Oleh : Abu Abdussalam
Dienul Islam yang merupakan pintu gerbang kebahagiaan dan
keselamatan diasaskan pada 2 konsep dasar : yaitu syahadat tidak ada Ilah (yang
diibadahi secara hak) kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad adalah Rasul
Allah. Kalimat "rasul Allah" bagi Muhammad saw merupakan manath
ad dien yang terkandung dalam firman
Allah ta’ala :
إِنَّ
الدِّينَ عِندَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Sesungguhnya dien (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.
(QS. 3:19)
وَمَن
يَبْتَغِ غَيْرَ اْلأِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي
اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari dien selain dari Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (dien itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. (QS. 3:85)
Dengan demikian, dien Al Islam merupakan suatu risalah yang
mengindikasikan bahwa para utusan Allah – termasuk Muhammad r di dalamnya – itu
membawa suatu risalah tertentu. Sebuah risalah, apapun bentuk risalah tersebut
– menurut Dr. Farid bin Al Hasan Al Anshari – memiliki 4 unsur :
1. Al Mursil (Pihak yang mengutus) yaitu pihak yang berwenang mengirimkan risalah.
2. Al Mursal Ilaih (Pihak yang menerima) yaitu pihak yang
dikehendaki oleh risalah tersebut.
3. Ar Rasul (Utusan) yaitu pihak yang diberi amanah membawa risalah
dari pihak yang mengutus untuk disampaikan Kepada pihak yang dikehendaki oleh
risalah.
4. Al Khithab Al Mursal (Isi Risalah) yaitu isi berita yang dibawa
oleh utusan dari pihak yang mengutus.[1]
Kedudukan Muhammad r sebagai utusan yang bertanggung jawab
menyampaikan risalah tersebut tidak memiliki perbedaan asasi dengan manusia
lainnya. Perbedaan asasi beliau dalam hal ini terletak pada pihak yang
mengutusnya yaitu Allah I, Zat satu-satunya yang Maha mencipta, memiliki dan
menata seluruh alam semesta serta pada isi risalah yang diembannya yaitu
Kalamullah yang berisi seluruh unsur kebaikan, kebenaran, kejujuran, keadilan
dan kemashlahatan bagi manusia dan kemanusiaan, bahkan bagi seluruh alam
semesta. Dalam hal ini Allah I mengingatkan :
قُلْ
إِنَّمَآ أَنَا بَشَرٌ مِّثْلَكُمْ يُوحَى إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلاَهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا
وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah:"Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti
kalian, yang diwahyukan kepadaku:"Bahwa sesungguhnya Ilah kalian itu
adalah Ilah Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya". (QS. 18:110)
Kedudukan yang diemban oleh Muhammad r, Rasul Allah ini diwujudkan
dalam bentuk dakwah dan tarbiyah yang matin (kokoh) dan mutawashilah
(berkesinambungan) dalam proyeksi tilawah (membacakan ayat-ayat Allah),
tazkiyah (pensucian jiwa) dan ta`lim (mengajarkan Kitab dan hikmah) yang
digambarkan oleh Allah I dalam firmanNya :
هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ
ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن
كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan aya-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. 62:2)
Pada dasarnya dakwah Islamiyah – menurut Abu Ridho – merupakan
proses al-tahawwul wa al-taghayur (transformasi dan perubahan) dari yang tidak
baik ke arah yang baik dan dari yang baik ke arah yang lebih baik hingga
terbangun kehidupan individu dan kemasyarakatan yang Islami. Dalam konteks
internal ummat, dakwah dimaksud adalah upaya melakukan perubahan ke arah
perbaikan umat, keselamatan masyarakat, dan kemajuan bangsa dan negaranya serta
memastikan nilai-nilai Islam menajadi warna seluruh dimensi kehidupan serta
terciptanya suasana lingkungan (domestik dan publik) yang Islami.
