Minggu, 18 Mei 2014

Rekonstruksi Islam teh Sunda, Sunda teh Islam

Oleh: Abdurrahman MBP, MEI

A.  Pendahuluan
Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, kehadirannya membawa kedamaian bagi seluruh umat manusia. Allah ta’ala berfirman: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” QS. al-Anbiyaa: 107. Imam Ibnu Katsir menafsirkan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada kita bahwa Dia telah menciptakan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Salam  sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), artinya, Dia mengirimnya sebagai rahmat untuk semua orang.[1] Kehadiran Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Salam  dan risalah yang dibawanya (Islam) akan membawa rahmat (kedamaian) bagi seluruh umat manusia dari berbagai suku bangsa di dunia ini.
Ketika Islam masuk ke Tatar Sunda, ia dihadapkan pada kepercayaan yang telah ada sebelumnya. Kepercayaan yang diwarisi secara turun-temurun dan dipengaruhi oleh berbagai kepercayaan yang datang setelahnya yaitu agama Hindu dan Budha.[2] Kepercayaan asli di Tatar Sunda menurut beberapa ahli adalah Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Makna wiwitan yaitu mula pertama, asal, pokok atau jati sedangkan “Sunda” bermakna cahaya cemerlang yang putih dan bersih.[3] Sehingga dikatakan kepercayaan Sunda Wiwitan adalah kepercayaan masyarakat Sunda yang pertama (asli).[4]
Setelah kehadiran Hindu dan Budha, agama asli Sunda mengalami perubahan dengan masuknya pengaruh kedua agama tersebut. salah satu pengaruh yang ada adalah penyebutan Batara Tunggal sebagai Dzat yang diyakini sebagai penguasa alam raya yaitu Nu Ngersakeun. Dewa-dewa dalam agama Hindu-pun masuk ke dalam keyakinan asli ini hingga diyakini sebagai bagian tidak terpisahkan dari keyakinan asli Sunda (Jati Sunda). Komunitas Baduy di Banten selatan masih meyakini bahwa Batara Tunggal telah menurunkan beberapa batara yaitu Batara Cikal, Batara Patanjala, Batara Wisawara, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Hyang Niskala dan Batara Mahadewa.[5] Berdasarkan nama-nama batara tersebut tampak sekali bahwa sebagiannya adalah nama dewa dari agama Hindu yang berasal dari India.
Selanjutnya ketika Islam masuk ke Tatar Sunda, kepercayaan akan adanya Nu Kawasa (Al-Qadiir) kembali mendapatkan posisinya kembali. Jika pada masa Hindu dan Budha masyarakat Sunda “dipaksa” untuk meyakini begitu banyak dewa impor yang berasal dari India, maka ketika Islam datang, keyakinan adanya Sang Penguasa Alam Raya kembali muncul dan bertemu pada satu titik yaitu penyembahan terhadap satu Tuhan (Monoteisme). Kehadiran Islam dengan konsep tauhidullah (Keesaan Allah ta’ala) disambut dengan suka cita oleh seluruh masyarkat Sunda sehingga mereka menganggap Islam adalah fitrah Sunda yang selama ini dijajah oleh agama-agama politeisme.
Pada bidang perilaku sehari-hari, masyarakat Sunda yang telah dipandu selama berabad-abad dengan tradisi karuhun yang adiluhung, kemudian ditemukan dengan Islam yang sangat mengutamakan keluhuran akhlak (budi pekerti). Ketika Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia[6] maka masyarakat Sunda mengejawantahkannya dengan istilah silih asah, silih asih, dan silih asuh serta "ulah ngaliarkeun taleus ateul” yang berarti jangan menyebarkan keburukan/kejahatan. Kaidah hidup ini dikuatkan kembali oleh sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Salam: Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia. HR. Thabrani dan Daruquthni.   
Penyembahan kepada satu Penguasa Alam Raya (Nu Kawasa) dan keluhuran perilaku yang ada pada masyarakat Sunda menyambut dengan suka cita nilai-nilai aqidah dan kemuliaan akhlak yang ada pada Islam. Sehingga kedunya seperti saudara kembar yang kembali berjumpa setelah sekian lama terpisahkan dan dipisahkan dari tangan-tangan durjana para penyembah dewa dan berhala.

B.  Latar munculnya Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”
Fenomena masyarakat Sunda yang menerima Islam dengan suka cita dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari telah memberikan inspirasi kepada Haji Endang Saefudin Anshari untuk menyatakan secara retoris bahwa Islam teh Sunda dan Sunda teh Islam; artinya bahwa Islam itu sama dengan Sunda dan Sunda itu ya Islam.[7]
Istilah ini tidak berlebihan kiranya apabila kita menyaksikan bagaimana masyarakat Sunda menjalani kehidupannya sehari-hari. Kekuatan aqidah akan adanya satu-satunya ilah (sesembahan) yang berhak disembah dan pengamalan keislaman yang dipandu oleh kesadaran keimanan yang mendalam telah menjadikan komunitas Sunda identik dengan Islam. Terasa aneh apabila orang Sunda itu bukan Islam, demikian seperti yang dapat kita saksikan pada masyarakat Sunda saat ini. Islam menjadi jiwa bagi masyarakat Sunda di bumi Parahyang dengan tetap menjalankan tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan syariahnya.
