Agus Ahmad Safei *
Kearifan Sunda Kearifan Semesta
Ketika memberikan pengantar untuk buku tulisan Jusuf Sutanto, Kearifan Kuno di Zaman Modern, Haidar
Bagir sampai pada sebuah kesimpulan yang agak mengejutkan. Menurutnya, seluruh
kearifan kuno (ancient wisdom) dan
kearifan lokal (local wisdom, al-bi’at al-mahalliyat) yang
dimiliki masyarakat di seluruh dunia, sesungguhnya, bersumber dan berpusat
pada satu poros belaka, yakni kearifan Ilahi (perennial wisdom). Haidar Bagir (Sutanto, 2001: 9) mendasarkan
kesimpulannya itu pada riset historis yang menyebutkan bahwa seluruh ajaran
kearifan yang dimiliki oleh kebudayaan di seluruh dunia (Maya, Aztec,
Zoroaster, dan India Kuno) merujuk pada satu sumber yang sama, yakni
"Corpus Hermeticum", yang merupakan buah pemikiran Sang Guru Ilmu
Pengetahuan, Hermes.
Dalam telusur yang dilakukan oleh Al-Biruni, masa hidup Hermes dalam kurun
waktu 300-100 SM (dibenarkan juga oleh hasil penelusuran Arnold J Toynbee dalam
nama Hermaeus, 2006: 352) sama dengan masa hidup Nabi Idris (dalam bahasa
Indonesia berarti "Sang Guru", dalam bahasa Yunani
"Hermes"). Berdasarkan penelusuran ini, Al-Biruni berkeyakinan bahwa
Hermes adalah Nabi Idris. Kenyataan ini diperkuat
pula oleh penelusuran dan riset panjang yang dilakukan oleh Karen Armstrong.
Hanya saja, menurut Armstrong (2007: 132), Hermes adalah "penyampai pesan
dewa (Tuhan)" yang diabadikan dalam mitologi Yunani.
Bila Al-Biruni benar, maka tak ragu lagi untuk dikatakan bahwa seluruh
kearifan lokal maupun kearifan kuno memang merupakan kearifan Ilahi (perennial wisdom). Sebab, kesemuanya
berawal dari Hermes, Sang Guru, Si Penyampai Pesan Tuhan, Nabi Allah. Kalaupun
Al-Biruni meleset, kemungkinan seluruh kearifan lokal dan kearifan kuno berasal
dari kearifan Ilahi masih sangat relevan. Hal ini berdasarkan pada kemungkinan
"adanya" seorang Nabi Allah di setiap kaum yang memproduksi kearifan
lokal sebagai "teks-budaya". Sebab, bukankah, "Sesungguhnya pada setiap kaum Dia menurunkan
seorang Nabi" (QS. 35:24, 10:47, 21:7)? Juga bukankah menurut sebuah
riwayat, jumlah Nabi ada lebih dari 124.000 Nabi, yang mengajarkan risalah dari
sumber yang sama, dari kebenaran yang sama? Setidaknya demikianlah keyakinan
para penganut kearifan perennial.
Jika demikian adanya, mengikuti penjelasan Fahd Pahdepie (dalam Asep Saeful
Muhtadi, ed., 2008: 14), kearifan Sunda juga sejatinya berasal dari kearifan
Ilahi. Thus, demikian Pahdepie, kearifan Sunda adalah juga berarti kearifan Ilahi.
Sebab, seperti yang sudah dipaparkan tadi, kebudayaan India (tempat lahirnya
Hindu dan Budha yang menjadi warna awal tradisi Sunda) pun berasal dari
Hermes, dari Idris.
Berbicara soal kearifan Sunda, memang tak pernah bisa dilepaskan dari
ajaran Hindu dan Budha (terutama aliran Tantra), sebab kedua agama kepercayaan
ini menjadi warna tersendiri bagi kebudayaan, kearifan, dan masyarakat Sunda
(Lihat Rosidi dkk., 2006).Yang menarik dari ajaran Hindu dan Budha ini adalah
bahwa agama (kepercayaan) ini memiliki ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang dekat
dan identik dengan ajaran Islam. Bahkan Abdul Kalam Azad, Muhammad Abduh, dan
Al-Biruni pun meyakini bahwa Hindu dan Budha dapat dikategorikan sebagai agama
semit sebab memiliki Nabi dan kitab suci. Dalam kesempatan lain, Nurcholish
Madjid pernah mengatakan bahwa, Hindu dan Budha (juga Taoisme) merupakan ahl kitab (Sutanto, 2001: 13).
Sekaitan dengan itu, sejumlah fakta menarik pun ditemukan: Budha
Kavilawastu (yang berasal dari Kavilavastu) diyakini sebagai Nabi Zulkifli.
Sebab Zulkifli (bahasa Arab) dalam bahasa Indonesia berarti seseorang dari
Kifl, atau Kivl yang merupakan kependekan dari Kafilavastu. Fakta lain
menyebutkan bahwa yang disebut sebagai Budha Mateyria (yang diramalkan sebagai
sosok yang agung, lemah lembut dan akan datang "belakangan") adalan
sosok Nabi Muhammad Saw., sebab para agamawan-ilmuwan Hindu di India saat ini
berkeyakinan, keduanya memiliki ciri-ciri yang sama. Lalu mungkinkah Sidharta
Gautama Budha adalah salah satu dari 124.000 Nabi?
