Oleh: Ibnu Khaldun
Tulisan ini akan menganalisis tentang
sistim pemilihan kepala negara dimasa Al-Khulafa al-Rasyidin, terbentuknya
sistim khalifahan dan bagaimana mengkontekstualisasikan dengan pemikiran
politik yang berkembang pada saat ini. Dari berbagai referensi yang diperoleh,
hampir semua menyatakan bahwa ada dua sistim pemili¬han kepala negara pada masa
sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yang pertama, pemilihan kepala negara
melalui musyawarah, lalu pertanyaannya muswarah yang seperti apa? dan kedua,
pemilihan melalui wasiat. Dan pertanyaannnya adalah wasiat yang berbentuk
seperti apa? Dalam Al-Quran maupun hadis Nabi tidak terdapat petunjuk tentang
bagaimana cara menentukan pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal beliau,
selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian
dalam masalah-masalah yang menyangkut kepen¬tingan bersama melalui musyawarah,
tanpa adanya pola yang baku1[1] tentang bagaimana musyawarah itu harus
diselenggarakan. Itulah kiranya salah satu sebab utama mengapa dalam pada empat
Al-Khulafa al-Rasyidin itu ditentukan melalui musyawarah, tetapi pola
musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam Bagaimana mendiskusikan dua metode
inilah yang akan menjadi lokus pembahasan dalam makalah ini. Pembahasanpun
bukan untuk mempertajam diskusi-diskusi yang memperdebatkan sistim pemilihan
mana yang tepat diantara dua metode pemilihan kepala negara, akan tetapi lebih
pada mengungkap sekaligus menegaskan bahwa dua metode pemilihan tersebut,
memang terus diperbincangkan dan diyakini relatif objektif oleh kedua penganut
sistim pemilihan kepala negara sampai sekarang ini. Pertanyaan pokok yang
diajukan adalah “apa sistim pemilihan kepala negara pada masa Khulafaurasyidin
dan bagaimana mengkontekstualisasikan dengan dinamika politik saat ini?”.
Terbentuknya Sistim Kekhalifahan Dengan wafatnya Nabi maka ber¬akhirlah situasi
yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal
yang memiliki otoritas spritual dan temporal2[2] (duniawi) dan berdasarkan
kenabian dan bersumberkan wahyu Ilahi. Dan situasi tersebut tidak akan terulang
kembali, karena menurut keper¬cayaan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi dan
utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu, beliau tidak meninggalkan wasiat
atau pesan tentang siapa diantara para sahabat yang harus menggantikan beliau
sebagai pemimpin umat. Kaum muslimin segera merasakan kekosongan kepemimpinan
dan melihat dihadapan mereka terbentang masalah-masalah dan tanggung jawab yang
besar akibat dari kekosongan itu. Oleh karena itu, mereka berusaha dengan
segenap kemampuan untuk menanggung beban ini. Setiap individu dipaksa untuk
berpikir, mengkaji, bagaimana menentukan keberlanjutan kepemimpinan negara
pasca Nabi wafat. Maka sejak saat itulah muncul gagasan pertama kali dalam
sejarah Islam yakni pertemuan Saqifah3[3]. Diadakanlah pertemuan di Saqifah.
