Kepala
negara adalah sosok pemimpin tertinggi dalam sebuah negara yang berdaulat, ia
menjadi tempat bagi rakyat untuk mengadukan semua permasalahan yang mereka
hadapi. Dengan adanya kepala Negara diharapkan
hak-hak warga Negara dapat terpenuhi sehingga mereka akan merasakan kehidupan
yang aman dan sejahtera. Inilah salah satu dari fungsi pemimpin yaitu
memberikan pelayanan dan perlindungan kepada rakyatnya. Jika demikian maka
kehadiran seorang pemimpin apakah itu presiden, perdana menteri, khalifah,
amirul mukminin ataupun raja adalah sangat penting dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Hal ini berlaku pula dalam Islam, di mana Islam memandang bahwa keberadaan
seorang kepala negara menjadi sebuah kewajiban untuk ditegakkan. Ia berfungsi
sebagai pelaksana hukum-hukum Allah sekaligus mengayomi seluruh kepentingan
masyarakat.
Islam
sebagai agama yang komprehensif telah mengatur seluruh sendi kehidupan manusia,
tidak hanya dalam masalah individual namun juga masalah kenegaraan telah diatur
oleh Islam. Dalam masalah pemilihan kepala Negara Islam mengaturnya, walaupun
Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak memberikan secara tekstual mekanisme pemilihan
tersebut, namun secara implisit ia telah diatur dalam fiqh Islam. Konsep
pemilihan kepala negara dalam Islam tidak spesifik disebutkan mekanismenya yang
baku, namun dari praktek yang telah disepakati oleh umat Islam maka bisa
ditarik satu kesimpulan bahwa mekanisme pemilihan kepala negara didasarkan
kepada bimbingan wahyu dan kesepakatan ijma’ para shahabat Nabi. Hal ini tampak
dari proses pemilihan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama hingga masa Khalifah
Ali bin Abi Thalib. Seluruh mekanisme yang terjadi tersebut telah memberikan
gambaran kepada kita bagaimana mekanisme pemilihan seorang kepala negara dalam
Islam.
Berkenaan
dengan urgensi pemimpin dalam Islam telah disebutkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dari
Abu Hurairah Rasulullah bersabda:
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
Jika ada tiga
orang yang mengadakan perjalanan maka hendaknya mereka menjadikan salah seorang
dari mereka sebagai pemimpin.” HR. Abu Daud.
Dari hadits
tersebut dapat disimpulkan bahwa jika dalam perkara bepergian (safar) saja
telah diwajibkan memilih pemimpin, apalagi dalam perkara memilih pemimpin dalam
tatanan kenegaraan, tentu hal ini menjadi lebih wajib lagi. Begitulah mafhum
muwafaqah yang bisa ditarik dari hadits tersebut.
Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa wilayat al-amr sebagai suatu kewajiban dan
merupakan bagian terpenting dari ajaran agama bahkan agama tidak akan berdiri
tanpa adanya wilayat al-amr tersebut. Atas dasar pertimbangan inilah ia
menyatakan bahwa penguasa adalah bayang-bayang Allah di muka bumi. Ibnu
Taimiyah menambahkan “Bahwa selama enam puluh tahun berada di bawah pemimpin
yang dzalim lebih baik dari pada satu malam tanpa pemimpin”.[1]
Dalam
aplikasinya umat Islam juga telah memilih Abu Bakar sebagi pengganti
kepemimpinan Rasulullah tidak lama setelah beliau wafat. Demikian pula Abu
Bakar telah menunjuk Umar bin Khattab untuk menggantikan kedudukannya ketika ia
dalam keadaan sakit. Pemilihan dan penetapan Abu Bakar as-Siddiq sebagai
khalifah dilakukan secara demokratis. Pencalonannya, dilaksanakan oleh
perseorangan, yaitu Umar bin Khattab, yang ternyata disetujui oleh semua yang
hadir pada saat itu. Karena Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wassalam memang tidak meninggalkan wasiat
tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin setelah beliau
wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin
sendiri untuk menentukannya.
Ketika Abu Bakar
sakit dan merasa kematiannya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka
sahabat, kemudian mengangkat Umar bin Khattab sebagai penggantinya dengan
maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di
kalangan umat Islam. Para pemuka tersebut ternyata tidak keberatan dengan
pilihan khalifah Abu Bakar tersebut.
Selanjutnya
setelah Khalifah Umar wafat, posisi beliau digantikan Usman bin
Affan. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan
Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk
memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah
Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam,
Saad bin Abi Waqqas, dan Abdurrahman bin Auf. Keenam sahabat ini mempunyai hak
memilih dan dipilih. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menyepakati Usman sebagai
khalifah.
