Oleh : Abdurrahman Misno Bambang Prawiro
A.
Latar Belakang Penelitian
Teori masuknya Islam ke Indonesia terbagi menjadi tiga pendapat, pendapat
pertama menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada tahun 675 M, pendapat
ini disebutkan oleh T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a
History of The Propagation of The Moslem Faith, ia menjelaskan bahwa Islam
datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah atau pada Abad Ke-VII M[1]. Pendapat
kedua menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad Ke-
XI M. Hal ini didasarkan pada penemuan makam panjang di daerah Leran
Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam
itu terdapat prasasti huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun 475 H (1082
M)[2].
Sementara pendapat ketiga menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad Ke- XIII M. Pendapat ini disebutkan oleh R.A Kern, C. Snouck
Hurgronje dan Schrieke.[3]
Dari tiga teori ini ada satu titik
kesamaan yaitu bahwa semuanya berpendapat bahwa para penyebar Islam ke
Indonesia adalah para pedagang dan tokoh-tokoh sufi. Hal ini berarti bahwa
Islam yang dibawa oleh para pedagang dan tokoh-tokoh sufi memiliki corak tasawwuf
yang telah berkembang di wilayah timur tengah dan India. Corak Islam
seperti inilah yang kemudian mudah diterima oleh masyarakat Indonesia, di mana pada waktu itu masyarakat Indonesia telah
memiliki budaya dan adat-istiadat sendiri yang dekat dengan apa yang dibawa
oleh Islam berupa nilai-nilai ketasawuffan. Maka manakala Islam masuk ke
Indonesia keyakinan-keyakinan dan budaya-budaya lokal tersebut merasup ke dalam
tradisi Islam, sehingga terjadilah sinkretisme Islam.
Proses pembauran (sinkretisme) antara Islam dengan budaya lokal menciptakan
satu metode tersendiri dalam mencari suatu kebenaran. Sehingga pra guru sufi
yang datang dari India dan orang-orang Indonesia yang menuntut ilmu di Saudi
Arabia pulang dan menyebarkan tarekat ini. Metode tarekat pada komunitas sufi
diterima secara terbuka oleh masyarakat yang masih memiliki pengetahuan sangat
rendah tentang Islam. Dialog antara tarekat dari timur tengah dan India dengan
budaya lokal melahirkan satu metode baru di bidang tasawuf yang kemudian
berkembang dan diadopsi oleh beberapa komunitas Islam yang baru tumbuh di
Indonesia waktu itu.
Sejak saat itu munculah berbagai aliran dan tarekat sufi di Indonesia,
misalnya tarekat Naqshabandiyah, Tarekat Qadariyah, tarekat Syadziliyyah, tarekat
Ismailiyyah dan Tarekat Syattariyyah. Tarekat Syattariyah adalah salah satu
dari tarekat yang berkembang di Indonesia, walaupun pengikutnya tidak lebih
banyak dari Tarekat Qadariyah Naqshabandiyyah namun para pengikutnya memiliki
komitmen yang kuat terhadap tarekat yang mereka pegang.
Di antara komunitas Islam yang hingga saat ini masih melaksanakan tarekat
ini adalah komunitas Islam Aboge di Desa Ujungmanik Kecamatan Kawunganten
Kabupaten Cilacap Jawa Tengah. Di beberapa wilayah di Jawa bagian selatan Jawa komunitas
ini disebut dengan Islam Pasir, komunitas ini menyebar dari mulai Kabupaten
Wonosobo, Purbalingga, Purwokerto, Banyumas dan Cilacap[4].
Di antara karakteristik dari komunitas ini adalah sifatnya yang tertutup dengan
anggota masyarakat lainnya. Setiap yang akan menjadi anggota harus melalui
ritual khusus (Baingat).
Komunitas ini adalah salah satu dari bagian Islam Kejawen yang dalam
istilah Clifford Geertz disebut Islam Abangan.[5]
Jama’ah Islam Aboge menjalani tarekat Syattiriyyah sementara penduduk desa
Ujungmanik pada umumnya adalah pengikut tarekat Qadariyyah Naqsabandiyah. Bila
kita runut lebih jauh maka dua tarekat
ini memiliki suluk tersendiri yang saling berbeda antara yang satu
dengan yang lainnya. Di masyarakat Ujungmanik antara santri-santri Mbah Kyai
Nurkasim dan Mbah Haji Husain adalah dua kubu yang berbeda, komunitas pengikut
Mbah Kyai Nurkasim yang kini dikenal dengan Islam Aboge biasa disebut Islam
aliran merah, sedangkan Mbah Haji Husain para pengikut Mbah Haji Husain dikenal
dengan Islam aliran putih.[6]
Sebagaimana
disebutkan di awal bahwa Komunitas Islam Aboge melaksanakan tarekat
Syattariyah, tarekat ini berkembang pesat di ”wilayah-wilayah merah” yaitu
wilayah di Jawa, khususnya Jawa Tengah bagian selatan dengan mayoritas Islam
Abangan. Tarekat ini menjadi salah satu karakter khusus yang ada pada mereka.