Bukti-bukti keharmonisan antara Sunda dan Islam tampak dari berbagai sikap religiositas orang Sunda itu seperti terungkap dalam peribahasa, "diri sasampiran awak sasampaian".  Artinya, semuanya merupakan kepunyaan Allah SWT (Gusti nu murbeng alam). oleh karena itu, manusia Sunda dalam kehidupannya selalu menggunakan rasa (boga rasa rumasa, ngaji diri).  Bahkan dalam banyak hal, orang Sunda selalu bersyukur atas apa yang diterimanya, sehingga "syukuran" bagian dari tradisi atas nikmat yang diperolehnya. Lebih dari itu, ketika ditimpa musibah ia selalu bersyukur dengan istilah "untung".  Bahkan ketika musibah meninggal terjadi sekalipun tidak jarang orang Sunda masih terucap kata "untung", "Untung maot coba mun hirup meureun jadi tanpa daksa".  Dalam terminologi Islam ini disebut qanaah, yang artinya merasa cukup dengan yang ada khususnya masalah dunia sebagai kebajikan yang dianjurkan.
 Jika dikategorikan, ada beberapa pandangan hidup orang Sunda tentang berbagai hal mengenai manusia sebagai pribadi, manusia dengan masyarakat, dengan alam, dengan Tuhan dan hakikat manusia. Misalnya, dalam mencapai tujuan hidup, orang Sunda harus mempunyai keseimbangan yang disebut sineger tengah yang berarti wajar, tidak berlebihan. Dalam bahasa Islam disebut ummatan wasathan, umat yang pertengahan. Hal itu tertuang dalam petuah, "jaga urang hees tamba tunduh, nginum tuak tamba hanaang, nyatu tamba ponyo ulah urang kajongjonan".  Artinya, hendaklah tidur sekedar menghilangkan kantuk, minum tuak sekedar menghilangkan haus, makan sekedar menghilangkan lapar, jadi dalam perikehidupan tidak berlebihan. Ini sejalan dengan ajaran Islam, sikap tamak merupakan sikap yang sangat tercela.  Bahkan, dalam hidup kita juga dianjurkan untuk adanya keseimbangan di dunia dan akhirat, seperti diungkapkan dalam ayat al-Qur’an “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” QS. al-Qashash: 77.
 Manusia Sunda sebagai pribadi digambarkan oleh tingkah laku dan budi bahasanya.  Oleh karena itu, dituntut "kudu hade gogog hade tagog” (baik budi bahasa dan tingkah laku) dan "nyaur kudu diukur, nyabda kudu diungang" serta manusia Sunda juga harus "sacangreud pageuh, sagolek pangkek" (teguh pendirian tak pernah ingkar janji). Ini juga merupakan nilai-nilai utama dalam Islam, seperti diungkapkan dalam hadis, "seutama-utama manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya".  Artinya, kehadiran kita bukan saja tidak menimbulkan kerusakan atau kesulitan bagi orang lain tetapi juga dapat memberikan manfaat dan maslahat.
Orang Sunda memiliki filosofi ketuhanan yaitu keyakinan seperti ajaran Islam, innalillaahi wainna ilaihi rojiun dengan ungkapan "mulih ka jati mulang ka asal".  Dengan demikian juga dalam menjalani kehidupan, orang Sunda mempunyai norma dan etika seperti "ulah pagiri-giri calik pagirang-girang tampian" (janganlah berebut kekuasaan dan jabatan). Dalam Islam ada hadis, yang berbunyi, "Jangan berikan jabatan kepada orang yang memintanya". Hal ini berbeda dengan fenomena demokrasi sekarang, dimana orang yang ingin jabatan harus pamer dan menyombongkan diri lewat kampanye, istilah Sundanya, "Agul ku payung butut" (bangga dengan prestasi buruk).[8]
 Nilai kesundaan yang islami lainnya seperti, "ulah nyaliksik ka buuk leutik" (janganlah memeras rakyat kecil), "ulah kumeok memeh dipacok" (jangan mundur sebelum berusaha), "kudu bisa ka bala ka bale" (bisa fleksibel dalam mengerjakan apa saja) dan mun teu ngakal moal ngeukeul, mun teu ngrah moal ngarih (berusaha/berikhtiar sekuatnya).
 Demikian juga dalam membangun lingkungan sosial yang damai dalam Islam istilah rahmatan lil 'alamin, orang Sunda mempunyai filosofi, "tiis ceuli herang panon" (hidup damai dan tentram) serta "kudu bisa mihapekeun maneh" (tingkah laku menyesuikan dengan lingkungan). Nilai-nilai itu turunan atau tafsir terhadap nilai-nilai keislaman, tetapi juga warisan budaya dan filosofi masyarakat Sunda bahkan sebelum datangnya Islam. Ini tidak aneh, karena Islam sebagai agama fitrah pada dasarnya saluran dan peringatan terhadap kecenderungan baik (hanif) dalam diri manusia.
Berdasarkan sekian banyak titik temu antara budaya Sunda dan Islam maka sangat wajar jika kemudian Sunda identik dengan Islam dan Islam identik dengan Sunda “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”. Namun harmoni ini tidak semua orang menyukainya, pihak-pihak yang tidak menginginkan Islam dan Sunda bergandengan tangan melakukan berbagai agitasi untuk memisahkan dan mengadu domba antara keduanya. Maka saat ini kita saksikan terjadi jurang pemisah yang dalam antara para penganut Islam yang berusah untuk istiqmah yang menganggap bahwa budaya dan tradisi lokal tidak sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah sebagai agama samawi, sementara pihak-pihak yang berusaha menapaki jalan karuhun bersikap apatis seolah-olah Islam adalah agama impor yang hendak menghancurkan kebudayaan Sunda. Maka sudah selayaknya kita kembali untuk merajut kebersamaan itu Sunda yang memiliki jiwa kesundaan yang tidak bertentangan dengan Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. 

