalah yang tidak didasari oleh keyakinan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam seperti keyakinan kepada dewa-dewa atau adanya kekuatan kepada selain Allah ta’ala. Membuat sajian untuk selain Allah ta’ala dan sebagai bentuk ketaatan kepada selainNya. Adapun yang diperbolehkan adalah yang tidak mengandung hal-hal tersebut dan tidak ada larangan khusus tentangnya.
Komunitas Baduy adalah satu komunitas yang memiliki banyak adat yang mereka warisi dari karuhun (nenek moyang) mereka. Sebagian besar adat tersebut didasarkan kepada keyakinan adanya Nu Ngersakeun sebagai Sang Pencipta yang mereka sebut juga Adam Tunggal. Adat yang mereka lakukan didasarkan kepada pengabdian kepada Adam Tunggal serta Dewi Sri atau Nyi Pohaci. Selain itu ada beberapa adat yang didasarkan kepada nilai kebersamaan yang tidak terkait dengan dengan keyakinan tertentu.


Ngukus adalah membuat kukus (asap) yaitu dengan membakar kemenyan sebagai pembuka hubungan dengan dunia ghaib. Asap wangi yang membumbung ke udara (langit) memberi suasana khas yang diharapkan mencapai dunia atas dan menarik penghuninya, layaknya alunan untaian kidung “bul kukus ngukup ka manggung” (mengepullah asap memenuhi dunia atas). Ngawalu adalah adat yang dilakukan setelah padi dari ladang “kembali” ke lumbung (leuit) setelah sekian lama mengembara di “weweg sampeg mandala pageuh” yaitu rumah suaminya (tanah ladang). Adat Kawalu berlangsung tiga kali setahun meliputi Kawalu Tembey (awal) diadakan setiap tanggal 17 Kasa (bulan ke sepuluh menurut sistem pertanggalan Kanekes), Kawalu Tengah setiap tanggal 18 Karo (bulan ke-11 dalam sistem pertanggalan Kanekes), dan Kawalu tutug (akhir) dilaksanakan setiap tanggal 17 Katiga (bulan ke-12 sistem pertanggalan Kanekes). Adat Muja yaitu memuja di Sasaka Pusaka Buana atau Sasaka Pada Ageung oleh Puun Cikeusik, di Sasaka Parahiyang atau Sasaka Domas oleh Puun Cibeo. Ia berlangsung satu hari penuh pagi sampai sore setiap tanggal 7 bulan Kalima menurut penanggalan Baduy, sedangkan Muja di Pada Ageung berlangsung setiap tanggal 16, 17 dan 18 bulan Kalima. Sebelum berangkat ke tempat Muja, Puun Cikeusik dan Baris Kolot yang “terpercaya” membersihkan badan memakai kain bersih putih. Masuk ke tempat Muja dalam kondisi berpuasa, menjaga tetap tanah tetap bersih, pantang bercakap-cakap. Akhir proses Muja, sebelum turun mengambil tanah putih dan rumput komala untuk “pemberian berkah” di Tangtu Cikeusik.
Ngalaksa adalah ritual yang dilakukan dalam beberapa tahap, dimulai dengan membuat laksa yang dilaksanakan pada akhir bulan Katiga yakni bulan terakhir kalender Kanekes dan berlangsung selama 7 hari. Diawali di Kapuunan kemudian berantai ke seluruh kampung Panamping. Laksa dibuat khusus dari huma serang yang terletak di kapuunan dan dari huma tuladan di Panamping. Karena itu Ngalaksa bersifat sakral sebab yang menjadi bahan utama (tepung beras) diambil dari tujuh rumpun padi ditanam di pupuhunan huma serang (kawasan Tangtu) dan huma tuladan (kawasan Panamping). Ngalaksa merupakan pamungkas dari keseluruhan upacara muja karena itu yang ditugasi membuat laksa pun dari awal hingga selesai dalam keadaan berpuasa.
Seba adalah adat Baduy berupa pemberian hasil perkebunan kepada kepala daerah di Kabupaten Lebak dan Gubernur Banten. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan-bulan setelah pelaksanaan panen di huma. Ia adalah bentuk ketaatan komunitas Baduy kepada pemerintah sekaligus membuktikan eksistensi mereka. Selain adat-adat yang besar tersebut, masih banyak lagi adat yang dilaksanakan oleh komunitas Baduy yang sebagian besarnya didasarkan kepada keyakinan akan adanya kekuasaan Adam Tunggal, Nyi Pohaci, Wangatua dan kekuatan ghaib lainnya. Beberapa adat didasarkan pada kesepakatan bersama tentang suatu permasalahan yang tidak berkaitan dengan keyakinan-keyakinan tersebut. Seperti adat hidup bergotong-royong dalam membangun rumah, menggarap huma serang, pelaksanaan perkawinan, pemberian “upeti” dalam adat Seba dan yang lainnya.
Hukum Islam adalah sistem hukum universal, ia bisa diterima oleh setiap masyarakat kapan saja dan di mana saja. Karena bersifat universal, ia memiliki daya fleksibilitas dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi di luar sistem hukumnya. Lebih dari itu, ia juga memiliki daya adoptif yang tinggi bagi hukum yang berada di luar dirinya. 