Terlepas dari setuju atau tidak, rasanya "kemiripan" atau
"keidentikkan" nilai-nilai kebenaran dalam sejumlah kearifan kuno dan
kearifan lokal akan sulit terbantahkan jika disimak hadits Nabi Muhammad Saw.
berikut ini, "Andaikan Plato (Aflathun) hidup di zamanku, niscaya ia akan
menjadi pengikutku.” Hal ini tentu saja mengindikasikan bahwa kemungkinan
seluruh kearifan yang mengajarkan kebenaran memiliki "kemiripan"
karena bersumber dari "satu" yang sama akan sulit terbantahkan. Dari
uraian di atas, rasanya sulit dielakkan pula atas kemungkinan kearifan Sunda
yang berasal dari kearifan Ilahi.
Secara demikian, kebudayaan Sunda (dan semesta kebudayaan lainnya di
berbagai belahan dunia), sesungguhnya dapat berfungsi sebagai semacam jendela,
tempat menyaksikan keindahan mozaik dan warna-warni kearifan Ilahi [baca:
Islam] mengekspresikan dirinya dalam wajahnya yang paling jenial dan lokal.
Membuka Tirai Jendela Sunda
Menurut Ganjar Kurnia (2004), bisa diterimanya Islam dengan baik di tatar
Sunda karena di antara keduanya, yakni Islam dan Sunda, mempunyai persamaan
paradigmatik yang bercirikan Platonik. Islam memandang dan memahami dunia
sebagai ungkapan azas-azas mutlak dan terekam dalam wahyu Allah. Sedangkan
kebudayaan Sunda lama meletakkan nilai-nilai mutlak yang kemudian diwujudkan
dalam adat beserta berbagai upacaranya.
Melihat rentang waktu yang lama, dan di antara keduanya banyak persamaan,
wajar apabila Islam sudah berurat-berakar di dalam masyarakat Sunda, termasuk
memengaruhi kegiatan berkeseniannya. Kesadaran “manunggalnya” Islam dengan
Sunda pernah mencuat pada Musyawarah Masyarakat II di Bandung pada tahun 1967.
Endang Saefudin Anshari, yang bukan orang Sunda pituin, menyatakan
tesisnya tentang Sunda-Islam dan Islam-Sunda. Terlepas dari perdebatan yang
terjadi (bahkan sampai sekarang), kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat ini,
sebagian besar orang Sunda memeluk agama Islam. Sehingga, sedikit banyak Islam
telah menjadi salah satu ciri jati dirinya. Dalam hampir keseluruhan maknanya,
ekspresi budaya Sunda banyak mengandung nilai-nilai Islam yang dalam.
Haji Hasan Mustapa, yang dikenal sebagai penghulu Bandung dan juga
sastrawan Sunda, manakala menafsirkan Al-Quran pada ayat-ayat awal surat
Al-Baqarah menegaskan bahwa urang Sunda mah geus Islam samemeh Islam (orang Sunda sudah Islam sebelum datangnya
Islam). Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa hampir seluruh
ranah kehidupan orang Sunda mengandung nilai-nilai ajaran Islam. Ajaran dan
hukum dalam masyarakat Sunda pun disosialisasikan melalui beragam matra
kehidupan, seperti seni dan budaya, sebagaimana dapat dilihat pada lelakon
pewayangan (wayang golek), lagu-lagu, pantun dan banyolan-banyolan.
Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik sebagai individu dan keluarga,
maupun sebagai anggota masyarakat, manusia Sunda harus melaksanakan apa yang
wajib dan yang sunah secara berkesinambungan dan simultan sebagaimana terungkap
dalam peribahasa fardu kalaku sunat kalampah (yang fardu terlaksana, yang sunah demikian pula). Pengaruh Arab
Islam pun nampak sekali dalam bahasa Sunda, seperti jisim abdi (saya) untuk menyebut diri sendiri
yang sepenuhnya diambil dari bahasa Arab. Jism yang berati badan, dan 'abd
yang berarti hamba.
Akulturasi dan asimilasi antara budaya lokal (Sunda) dengan ajaran Islam
telah membentuk warna dan ciri khas pada keberagamaan masyarakat Sunda. Betapa
Islam sangat berpengaruh pada tradisi dan budaya Sunda. Karena, sejak
pengalaman sejarahnya yang paling awal, masyarakat Sunda senantiasa menempatkan
nilai-nilai agama (Islam) pada posisi yang sangat sentral dalam hampir seluruh
aspek kehidupannya.
Oleh karena itu, ungkapan "kacida anehna lamun urang Sunda henteu
ngagem agama Islam" (alangkah anehnya kalau ada orang Sunda tidak
memeluk Islam), dapat dipahami. Meskipun orang Sunda bisa bertoleransi terhadap
pluralitas, tetapi dalam keluarga harus tetap berada dalam satu keimanan, yakni
iman Islam.
Keberadaan Islam di Tatar Sunda kerap diibaratkan seperti gula jeung
peueutna [gula dengan manisnya
–sesuatu yang tak dapat dipisahkan]. Karena, dalam kenyataannya Islam di
Tatar Sunda seiring sejalan dengan local genius masyarakat Sunda itu sendiri. Islam lebih
mudah berinteraksi dengan sistem dan nilai yang berlaku pada saat itu. Di
sinilah titik pertemuan antara Islam dengan kebudayaan Sunda dapat lebih
dimaknai.
Berkaca pada kearifan masa lampau (ancient
wisdom), juga pada kearifan lokal (local
wisdom), tentu akan menjadi modal yang berharga pada masa kini. Perintah
untuk membaca kisah (mitos) dalan masa lalu, sedari jauh hari sudah dipesankan
oleh Al-Quran [QS. Yusuf: 111]:
"Sungguh, pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.
