Jumat, 09 Mei 2014

Seri Disertasi: ‘Urf dalam Al-Hadits

Oleh: Abdurrahman Misno BP

Adat kebiasaan masyarakat Arab yang terdapat di dalam Hadits Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam berkaitan dengan masalah muamalah yaitu tentang kebolehan jual beli ‘araya, salam,[1] kebolehan mengambil uang suami bagi istri dengan cara yang baik, hitungan masa haidh dan yang lainnya. Berikut ini adalah hadits-hadits yang berkaitan dengan adat dan ‘urf yang ada pada hadits-hadits beliau:
Hadits pertama adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam kepada Hindun binti ‘Uqbah sebagai istri Abu Sufyan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ هِنْدُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ مَا يَكْفِينِي وَبَنِيَّ قَالَ خُذِي بِالْمَعْرُوفِ
Dari Aisyah radhiallahu ‘anhuma, Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, datang menemui Rasulullah saw. lalu berkata: Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir, dia tidak pernah memberikan nafkah kepadaku yang dapat mencukupi kebutuhanku dan anak-anakku kecuali apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena itu? Rasulullah saw. bersabda: Ambillah dari hartanya dengan cara yang baik yang dapat mencukupimu dan mencukupi anak-anakmu. HR. Bukhari dan Muslim.
  
Maksud dari hadits ini adalah bahwa Hindun diperbolehkan untuk mengambil harta Abu Sufyan dengan syarat  بِالْمَعْرُوفِ (tata cara yang baik) yaitu boleh mengambil secara wajar untuk kebutuhannya dan keluarganya. Pengambilan secara wajar tidak disebutkan nominalnya oleh Nabi karena kebutuhan hidup tentu berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya. Hanya saja beliau juga sudah mengetahui bahwa Hindun akan mengambil sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan riwayat tersebut maka sesuatu yang sudah diketahui (al-ma’ruf) adalah setiap sesuatu yang sudah dipahami oleh masyarakat tentang kebaikannya dengan tidak melebihkan dan tidak menguranginya. Hal ini sudah diketahui oleh setiap anggota masyarakat karena telah dilakukan secara berulang-ulang dan dianggap benar. Selanjutnya sebuah riwayat mauquf dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda:
 مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
Apa saja yang dipandang baik oleh ummat Islam, maka hal itu juga baik menurut Allah. HR. Ahmad.
Rasulullah dalam riwayat ini menjelaskan bahwa Allah akan melegalisir apa saja yang dianggap baik oleh manusia. Ini mengindikasikan bahwa jika ‘urf dipandang baik oleh ummat Islam, berarti akan dianggap sebagai hukum di sisi Allah ta’ala. Di samping itu mustahil hal-hal yang tidak baik dan keji akan dianggap sebagai sesuatu yang baik dalam pandangan manusia khususnya ummat Islam. Sehingga umat Islam akan senantiasa memilih sesuatu yang baik bagi dirinya dan bagi umatnya. Namun riwayat ini dipertanyakan keshahihannya, Imam al-Sakhawy berpendapat bahwa matan ini terdapat dalam musnad Imam Ahmad ibn Hanbal dan berstatus mauquf dari Abdullah ibn Mas’ud serta statusnya hasan. Pendapat senada juga dilontarkan oleh al-Alla’iy sebagaimana yang dikutip oleh Abu Bakr al-Sayuthi yang menyatakan bahwa matan hadits ini tidaklah marfu’ dari Rasulullah akan tetapi merupakan perkataan Abdullah ibn Mas’ud. Kesimpulan ini diambil setelah ia melakukan penelitian yang panjang, baik dalam kitab-kitab hadits maupun dalam sanad-sanad yang dhaif. Ternyata matan ini hanya bisa ditemukan dalam musnad Imam Ahmad ibn Hanbal.[2] Sehingga kesimpulannya adalah bahwa riwayat ini tidak bisa disandarkan kepada Nabi Muhmammad Shalallahu Alaihi Wassalam. Walaupun demikian riwayat mauquf  ini sejalan dengan hadits Nabi yang lainnya di mana beliau bersabda:
لا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلالَةِ
Umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. HR. Ahmad dan al-Thabrani.
Selain itu, riwayat mauquf ini bisa juga digunakan sebagai dalil bahwasanya kebaikan (hasanan) yang dipandang baik oleh umat Islam maka insya Allah ta’ala juga baik di sisi Allah. Maka adat kebiasaan yang itu dipandang baik oleh masyarakat bisa dilaksanakan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang universal. Berikutnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas mengenai bolehnya jual beli salam:
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ .. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan mereka (penduduknya) biasa melakukan jual beli salaf pada buah-buahan untuk masa setahun dan dua tahun. Maka beliau bersabda: "Barangsiapa yang melakukan jual beli salaf pada buah-buahan hendaknya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan waktu yang jelas pula." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa berjual beli salaf pada sesuatu."[3]