C.  Perkembangan Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”
Masyarakat Sunda secara mayoritas beragma Islam, sehingga sangat wajar jika Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Ia telah mendarah daging, menjadi ruh bagi jasad Sunda dan menjadi energi bagi berlangsungnya kebudayaan masyarakat ini. Tidaklah berlebihan jika Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” muncul dan mewakili jatidiri muslim di tanah Pasundan. Namun tetap saja ada orang-orang yang tidak suka dengan hal ini, diantara mereka adalah budayawan Katolik ahli Sunda, Jakob Sumardjo. Dalam tiga jilid bukunya yang berjudul Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda (diterbitkan Penerbit Kelir Bandung tahun 2009), Sumardjo berusaha mengaitkan jati diri kasundaan dengan mengembalikannya pada kepercayaan Sunda yang dipengaruhi animisme[9] dan dinamisme[10]; atau Hindu-Budha. Dalam jilid ketiga yang secara khusus mengenai pantun-pantun Sunda, tafsiran istilah pada pantun itu ia kaitkan dengan kepercayaan lama yang bukan Islam, padahal dalam konteks kekinian, pandangan hidup Sunda tidak dapat dipisahkan dari Islam.[11]
Teori-teori dari Barat (Eropa dan sekutunya) yang menyatakan bahwa agama asli Indonesia adalah animisme dan dinamisme sepertinya perlu ditinjau ulang kembali. Ketidakpahaman mereka akan kepercayaan masyarakat lokal menjadikannya dengan mudah menyatakan hal tersebut. Pendapat seperti ini kemudian diteruskan oleh anak-anak didiknya yang belajar dan membebek kepada barat, sebagai contoh Rachmat Subagya yang menulis buku Agama Asli Indonesia. Buku tersebut sangat subyektif sekali berbicara tentang agama asli Indonesia tanpa memperhatikan substansi dari masing-masing agama dan kepercayaan tersebut. Sehingga dengan mudah penulis menyatakan bahwa agama asli Indonesia adalah paham animism, dinamisme dan totemisme. Padahal apabila kita lebih jeli dalam melihatnya maka seluruh kepercayaan yang ada di Indonesia bersumber pada kepercayaan adanya satu Penguasa Alam Raya yaitu Allah ta’ala dalam keyakinan Islam.
Bukti-bukti yang menguatkan pendapat ini sangat banyak sekali, salah satunya adalah kepercayaan yang ada pada komunitas Baduy di mana mereka meyakini adanya satu Nu Kawasa yang menjadi penguasa bagi alam semesta ini. Demikian pula komunitas Dayak yang meyakini adanya Ranying sebagai Tuhan penguasa alam semesta. Pada komunitas suku Mee di Papua mengenal Ugatamee sebagai sebagai pencipta, penyelengara, dan penjaga dalam hidup suku bangsa ini.[12] Maka teori tentang agama animisme dan dinamisme di Indonesia perlu dikaji ulang.  
D.  Rekonstruksi Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam”
Rekonstruksi secara bahasa berarti pengembalian seperti semula serta penyusunan (penggambaran) kembali. Istilah me·re·kon·struk·si bermakna melakukan rekonstruksi.[13] Maka rekonstruksi istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” bermakna menyusun dan membangun kembali makna istilah ini dalam ranah kekinian. Upaya ini sebagai bentuk penyegaran kembali pemahaman terhadap harmoni antara Islam dan budaya Pasundan.
Apabila Istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” pada awalnya berasal dari realitas bahwa komunitas Sunda telah menjadikan Islam sebagai bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, maka upaya rekonstruksi dilakukan dengan kembali membangun pondasi dan menegakan tiang-tiang penyangganya. Setelah itu melengkapinya dengan atap yang memayungi bangunan istilah ini.
Pondasi dasar bagi istilah ini adalah pemahaman yang sama antara kepercayaan asli Sunda (Jatisunda) dengan Islam. Asas monoteisme yaitu penyembahan kepada satu Tuhan (Allah ta’ala) adalah fakta yang tidak bisa disangkal. Pemahaman masyarakat Sunda awal tentang hakikat dari Sang Pencipta yang mengatur seluruh alam raya masih terlihat jelas pada komunitas-komunitas adat di Tatar Sunda. Sebagai contoh komunitas adat Baduy di Kenekes, hingga saat ini mereka masih meyakini bahwa Batara Tunggal (Yang Maha Esa) adalah satu-satunya Dzat yang harus disembah. Salah satu dogma mereka menyebutkan “Sagala nu Lir Kumelip di Bumi Langit, engkena mah bakal balik deui jadi hiji jeung Batara Tunggal” (Semua ciptaanNya di bumi dan di langit, pada waktunya akan kembali lagi menyatu dengan Batara Tunggal).[14]
Dogma ini harus dianalisis terlebih dahulu, apakah ia murni berasal dari kepercayaan lokal? atau telah mengalami reduksi dan pengaruh dari agama lain? Saya berpendapat bahwa dogma ini telah mengalami pengaruh dari agama Hindu, terbukti dengan istilah “Batara Tunggal” yang berasal dari ajaran Hindu aliran Ciwa yang hidup pada masa kerajaan Pajajaran hingga menjadi agama Ciwa-Pajajaran.[15] Berikutnya kepercayaan penyatuan antara makhluk dengan Tuhan juga merupakan keyakinan dari orang-orang Sufi dengan slogan manunggaling kawulo lan gusti (menyatunya antara hamba dan Tuhan) yang banyak dipengaruhi oleh agama-agama Persia dan India. Sehingga pemahaman terhadap satu-satunya Dzat yang telah menciptakan alam semesta dan satu-satunya yang harus disembah merupakan kepercayaan Sunda.
