Oleh : Iqbal Bafadhal, MA
Lembaga
pengelola zakat di Indonesia
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan itu terutama dipengaruhi
oleh kebijakan pemerintah yang berlaku. Secara umum, kebijakan pemerintah dalam
urusan zakat menunjukkan perbaikan dan peningkatan yang diharapkan agar setiap
perubahan akan menjadi semakin terorganisir dan memiliki jangkauan secara
nasional.
Apabila
dicermati dan diteliti secara seksama, kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan
peningkatan dari fase ke fase, yaitu: fase Desentralisme, fase
formalisme, fase akomodasionisme[1]
selanjutnya fase Sentralisme. Kendati kebijakan-kebijakan tersebut
masih belum sepenuhnya mengakomodasi aspirasi umat Islam, namun yang jelas
adalah bahwa Negara semakin menegaskan komitmennya untuk mengoptimalkan
peranannya dalam membantu mengaktualisasikan potensi yang dimiliki umat Islam.
Transformasi kebijakan
pemerintah seperti yang telah diuraikan di atas dalam banyak hal memang sangat
dipengaruhi oleh aspek politis, yaitu bagaimana hubungan atau relasi yang
terbangun di antara umat Islam di satu sisi dengan pemerintah dan umat-umat agama
lain di sisi yang lain. Dalam hal ini “hukum adalah produk politik” tampak
memperoleh justifikasinya dan pembenarannya.
1. Fase Desentralisme dan Apatisme
Pada fase ini pemerintah belum menunjukkan perhatian yang
berarti dalam pengelolaan zakat di tanah air. Dengan kata lain, pengelolaan
zakat diserahkan sepenuhnya kepada umat Islam sendiri. Fase ini berlangsung
antara tahun 1968-1991.
Kebijakan pemerintah pada fase ini nampaknya didasari oleh
pandangan bahwa zakat merupakan urusan intern umat Islam. Mengingat Indonesia
bukanlah negara yang berdasarkan pada doktrin agama, maka pemerintah tidak
perlu campur tangan dalam masalah ini. Kebijakan seperti ini memang tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh situasi perpolitikan saat itu, yaitu ketika pemerintah
masih menyimpan kecurigaan yang cukup besar terhadap segala aktivitas umat
Islam[2].
Sebenarnya pada awal fase ini Departemen Agama pernah
menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan
Badan/Amil Zakat. Hanya saja, dengan alasan yang tidak jelas Peraturan Menteri
Agama ini kemudian dicabut sebelum sempat diimplementasikan. Pada fase ini,
zakat merupakan tanggung jawab masyarakat sepenuhnya yang dijalankan oleh para
pengurus masjid, mushalla, yayasan dan organisasi Islam. Karena tidak
terkoordinasi dengan baik, maka institusi-institusi tersebut berjalan
sendiri-sendiri sehingga dapat diprediksi bahwa tingkat keberhasilan
pengorganisasian zakat dengan pola seperti ini menjadi sangat rendah. Dan
karenanya, potensi zakat sebagai kekuatan sosial-ekonomi belum
teraktualisasikan dengan baik.
[1] Moch. Arif Budiman Bentuk
kelembagaan Pengelola zakat di Indonesia, Jurnal Intekna (Politeknik
Negeri Banjarmasin), Tahun VI, No. 1, Mei 2006.
[2] Abdul
Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...