Oleh: Unang Wahidin
Abstrak
Membaca pada masa kini sudah merupakan suatu
kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Kenyataan ini merupakan
suatu yang tidak dapat dibantah lagi. Membaca merupakan suatu keterampilan yang
sangat penting bagi semua orang dalam masyarakat. Kebutuhan keterampilan akan
membaca ini diperlukan setelah seseorang mulai membutuhkan informasi dan terus
berlanjut sampai akhir hidupnya.
Membaca mempunyai peranan yang besar dalam
keberhasilan seseorang di sekolah. Tidak dapat dibayangkan bagaimana proses
belajar mengajar terjadi tanpa kegiatan membaca. Selain itu, peranan membaca
setelah memasuki dunia kerja sebenarnya juga sama. Pengetahuan yang diperoleh
dalam pendidikan merupakan bekal dasar dalam dunia kerja, tetapi perkembangan
yang dihadapi tidak mencukupi tanpa ditambah dengan kegiatan membaca.
Belajar membaca sangat menentukan
perkembangan mental anak dan merupakan kegiatan yang sangat penting untuk
meningkatkan potensi diri anak usia dini. Hal ini dimungkinkan karena membaca
melibatkan banyak faktor seperti pemahaman, penglihatan, waktu, jumlah, kecepatan,
lingkungan sekitar, umur, ingatan, organisasi, gaya sastra, analisis,
tipografi, kosa kata, konsentrasi, subvokalisasi, seleksi, pencatatan, dan
motivasi.
Kata Kunci: Budaya Gemar Membaca, Usia Dini
A. Latar Belakang Masalah
Salah
satu keutamaan besar dalam Islam, adalah membuka pintu-pintu pengetahuan
selebar-lebarnya bagi para pengikutnya. Yakni, agar mereka menggali ilmu-ilmu
yang bermanfaat dari semua bidang ilmu yang demikian luasnya itu. Pasalnya, dengan
ilmu itulah kaum muslimin akan berhasil membangun sebuah masyarakat yang kokoh
dan berbudaya. Pada sisi lain, mereka juga akan terdorong untuk senantiasa
melakukan pembaruan, pengembangan dan kemajuan.
Al-Qur’an
senantiasa mendorong kaum muslimin untuk belajar dan menuntut ilmu. Hal ini
sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa
Ta’ala dalam surat Thaha ayat 114, yang berbunyi:
@è%ur Éb>§ ÎT÷Î $VJù=Ïã
Dan
Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
Juga firman Allah Subhaanahu wa
Ta’ala dalam Al-Qur’an Surat Az-Zumar ayat 9 yang berbunyi:
ôö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôèt tûïÏ%©!$#ur w tbqßJn=ôèt
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Dalam
rangka mendorong umat Islam agar gemar menuntut ilmu ini, Al-Qur’an beberapa
kali menyebutkan penghargaan yang demikian tinggi bagi orang-orang yang
berilmu. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an Surat Al-Mujadilah ayat 11,
yang berbunyi:
Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Untuk
mendapatkan derajat yang tinggi sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala di atas, maka
manusia harus berilmu pengetahuan, karena pada hakikatnya manusia adalah
makhluk belajar. Manusia lahir tanpa memiliki pengetahuan, sikap, dan kecakapan
apapun, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi mengetahui, mengenal, dan
menguasai banyak hal. Itu terjadi karena manusia belajar dengan menggunakan
potensi dan kapasitas diri yang telah dianugerahkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala kepadanya. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an
Surat al-Nahl ayat 78 yang berbunyi:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
“Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.”