(Al-Quran) itu bukanlah kitab cerita yang dibuat-buat, tetapi memberiarkan
kitab-kitab sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan
rahmat bagi orang yang beriman.” (QS. 12:111)
Demikian pula pada teks budaya (mitos) Sunda, hendaknya tidak bertindak
abai dan melemparnya jauh-jauh dari ruang pembacaan. Sebab, di balik teks
budaya tersebut terdapat lautan kearifan yang ternyata akan sangat berguna
sebagai modal hidup hari ini, tentunya jika mau membuka dan membacanya. Dan,
semiotika bisa menjadi salah satu jalannya. Melalui pembacaan semiotika dapat
dikatakan bahwa teks-budaya adalah "serangkaian proses sosial di mana
makna diproduksi, diartikulasi, dan dipertukarkan" (Thwaites et.al., 1994: 1). Karenanya, mitos bukan
sesuatu yang "tanpa makna" melainkan sesuatu yang "sarat
makna".
Pandangan umum selama ini terhadap mitos yang dianggap hanya sekedar
'impian' kolektif, basis ritual, atau semacam 'permainan' estetika semata dan
figur-figur mitologisnya sendiri hanya dipikirkan sebagai wujud abstraksi, atau
(sekedar) para pahlawan yang disakralkan, atau sebagai dewa yang turun ke bumi
sehingga mereduksi mitologi sampai pada taraf semata sebagai 'mainan
anak-anak', sebaiknya dihentikan. Ada baiknya mulai memandang mitos lebih besar
dari itu, sebagai "pesan" sosial-filosofis dari para leluhur sebagai
bekal menjalani hidup dengan kearifan Sunda sekaligus kearifan Tuhan.
Dengan demikian, silang sengkarut terhadap pencarian Ki Sunda sudah tidak
akan lagi menjadi persoalan yang merisaukan. Syarat untuk memahami dan menggali
kearifan Sunda sesungguhnya tidak banyak. Hanya diperlukan kesabaran (darana)
dan kebeningan hati (wening hate)
untuk membacanya. Sebab, jika tidak demikian, proses pencarian hanya akan
tersesat di lingkaran "manggih lain,
manggih lain" (menemukan yang lain).
Sebagai misal, Jakob Sumardjo pernah melakukan penafsiran terhadap dua
mitos besar yang disajikan dalam pantun Mundinglaya Dikusumah dan Lutung
Kasarung (200:189-198). Pada mulanya, Jakob mendapati problem hermeneutis yang
sama, yakni kesenjangan. Tetapi, setelah dilakukan beberapa kemungkinan
hermeneutis, akhirnya Mundinglaya Dikusumah dan Lutung Kasarung (Guruminda)
dapat ditafsir dan dipahami juga artinya.
Menarik sekali “membaca" tafsiran Jakob Sumardjo atas dua pantun
Mundinglaya Dikusumah dan Lutung Kasarung (Guruminda) ini. Ternyata, keduanya
menunjukkan simbolisme yang juga bersifat spiritual transendental. Jika dibaca
dari sudut pandang tasawuf, keduanya merupakan dua pola perjalanan spiritual
untuk meraih kesempurnaan.
Pola yang dilakukan Mundinglaya adalah pola vertikal dari bawah ke atas (bottom up). Mundinglaya yang seorang
manusia biasa (meskipun anak Raja) harus melakukan sejumlah
"perjalanan" spiritual agar bisa mencapai kesempurnaan, menyatu
bersama Tuhan (tawhid), agar
memperoleh sejumlah mandala (karamah).
Pola perjalanan spiritual untuk mencapai kesempurnaan yang dilakukan Lutung
Kasarung (Guruminda, dalam teks Jakob Sumardjo ditulis Guru Minda, hal. 199)
justru kebalikan dari apa yang dilakukan Mundinglaya. Bagi Guruminda, mencapai
kesempurnaan adalah menjadi hina, mirip para sufi. Guruminda yang merupakan
anak dewa harus mengalani sejumlah penderitaan dan kutukan menjadi seekor
lutung demi mendapat kesempurnaan. Dalam kebudayaan Islam, para sufi melakukan
ini demi memperoleh kesempurnaan. Misalnya, dalam tasawuf konsep “malamatiyah" dipergunakan untuk
meraih kesempurnaan – sebab dalam tasawuf kesempurnaan sejati mengandung
ketidaksempurnaan itu sendiri.
Ditemukan sejumlah teks-budaya Sunda yang memiliki nilai
spiritualitas-transendental dalam jumlah yang tidak sedikit. Sampai di sini,
berdasarkan tesis bahwa teks-budaya dapat dikatakan sebagai cerminan zaman yang
di dalamnya berisi pikiran dan perasaan yang tertuang dalam bentuk simbol
(kata, idiom, bunyi huruf) dan bahkan mengandung unsur politik identitas (Lihat
Rosidi dkk., 2006: 396), bisa ditarik sebuah indikasi awal bahwa kearifan lokal
(local wisdom) Sunda memang
"sangat dekat" dengan kearifan Ilahi (perennial wisdom).
Ekspresi Islam dalam Budaya Sunda
Akulturasi Islam dengan Sunda dapat terlihat dari beberapa jenis ekspresi
kesenian yang ada di tatar Sunda. Selain sebagai hasil dari interaksi,
akulturasi ini terjadi karena pada awalnya dan bahkan hingga saat ini, kesenian
seringkali digunakan sebagai sarana penyebaran syiar Islam. Strategi seperti
ini terutama dilakukan oleh para wali pada awal-awal penyebaran Islam di Pulau
Jawa. Pengaruh Islam terhadap kesenian Sunda ini di antaranya dapat dilihat
dari aspek tulis-menulis, cerita, seni arsitektur, seni musik, seni
pertunjukan, sastra, seni suara, dan sebagainya.