Proses transformasi itu meliputi perubahan dari ketidaktahuan pada
yang haq menjadi tahu, dari tahu menjadi gagasan atau konsep, dari konsep
menjadi sebuah aktivitas atau amal yang melahirkan kemanfaatan, bukan hanya
pada pelakunya tetapi juga pada kemanusiaan sejagat. Selanjutnya aktivitas dan
amal itu mengantarkan pada pencapaian tujuan suci da`wah, yaitu memperoleh
ridha Allah I. [2]
Akan tetapi fenomena yang muncul terkadang mengaburkan
prinsip-prinsip ideal yang terkandung dalam dakwah tersebut. Misalnya –
sebagaimana yang ilustrasikan oleh Dr. Setiawan Budi Utomo - ada semacam pameo
yang sering beredar di bulan Ramadhan, di kalangan para da`i, kiai, mubalig,
ustadz, dan penceramah apapun julukannya, bahwa bulan suci Ramadhan merupakan
bulan penuh berkah dan bulan panen kebajikan. Namun pengertian dan konotasi hal
itu khash di kalangan sementara pendakwah atau mubaligh yang lebih diplesetkan
yang cenderung menjadi "kesempatan mengejar omzet dan target materi"
di balik aktivitas dakwah dan ceramah. Sehingga pengertiannya berubah menjadi
bulan penuh berkah order dan bulan panen kebajikan (khairat) berupa panen
"amplop". Sementara yang dipahami oleh masyarakat awam, umat, dan
para jamaah adalah bulan penuh berkah berupa pahala, rahmat, dan maghfirah yang
berlimpah dan berlipat sehingga perlu peningkatan mobilisasi ibadah.
Dan tentunya, fenomena seperti itu juga muncul di bulan-bulan ramai
kegiatan keagamaan dan volume permintaan ceramah seperti bulan syawwal (dengan
seremonial halal bi halal), bulan maulid Nabi r. (Rabi`ul Awwal yang molor
sampai satu atau dua bulan setelahnya), bulan haji (Dzulhijjah yang di awali
satu bulan sebulan dan sesudahnya melalui manasik, walimah shafar sampai
syukuran kedatangan yang berlanjut memasuki bulan Muharram dengan seremonial
perayaan tahun baru Islam). Demikian pula bulan Rajab (dengan peringatan Isra
Mikraj).
Selain itu, pameo lain
juga beredar di hari Jumat seperti yang dilontarkan seorang kawan mengenai
pesan surah Al Jumuah yang memang diartikan secara terbalik oleh sementara
khatib, yaitu "Apabila dipanggil untuk shalat jumat maka bersegeralah
kepada dzikrullah dan bergegaslah meninggalkan aktivitas bisnis". Hal ini
konon justru berlaku terbalik bagi para khatib, yakni apabila telah menjelang
shalat jumat maka para khatib bergegas menuju panggilan profesi "bisnis
khotbah jumat".
Fenomena sosial para dai dan mubaligh seperti itu kemudian
memunculkan berbagai pertanyaan yuridis fiqih maupun etika dakwah, yaitu
bolehkan seorang khatib atau pemberi ceramah menerima amplop, upah, honor, atau
uang transpor ? Bagaimana kalau yang diterimanya itu lebih besar dari uang
transpor yang sebenarnya ia keluarkan ? Bagaimanakah posisi niat dakwah
terhadap imbalan materi yang diambil melalui dakwahnya ? Bagaimana sikap dai
bila disodori amplop ? Mengurangi keikhlasan atau tidak ? Apakah dai atau
mubalig yang memiliki motivasi dan pertimbangan materi di samping risalah
dakwahnya tersebut etis menurut kode etik dakwah dan apakah diperbolehkan
menurut syariah ? Bagaimana solusi dan jalan keluarnya yang bijak dengan
pertimbangan kondisi sosial ekonomi yang ada ? Dapatkah dakwah diposisikan
sebagai profesi yang menjadi mata pencaharian para dai dan mubalig ? Bolehkah
ilmu agama dikompensasikan dengan imbalan materi, apakah tidak sama dengan
menjualbelikan ayat ? Bagaimanakah reposisi independensi amar makruf dan nahi
munkar dai bila menerima amplop dari klien dan mad`u-nya yang sangat beragam ?