Merujuk kepada teori-teori agama primitive,[16] bahwa sejatinya kepercayaan-kepercayaan yang ada pada masyarakat lokal di berbagai penjuru dunia merujuk pada satu-satunya Dzat yang menciptakan, mengatur dan menguasai alam raya dengan berbagai nama dan istilahnya.[17] Demikian pula yang kita dapati pada komunitas Sunda di masa lalu, ia berakar kuat di tengah masyarakat sehingga ketika Islam datang mereka menyambutnya seolah-olah seorang Panglima Perang yang membebaskan mereka dari segala bentuk keyakinan kepada banyaknya dewa-dewa (baca: berhala).
Rekonstruksi berikutnya adalah bahwa tiang-tiang penyangga ini didasarkan kepada fitrah manusia yang sejatinya berada pada jalan yang lurus (hanif). Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda: “Seorang bayi tak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yg akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi” HR. Muslim. Fitrah yang dimaksud dalam ayat ini adalah bahwa setiap manusia akan senantiasa meyakini bahwasanya hanya Allah-lah satu-satunya pencipta dan Dzat yang berhak untuk disembah. Hal sebagaimana firman Allah ta’ala: '…tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah itulah agama yang lurus.' (QS. Ar-Ruum (30): 30).
Ayat dan hadits ini menjadi tiang penopang bahwasanya setiap manusia memiliki fitrah yang lurus yaitu meyakini adanya satu al-Khaliq (Sang Pencipta) dan satu-satunya Ilah yang harus diibadhi (Sesembahan). Masyarakat Sunda sejak awal telah meyakini bahwasanya hanya ada satu Pencipta yaitu Sang Hyang Keresa. Dialah yang telah menciptakan alam semesta ini. Selain itu mereka juga mengenal satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi (ditaati) yaitu Ilah (Batara Jagat) sebagai penguasa alam raya yang harus ditaati. Adanya berbagai keyakinan dewa-dewa dan makhluk-makhluk ghaib lainnya disinyalir adalah pengaruh dari agama berhalaisme.
Bidang hukum Islam yang telah ada sejak masa awal masyarakat Sunda adalah sundat atau khitan. Prabu Ratu Dewata (1535 – 1543 M) sebagai salah satu raja Pajajaran yang sangat alim dan taat kepada agama telah melakukan upacara “sunatan” (adat khitan pra-Islam).[18] Satu sisi dapat dipahami bahwa sunat atau khitan telah ada di Tatar Sunda sebelum kehadiran Islam, sehingga ketika Islam datang maka ia menyempurnakan tradisi yang baik ini. Pada bidang perkawinan adanya istilah seserahan sejatinya adalah bukti penghormatan calon pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan dan keluarganya. Demikian juga nasehat-nasehat yang diberikan pada saat saweran adalah selaras dengan tradisi Arab pra Islam yang memberikan nasehat kepada calon pengantin.
Sebuah riwayat yang dibawakan oleh Sayid Sabbiq dalam Fiqh Sunnah mengenai seorang ibu bernama Bintu Al-Harits, sedangkan si pengantin perempuan bernama Umm Ayyas binti ‘Auf bin ‘Alam Asy-Syaibani.[19] Ia memberikan nasehat kepada anak perempuannya yang akan menikah dan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan ketika menjadi seorang istri. Allah ta’ala telah memberikan nasehat bagi pasangan suami istri dalam firmanNya: “Dan gaulilah isteri-isterimu dengan cara yang ma’ruf. Maka seandainya kalian membenci mereka, karena boleh jadi ada sesuatu yang kalian tidak sukai dari mereka, sedangkan Allah menjadikan padanya banyak kebaikan.” QS. al-Nisaa: 19. Demikian pula wasiat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam kepada setiap suami “Pergaulilah isteri-isteri dengan baik. Karena sesungguhnya mereka itu mitra hidup kalian”, riwayat yang lainnya beliau bersabda “Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya”. HR. Ahmad.
Ayat dan hadits tersebut merupakan nasehat bagi calon pengantin serta suami istri agar bisa hidup damai, bahagia di dunia di akhirat. Makna nasehat-nasehat tersebut terdapat pula dalam teks sawer “Bismillah damel wiwitan, Mugi Gusti nangtayungan, Eulis- Asép nu réndéngan, Mugia kasalametan. Salamet nu panganténan, Ulah aya kakirangan, Sing tiasa sasarengan, Sangkan jadi kasenangan. Sing senang laki rabina, Nu diwuruk pangpayunna, Nyaéta badé istrina, Masing dugi ka hartina. Hartikeun eulis ayeuna, Lebetkeun kana manahna, Manawi aya gunana, Nu dipamrih mangpaatna. Mangpaatna lahir batin, Eulis téh masing prihatin, Ayeuna aya nu mingpin, Ka carogé masing tigin. Tigin eulis kumawula, Ka raka ulah bahula, Bisi raka meunang bahla, Kudu bisa silih béla. Silih béla jeung carogé, Ulah ngan pelesir baé, Mending ogé boga gawé, Ngarah rapih unggal poé. Répéh rapih nu saimah, Rumah tangga tumaninah, Tapi lamun loba salah, Laki rabi moal genah….”.[20] kearifan lokal ini tentunya harus dijaga jangan sampai hanya sekadar tradisi yang tidak memberi arti bagi pengantin dan keluarga.