Dari aspek tulis-menulis, di tatar Sunda ditemukan tulisan beraksara pegon (huruf Arab gundul).
Tulisan-tulisan yang beraksara pegon ini di antaranya dapat terlihat pada wawacan,
surat-menyurat, tafsir, silsilah, dan sebagainya. Berkaitan dengan kegiatan
tulis-menulis ini (termasuk gambar), ditemukan pula beberapa mushaf Al-Quran
yang mempunyai corak khas Sunda, bahkan sekarang ini lebih dikembangkan lagi
menjadi Al-Quran Mushaf Sundawi (lihat Agus Ahmad Safei, “Fenomena Kultural
Islam Sunda”, dalam Cik Hasan Bisri, ed., Pergumulan
Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, Bandung: Kaki Langit, 2005).
Untuk bidang sastra, beberapa wawacan di antaranya bercerita tentang
hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Sebagai contoh, Wawacan Carios Para Nabi,
Wawacan Sajarah Ambiya, Wawacan Kian Santang, Wawacan Syech Abdul Kodir Jaelani,
dan seterusnya. Bentuk-bentuk karya sastra lain yang terkait dengan “Islam”
dapat dilihat pula pada hasil karya Haji Hasan Mustapa. Untuk yang lebih
mutakhir di antaranya, “Pahlawan ti Pasantren” (Ki Umbara dan SA Hikmat), “Jiad
Ajengan” (Usep Romli HM), “Dongeng Enteng ti Pasantren” (RAF), dan sebagainya.
Selain itu, sudah sejak awal ada upaya-upaya untuk membuat tafsir atau
terjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Sunda. Upaya yang paling mutakhir adalah
apa yang dilakukan oleh budayawan Hidayat Suryalaga dengan membuat terjemahan
Al-Quran dalam bentuk dangding yang disebut Nur Hidayahan. Sekarang ini,
terjemahan Nur Hidayahan sudah biasa dihaleuangkeun
(dinyanyikan) di dalam tembang Cianjuran.
Apabila di dalam Islam dikenal seni membaca Al-Quran (qiro’ah), di
tatar Sunda ada beberapa lagu Islami yang dikumandangkan dengan mengandalkan
keindahan suara pula. Contohnya dapat terlihat pada Cigawiran/Pagerageungan.
Seni lain yang mengaitkan sastra dan lagu di antaranya adalah lagu-lagu
“pupujian” atau biasa juga disebut “nadhom”. Salah satu “nadhom” yang cukup
terkenal adalah “Anak Adam”. Berikut
adalah cuplikannya:
“Anak Adam urang di dunya ngumbara
Umur urang di dunya teh moal lila
Anak Adam umur urang teh ngurangan
Saban poe saban peuting dikurangan.”
Untuk seni musik, selama ini ada kesan bahwa musik yang “Islami” itu
hanyalah yang menggunakan genjring
(rebana) dengan menyanyikan lagu-lagu berbahasa Arab (tagonian) atau
lagu-lagu bernafaskan Islam. Di luar itu, sebenarnya banyak seni musik lain
yang juga bernuansa Islam, dengan salah satu cirinya adalah mengiringi
lagu-lagu yang menggunakan bahasa Arab sebagai pujian (salawat) kepada Nabi
Muhammad Saw. Beberapa jenis kesenian yang menggunakan lagu-lagu salawat Nabi
adalah badeng di Ciamis, benjang yang menggunakan lagu-lagu dari rudat,
seperti asrokol, serta rudat sendiri (seni bela diri di mana
setiap gerakannya diiringi dengan lagu-lagu salawat).
Untuk seni pertunjukan yang berbentuk helaran, di antaranya
adalah seni burokan di Cirebon. Kabarnya, kesenian ini diilhami oleh burok
yang digunakan Nabi Muhammad ketika Mi’raj ke Sidratul Muntaha. Beberapa
pertunjukan kesenian yang bernuansa Islami tersebut di antaranya dipergelarkan
pada saat kejadian vital, terutama pada saat kelahiran. Empat puluh hari setelah
seorang anak lahir, dilakukan debaan dengan membaca (baca: melagukan) barzanzi.
Adaptasi orang Sunda terhadap Islam di dalam kesenian ini, terlihat pula
dari adanya upaya-upaya untuk memberikan nuansa Sunda kepada Islam itu sendiri.
Untuk bangunan mesjid misalnya, di tatar Sunda pada awalnya banyak yang tidak
mengikuti gaya arsitektur mesjid yang umum (gaya Timur Tengah) seperti dalam
bentuk kubah (momolo), pintu masuk, mihrab, dan sebagainya. Di tatar
Sunda sendiri banyak bentuk masjid yang khas sesuai dengan gaya arsitektur
setempat. Di antaranya bentuk bangunan Masjid Agung Bandung zaman dulu -yang
terkenal dengan “bale nyungcung”-nya.
Untuk bidang tarik suara, upaya untuk membumikan Islam di tatar Sunda
dapat terdengar dari irama lagu surat Al-Ikhlas
pada acara tahlilan atau ketika melafazkan wa’fu anna waghfirlana
warhamna -juga pada tahlilan. Kedua irama lagu tersebut, jelas-jelas
tidak termasuk ke dalam qiroah sab’ah dan tidak ditemukan di
daerah-daerah lain. Hal yang sama dapat terdengar pula pada irama lagu takbiran
(walilat) atau irama azan yang bernuansa beluk.