  Hadits ini merupakan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Thirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dll. Isi dari hadits ini adalah berkenaan dengan adat kebiasaan masyarakat di Madinah yang melakukan jual beli dengan sistem salam atau salaf.[4] Merujuk pada sistem jual beli yang diperbolehkan dalam Islam bahwa jual beli akan sah ketika rukun-rukunnya terpenuhi yaitu: Ba’i (penjual), Musytari (pembeli), Sighat (ijab dan qabul) dan Ma’qud alaihi (benda atau barang).[5]
Berdasarkan rukun tersebut maka jual beli di mana benda yang menjadi obyeknya tidak ada maka batal dilakukan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam:
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu. HR. Abu Dawud, Tirmidzi, al-Nasaa’i, Ibnu Majah dan Ahmad.
Hadits ini menunjukan bahwa tidak sah jual beli apabila benda sebagai obyeknya tidak dimiliki oleh penjualnya. Kepemilikan sebagaimana syarat jual beli adalah syarat sahnya suatu jual beli. Riwayat yang lain yang menguatkannya adalah: 
نهى رسول صلى الله عليه وسلم عن بيع ما لم يقبض
Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam melarang jual beli yang bendanya belum dimiliki. HR. Ahmad.
Sementara secara khusus apabila obyek akad dalam jual beli belum ada tidak boleh dilakukan karena akan batal jual belinya tersebut. Inilah inti larangan Nabi dalam haditsnya:
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِى الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّى الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِى أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ : لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Dari Hakim bin Hizam, "Beliau berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual beli, denganku, barang yang belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?' Kemudian, Nabi bersabda, 'Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki. HR. Abu Daud. 

Berdasarkan hadits ini maka jual beli pada barang yang belum dimiliki atau tidak ada tidak diperkenankan. Pada sebuah riwayat yang dha’if disebutkan:
 نهى رسول صلى الله عليه وسلم عن بيع  المدوم
 Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam melarang jual beli yang bendanya tidak ada. HR. Thirmidzi.
Pada asalnya Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam melarang melakukan jual beli dengan obyek akad (ma’qud) tidak ada. Namun, ternyata adat kebiasaan yang dilakukan penduduk di Madinah oleh justru mereka melakukan jual beli salam, di mana obyek jual belinya belum ada. Maka kebiasaan ini tidak dilarang oleh Nabi, beliau hanya memberikan aturan agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dalam jual beli tersebut, yaitu keharusan adanya timbangan dan takaran yang jelas, waktu penyerahan yang jelas dan bendanya sudah jelas karakteristiknya. Maka adat kebiasaan dan ‘urf yang berlaku pada masyarakat Madinah bisa diterima oleh Nabi, sehingga dapat diambil kesimpulan pula bahwa setiap adat kebiasaan yang baik (‘urf) bisa diterima dan dibolehkan dalam Islam.
Berkaitan dengan adat jual beli yang berlaku di Hijaz, Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam juga membolehkan jual beli ‘araya bagi umat Islam berdasarkan pelaksanaannya telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat.[6] Hal ini tercatat dalam haditsnya:
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَطِيبَ وَلَا يُبَاعُ شَيْءٌ مِنْهُ إِلَّا بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ إِلَّا الْعَرَايَا
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang menjual buah (dari pohon) kecuali telah nampak baiknya dan tidak boleh dijual sesuatupun darinya kecuali dengan dinar dan dirham kecuali ‘ariyyah”. HR. Bukhari dan Muslim.