Abubakar, Umar r.a., hadir dan beberapa orang sahabat dari kalangan muhajirin,
namun beberapa tokoh besar tidak hadir dalam pertemuan itu, termasuk Ustman dan
Ali, r.a., pertemuan itu mirip dengan perte¬muan nasional atau muktamar luar
biasa yang membicarakan nasib umat, meletakan institusi politik yang baru yang
akan menjadi landasan operasional institusi tersebut. Hasil terbesar pertemuan
itu adalah berdirinya institusi kekhalifahan, yang sejak saat itu menjadi model
pemerintahan Islam, baik dalam bentuk yang sama maupun dalam bentuk yang
sedikit berbeda. Materi yang dibahas dalam pertemuan Saqifah tersebut
mengundang analisis dari seorang penulis Barat4[4], “pertemuan itu
meng¬ingatkan secara dekat kepada muktamar politik di era modern yang
didalamnya berlangsung perdebatan-perdebatan politik yang menggunakan
metode-metode perdebatan modern, perdebatan tersebut antara lain. Pertama,
teori membela kalangan Ansor yang mengklaim diri mereka sebagai pihak yang
berhak untuk memegang jabatan kekhalifahan, dengan berbagai dalil,”merekalah
yang membela Islam, menjaganya dengan jiwa dan harta, memberikan tempat dan
pertolongan dan merekalah penduduk asli madinah, klaim tersebut dinyatakan
sebagai teori politik pertama yang timbul dalam sejarah pemikiran Islam. Kedua,
adalah bantahan atas teori pertama, pembelaan atas hak kaum muhajirin atas
jabatan kekhalifahan dan membuktikan mereka lebih berhak atas jabatan
kekhalifahan dibandingkan dengan yang lain, seperti diungkapkan Abu Bakar r.a.,
pihak yang pertama kali menyembah Allah SWT diatas permukaan bumi kami adalah
orang-orang kepercayaan Nabi dan keluarga beliau, dan yang bersabar bersama
beliau dalam menerima penganiayaan yang keras dari kaumnya dan pendustaan mereka.
Dalam retorika pembelaan atas hak kaum muhajirin itu, lahir pula untuk pertama
kali pemikiran tentang keutamaan suku Quraisy;”para imam (pemimpin) dari
kalangan Qurais”. Dan hal itu menjadi landasan teori pemilikan kaum Quraisy
atas jabatan khalifah.5[5] Berkembang pula teori lain yang dikemukakan oleh
Habbab bin Mundzir bin Jamuh, berupa kemungkinan pemecahan kepemimpinan atau
adanya beberapa kepala negara sekaligus, misalnya dengan meng¬angkat dua
khalifah sekaligus, yaitu saat masing-masing berkata “dari kami ada pemimpin
tersendiri dan dari kalian ada pemimpin tersendiri pula”. Akan tetapi dari
sinilah lahir kesepakatan atau konsep yang amat penting yaitu sistim pemilihan
kepala negara dilakukan dengan baiat, atau dengan kata lain pemilihan. Dan secara
faktual tidak menerima pemilihan melalui metode pewarisan6[6]. Sistim Pemilihan
Kepala Negara Pertemuan para sahabat pada hari saqifah merupakan pertemuan
bersejarah yang paling besar pengaruhnya terhadap perjalanan umat Islam. Dalam
pertemuan itu diputuskan adanya keharusan untuk mendirikan kekhalifahan. Pada
pertemuan itu telah diputuskan juga sebuah prinsip yang sangat urgen bahwa
pemilihan seorang khalifah hanya terlaksana melalui prosedur pemilihan dari
umat, aspirasi umat atau wakil umat yang aspiratif dan merepresenta¬sikan
kedaulatan umat: seperti para sahabat yang berkumpul pada hari Saqifah. Sejarah
tidak pernah menyebutkan adanya seseorang yang mengklaim adanya teks dari Nabi
yang menunjuk seseorang atau sebuah kelompok keluarga tertentu untuk mengemban
jabatan kekhalifahan. Klaim-klaim seperti ini muncul setelah perte¬muan hari
Saqifah dari golongan Syi’ah yang secara fanatik loyal (tasyayyu) kepada Ali
r.a., serta keturunannya. Oleh karena itu, merupakan kesepakatan final bagi
kelompok Ahlus Sunnah dan mereka merupakan kelompok mayoritas umat Islam dan
disepakati juga pendapat mereka dalam hal ini oleh kelompok muktazilah,
murjiah, dan khawarij bahwa jalan menuju keimamahan atau kekhalifahan yang