Lagu-lagu Sunda pun sarat dengan ajaran dan hukum Islam baik yang
melembaga seperti lagu-lagu Cigawiran, Ciawian, dan Cianjuran,
maupun lagu-lagu yang biasa didendangkan oleh para santri kalong di
mesjid, tajug atau madrasah yang meliputi ajaran tauhid, hukum hingga
ajaran tentang hidup berkeluarga seperti pada lagu-lagu sawer panganten.
Ajaran tauhid seringkali didendangkan melalui sifat dua puluh yang terumuskan
dalam Tijan dan Qathr al-Ghayts. Sedangkan Haji Hasan Mustapa
secara khusus menyusun dangding yang berkenaan dengan ajaran tauhid dan tasawuf
yang biasanya didendangkan oleh inohong Sunda dalam upacara memperingati
tahun baru Hijriyah.
Ajaran Islam sebagai agama pun telah melembaga dalam upacara adat,
khususnya perkawinan. Pesta perkawinan pun mengadopsi istilah walimah dalam
teks hadis yang menyerukan upacara atau pesta perkawinan, awlim walau
bisyatin. Sedangkan ajaran hukum kewarisan Islam disosialisasikan dalam
ungkapan sageugeus saeundan, yang artinya bagian lelaki adalah dua
ikatan padi, sementara bagi wanita adalah satu ikatan saja yang berarti dua
berbanding satu. Atau sakelek satanggungan, yang artinya bagian wanita
sesuai kapasitas dan adikodratinya yang setengah kemampuan memikul barang yang
dapat dilakukan seorang lelaki.
Pada ngarajah atau sawer, nuansa Islam terdengar di
antaranya dengan diucapkannya “Astaghfirullohal ‘adzim” pada bubuka
sawer dan “Amin Ya Robbal Alamin mugi
Gusti nangtayungan” pada akhir
lagu (rajah dan sawer). Ngadulag juga bisa disebut
sebagai proses pembumian Islam di tatar Sunda dan di Indonesia pada umumnya,
karena di daerah asalnya Islam, tidak ditemukan ditemukan bedug dan kohkol.
Tentu saja, pertemuan antara Islam dengan budaya lokal akan mengalami
akulturasi timbal balik. Akulturasi yang terjadi antara Islam dan budaya lokal
disertai dengan seperangkat catatan-catatan. Keleluasaan yang diberikan dalam
menggunakan budaya lokal seperti ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 256, terhadap bentuk budaya lokal yang diisyaratkan
Q.S. Ibrahim ayat 4, dipagari dengan syarat tidak berseberangan dengan prinsip
Islam mendasar. (QS. Az-Zukhruf:
23-24).
Resistensi Kultural-Spiritualitas Sunda
Pada akhir tahun 1800-an, dan awal 1900-an, pernah hidup manusia
fenomenal Sunda bernama Haji Hasan Mustapa. Ajip Rosidi (1983: 73), menyebutnya
sebagai "mistikus-filosof Islam ngan bisa lahir tur hurip-hirup dina
lingkungan jiwa katut kabudayaan Sunda". Yakni, mistikus-filosof
Islam, yang lahir dan hidup tumbuh dalam lingkungan jiwa dan kebudayaan Sunda.
Menurut Haji Hasan Mustapa, segala yang datang dari luar, sebagai tamu
harus dibanding-banding (ditimbang-timbang), kemudian diterjemahkan ke dalam
alam kesundaan, dipahami, diartikan, dan dimaknai dengan konteks lokal
kesundaan yang dimiliki. Tanpa terkecuali sikap orang Sunda terhadap Al-Quran,
misalnya, Menurutnya, harus ditimbang dengan "Quran" tuturunan
titinggal karuhun Sunda.
Selanjutnya, dalam upaya menghadapi budaya "luar" ini, Haji
Hasan Mustapa menggubah nasihatnya, dalam bentuk kakawihan, sebagai berikut;
Kembang kacang barudak
geura beungkeutan;
Semah datang barudak geura
deukeutan.
Kembang kacang barudak
geura pipitan;
Semah nganjang barudak
geura ciwitan.
Kembang asak barudak geura
asakan;
Semah nganjang barudak
geura asaan.
Bagi budaya Sunda, bersentuhan dengan budaya asing bukanlah hal yang
baru. Jika dilihat jauh ke belakang, karuhun
(nenek moyang) Sunda telah membuktikan kreativitasnya dalam menghadapi berbagai
macam pengaruh dan "tamu" yang datang dari luar, baik itu dari India
(Hindu, Budha), Jawa (Mataram), dan Arab (Islam). Dan hasilnya menunjukkan,
bahwa jiwa Sunda memiliki kemampuan untuk membuat sintetis yang harmonis.
Sunda, bahkan selalu berani berhadap-hadapan dengan jiwa, agama, kepercayaan,
dan alam pikiran yang bagaimanapun adanya.
Dalam proses ‘perjumpaan’ tersebut, Sunda tidak pernah (sepenuhnya)
hanyut oleh "suara" tamu. Sebaliknya, ia dapat dengan dinamis dan
harmonis membuat apa yang mempengaruhinya itu menjadi khazanah kekayaan
budayanya sendiri. Contoh, dalam kosa kata yang awalnya berasal dari
"luar'', kini sudah sedemikian "merenah"
bagai bagian integral Sunda. Nama Maman yang khas Sunda itu pun kabarnya
berasal dari bahasa Arab, Iman. Minah dari kata mu’minah.
