Oleh: Muhammad Sarbini
Pendahuluan
SDM (Sumber Daya Manusia) yang unggul dalam perspektif Islam disebut
sebagai kelompok masyarakat sābiqun bi al-khairāt [1]
(pemenang lomba kebaikan atau pencetak rekor kebaikan). SDM unggul yang
nerupakan kelompok masyarakat sābiqun bi al-khairāt adalah sumber daya
yang merefleksikan delapan karakter khusus yang dimilikinya, yaitu:
1.
Memiliki rasa takut kepada Allah Swt (al-khauf min
Allah).
2.
Memiliki kekuatan iman (quwwah al-imān)
3.
Memiliki tauhid yang bersih (tajrīd al-tauhīd)
4.
Mengenal urgensi waktu dan umur (ma`rifah qīmah
al-awqāt wa al-a`mār)
5.
Tekad yang jujur, cita-cita yang tinggi dan kemauan yang
kuat.
6.
Semangat kompetitif dalam setiap kebaikan
7.
Hati yang bersih (salāmah al-shadr)
8.
Peniti jalan pendahulu mereka yang shalih.[2]
Adian Husaini dalam catatannya yang disampaikan dalam diskusi sabtuan di
INSIST, 12 Juni 2010 M mengatakan bahwa inilah hakekat dari tujuan pendidikan,
yakni mencetak manusia yang baik, sebagaimana dirumuskan oleh Prof. S.M. Naquib
al-Attas dalam bukunya, Islam and Secularism: “The purpose for
seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as
man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce
a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of
education is the inculcation of adab…”[3]
Tujuan pendidikan yang menurut Ahmad Tafsir telah difahami oleh para
pemikir sejak 600 tahun SM ini[4],
pada tataran kebijakan dan aplikasinya di dunia pendidikan di Indonesia
–menggunakan istilah Ibn Taimiyah-[5]
masih bersifat `ilm al-yaqīn (informasi ilmiyah yang diyakini), belum
sampai kepada `ain al-yaqīn (realita yang diyakini) apalagi sampai
kepada haq al-yaqīn (perwujudan hakiki keyakinan).
Pemerintah Indonesia, melalui Kementrian Pendidikan Nasional sudah mencanangkan
penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan, mulai dari SD
sampai Perguruan Tinggi. Menurut Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh, pembentukan
karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak
usia dini, kata Mendiknas, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter
seseorang. Pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa.[6]
Ahmad Tafsir memaparkan bahwa pendidikan Indonesia dewasa ini memiliki 7
persoalan yang amat menonjol, yaitu:
Pertama, sistem pendidikan yang masih kaku. Suatu sistem yang terperangkap
dalam kekuasaan otoriter pasti akan kaku sifatnya. Ciri-cirinya yang dapat
dilihat dengan mudah, yaitu sentralisme dan birokrasi yang ketat.[7]
Kedua, Sistem pendidikan nasional telah diracuni oleh praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Mengapa hal itu mudah masuk? Karena sistem kita
tertutup. Manipulasi dana masyarakat banyak terjadi, baik untuk kepentingan
organisasi politik atau kelompok atau kepentingan pribadi.
Ketiga, sistem pendidikan tidak berorientasi pada pemberdasyaan masyarakat.
Tujuan pendidikan untuk mencerdaskan rakyat telah berganti dengan
praktik-praktik yang memberatkan rakyat untuk memperoleh pendidikan yang
berkualitas baik. Rakyat tidak diperdayakan melainkan diperas. Mutu lulusan rendah.[8]
Keempat, Sistem pendidikan belum mengantisipasi abad ke-21.
Kelima, biaya pendidikan terlalu kecil.
Keenam, pendidikan masih gagal menghasilkan lulusan yang tidak sanggup
korupsi.
Ketujuh, daya saing lulusan memang belum tinggi.[9]
Menurut penulis ada problem dasar pendidikan yang lebih utama dilihat dari
perspektif Islam, yaitu sekularisme dalam dunia pendidikan.
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Berdasarkan definisi ini, dapat difahami bahwa pendidikan nasional
berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi
warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang
bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan yang sebenarnya adalah
sekularisme yaitu pemisahan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan
kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan bahwa yang
menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter peserta didik adalah
nilai-nilai dari aqidah islam, melainkan justru nilai-nilai dari demokrasi.
Sehingga realita masyarakat Indonesia masih berada
dalam kondisi keterpurukan, setidaknya menurut kacamata Islamic worldview, yang
ditandai oleh:
1.
Masih maraknya
kepercayaan-kepercayaan dan amal-amal kesyirikan.
2.
Masih cukup dominannya
kepercayaan-kepercayaan dan amal-amal bid`ah
3.
Kemaksiatan kolektif atau terbuka
yang terbiarkan
4.
Kezaliman-kezaliman sesama yang
sulit dicegah dan dihentikan.[10]
[1] Qs.
Fathir [35]: 32
[2] Intisari
dari Qs. Al-Mu`minun [23]:57-61. Baca: Māzin Ibn `Abd al-Karīm al-Freh, al-Rāid
Durūs Fi al-Tarbiyyah wa al-Da`wah, Saudi Arabia: Dār al-Andalus al-Khadrā,
2006, Cet ke-3, Juz. I, hlm. 332-336
[5] Khālid
Abū Syādī, Rihlah al-Bahts `An al-Yaqīn, Thanthā: Dār al-Basyīr, 2006,
Cet ke-1, hlm.13
[6] Adian
Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab,
Depok: Komunitas Nuun, 2011, hlm. 37
[7] Ahmad Tafsir, Pendidikan Untuk Masa Depan,
Dalam Buku “Mereka Bicara Pendidikan Islam Sebuah Bunga Rampai”, Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2009, Cet ke-1, hlm. 35
[8] Ibid, 36
[9] Ibid, 37-39
[10] DPP Hasmi, Tugas dan Tujuan, Bogor: Hasmi,
2010, cet ke-2, hlm. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...