Rekonstruksi istilah ini adalah dengan menggali sumber-sumber Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah yang berkaitan dengan tradisi dan adat-istiadat pada suatu masyarakat. Ranah hukum Islam menyebut istilah ini dengan ‘urf, العرف yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat, baik dalam perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus dan diakui sebagai sesuatu yang baik oleh mereka.[21] Teori ‘Urf merupakan respon ahli hukum Islam terhadap adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Inti teori ini adalah bahwa adat kebiasaan yang dilakukan oleh manusia secara berulang-ulang dan dipandang baik oleh mereka bisa diterima oleh Islam sebagai dalil hukum. Sejatinya penerimaan ‘Urf sebagai dalil hukum Islam telah dilakukan sejak masa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam dan para shahabatnya.[22] Tradisi ini dilanjutkan oleh para ahli hukum Islam pada masa-masa berikutnya. 
Ahli hukum Islam yang menggagas teori ini adalah Malik bin Anas, beliau berpendapat bahwa ‘Urf masyarakat harus dipertimbangkan dalam memformulasikan suatu ketetapan dalam hukum Islam. Ia menetapkan a’mal penduduk Madinah sebagai sumber hukum ketika tidak ditemukan secara eksplisit dalil dalam al-Qur’an maupun al-Hadits.[23] Ia juga melakukan takhsis terhadap ayat al-Qur’an dengan ‘urf Arab pada permasalahan hak menyusui bagi seorang ibu.[24] Menurutnya, walaupun ayat ini memerintahkan para ibu untuk menyusui anaknya hingga dua tahun, namun dalam prakteknya ibu-ibu di Arab telah terbiasa dengan menyusukan anak-anaknya kepada perempuan-perempuan dari wilayah pedalaman dengan harapan anak-anaknya tersebut mendapatkan pendidikan dan lingkungan pertumbuhan yang baik.
Imam Syafi’i juga menggunakan ‘urf sebagai dalil dalam menetapkan suatu hukum Islam, terlihat dari perubahan hukum ketika ia berpindah dari Baghdad ke Mesir dengan pertimbangan ‘urf penduduk Mesir.[25] Fuqaha Syafi’iyyah yang membahas masalah ‘urf adalah Imam Suyuti, ia menyatakan:
أن اعتبار العادة والعرف رُجِعَ إليه في الفقه في مسائل لا تُعَدُّ كثرة
Bahwa adat dan urf merupakan sumber hukum yang bisa memecahkan dalam berbagai persoalan, diantaranya masalah Haidh masalah batas dewasa dll.[26]
Abu Hanifah telah banyak menggunakan istihsan yang salah satunya menjadikan adat kebiasaan sebagai bahan pertimbangan. Metode ini diteruskan oleh murid-muridnya yaitu Abu Yusuf, Sarakhsi dan Syaibani. Abu Yusuf berpendapat bahwa ‘urf menjadi bahan pertimbangan utama dalam sistem hukum Hanafiyah, ketika nash yang jelas tidak ditemukan.[27] Menurut Sarakhsi, Abu Hanifah akan menolak qiyas untuk lebih memilih ‘urf.[28] Muhammad Syaibani merumuskan beberapa syarat yang memungkinkan ‘urf diterima oleh hukum Islam.[29]
Ahmad bin Hambal dan pengikutnya menggunakan ‘urf sebagai sumber hukum Islam. Ibnu Qudamah berpendapat bahwa ‘urf dianggap sebagai sumber hukum Islam dan ia menguatkan aturan-aturan fiqhnya dengan merujuk kepada adat.[30] Al-Tufi menjadikan ‘urf sebagai salah satu dari sembilan belas sumber hukum  dalam Islam.[31] Ahli hukum Islam dari mazhab Hambali berikutnya yang membahas tentang ‘urf adalah Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah. Ia mencatat dalam kitabnya I`lamul Muwaqqi’in:
وَمَنْ أَفْتَى النَّاسَ بِمُجَرَّدِ الْمَنْقُولِ فِي الْكُتُبِ عَلَى اخْتِلَافِ عُرْفِهِمْ وَعَوَائِدِهِمْ وَأَزْمِنَتِهِمْ وَأَمْكِنَتِهِمْ وَأَحْوَالِهِمْ وَقَرَائِنِ أَحْوَالِهِمْ فَقَدْ ضَلَّ وَأَضَلَّ
Sesungguhnya orang yang berfatwa hanya berdasarkan dalil naqli dan bertentangan dengan tradisi, urf, situasi, dan kondisi masyarakat maka berarti dia telah berlaku sesat dan menyesatkan.[32]

Selain ahli hukum Islam dari empat mazhab klasik, ahli hukum Islam kontemporer juga menyepakati bahwa ‘urf menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam.[33] Sehingga bisa dikatakan bahwa jumhur fuqaha salaf  dan khalaf  telah sepakat mengenai kedudukan ‘urf sebagai dalil hukum Islam.