Tetapi, tentu saja, resistensi Sunda terhadap budaya, nilai, dan
keyakinan yang datang dari luar bukannya tak ada. Dalam konteks ini,
resistensi, pertama-tama, harus dipahami sebagai sebuah daya tahan sekaligus
daya tawar (lihat Donny Gahral Adian, "Gaya Hidup, Resistensi, dan Hasrat
Menjadi", dalam Adlin, 2005: 23). Maka, ketika hendak menimbang resistensi
spiritualitas Sunda, tak ayal lagi harus membincangkan daya tahan dan daya
tawar tradisi Sunda terhadap kebudayaan dari luar Sunda.
Indikator yang digunakan untuk mengukur daya tahan dan daya tawar ini
sesungguhnnya sederhana. Pramoedya Ananta Toer (2001) dalam Bumi Manusia, menyebutkan bahwa daya
tawar sebuah tradisi dapat diukur dan diketahui dari sejumlah hal: bahasa,
seni, politik. Indonesia, menurut Pram, tergolong memiliki daya tahan dan daya
tawar tradisi yang relatif lemah. Hal ini dapat dilihat dari bahasa Indonesia
yang banyak sekali mengandung serapan "Arab", berhubungan dengan
upaya ekspansi dakwah Islam yang menggunakan bahasa Arab. Kesenian yang ngarab, dan sistem politik yang – tidak
bisa tidak – sangat terpengaruh oleh Arab dan Belanda.
Masih menurut Pram, hal serupa juga terjadi pada sejumlah kebudayaan
lokal di Indonesia. Pram menyebutkan di antaranya Sunda merupakan kebudayaan
lokal (Indonesia) yang memiliki daya tawar tradisi yang relatif rendah. Babad
Padjajaran, yang sedikit banyak mengumumkan bahwa kebudayaan Arab (Islam) telah
merasuki kebudayaan asli Sunda, merupakan bukti bahwa daya tawar tradisi Sunda
terhadap kebudayaan luar Sunda tidaklah kuat.
Bukti lain yang menunjukkan tidak kuatnya resistensi Sunda terhadap
kebudayaan luar (Sunda) ditunjukkan oleh begitu berjaraknya bahasa Sunda asli
(bahkan Sunda kuna) dengan bahasa Sunda yang biasa dipakai dan dipraktikkan
sehari-hari. Bahasa Sunda banyak sekali yang dimasuki oleh unsur bahasa asing
terutama bahasa Arab (yang menjadi representasi Islam).
Hal ini tentu saja berkelindan erat dengan resistensi spiritualitas yang
menjadi bagian "kebudayaan" Sunda tadi. Spiritualitas Sunda yang pada
mulanya merupakan agama Sunda Wiwitan yang cenderung pagan, tidak bisa
bertahan ketika harus menghadapi hegemoni dan kooptasi spiritualitas
Hindu-Budha.
Sebagai contoh, agama Sunda Wiwitan yang kini masih dipegang teguh oleh
masyarakat Baduy (Kanekes), masih memercayai bahwa Tuhan atau Hyang Tunggal
atau Hyang Widi masih merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan alam
(hutan, laut, langit, tanah), yang sangat identik dengan pola kepercayaan
pagan, kemudian harus tereduksi dan terkooptasi oleh spiritualitas Hindu-Budha
yang kemudian mengubah cara pandang urang
Sunda terhadap Tuhan: bidadari, apsara, dewa, mahadewa, Hyang Widi.
Tidak sampai di situ saja, datangnya Islam ke tatar Sunda kembali
mengubah spiritualitas dan ritus urang
Sunda tadi, sehingga kini Hyang Tunggal tadi bernama Allah, mahapandita yang
tadinya para bikhu dan pandita menjadi para ulama. Hingga akhirnya, muncullah
term Islam-Sunda tadi. Yakni sebuah spiritualitas eskatologis antara
spiritualitas Sunda dan spiritualitas Islam.
Sejumlah tulisan dalam buku Pergumulan
Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, yang disunting oleh Cik Hasan
Bisri dkk. (2005), memuat ketidaktepatan dalam memahami terminologi “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam” (Islam
itu Sunda, Sunda itu Islam) ini. Kekeliruan tersebut, agaknya, berasal dari
sebagian penulis yang melakukan fallacy of composition terhadap dua
konsep yang tidak sama besar: Islam dan Sunda. Beberapa
penulis menganggap Islam sama besar dan sebangun dengan Sunda. Sehingga ketika
menerjemahkan slogan. "Islam teh
Sunda, Sunda teh Islam" beberapa penulis menafsirkan slogan itu
sebagai "Islam itu Sunda atau Sunda itu Islam.
Tentu saja, kita tidak bisa bersifat afirmatif terhadap bentuk
spiritualitas eskatologis macam apa pun jika terminologi "Islam-Sunda”
dipahami semacam itu. Sebab, jelas-jelas Al-Quran menyebutkan bahwa: (1) agama
yang paling benar di sisi Allah hanyalah Islam, (2) bagimu agamamu dan bagiku
agamaku (QS. 109: 6), dan (3) tiada paksaan untuk menganut agama Islam (QS. 2:
250).
Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak pernah menerima segala bentuk
eskatologi spiritualitas (termasuk Islam-Sunda). Terkecuali, jika Islam-Sunda
tidak dipahami sebagai sesuatu yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi,
tentu menjadi soal lain. Misalnya, Jakob Sumardjo (2003) yang menerjemahkan
Islam-Sunda dalam terminologi "Islam
teh Sunda, Sunda teh Islam" sebagai hanya dua hal yang saling
berkelindan secara kebudayaan dan bersifat identik dalam beberapa hal saja
(Sumardjo, 2003: 56).