Orang
mukmin hendaknya mampu mensyukuri anugerah tersebut dengan memfungsikan potensi
dan kapasitasnya untuk selalu belajar. Belajar adalah key term (istilah kunci) yang paling vital dalam setiap usaha
pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan.[1] Sebagai suatu proses,
belajar hampir selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu
yang berkaitan dengan upaya kependidikan. Perubahan dan kemampuan untuk berubah
merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam belajar. Karena kemampuan
berubahlah, manusia terbebas dari kemandegan fungsinya sebagai khalifah di
bumi. Selain itu, dengan kemampuan berubah melalui belajar, manusia secara
bebas dapat mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting
untuk kehidupannya. Belajar juga memainkan peranan penting dalam mempertahankan
kehidupan sekelompok umat manusia (bangsa) di tengah-tengah persaingan yang
semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih dahulu maju karena
belajar.
Dari
berbagai pengertian belajar yang berbeda-beda, tampaknya ada semacam
kesepakatan di antara para ahli yang mengatakan bahwa perbuatan belajar
mengandung perubahan dalam diri seseorang yang telah melakukan perbuatan
belajar. Perubahan tersebut bersifat sebagai berikut:[2]
1.
Intensional, berarti perubahan itu terjadi karena pengalaman atau praktik
yang dilakukan pelajar dengan sengaja dan disadari, bukan kebetulan.
2.
Positif, berarti perubahan itu bermanfaat sesuai dengan harapan pelajar, di
samping menghasilkan sesuatu yang baru yang lebih baik dibanding yang telah ada
sebelumnya.
3.
Aktif, berarti perubahan itu terjadi karena usaha yang dilakukan pelajar,
bukan terjadi dengan sendirinya seperti karena proses kematangan.
4.
Efektif, berarti perubahan itu memberikan pengaruh dan manfaat bagi
pelajar.
5.
Fungsional, berarti perubahan itu relatif tetap serta dapat direproduksi
atau dimanfaatkan setiap kali dibutuhkan.
Perubahan
di dalam orang yang belajar terdapat perbedaan keadaan antara sebelum dan
sesudah melakukan kegiatan belajar. Pengertian tersebut memberi petunjuk bahwa
keberhasilan belajar dapat diukur dengan adanya perubahan. Karenanya,
keberhasilan suatu program pengajaran dapat diukur berdasarkan perbedaan cara
belajar berpikir, merasa, dan berbuat sebelum dan sesudah memperoleh pengalaman
belajar dalam menghadapi situasi yang serupa.
Dalam
sejarah proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, membaca merupakan
kunci dari belajar. Keterampilan membaca secara kritis menjadi modal dasar
untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menyintesiskan bahan bacaan. Dengan
membaca, pemikiran terbuka untuk melihat antar hubungan ide-ide dan
menggunakannya sebagai salah satu tujuan dari membaca.
Dalam
membangun masyarakat yang beradab dan maju, maka budaya baca perlu ditumbuhkan.
Hal ini yang mendasari mengapa budaya
baca terus-menerus dikumandangkan baik oleh pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, tokoh masyarakat, pendidik, agamawan, hingga orang yang peduli pada
kemajuan peradaban.
Saat
ini masyarakat Indonesia pada umumnya masih berada dalam proses transisi dari
budaya lisan ke budaya tulisan. Kebiasaan membaca masih belum berkembang dengan
sepenuhnya pada anggota-anggota masyarakat. Kecenderungan mendapatkan informasi
melalui percakapan (dengan lisan) tampaknya masih lebih kuat daripada melalui
bacaan (dengan tulisan). Kecenderungan ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa
minat dan kebiasaan membaca di kalangan siswa relatif masih lemah. Anjuran yang
sering terdengar dari pihak pemerintah dan berbagai kalangan pemimpin
masyarakat untuk meningkatkan minat membaca adalah juga merupakan bukti
kecenderungan di atas.
Sebagai
negara yang sedang berkembang, Indonesia masih dalam proses menuju masyarakat
gemar membaca. Sayangnya, budaya membaca itu belum meluas. Kebiasaan dan
kegemaran membaca, baru membudaya di kalangan kecil masyarakat, yakni para
siswa/mahasiswa, guru, kaum intelektual, tokoh agama, serta orang karena tugas
dan jabatannya dituntut untuk selalu membaca. Di sekolah formal pun, kebiasaan
membaca sangat memprihatinkan. Di tingkat sekolah, survei yang dilakukan Bank
Dunia (Indonesia: Book and Development)
[3] mengungkapkan, “The reading habit does not appear to be
established among primary school pupils”.