Teori ‘urf didasarkan ayat-ayat al-Qur’an[34] dan hadits-hadits Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam. Ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi dasar bagi teori ini adalah firman Allah ta’ala:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (QS. al-A'raf [7]: 199).
Makna ma’ruf dalam ayat ini adalah sesuatu yang telah diketahui kebaikannya oleh semua manusia. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menafsirkan kata al-‘urf dengan:
بكل قول حسن وفعل جميل، وخلق كامل للقريب والبعيد
Seluruh perkataan yang baik dan perbuatan yang mulia serta akhlak yang sempurna kepada orang-orang yang dekat dan orang-orang yang jauh.[35]
Adapun dasar dari hadits adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam kepada Hindun binti ‘Uqbah sebagai istri Abu Sufyan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ هِنْدُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ مَا يَكْفِينِي وَبَنِيَّ قَالَ خُذِي بِالْمَعْرُوفِ
Dari Aisyah radhiallahu ‘anhuma, Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, datang menemui Rasulullah saw. lalu berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir, dia tidak pernah memberikan nafkah kepadaku yang dapat mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena itu? Rasulullah saw. bersabda: Ambillah dari hartanya dengan cara yang baik yang dapat mencukupimu dan mencukupi anak-anakmu. HR. Bukhari dan Muslim.
  
Imam al-Qurtubi berpendapat bahwa hadits ini sebagai dalil tindakan Nabi yang membolehkan menggunakan ‘urf sebagai pertimbangan hukum. Selanjutnya adalah riwayat mauquf dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata:
 مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
Apa saja yang dipandang baik oleh umat Islam, maka hal itu juga baik menurut Allah. HR. Ahmad.[36]
Riwayat ini menjelaskan bahwa kebiasaan yang dianggap baik oleh umat Islam maka di mata Allah juga baik. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang lainnya di mana beliau bersabda:
لا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلالَةِ
Umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. HR. Ahmad dan al-Thabrani.
Maka adat kebiasaan yang itu dipandang baik oleh masyarakat bisa dilaksanakan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang universal yairu ‘urf yang berlaku pada suatu masyarakat. Termasukdalam hal ini setiap tradisi di Tatar Sunda yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an dan al-Sunnah maka bisa dijadikan sebagai pedoman dalam menetapkan hukum.

E.  Simpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai rekonstruksi istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” maka ada beberapa kesimpulan:
1.      Sejarah munculnya istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” adalah realitas masyarakat Sunda yang telah menerima Islam karena selaras dengan nilai-nilai kesundaan yang mereka miliki.
2.      Keselarasan antara Sunda dan Islam tampak dari kepercayaan mereka terhadap adanya satu Tuhan Pencipta dan Pemilik Alam (Monoteisme) serta perilaku dan etika Sunda yang selaras dengan adab dan akhlak dalam Islam.
3.      Agama dan kepercayaan berhalaisme atau keyakinan dengan banyak tuhan (trinitas, dewa-dewa dan politeisme lainnya) tidak mungkin diterima oleh komunitas Sunda karena bertentangan dengan keyakinan awalnya.
4.      Rekonstruksi istilah “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” dilakukan dengan menguatkan kembali pondasi tauhidullah (keyakinan adanya satu Tuhan yaitu Allah ta’ala), membangun tiang-tiang penopang berupa mengemablikan fitrah hanif umat manusia dan merumuskan atap sebagai payung yaitu kaidah-kaidah fiqhiyah khususnya kaidah “al-adah muhakkamah
5.      Sudah selayaknya bagi seluruh masyarakat Sunda untuk bisa Ngamumule Budaya Sunda Nanjeurkeun Komara Agama.

F.   Bahan Bacaan
Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal li Dirasah al-Syariah al-Islamiyah, (Iskandariyah: Daar Umar bin Khattan, tt).
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisir Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan (Kuwait: Jam’iyyah Ihya At-Turats Al-Islami, tahun 2008).
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Kairo: Daar al-Manar, 1947). 
Abu Abdillah Muhammad bin Bakr bin Ayyub Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqi’in ‘a Rabbil ‘Alamaiin, (Riyadh: Daar ibn al-Jauzy, 1423 H), Jilid I.
Abu al-Fida Ismail bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim Jilid III, (Kuwait: Jam’iyyah Ihya al-Turats al-Islami, 2001).
Ahmad Fahmi Abu Sinnah, Al-‘Urf Wal ‘Adah fi Ra’yil Fuqaha, (Mesir: Mathba’ah Al-Azhar, tahun 1947).
Ajip Rosjidi, Mencari Sosok Manusia Sunda, (Pustaka Jaya Jakarta, 2010).
Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, (Kairo: Maktabah al-Sa’adah, 1912), jilid 12.  
Al-Tufi, Al-Mashlahah di Tasri’ al-Islami, lihat Ratno Lukito, “Pergumulan Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia.   
Anis Djatisunda, Baduy Rawayan Urang Kanekes, (Bandung: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa barat, 1993).  
Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 2008). 
Demininggus Pekei, Tinjauan Keyakinan dan Agama Asli Orang Mee di Papua, sumber: http://majalahselangkah.com/content/tinjauan-keyakinan-dan-agama-asli-orang-mee-di-papua.