Bentuk tunggal untuk kata “araya” adalah “ariyyah”. “Ariyyah”, secara bahasa, artinya ‘telanjang’. Dinamakan demikian karena barang ini dikeluarkan dari bentuk jual beli yang haram, padahal bentuknya mirip dengan jual beli yang haram. Karena itu, jual beli ariyyah merupakan pengecualian dari jual beli yang diharamkan. Barang itu adalah kurma basah yang ditawarkan pemiliknya kepada orang lain agar dimakan. Orang yang makan kurma, dalam bahasa Arab, dinamakan “ista`arra ar-rajulu”. Adapun secara istilah, ulama Syafi`iyah memberikan pengertian jual beli “araya” adalah ‘menjual kurma basah yang ada di pohon dengan kurma kering yang ada di tangan, dengan takaran yang telah ditetapkan syariat’.
Pada asalnya sistem jual beli ini tidak diperbolehkan, namun karena kebiasaan di masyarakat dan kebutuhan akan hal tersebut, maka Islam membolehkannya dengan ukuran yang jelas sebagaimana dalam jual beli salam. Hal ini ditegaskan dalam sebuah riwayat dari Zaid bin Tsabit:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ فِي بَيْعِ الْعَرَايَا بِالتَّمْرِ وَالرُّطَبِ
Nabi telah memberikan keringanan untuk menjual 'araya (ruthab atau anggur di atas pohon) dengan kurma dan ruthab. HR. Abu Daud. 
Adat kebiasaan juga diterapkan oleh Nabi dalam masalah hukum (jinayah) sebagai sebuah riwayat menyebutkan:
أَنَّ نَاقَةً لِلْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ ، دَخَلَتْ حَائِطَ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ فَأَفْسَدَتْ فِيهِ ، فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَهْلِ الْحَوَائِطِ حِفْظُهَا بِالنَّهَارِ ، وَعَلَى أَهْلِ الْمَاشِيَةِ مَا أَفْسَدَتْ مَاشِيَتُهُمْ بِاللَّيْلِ
Bahwasanya unta al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu masuk kebun seseorang dan merusaknya. Lalu Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menetapkan putusan bahwa pemilik kebun wajib menjaga kebunnya di siang hari, dan apa yang dirusak unta di malam hari menjadi tanggungan pemilik unta. HR. Abu Dawud  dan Ibnu Majah.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam melandaskan hukum Beliau ini pada kebiasaan yang umum berlaku bahwa pemilik ternak melepaskan ternak mereka di siang hari dan tidak melepasnya di waktu malam. Sedangkan pemilik kebun biasanya berada di kebun pada siang hari saja. Maka barangsiapa menyelisihi kebiasaan ini, berarti ia telah teledor dalam menjaga hak miliknya, sehingga laksana orang yang meyimpan hartanya di tengah jalan, maka orang yang mencurinya tidak dikenai potong tangan. Ini menunjukkan bahwa ‘urf diperhitungkan dalam penetapan hukum ini.
Adat kebiasaan yang ada pada individu juga menjadi bagian dalam penetapan hukum Islam. Diantaranya adalah kebiasaan masa haidh bagi perempuan, sebuah hadits dari Rasulullah menceritakan: 
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا اسْتَفْتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي امْرَأَةٍ تُهَرَاقُ الدَّمَ فَقَالَ تَنْتَظِرُ قَدْرَ اللَّيَالِي وَالْأَيَّامِ الَّتِي كَانَتْ تَحِيضُهُنَّ وَقَدْرَهُنَّ مِنْ الشَّهْرِ فَتَدَعُ الصَّلَاةَ ثُمَّ لِتَغْتَسِلْ وَلْتَسْتَثْفِرْ ثُمَّ تُصَلِّي
Dari Ummu Salamah isteri Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam bahwa seorang wanita mengeluarkan darah (istihadhah) pada zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam maka Ummu Salamah memintakan fatwa untuknya, dan Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam menjawab: “Hendaklah ia melihat jumlah malam dan hari haidh dia setiap bulannya sebelum mengalami sakit yang sekarang ini, maka hendaklah ia meninggalkan shalat sebanyak hari itu, dan jika sudah selesai, hendaklah dia mandi kemudian membalutnya dengan kain lalu shalat.” HR. Ahmad dan Abu Dawud. 