Masa
pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan cukup lama sehingga menghabiskan energy
khalifah. Maka muncullah gerakan oposisi yang menyebarkan fitnah mengenai
khalifah dan berujung dengan pembunuhan Utsman bin Affan di rumahnya. Sementara
khalifah terbunuh dan penggantinya belum ada.
Berkaitan
dengan kekhalifahan Ali, pembaitan terhadapnya berlangsung dalam situasi yang
penuh gonjang-ganjing. Walaupun harus digaris bawahi bahwa beliau adalah
sahabat terbaik yang masih hidup pada saat itu dan paling berhak memegang
kekhalifahan, sayangnya kondisinya tidak mendukung. Sayyidina Ali telah dibaiat
oleh penduduk Madina, kecuali sekelompok kalangan sahabat yang menolak. Di antara
yang ikut membaiat adalah kelompok pemberontak yang menentang Ustman, dan
sebagian di antara
mereka ikut bertanggung jawab atas darah kematian Ustman.
Periode selanjutnya model pemilihan kepala negara
adalah didasarkan kepada system monarki yaitu diambil dari keturunan atau
keluarga terdekatnya. System kerajaan dengan pemilihan kepala negara dari
keluarga dekat terus berlanjut hingga masa-masa berikutnya bahkan pada beberapa
wilayah Islam saat ini juga masih berlaku system keturunan tersebut.
Menurut
Mehdi Muzaffari ia mengatakan “Agama Islam dalam bentuk asalnya, tidak
menetapkan cara atau prosedur tertentu dalam memilih seorang khalifah,
pengganti Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wassalam. Kenyataan ini
adalah suatu opini yang dipegang oleh sejumlah (jumhur) umat Islam, dalam
madzhab sunni, tak adanya sebuah nash yang memberikan intruksi tentang
cara-cara pemilihan seorang pemimpin ini, menimbulkan berbagai cara dan
prosedur empat khalifah Rasyidun yang secara silih berganti memimpin masyarakat
Islam selama 29 tahun (632-661 M),
jelas nampak, bahwa setiap khalifah
terpilih dengan cara-cara yang berbeda ( empat cara) :
1.
Pada
pemilihan khalifah pertama (Abu Bakar Sidik) yaitu dengan cara pembaiatan dari
para sahabat, lalu diikuti oleh para kaum muslimin secara langsung.
2.
Dengan
cara menyampaikan amanat oleh khalifah Abu Bakar kepada Umar bin khatab ra
sebagai pelanjutnya sebagai khalifah yang kedua. Tetapi setelah Abu bakar
wafat, Umar menyerahkan kembali kekuasaannya kepada umat Islam lalu beliau terpilih
kembali melalui syura.
3.
Membentuk
suatu majelis terbatas yang terdiri dari orang-orang pilihan, lalu setelah
memperhatikan aspirasi umat majelis tersebut memilih satu diantara mereka
Utsman bin Affan ra sebagai khalifah ketiga.
4.
Pada
pemilihan yang ke empat hampir sama dengan yang ketiga yaitu pemilihan dengan
cara melalui perwakilan umat dan hasil dari penjaringan opini umum yang ada
memilih Ali bin Abi Thalib ra. Sebagai Khalifah ke empat dalam pemerintahan Islam.
Itulah
cara pemilihan kepala negara yang
dilakukan pada masa khulafau Rasyidun, dan untuk selanjutnya dalam sejarah
Islam kita lihat untuk menentukan para
pemimpin masa selanjutnya seperti pada masa Bani Umayyah, Abasiyah dan
seterusnya yang paling dominan seperti sistem kerajan.
Haykal
menyatakan dalam Islam tidak ada sistem baku yang harus dipegangi dalam
pemilihan kepala negara. Sistem yang diterapkan Abubakar, berbeda dengan masa
Khalifah Umar dan seterusnya. Apalagi sistem pemilihan masa Bani Umayah dan Bani Abbasiyah.
Dengan kata lain, sistim pemilihan kepala negara dalam Islam mengalami
perubahan mengikuti perkembangan situasi sosiohistoris yang mengitarinya.
Al-Qur’an dan Sunnah menurut Haykal tidak merinci bagaimana seharusnya sistem
pemerintahan berlaku. Oleh karenanya dalam memilih kepala negara, dengan
menggunakan ijtihad yang tentu tetap berpegang teguh pada
prinsip-prinsip dasar negara Islam. Kebebasan memilih kepala negara menurut
Haykal mengarah pada pemilihan dengan pemilihan yang bebas dan Musyawarah.