E. E. Evans Pritshard, Teori-teori tentang Agama Primitif, (Yogyakarta: PLP2M, 1984).
Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Studi Pendekatan Sejarah Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009), cet. Ke-9, hlm. 62.  
H.M. Didi Turmudzi, Keserasian Islam & Sunda dalam  http://pajajaran.blogspot.com/2008/09/ keserasian-islam-sunda.html.
Ibnu Hummam, Syarh Fathu al-Qadir, (Kairo: Matba’at Musthafa Muhammad, 1937), jilid 5. 
Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2002). 
Jalaluddin al-Suyuti, al-Asybah wa Nadzair, (Beirut : Daar Al-Kutub al- Araby,tt).
Judistira K. Garna, Orang Baduy, (Malaysia, Bangi : Universitas Kebangsaan Malaysia, 1989).
Jul Jacob : Primaco Akademikan dan Judistira Garna Foundation, 2012).  
Khallaf, Abd a-Wahhab, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), cet.ke-20.
Muhammad Muhammad al-Madany, Nadzaraat fi Fiqh al-Faruq Umar ibn al-Khattab, (Kairo: Wizarah al-Auqaf, 2002).
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah ahadits al-Shahihah Juz I/112, Maktabah Syamilah.
Mushtafa Ahmad Zarqa, Al-Madkhal fi Fiqh al-‘Am.
Nina Herlina Lubis, Sejarah Tatar Sunda Jilid 1, (Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2003). 
Saléh Danasasmita. Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2003).
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Mesir: Dar Al-Fath).
Tiar Anwar Bachtiar, Sunda dan Islam, pada http://www.globalmuslim.web.id/2011/12/sunda-dan-islam.html.
Yus Rusyana. Bagbagan Puisi Sawer Sunda. (Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda, 1971).
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh, (Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958).
Zakiyuddin Sa’ban, Ushul al-Fiqh al-Islamiy (Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, 1968).




[1] Abu al-Fida Ismail bin Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim Jilid III, (Kuwait: Jam’iyyah Ihya al-Turats al-Islami, 2001), hlm. 1876.  
[2] Nina Herlina Lubis, Sejarah Tatar Sunda Jilid 1, (Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, 2003), hlm. 155.
[3] Kata Sunda berasal dari kata “Sund” berarti bagus/baik, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. H. Hasan Mustapa menyebutkan bahwa kata “Sunda” berasal dari kata “Sundek” yang berarti bagus secara arti dan hakiki. Lihat H. Hasan Mustapa, Adat Istiadat Sunda, (Bandung: PT. Alumni, 2010), hlm. 225. Orang Sunda diyakini memiliki etos/watak/karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak/karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/cerdas).
[4] Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Studi Pendekatan Sejarah Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009), cet. Ke-9, hlm. 62.  
[5] Anis Djatisunda, Baduy Rawayan Urang Kanekes, (Bandung: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa barat, 1993), hlm. 3. 
[6] HR. Ahmad. Lihat Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah ahadits al-Shahihah Juz I/112, Maktabah Syamilah.
[7] Ajip Rosjidi, Mencari Sosok Manusia Sunda, (Pustaka Jaya Jakarta, 2010), hlm.50.
[8] H. M. Didi Turmudzi, Keserasian Islam & Sunda dalam  http://pajajaran.blogspot.com/2008/09/ keserasian-islam-sunda.html.
[9] Kepercayaan animisme (dari bahasa latin anima atau “roh”) adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh, yang mana animisme merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul di kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme yaitu percaya bahwa setiap benda di bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua, pohon atau batu besar) mempunyai jiwa.
[10] Kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar manusia yang diyakini memiliki kekuatan ghaib seperti batu, gunung, dan benda-benda keramat lainnya.
[11] Tiar Anwar Bachtiar, Sunda dan Islam, pada http://www.globalmuslim.web.id/2011/12/sunda-dan-islam.html.
[12] Demininggus Pekei, Tinjauan Keyakinan dan Agama Asli Orang Mee di Papua, sumber: http://majalahselangkah.com/content/tinjauan-keyakinan-dan-agama-asli-orang-mee-di-papua.
[13] Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 2008), hlm. 1189.
[14] Judistira K. Garna, Orang Baduy, hlm. 61. 
[15] Bandingkan dengan Jul Jacobs, De Badoej’s, terjemah oleh Judistira K. Garna, Orang Baduy, (Bandung: Primaco Akademikan dan Judistira Garna Foundation, 2012), hlm.6. 
[16] Istilah primitive digunakan oleh ahli-ahli dari Barat yang menganggap bahwa agama selain dari Eropa dianggap tertinggal. Penulis sangat tidak setuju dengan istilah ini sebagaimana juga tidak setuju dengan istilah tradisional dan modern dalam terminologi Barat.
[17] E. E. Evans Pritshard, Teori-teori tentang Agama Primitif, (Yogyakarta: PLP2M, 1984), hlm. 17.
[18] Lihat Saléh Danasasmita. Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2003).
[19] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Mesir: Dar Al-Fath).
[20] Lihat Yus Rusyana. Bagbagan Puisi Sawer Sunda. (Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda, 1971).