Rasulullah dalam hadits ini merujuk kepada jumlah hari haidh yang biasa dialami wanita tersebut sebelum mengalami istihadhah. Ini menunjukkan bahwa adatlah yang dipakai untuk menetapkan hukum batasan seorang wanita mengalami haidh. Berikutnya adalah istilah ma’ruf  yang digunakan oleh Nabi dalam batasan memakan harta dari wakaf: 
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ فِي الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ
Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata: Umar ra. mendapat sebidang tanah di Khaibar kemudian ia menghadap Nabi saw. untuk meminta petunjuk tentang pemanfaatannya. Umar berkata: Wahai Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah saya dapatkan harta lain yang lebih berharga darinya. Apa saran engkau tentang hal ini? Beliau bersabda: Jika kamu suka, kamu bisa mewakafkan asetnya dan bersedekah dengan hasilnya. Maka Umar bersedekah dengan hasilnya atas dasar asetnya tidak boleh dijual, dibeli, diwarisi atau dihibahkan. Umar bersedekah kepada fakir-miskin, kerabat, untuk memerdekakan budak, jihad di jalan Allah, ibnu sabil serta tamu. Tidak dosa bagi orang yang mengurusnya memakan sebagian hasilnya dengan cara yang baik atau untuk memberi makan seorang teman tanpa menyimpannya. HR. Bukhari dan Muslim.

Hadits ini menunjukan kebolehan bagi para pengelola wakaf (nadzir) untuk memakan hasil dari wakaf tersebut dengan cara yang baik. Jika wakaf tersebut adalah wakaf dzurry maka diperbolehkan bagi keluarga untuk memakan sebagian hasilnya dengan cara yang ma’ruf. Selanjutnya adalah perbuatan ma’ruf seseorang kepada budaknya. Rasulullah bersabda:
لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يُكَلَّفُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيقُ و حَدَّثَنِي مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يَذْهَبُ إِلَى الْعَوَالِي كُلَّ يَوْمِ سَبْتٍ فَإِذَا وَجَدَ عَبْدًا فِي عَمَلٍ لَا يُطِيقُهُ وَضَعَ عَنْهُ مِنْهُ
Bagi budak ada hak untuk diberi makan dan pakaian dengan cara yang ma'ruf, janganlah membebaninya dengan pekerjaan yang ia tidak mampu melaksanakannya. HR. Malik, al-Baihaqi, dll.

Cara yang makruf dalam memberikan makan dan pakaian bagi para budak adalah sesuai dengan ketentuan dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat tersebut sebagaimana sudah dikenal di antara mereka. Berbuat baik kepada para hamba merupakan hal makruf yang sangat dianjurkan dalam Islam, lebih dari itu adalah memerdekakannya.
 Berdasarkan hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa adat dan ‘urf terdapat dalam banyak sabda-sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam. Baik berupa sabda beliau, tindakan beliau dan sesuatu yang dibenarkan oleh beliau (taqrir). Sehingga adat dan ‘urf menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Nabi serta dalam penetapan hukum Islam pada masa beliau. Hal ini berlanjut hingga pada masa-masa berikutnya, khalifah Umar bin Khattab banyak melakukan keputusan hukum dengan pertimbangan tradisi yang ada di masyarakat. Misalnya dalam memutuskan masalah persewaan dan peminjaman yang telah lama dilakukan oleh masyarakat Arab.[7] Hal ini terus berlanjut hingga pada masa-masa berikutnya.


[1] Jual beli ini berupa pemesanan barang di mana pembeli memberikan uang terlebih dahulu dan barang diserahkan kemudian.
[2] Jalaludin al-Suyuti, al-Asybah wa Nadzair, hlm. 91.
[3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam (Kuwait: Jam’iyah Ihya At-Turats Al-Islami, tahun 2001), hlm. 262. 
[4] Jual beli salam adalah jual beli yang dilakukan dengan tidak tunai, yaitu barang/benda yang menjadi obyeknya belum ada pada saat transaksi berlangsung. Penyerahan barang dilakukan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak
[5] Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, tahun 2004), hlm. 76.
[6] Ayman Shabana, Custom in Islamic Law and Legal Theory: The Development of the Concepts of ‘Urf and ‘Ådah in the Islamic Legal Tradition, hlm 54.
[7] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 50. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...