Di
jenjang pendidikan dasar, kebiasaan membaca anak-anak masih rendah. Survei yang
pernah dilakukan mencatat, kemampuan membaca anak Sekolah Dasar (SD) di
Indonesia menempati peringkat ke-26 dari 27 negara yang disurvei. Fakta ini
diperteguh hasil penelitian Programme for
International Student Assesment (PISA) tahun 2003 yang diselenggarakan oleh
80 negara anggota Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD). Penelitian tersebut
menyimpulkan, kemampuan membaca anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun berada pada
urutan terbawah. Yang diukur PISA adalah kemampuan siswa untuk mengambil teks,
kemampuan menafsirkan teks, serta kemampuan mengolah dan memberi makna pada
teks tersebut. Dari 40 negara peserta penelitian PISA 2003 itu, Indonesia
berada di urutan ke-40, atau pada Tingkat Satu. Artinya, anak Indonesia hanya
sanggup mengambil satu atau dua informasi pokok dari sebuah teks, tidak sanggup
ke luar dari maksud atau tema sebuah teks, dan membuat hubungan yang sederhana antara
informasi dari teks dengan pengetahuan umum di luar teks sebatas itu memiliki
kaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Sedangkan
dalam Laporan Program Pembangunan tahun 2005 Organisasi dunia Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB)[4]
membuat daftar negara menurut tingkat melek huruf di mana Indonesia berada pada
urutan ke-95 dari 175 negara. Dari data tersebut menggambarkan bahwa masih
banyak dari masyarakat Indonesia yang belum bisa membaca atau buta huruf bila
dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Dapat
membaca berarti melek aksara atau melek huruf[5]. Lawan katanya adalah buta
huruf atau tuna aksara, dimana ketidakmampuan membaca ini masih menjadi
masalah. Melek aksara juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
bahasa dan menggunakannya untuk mengerti sebuah bacaan, mendengarkan perkataan, mengungkapkannya dalam bentuk tulisan,
dan berbicara. Dalam perkembangan modern kata ini lalu diartikan sebagai
kemampuan untuk membaca dan menulis pada tingkat yang baik untuk berkomunikasi
dengan orang lain, atau dalam taraf bahwa seseorang dapat menyampaikan idenya
dalam masyarakat yang mampu baca sehingga mampu menjadi bagian dari masyarakat
tersebut.
Organisasi
dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan
Kebudayaan (UNESCO) memiliki definisi melek aksara atau melek huruf sebagai
berikut:[6]
“Melek aksara adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan,
membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang
terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai
situasi”.
Kemampuan
membaca dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh
seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, di mana hal ini
berkaitan langsung bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali
potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.
Banyak
analis kebijakan menganggap angka melek aksara adalah tolak ukur penting dalam
mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia di suatu daerah. Hal ini
didasarkan pada pemikiran bahwa melatih orang yang mampu baca memiliki status
sosial ekonomi, kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih baik.
Argumentasi para analis kebijakan ini juga menganggap kemampuan baca juga
berarti peningkatan peluang kerja dan akses yang lebih luas pada pendidikan
yang lebih tinggi.
Sumber : Jurnal Edukasi Islami Vol. 01 Tahun 2012 STAI Al-Hidayah Bogor
[1] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 2000, hlm:94.
[2] H.M. Suparta dan Herry Noer Aly, Metodologi Pengajaran Agama Islam,
Jakarta, Amissco, 2003, hlm:27.
[3] R. Masri Sareb Putra, Menumbuhkan Minat Baca Sejak Dini,
Jakarta, 2008, hlm:131.
[4] United Nations Development Programme Report, 2005. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar negara menurut
tingkat melek huruf, Html. 20 Februari 2010.
[5] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2002, hlm:729.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...