Haykal merujuk pada mekanisme pemilihan Khalifah masa Abubakar.
Selain
itu kepala negara seharusnya dipilih karena posisi dan prestasi dalam Islam,
bukan karena faktor keluarga, atau kekayaan. Bahkan Haykal menyebutkan,
hendaknya calon kepala negara tidak mencalonkan untuk dipilih, apalagi
melakukan kampanye. Seluruh umat Islam menurutnya berhak untuk dipilih karena
masing-masing mempunyai kedudukan yang sama. Selanjutnya kepala negara
bertanggung jawab kepada Allah, kepada dirinya, dan kepada rakyat yang
membaiatnya.
Konsep
pemilihan kepala negara ketika masa Khulafaurrasyidin, menurut Haykal berbeda
dengan masa Bani Abbasiyah. Pertama, konsep pemikiran Arab bahwa keberadaan
Abubakar dan Umar adalah manusia biasa, yang kemudian memperoleh kekuasaan dari
rakyat untuk dipilih sebagai khalifah. Ketika keduanya dilantik, pidato
pelantikannnya mencerminkan jabatannya sebagai kepercayaan umat. Kedua, konsep
pemikiran Persia bahwa khalifah mendapatkan hak memerintah dari Allah, bukan
dari manusia, maka tanggung jawab kepemimpinannya hanya kepada Allah. Pada
pidato pelantikannya mereka mencerminkan klaim bahwa posisinya adalah wakil
atau bayangan Tuhan dibumi. Terlihat jelas dalam pemikiran mengenai sistim
pemilihan kepala negara ini, Haykal menyatakan keberpihakannya pada golongan Sunni,
bahwa kepala negara hendaknya dipilih bukan karena faktor keturunan.
Pada masa-masa
berikutnya para pemimpin Islam (Khalifah) sesudahnya juga meneruskan tradisi
ini, yaitu memilih seorang pemimpin yang berfungsi sebagai pengayom masyarakat.
Adapun jika ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
maka itu adalah murni kesalahan dari pemimpin tersebut. Pada dasarnya dalam konsep pemerintahan Islam, semua anggota
masyarakat harus ikut berperan serta
dalam memilih khalifah. Tetapi dalam perkembangan sejarah, seiring dengan
meluasnya wilayah Islam, mengumpulkan semua orang dalam satu waktu dan dalam
satu tempat untuk bermusyawarah menjadi hal yang tidak mungkin. Oleh karena
itu, seluruh anggota masyarakat diwajibkan untuk memilih wakil mereka dalam
memilih khalifah sebagai pemimpin, wakil dari umat ini dinamakan dengan Ahlul
Hal wal Aqd. Wakil-wakil rakyat ini terdiri dari utusan dari berbagai golongan
masyarakat dan harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat
tersebut antara lain adil, mengenal dengan baik para calon khalifah yang akan
dipilih, dan kemampuan serta kebijaksanaan mereka dalam mengambil keputusan dan
menentukan siapa yang pantas untuk menjadi pemimpin umat.
Dalam
musyawarah pemilihan khalifah, para
anggota Ahlul Hal wal Aqd memilih khalifah dengan dengan proses yang
panjang. Para wakil rakyat ini harus mencari tahu dan mengenal betul setiap
calon khalifah, kemudian memilah dan memilih mana yang tepat untuk memimpin dan
sesuai dengan kebutuhan negara pada waktu itu. Misalnya ketika negara mengalami
masa peperangan, maka yang lebih diutamakan adalah pemimpin yang kuat dan
berani, walaupun memiliki kekurangan di bidang lain. Begitu
pula dalam memilih wakil, para anggota Ahlul Hal wal Aqd harus memilih
wakil yang dapat mendukung dan menutupi kekurangan khalifah yang dipilih,
sehingga terciptalah pemerintahan yang seimbang. Apabila terdapat beberapa
calon yang mempunyai kemampuan yang sama dan dianggap pantas, barulah dilakukan
pemilihan dengan jalan voting atau pengambilan keputusan dengan suara
terbanyak.
Dari
penjelasan di atas dapat kita lihat
dalam konsep pemerintahan Islam seorang khalifah benar-benar diseleksi dan
dipilih oleh orang-orang yang telah diseleksi dan dipilih oleh seluruh anggota
masyarakat. Seorang khalifah dipilih oleh orang-orang yang mengenal dia, baik
itu kelebihan maupun kekurangannya. Ia pun dipilih berdasarkan musyawarah dan
berdasarkan kebutuhan negara pada masa Ia menjabat. Di samping
itu pula seorang khalifah mempunyai seorang wakil yang dapat saling melengkapi
antara satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...