Karakteristik dari hukum Islam adalah bahwa dalam hukum-hukum ibadah termuat pula di dalamnya dimensi hukum muamalah, sebaliknya dalam bidang hukum muamalah terkandung pula dimensi hukum ibadah. Sehingga keduanya saling terkait dan tidak bisa dipisah-pisahkan.

Apabila dikorelasikan dengan system berfikir, maka asas adalah landasan berfikir yang sangat mendasar. Ia meliputi:
1)      Dasar, alasan, dan fundamen. Asas dalam pengertian ini dapat dilihat misalnya dalam urutan yang disesuaikan pada kata-kata: …”Batu ini baik benar untuk pondasi rumah”
2)      Kebenaran yang menjadi tumpuan berfikir atau pendapat. Makna ini terdapat dalam ungkapan “Pernyataan itu bertentangan dengan asas-asas hukum pidana”
3)      Cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau negara. Hal ini jelas dalam kalimat “Dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila”

Hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata dengan publik, seperti  halnya dalam hukum Barat. Hal ini disebabkan karena menurut hukum Islam, pada hukum perdata ada segi-segi publik dan pada hukum publik ada segi-segi perdatanya. Dalam hukum Islam yang disebutkan hanya bagian-bagiannya saja.
Hal-hal yang sudah dikemukakan, jelas bahwa hukum Islam itu luas, bahkan luasnya hukum Islam tersebut masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek-aspek yang berkembang dalam masyarakat yang belum dirumuskan oleh para fuqaha’ (para yuris Islam) di masa lampau, seperti hukum bedah mayat, hukum bayi tabung, keluarga berencana, bunga bank, euthanasia, dan lain sebagainya serta berbagai aspek kehidupan lainnya yang dapat dikatagorikan sebagai hukum Islam apabila sudah dirumuskan oleh para ahli hukum Islam melalui sumber hukum Islam yang ketiga, yakni al-ra’yu dengan menggunakan ijtihad

Analisis data yang dilakukan untuk memperoleh bentuk-bentuk penyerapan hukum Islam pada komunitas adat dilakukan dengan metode analisis data model tiga jalur milik Malinowski. Metode ini disebut dengan fungsional approach to acculturation. Pendekatan ini merupakan suatu kerangka yang terdiri dari tiga kolom, pertama; menjelaskan tentang keterangan mengenai kebutuhanan, maksud, kebijaksanaan, dan cara-cara yang dilakukan oleh agen atau ulama Islam untuk memasukkan pengaruh kebudayaan asing ke dalam suatu kebudayaan lokal. Kedua, menjelaskan tentang jalannya proses akulturasi dalam suatu kebudayaan lokal. Ketiga, menjelaskan tentang reaksi masyarakat terhadap pengaruh kebudayaan Islam yang keluar dalam bentuk usaha atau gerakan untuk menghindari pengaruh tadi, atau sebaliknya untuk menerima dan menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur-unsur kebudayaan mereka sendiri.[6]
Jika komunitas Marunda Pulo melaksanakan hampir seluruh ajaran Islam, maka komunitas Kampung Naga melaksanakan hukum Islam yang disandingkan dengan adat kebiasaan mereka. Komunitas Baduy hingga saat ini belum menerima Islam, mereka tetap melaksanakan adatnya. Namun pada beberapa bagian terdapat hukum Islam yang mereka serap

Tiap peradaban betapapun primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang bersumber dari logika berfikir atas fenomena alam yang mereka alami. Logika sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan cara mencerna setiap kejadian yang terjadi di sekitarnya merupakan modal bagi setiap komunitas untuk tetap eksis menjaga kehidupannya dan menurunkan nilai-nilai yang dianutnya kepada generasi sesudahnya. Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk didalamnya ilmu yang merupakan pengetahuan yang telah tersistematis dan teruji kebenarannya. Maka, ilmu pengetahuan merupakan bagian dari kebudayaan manusia yang meliputi pengetahuannya tentang dirinya sendiri, alam semesta, sesuatu yang memiliki kekuatan tertinggi dan berbagai pengetahuan lainnya.







[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 193.
[2] Daniel S Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Intermasa, 1986), cet. Kedua, hlm. 29.
[3] Lihat Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2003) cet. Keempat, hlm. 220.
[4] Sajuti Thalib, Receptio a Contrario. (Jakarta : Bina Aksara. 1985), hlm. 4.
[5] Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2001), hlm. 196 
[6] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II , (Jakarta: UI Press) hlm. 95-96. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...