[21] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hlm. 282. Lebih lanjut lihat Zahrah, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh, (Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), hlm. 273. Khallaf, Abd a-Wahhab, Ushul Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), cet.ke-20, hlm. 79. Ahmad Fahmi Abu Sinnah, al-‘Urf fi Ra’yi Fuqaha, (Mesir: Mathba’ah Al-Azhar, tahun 1947), hlm. 11. Zakiyuddin Sa’ban, Ushul al-Fiqh al-Islamiy (Kairo: Daar Nahdhoh Arabiyah, 1968), hlm. 192. Mushtafa Ahmad Zarqa, Al-Madkhal fi Fiqh al-‘Am, hlm. 872. Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal li Dirasah al-Syariah al-Islamiyah, (Iskandariyah: Daar Umar bin Khattan, tt), hlm. 205.
[22] Khalifah Umar bin Khattab tercatat sebagai khalifah yang banyak menjadikan adat kebiasaan masyarakat pada negeri-negeri taklukan sebagai bagian dari sistem kekhalifahannya. Misalnya ia mengadopsi sistem diwan, registrasi, kharaj dan layanan pos yang sebagian diambil dari adat kebaisaan kekaisaran Bizantium dan Persia. Lihat lebih lanjut Muhammad Muhammad al-Madany, Nadzaraat fi Fiqh al-Faruq Umar ibn al-Khattab, (Kairo: Wizarah al-Auqaf, 2002).
[23] Ahmad Fahmi Abu Sinnah, Al-‘Urf Wal ‘Adah fi Ra’yil Fuqaha, (Mesir: Mathba’ah Al-Azhar, tahun 1947), hlm. 12.
[24] Allah ta’ala berfirman: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (QS. al-Baqarah [2]: 233).
[25] Jaih Mubarak, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 311.
[26] Jalaluddin al-Suyuti, al-Asybah wa Nadzair, (Beirut : Daar Al-Kutub al- Araby,tt) hlm. 90.
[27] Ibnu Hummam, Syarh Fathu al-Qadir, (Kairo: Matba’at Musthafa Muhammad, 1937), jilid 5, hlm. 283.
[28] Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, (Kairo: Maktabah al-Sa’adah, 1912), jilid 12, hlm 199. 
[29] Muhammad Ibnu Hasan al-Syaibani, Siyar al-Kabir, lihat Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, hlm. 20. 
[30] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Kairo: Daar al-Manar, 1947), hlm. 485.
[31] Al-Tufi, Al-Mashlahah di Tasri’ al-Islami, lihat Ratno Lukito, “Pergumulan Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia,  hlm. 23 
[32] Abu Abdillah Muhammad bin Bakr bin Ayyub Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqi’in ‘a Rabbil ‘Alamaiin, (Riyadh: Daar ibn al-Jauzy, 1423 H), Jilid I, hlm. 40.
[33] Ahli hukum Islam kontemporer yang mengkaji secara mendalam teori ‘urf adalah Fahmi Abu Sinnah, Wahbah al-Zuhaili, Muhammad Abu Zahra, Abdul Wahab Khalaf, Hasbi Ash-Shidiqie dan ahli hukum Islam lainnya
[34] Al-Qur’an menggunakan kata ‘urf dengan beberapa lafadz, yaitu ‘Arafa: QS. Yusuf [12]: 58. QS. Muhammad [47]: 6. Lafadz ‘Arrafuu: QS. al-Baqarah [2]: 89. QS. al-Maidah [5]: 83. Lafadz ‘Arafta: QS. Muhammad [47]: 30. Lafadz ‘Arrafa: QS. At-Tahrim [66]: 3. Lafadz ya’rifu: QS. al-Baqarah [2]: 146. QS. al-An’am [6]: 20. QS. al-A’raf [7]: 46, 48. QS An-Nahl [16]: 83. QS. al-Mukmin [40]: 69. QS. Al-Hajj [22]: 72. QS An-Naml [27]: 93. Lafadz ‘Urf dan al-‘Urf: QS. al-Mursalaat [77]: 1. QS. al-A'raf [7]: 199. Lafadz ma'ruf dan al-ma’ruf: QS. al-Baqarah [2]: 178, 180, 228, 229, 231, 234-236, 240, 241, 263. QS. Muhammad [47]: 21. QS. al-Nisaa [4]: 114. QS. al-Mumtahanah [60]: 12. QS. Luqman [31]: 15. QS. al-Nisaa [4]: 5,6, 8. QS. al-Nur [24]: 53. QS. al-A’raf [7]: 157. (QS. Luqman [31]: 17. QS. Ali Imran  [3]: 104, 110, 114. QS. al-Nisaa [4]: 19, 25. QS. Al-Hajj [22]: 41. QS. al-Taubah [9]: 67, 71, 112. Lafadz i’tarofu:  QS. al-Taubah [9]: 102.  Lafadz yata’arafu: QS. Yunus [10]: 45.

[35] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisir Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Manan (Kuwait: Jam’iyyah Ihya At-Turats Al-Islami, tahun 2008), hlm. 313.  
[36] Imam al-Sakhawy berpendapat bahwa matan hadits ini terdapat dalam musnad Imam Ahmad ibn Hanbal dan berstatus mauquf dari Abdullah ibn Mas’ud serta statusnya hasan. Pendapat senada juga dilontarkan oleh al-Alla’iy sebagaimana yang dikutip oleh Abu Bakr al-Suyuthi yang menyatakan bahwa matan hadits ini tidaklah marfu’ dari Rasulullah akan tetapi merupakan perkataan Abdullah ibn Mas’ud. Lihat Jalaludin al-Suyuti, al-Asybah wa Nadzair, hlm. 91. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...