Tentu saja, "Islam teh Sunda,
Sunda teh Islam" harus dipahami tidak sama dan sebangun meskipun pola
kalimatnya menunjukkan informasi semacam itu. Keduanya harus diruntut secara
historis-antropologis sebagai dua hal yang pernah saling berhubungan; satu
mempengaruhi yang lain, satu dipengaruhi yang lain. Seperti
ketika kita memahami ungkapan “Indonesia itu Jawa, Jawa itu Indonesia”.
Jika dipahami sebagai dua hal yang saling berhubungan "mempengaruhi
dan dipengaruhi", konteks Islam dan Sunda dalam "Islam-Sunda"
atau "Sunda teh Islam, Islam teh Sunda" sangat erat kaitannya dengan
konteks resistensi. Dari sana bisa ditemukan bahwa Sunda tidak memiliki
resistensi yang cukup kuat, sehingga Islam yang relatif baru karena secara
sejarah datang belakangan, bisa mencecerkan daya tawar dan daya tahan Sunda
sebagai tradisi (kebudayaan) juga sebagai ritus (spiritualitas).
Jadi, jika ditarik sebuah kesimulan awal: resistensi spiritualitas Sunda
ternyata terhitung lemah. Meskipun mampu menyesuaikan diri secara kreatif,
bentuk resistensi yang lemah tetap saja lemah dan mudah melisut di balik
hegemoni kebudayaan yang kian hari kian besar, kian massif, kian sporadik, kian
gigantis.
Berpijak dari paparan di atas, Sunda –sebagai sebuah entitas kebudayaan–
sudah memulai babak spiritualitasnya jauh sebelum Is1am. Spiritualitas Sunda,
sebelum Islam, mungkin masih bersifat paganistis atau mungkin totemistis
--layaknya spiritualitas yang dianut masyarakat dunia pada era Aksial. Lalu
Budha Tantrayana mulai memasukinya, Hindu menyusul, dan kemudian Islam
belakangan mensubstitusi spiritualitas Sunda –meskipun dalam bentuk substitusi
yang kurang sempurna. Setidaknya, begitulah, menurut pandangan antropolog Kusnaka
Adimihardja.
Artinya, habitus spiritualitas Sunda sebagai sebuah konstruksi kebudayaan,
telah mengalami dekonstruksi, substitusi, hibridasi, dan belakangan (melalui sejumlah upaya re-Sunda-isasi) telah
mengalami rekonstruksi bahkan redekonstruksi. Habitus Sunda (terutama dalam
soal spiritualitas) telah berkali-kali mengalami "jungkir-balik",
"pasang-surut", "bongkar-pasang", Maka jadilah habitus
spiritualitas Sunda menjadi habitus yang kaya dan unik.
Penutup
Dengan demikian, persoalan masih layak dan relevankah spiritualitas dan
kearifan Sunda dalam konteks sekarang tentu perlu dipilah dan dipilih
penyikapannya. Kita tidak bisa mengafirmasi seluruhnya, bahwa kearifan dan
spiritualitas dan kearifan Sunda masih layak dan relevan untuk dipakai dalam
pergulatan hidup sekarang. Juga tidak bisa ditegaskan seluruhnya bahwa
kebudayaan, kearifan, dan spiritualitas Sunda sudah tidak relevan dan tidak
layak untuk dipertahankan.
Sikap yang paling tepat dalam menimbang spiritualitas dan kearifan Sunda
dalam era posmodernisme adalah memandangnya secara objektif, kritis, dan
cerdas. Kita harus menjadi siger tengah,
ummatan wasatha yang memandang
segalanya secara arif, objektif, bijak, dan kritis.
Sebab, itulah yang disarankan al-Quran. Hendaknya, dalam memandang masalah
ini kita tidak menjadi ashâb al-maimanah
yang mengafirmasi segalanya. Juga tidak menjadi ashâb al-masyamah yang menegasikan segalanya. Sebaiknya memang
berada di tengah-tengah menjadi ummatan
wasatha, menjadi siger tengah (moderat).
Bagaimanapun, sebuah kebudayaan yang berhadapan secara vis a vis dengan kebudayaan lain yang bersifat lebih besar selalu
menghadirkan dua kemungkinan. Dalam abad pospositivistis ini, kebudayaan Sunda
tengah dijerang posmodernisme, dan karenanya menghadirkan dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, upaya menutup diri dari kebudayaan yang lebih besar
itu, sebab merasa tidak memiliki resistensi yang cukup kuat dalam melawannya.
Hingga akhirnya melahirkan fundamentalisme.
Kemungkinan kedua, yakni upaya penyesuaian diri secara kreatif
terhadap kebudayaan itu, mengelola perubahan, dan melakukan harmonisasi.
Budaya Sunda, agaknya, telah memilih konsekuensi kedua. Sebab pilihan pertama
akan membawa Sunda terlempar menuju keranjang sampah sejarah peradaban manusia,
mengingat daya tahan dan daya tawar (resistensi)-nya yang ternyata tidak
terlampau kuat.
Agaknya, yang terpenting saat ini adalah mengambil sikap. Berusaha mempertahankan
kebudayaan dan kearifan Sunda secara objektif. Yang baik jagalah, yang sudah
tidak relevan lemparkanlah. Tentu saja agar kebudayaan, kearifan, dan
spiritualitas Sunda tak hanya terus menerus bersemayam dalam pikiran, tulisan,
atau ruang-ruang seminar. Tetapi benar-benar membumi
di tatar Sunda, di jagad buana.