kons-titusional atau bahwa sumber kekuasaan khalifah hanya dapat dicapai
melalui prosedur pemilihan umum oleh umat, yang dicerminkan dengan prosedur
pembaiatan. Dengan demikian, umat merupakan dasar legitimasi
kekuasaan/pemerintahan. Salah satu kelompok kaum muslimin, kelompok minoritas,
berkeyakinan bahwa sebenarnya Rasulullah telah menunjuk pengganti beliau, dan
calon tersebut adalah keponakannya,’Ali7[7]. Menurut mereka, penunjukan
tersebut dilakukan Nabi dalam perjalanan beliau kembali dari Haji Wada’, pada
tanggal delapan belas Dzulhijjah, tahun kesebelas hijriah (632) di suatu tempat
yang bernama Ghadir Khumm (kolam Khumn), dimana beliau membuat pernyataan
bersejarah yang telah diriwa¬yatkan dalam berbagai versi, yang paling terkenal
diantaranya menyatakan bahwa Nabi mengatakan :”barangsiapa yang menganggapku
sebagai pemimpin (mawla), mulai saat sekarang hendaklah meng¬anggap ’Ali
sebagai pemimpinnya”. Kelompok ini terkenal dengan nama Syi’ah. Kelompok lain
yang dekat dengan mereka berpendapat warisan kepemimpinan haruslah diserahkan
kepada ’Abbas, paman Nabi, dengan alasan bahwa jika persyaratan mutlak bagi
pengganti Nabi tersebut adalah bahwa ia harus termasuk famili beliau, maka
’Abbas, yang lebih tua daripada ’Ali, memiliki hak yang lebih besar untuk
menjadi pengganti Nabi, berdasarkan ayat-ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa
diantara “mereka yang termasuk sanak kerabat,” sebagain lebih utama dari yang
lain (Q.S. al-Anfal, 8:75) Tetapi, pandangan Syi’ah tidaklah semata-mata
mempertimbangkan kualitas-kualitas pribadi ’Ali. Mereka menyatakan bahwa
tidaklah masuk akal ditinjau dari sifat keadilan dan kasih sayang (luthf) Tuhan
terhadap ummat manusia jika dia mem¬biarkan masalah kepemimpinan (ima¬mah) ini
tanpa keputusan. Pertimbangan rasional yang membuat perlunya Tuhan mengutus
rasul-rasul dan nabi-nabi juga menuntut bahwa dalam ketidakhadiran rasul-rasul
tersebut, haruslah ditunjuk pemimpin-pemimpin yang tak bercacat untuk
membimbing pengikut mereka. Kaum Syi’ah juga berargumentasi, terutama dalam
menanggapi kritik-kritik dari pihak-pihak yang mempertahankan prinsip pemilihan
bagi penganti-pengganti Nabi—bahwa masalah kepemimpinan ummat adalah masalah
yang terlalu vital un¬tuk diserahkan begitu saja pada musyawa¬rah
manusia-manusia biasa yang bisa memilih orang yang salah untuk kedudukan
tersebut, dan karenanya bertentangan dengan tujuan wahyu ilahi. Hanya Allah-lah
yang bisa mengenali individu-individu yang memiliki sifat-sifat berilmu, tak
bercacat dan tak mungkin keliru (ishmah) dan dengan demikian dapat menjamin
kejayaan wahyu-wahyu-Nya dengan menjadikan individu-individu tersebut dikenal
melalui utusan-utusannya. Disinilah masalah-masalah mengenai pribadi-pribadi
memasuki perdebatan, karena kaum Syi’ah berpendapat bahwa hanya orang-orang
yang berhubungan dekat, atau mempunyai tali kekeluargaan dengan Nabi saja yang
memiliki kualitas-kualitas seperti itu, dan orang ini tak lain adalah ’Ali dan
keturunannya8[8]. Kelompok Ahlu sunnah secara keseluruhan yang nota bene adalah
kelompok mayoritas umat Islam, berpendapat bahwa kekhalifahan Khulafaur Rasyidin
sah dan legitamate9[9] menurut prinsip-prinsip syariat. Berangkat dari premis
ini, mereka berpandangan bahwa kekhalifahan Khulafaur Rasyidin dapat dijadikan
contoh atau prototipe yang menjadi sumber kaidah fundamental, teladan
inspiratif, dan landasan-landasan pemerintahan Islami. Tidak mengherankan,
karena fase ini merupakan periode para sahabat, yang nota bene adalah
orang-orang yang hidup semasa dengan Rasullulah saw., yang menemani beliau dan
turut serta didalam membangun negara bersama Rasullulah beserta kaum mukmin.