Secara umum tarekat yang berkembang di desa Ujungmanik adalah Tarekat Naqsabandiyyah
Qadiriyyah. Maka bisa dipahami jika komunitas Islam Aboge dianggap berbeda
dengan sebagian besar tokoh agama di Ujungmanik. Tarekat Syatariyyah yang dianut oleh Komunitas
Islam Aboge adalah sebuah tarekat yang muncul pertama kali di India pada abad
ke-15 M. Tarekat ini dinisbahkan kepada Abdullah as -Syattar. Tarekat
ini awalnya dikenal di Iran dan Transoksania dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di
wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Dari penelitian yang
dilakukan oleh Martin Van Bruinessen salah seorang ahli antropologi, menyebutkan
bahwa tarekat ini banyak ditemukan di Jawa dan Sumatra. Ini berarti tarekat ini
disebarkan oleh para Sufi yang menyebarkan pahamnya ke Indonesia. Hubungan antara
satu komunitas dengan yang lainya dalam tarekat ini tidak saling berhubungan.
Tarekat ini relatif gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat sehingga
menjadi tarekat paling “mempribumi “di antara tarekat yang ada.[7]
Dari
penelusuran yang peneliti lakukan, model tarekat Syatariyyah yang dilaksanakan
oleh Komunitas Islam Aboge memiliki lelaku yang bersifat personal dan
tertutup. Sebenarnya secara umum model-model tarekat yang ada di Indonesia juga
tidak akan menceritakan bagaimana pengalaman Kasyaf yang mereka alami.
Demikian juga pada tarekat Syatiriyah[8],
mereka akan merahasiakan setiap pengalaman spiritual mereka.
Dari
wawancara mendalam dengan salah satu anggota jama’ah Tarekat Syatariyyah,
disebutkan bahwa mereka memiliki model suluk dengan cara berdzikir
dengan mengucapkan dengan La ilaha illa Allah sebanyak 99 kali, selanjutnya menekan bola
mata dengan kedua ibu jari. Dengan ini diharapkan mata dzahir kita
tertutup dan mata hati kita terbuka, sehingga akan mampu melihat hal-hal yang
tidak terlihat, semisal melihat nabi dan bahkan melihat Allah ta’ala. Secara
implisit anggota lainnya mengiyakan metode ini hanya tidak seperti yang
dibayangkan oleh masyarakat, ”Ya..... ora kaya kue carane” ”Ya... tidak
sampai begitu caranya” kata Pak Abu Kasan. Maka komunitas Islam Abogemeyakini
bahwa Allah ta’ala dapat ”dihadirkan” dalam saat-saat tertentu, yaitu ketika
dzikir-dzikir tertentu dilafadzkan. Tidak hanya itu, dengan melakukan ritual
tertentu seorang manusia dapat menyatu dengan Tuhan sebagai bentuk dari puncak
spiritual tarekat mereka.
Secara sosial kemasyarakatan komunitas Islam Aboge
bergaul dengan anggota masyarakat lainnya, hanya pada hal-hal yang berkaitan
dengan keyakinannya mereka akan ”mantheng” dan tidak ada dialog padanya.
Hal ini terbukti dengan terjadinya beberapa konflik antara komunitas Islam Aboge
dengan masyarakat di luar mereka. Walaupun konflik hanya terjadi dalam skala
kecil namun bisa jadi akan menjadi api dalam sekam. Beberapa konflik internal
pernah terjadi terutama konflik antara suami dan istri, kaitannya jika seorang
laki-laki menikah dengan perempuan dari luar komunitasnya maka sang istri wajib
untuk mengikuti komunitas ini sebagai mana suaminya.[9]
Sebaliknya jika seorang perempuan anggota komunitas Islam Aboge menikah dengan laki-laki di luar
komunitas maka sang istri secara otomatis keluar dari komunitas ini dengan
mengikuti sang suami. Dalam hal ini sang istri akan mengikuti keislaman
sebagaimana sang suami demikian pula dalam puasa ramadhan dan berhari raya.
[1] Lihat Prof. DR. Hamka, Dari Perbendaharaan Lama,
Pustaka Panjimas, Jakarta : 1996. Lihat pula Mansur Suryanegara dalam Api
Sejarah. Salamadani, Bandung :
2009.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo :
Jakarta, 2001, hal. 193.
[3] Sanusi Pane, Sejarah Indonesia, Perpustakaan Perguruan
Kementerian P.P. dan K. : Djakarta, 1955. Jilid I hal. 155.
[4] Joko Sulistyo, Analisis Hukum Islam Tentang Prinsip Penanggalan
Aboge Di Kelurahan Mudal Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo, Tesis
Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2008.
[5] Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya,
1981.
[6] Wawancara dengan Ust. Amirudin Kadar pada Desember 2010
[7] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia,
Mizan : Bandung, hal. 16
[8] Sebagaimana disebutkan oleh bapak Warsidi mengenai model tarekat
Syatiriyyah.
[9] Dituturkan oleh Ibu Tuniyah yang menikah dengan Bapak Kasan.
Berkunjung, nice share...
BalasHapus