‘Ala kulli hal, apa pun adanya, sebagaimana
dikatakan di awal tulisan ini, kebudayaan, kearifan dan spiritualitas Sunda, sesungguhnya dapat berfungsi sebagai
semacam jendela, tempat menyaksikan warna-warni kearifan Ilahi [baca: Islam]
mengekspresikan dirinya dalam wajahnya yang paling jenial dan lokal. Karena,
seperti yang dikatakan para peneliti cultural
studies, kini, sudah tiba saatnya untuk melihat Islam dari jendela Bandung,
Cirebon, Garut, atau bahkan Cikeas sekalipun.
Wallahu’alam
bi al-shawwab.
Daftar Pustaka
Al-Quran Al-Karim
Alfathri Adlin, dkk., 2002, Resistensi Gaya Hidup:
Teori dan Realitas, Jalasutra, Yogyakarta.
Ahmad Mansyur Suryanegara, 1996, “Islam dan Tradisi Budaya Sunda” dalam Ruh Islam dalam Budaya. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal
Asep Saeful Muhtadi dan Agus Ahmad Safei (ed.), 2008, Kesalehan Multikultural. Bandung:
Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Ayat Rohaedi, 1996, “Sunda Islam-Islam Sunda” dalam Ruh Islam dalam Budaya.
Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.
Arnold J Toynbee, 2006, Sejarah Umat Manusia: Uraian
Analitis Kronologis, Naratif, Komparatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Abdul Hadi WM, 2002, Hermeneutika Al-Quran,
Yogyakarta: Matahari.
A. Chaedar Alwasilah, 2006, Pokoknya Sunda
Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: PT. Kiblat Buku Utama.
Ajip Rosidi dkk., 2006, Konferensi Internasional
Budaya Sunda, Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage.
Ajip Rosidi, 1983, Ngalanglang Kasusastraan Sunda,
Jakarta: Pustaka Jaya,.
Azra, Azyumardi, 1999, Konteks Berteologi di
Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina.
Cik Hasan Bisri, dkk., 2005, Pergumulan Islam dengan
Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, Bandung: Kaki Langit,.
Edi S. Ekadjati, 2005, Kebudayaan Sunda Zaman
Pajaiaran, Jakarta: Pustaka Jaya.
Ganjar Kurnia, 2004, “Nuansa Islam dalam Kesenian Sunda”,
dalam Pikiran Rakyat, 23 Oktober.
Hooker MB, Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-Fatwa dan
Perubahan Sosial, Jakarta: Teraju, 2002.
Jakob Sumardjo, 2002, Arkeologi Budaya Indonesia:
Pelacakan Hermaneutis-Historis terhadap Artefak-artefak Kebudayaan Indonesia,
Yogyakarta: Qalam.
------------, 2003, Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda,
Bandung: Kelir.
Jean
Claude Levi-Strauss, 1972, Structural Antropology, London: Penguin Book.
Jusuf Sutanto, 2001, Kearifan Kuno di Zaman Modern,
Jakarta: Hikmah.
Karen
Armstrong, 2007, The Great Transformation: Awal Sejarah Tuhan, Bandung:
Mizan.
Patricia
Aburden dan John Naisbitt, 2006, Megatrends 2000, Jakarta: Transmedia.
Pusat Studi Sunda, 2005, Islam Dalam Kesenian Sunda,
Pusat Studi Sunda, Bandung.
Pramoedya Ananta Toer, 2001, Bumi Manusia,
Jakarta: Lentera Dipantara.
Quraish Shihab, 2004, Membumikan Al-Quran.
Bandung: Mizan.
Radhar Panca Dahana, 2004, Jejak Posmodernisme di
Indonesia, Yogyakata: Bentang.
Roland Barthes, 2006, Membedah Mitos-mitos Budaya
Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi,
Yogyakarta: Jalasutra.
Saini K. M., 2004, Krisis Kebudayaan, Kelir,
Bandung.
Stephen Palmquist, 2002, Pohon Filsafat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang A. Darsa dan Edi S. Ekadjati, 2006, Gambaran
Kosmologi Sunda, Bandung: Kiblat.
Yasraf Amir Piliang, 2004, Dunia yang Dilipat: Tamasya
Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra.
Zainal Abidin, dkk, 2006, Ngaji dan Ngejo: Ikhtiar
Membangun Watak Empatik Masyarakat Jawa Barat, Bandung, Setda Jawa Barat.
Endnotes
:
*lahir di Majalengka pada 15 Oktober 1972.
Sehari-hari bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi
UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Hingga kini,
sudah puluhan judul buku yang telah ditulisnya. Sejak mahasiswa, ia juga
menulis banyak artikel yang tersebar di berbagai koran, tabloid, majalah,
maupun jurnal, baik yang terbit di dalam maupun luar negeri. Salah satu artikel
terbarunya yang ditulis bersama Dr. Julian Millie, ”Religious Bandung”, dimuat
di Inside Indonesia: a Quarterly Magazine on Indonesia (edisi April-Juni 2010,
terbit di Australia). Tahun 2007, ia mengambil Program Doktor bidang Sosiologi
di Universitas Padjadjaran Bandung. Tahun 2009, ia memperoleh beasiswa dari
Kementerian Pendidikan Nasional RI untuk menjadi Visiting Ph.D Student di
School of Political and Social Inquiry, Faculty of Arts, Monash University,
Melbourne, Victoria, Australia. Selain itu, ia juga aktif menjadi juri MTQ,
baik di tingkat Provinsi Jawa Barat maupun Nasional, pada cabang Musabaqah
Menulis Kandungan Al-Quran [M2KQ]. Kini, ia beralamat di: agusafe@yahoo.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...