Sahabat-sahabat Rasullulah adalah orang-orang yang memahami hakikat inti ajaran
Islam dan mereka adalah panutan utama dalam agama setelah Rasullulah.
Kesepakatan yang mereka lakukan adalah kesepakatan peringkat pertama dari hukum
ijma ulama, karena mereka tentunya bersandar dalam berijma kepada apa yang
mereka dengar dari sabda-sabda Rasullulah dan yang mereka saksikan dari tingkah
laku Rasullulah, atau dari hasil ijtihad mereka di dalam menginterpretasikan
Al-Qur’an dan dapat juga dari pemahaman mereka terhadap jiwa dan inti ajaran
umat Islam. Konsep ijma merupakan salah satu sumber hukum yang disepakati dari
berbagai sumber hukum Islam berdasarkan teks Al-Qur’an dan al-hadist. Ijma yang
paling solid dan paling benar adalah ijma para sahabat yang selalu menyertai
Rasullulah. Demikian juga ketika mayoritas sahabat bersepakat dalam satu hal,
kese¬pakatan tersebut juga memiliki kapasitas sebagai sumber hukum yang layak
diikuti dan dijadikan bahan pertimbangan. Kekhalifahan Abubakar Apa yang
terjadi pada pertemuan Saqifah, baik beberapa pendapat-pendapat serta
kesimpulan yang dihasilkan pada pertemuan tersebut. Tidak terdapat silang
pendapat antara berbagai riwayat bahwa pertemuan itu berakhir dengan
terpilihnya Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama dalam Islam.
Berbagai riwayat juga sepakat bahwa pemilihan itu dikuatkan dan diputuskan
dengan baiat umum didalam masjid pada keesokan harinya. Setelah pebaiatan,
Abubakar naik ke atas mimbar dan menyampaikan khotbah pelantikan dihadapan para
jamaah. Khotbah itu meru¬pakan khotbah pertama yang menerangkan sistim
pemerintahan Islam dan Abubakar berkata, inilah teks khotbah tersebut
seba¬gaimana yang diriwayatkan oleh Imam10. Abubakar berkata—setelah
mengu¬capkan tahmid dan pujian kepada Allah “Amma ba’du, Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya aku telah dijadikan wali (pemimpin) untuk kamu sekalian,
padahal aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Jika aku melakukan kebaikan,
bantulah aku, dan ketika aku melakukan kebatilan luruskanlah aku. Kejujuran
merupakan perwujudan amanat, sedangkan kebohongan berarti pengkhianatan. Si
lemah diantara kalian dalam anggapanku adalah si kuat, hingga aku mampu
memberikan haknya dengan izin Allah dan si kuat diantara kalian adalah si lemah
bagiku hingga aku mampu merampas hak orang lain darinya dengan izin Allah.
Tidak seorangpun diantara kalian yang meninggalkan jihad dijalan Allah, karena
sesungguhnya tidak ada satu kaumpun yang meninggalkan jihad kecuali Allah
timpakan kepada mereka kehinaan, dan tidaklah merajalela perbuatan keji pada
suatu kaum kecuali Allah sebarluaskan dalam kalangan kaum itu berbagai musibah.
Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya, dan ketika aku berbuat
maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak harus lagi taat padaku”
Didalam khotbah ini Khalifah Rasul menegaskan dalam kapasitasnya sebagai
seorang khalifah pertama dalam sejarah Islam, hak umat untuk mengoreksi
pemimpinnya, imam atau kepala negara yang dinobatkannya. Umat harus mendukung
seorang khalifah ketika dia berbuat suatu kebaikan, umat berhak meluruskan
khalifah, mengkritik, dan memberikan saran ketika dia berlaku salah. Dan
Akhirnya umat tidak berkewajiban untuk taat kecuali ketika seorang pemimpin
mengikuti dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya yakni
perintah Islam dan syariatnya. Maka seorang pemimpin atau khalifah bukanlah
pemimpin otoriter, melainkan terikat dengan syariat Islam atau undang-undang
Islam. Prinsip tersebut disarikan dari khotbah yang bersejarah dan universal
ini, disamping beberapa prinsip lain yang dikandungnya, yaitu kesetaraan
dihadapan undang-undang, kesinambungan ditegakannya jihad demi kemulian Islam
dan pemeluknya yang abadi, keharusan untuk memuliakan perbuatan-perbuatan yang
terpuji (fadhilah) demi lenyapnya kejahatan di tengah masyarakat, serta
keharusan bagi seorang pemimpin untuk bersifat jujur dan memegang amanat11[11]
Diantara berbagai hal yang memprioritaskan Abubakar untuk dipilih dibandingkan
yang lain, memiliki kredibilitas di mata khalayak serta berbagai keutamaan,
reputasi kesejarahan yang mulia adalah sebagai berikut : “Abubakar adalah orang
pertama dari kaum laki-laki dewasa yang masuk Islam. Ditanganya sejumlah orang
dari kalangan sahabat berhasil diislamkan. Abubakar adalah teman Rasul dalam berhijrah,
seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’anul Karim, ’sedang dia salah seorang dari
dua orang yang ketika keduanya didalam gua, diwaktu dia berkata kepada
temannya:’janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita’(at
taubah:40). Selain itu, Abu bakar merupakan orang yang paling sering menemani
Rasulullah saw., dan dalam hal ini Nabi bersabda “sesungguhnya aku tiada
mengenal teman yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagiku daripada Abubakar”
Ketika Abu Bakar merasakan bahwa ajalnya telah dekat, di saat futuhat Islamiyah
(perang pembebasan Islam) telah mulai meluas ke luar Jazirah Arab dengan
berperang dalam dua front yang berbeda melawan kaum Persia dan Romawi, dan Abu
Bakar khawatir akan persatuan umat akan pecah di saat yang genting seperti itu,
dia memandang atas nama kemaslahatan kaum muslimin untuk menunjuk penggantinya
secara langsung diantara paras sahabat, hingga perpecahan yang sempat terjadi
di Saqifah pasca meninggalnya Rasulullah saw., tidak terulang lagi. Maka,
beliau memilih seorang sahabat yang paling kuat dan mampu dalam situasi itu,
yaitu Umar Ibnul Khatab, setelah bermusyawarah terlebih dahulu dengan para
sahabat atau orang-orang yang memiliki kualifikasi permusyawaratan (ahlul halli
wal’aqdi)12[12] Rais menyatakan, ketika sakratul maut setelah ditikam oleh Abu
Lu’lu’ah, orang Majusi, Umar menunjuk enam orang sahabat besar, yaitu
Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ustman bin Affan, Ali bin Abu
Thalib, az-Zubair Ibnul Awwam, dan Thalha bin Ubaidillah13[13] untuk bermusyawarah
dan memilih salah seorang diantara mereka sebagai khalifah. Setelah bertanya
pada khalayak ramai, mereka menyerahkan urusan penyelidikan dan permusyawarahan
dengan rakyat kepada salah seorang diantara mereka, yaitu Abdurrahman bin Auf.
Setelah bermusyawarah selama tiga hari berturut-turut, sebagian besar rakyat
lebih memilih Utsman Bin Affan. Maka, diadakanlah pertemuan umum di masjid
Madinah, pertemuan tersebut berakhir dengan diangkatnya Ustman sebagai khalifah
yang diikuti pembaiatan oleh seluruh manusia secara aklamasi Berkaitan dengan
kekhalifahan Ali, menurut Rais sesungguhnya pembaitan terhadapnya berlangsung
dalam situasi yang penuh gonjang-ganjing. Walaupun harus digaris bawahi bahwa
beliau adalah sahabat terbaik yang masih hidup pada saat itu dan paling berhak
memegang kekhalifahan, sayangnya kondisinya tidak mendukung. Sayyidina Ali
telah dibaiat oleh penduduk Madina, kecuali sekelompok kalangan sahabat yang
menolak. Diantara yang ikut membaiat adalah kelompok pemberontak yang menentang
Ustman, dan sebagain diantara mereka ikut bertanggung jawab atas darah kematian
Ustman. Pembaitan Ali didukung pula oleh masyarakat Hijaz dan Irak, tetapi
masyarakat Syam dibawah pimpinan Muawiyah yang kala itu menjadi Gubernur
penaklukan di Syam menolak untuk membaiat. Ketika Ali meyakini bahwa
kekhalifahannya sah dan terlaksana dengan pembaitan dari masyarakat Madinah,
diapun berpendapat bahwa sudah menjadi kewajiban baginya untuk berupaya
menyatukan negara dan menundukan orang-orang yang memberontak, hingga
terjadilah peperangan-peperangan yang terkenal antara Ali melawan beberapa
gelintir sahabat yang melarikan diri ke negeri Irak, dan juga antara Ali
beserta para pendukungnya dari Hijaz dan Irak melawan Muawiyah berikut para
pendukungnnya dari negeri Syam, kemudian peperangan antara Ali melawan kelompok
Khawarij Catatan-catatan Haykal menyatakan dalam Islam tidak ada sistim yang
baku yang harus dipegangi dalam pemilihan kepala negara. Sistim yang diterapkan
Abubakar, berbeda dengan masa Khalifah Umar, dan seterusnya. Apalagi sistim
pemilihan masa bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Dengan kata lain, sistim
pemilihan kepala negara dalam Islam mengalami perubahan mengikuti perkembangan
situasi sosiohistoris yang mengitarinya. Al-Qur’an dan Sunnah menurut Haykal tidak
merinci bagaimana seharusnya sistim pemerintahan berlaku. Oleh karenanya dalam
memilih kepala negara, dengan menggunakan ijtihad yang tentu tetap berpegang
teguh pada prinsip-prinsip dasar negara Islam. Kebebasan memilih kepala negara
menurut Haykal mengarah pada pemilihan dengan pemilihan yang bebas dan
Musyawarah. Haykal merujuk pada mekanisme pemilihan Khalifah masa Abubakar
(Musdah Mulia,2001) Selain itu kepala negara seharusnya dipilih karena posisi
dan prestasi dalam Islam, bukan karena faktor keluarga, atau kekayaan. Bahkan
Haykal menyebutkan, hendaknya calon kepala negara tidak mencalonkan untuk
dipilih, apalagi melakukan kampanye. Seluruh umat Islam menurutnya berhak untuk
dipilih karena masing-masing mempunyai kedudukan yang sama. Selanjutnya kepala
negara bertanggung jawab kepada Allah, kepada dirinya, dan kepada rakyat yang
membaiatnya. Konsep pemilihan kepala negara ketika masa Khulafaurrasyidin,
menurut Haykal berbeda dengan masa bani Abbasiyah. Pertama, konsep pemikiran
Arab bahwa keberadaan Abubakar dan Umar adalah manusia biasa, yang kemudian
memperoleh kekuasaan dari rakyat untuk dipilih sebagai khalifah. Ketika
keduanya dilantik, pidato pelantikannnya mencerminkan jabatannya sebagai
kepercayaan umat. Kedua, konsep pemikiran persia bahwa khalifah mendapatkan hak
memerintah dari Allah, bukan dari manusia, maka tanggung jawab kepemimpinannya
hanya kepada Allah. Pada pidato pelantikannya mereka mencerminkan klaim bahwa
posisinya adalah wakil atau bayangan Tuhan dibumi. Terlihat jelas dalam pemikiran
mengenai sistim pemilihan kepala negara ini, Haykal menyatakan keberpihakannya
pada golongan Sunni, bahwa kepala negara hendaknya dipilih bukan karena faktor
keturunan. (Footnotes)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...