Secara prinsip memang boleh saja seorang dai, mubalig, khatib, dan
penceramah menerima amplop atau honor, sebagaimana difatwakan oleh Syekh Yusuf
al-Qardhawi dalam Fatawa Mu`ashirah-nya. Hal itu sama halnya seperti guru,
imam, muadzin, dan lain-lain yang oleh pendapat para ulama klasik diperbolehkan
untuk mendapatkan honorarium dengan disertai harapan agar mereka melaksnakan
tugas dan fungsi mereka dengan amanat serta ikhlas demi Allah, bukan sekedar
mengejar imbalan uang.[3]
Memang bila dilihat dari segi tinjauan fiqih bahwa upah atau
imbalan atas profesi ataupun jasa dakwah berupa penyampaian ilmu dan penyadaran
agama secara langsung dengan pesan verbal, baik melalui mimbar masjid, podium
ruangan yang tanpa maupun disiarkan oleh media elektronik dan cetak merupakan
salah satu bentuk ujrah (sewa atau upah); yang dibayarkan untuk jasa profesi
yang diperbolehkan oleh para ulama. Hal tersebut tak ubahnya seperti profesi
guru, kontraktor, konsultan, dokter dan sebagainya yang terikat dengan
kesepakatan, baik tertulis dan dinyatakan secara lisan maupun yang berlaku
secara konvensional berdasarkan adat kebiasaan, sebagaimana dinyatakan dalam
kitab-kitab fiqih klasik seperti Al Bada`i, IV/174, Takmilah Fathul Qadir,
VII/200, Tabyin Al Haqaiq, V/133. Pembahasan tentang ujrah dan ijarah tersebut
juga diklasifikasikan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili menjadi ijarah (sewa) atas
barang maupun sewa atas jasa profesi orang yang keduanya diperbolehkan oleh
syariah selama obyek sewanya baik dan halal (al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu,
IV/766).
Namun, jika kita kembangkan kepada wacana pembahasan yang lebih
luas, masalah ini tidak akan sesederhana itu karena mencakup berbagai dimensi
dan aspek, terutama jika dai, mubalig, dan penceramah itu menerima langsung
order maupun "amplop" dari "klien" atau mad`u, maka hal itu
kembali kepada kepribadian dai dan mubalig sesuai dengan kadar keikhlasan dan
keimanannya yang akan berpengaruh kepada integritas dan independensinya dalam
menyampaikan ilmu dan kebenaran tanpa dipengaruhi oleh imbalan materi. Kuncinya
memang niat, sebagaimana Rasulullah r sabdakan, "Sesungguhnya amal itu
nilainya bergantung pada niatnya." (HR Bukhari dan Muslim). Beliau
sebutkan bahwa dua faktor penting yang sangat berpotensi mempengaruhi niat
ikhlas seseorang adalah dunia dan perempuan yang bertarung melawan motivasi
mencari ridha Allah dan cinta Rasul-Nya. Meskipun aktivitas belajar dan
mengajar Al Qur`an (ilmu agama) dikategorikan Nabi r sebagai profesi yang
paling mulia, namun bila niatnya melenceng dan cenderung kepada motivasi
materi, justru akan dijauhkan dari surga (Imam Nawawi dalam Riyaadhush shalihin
: 671).
Di samping itu, yang perlu diwaspadai dan diperhatikan kembali oleh
para dai, apakah sebenarnya posisi amplop atau uang yang disodorkan kepadanya
dilihat dari berbagi konteks dan situasinya, terutama dari perorangan kepada
perorangan, dari lembaga yang terkait dengan posisi rentan kolusi yang dimiliki
dai. Dalam hal ini, amplop yang ditawarkan tersebut dapat menjelma dalam
berbagai bentuk, baik sebagai hadiah penghargaan, pengganti transpor, imbalan
atau upah jasa, honorarium profesi, suap halus melalui pemanggilan ceramah, setoran
wajib kepada tokoh. [4]
Perlu dicermati bahwa di dalam Islam, da`wah merupakan kewajiban
syar`i (agama) dan ijtima`i (sosial) yang mesti ditegakkan. Hal ini telah
ditegaskan dalam Islam. Banyak ayat-ayat Al Qur`an dan sabda nabi Muhammad r
yang menjelaskan kewajiban berda`wah, baik sebagai kewajiban individual ataupun
sebagai kewajiban kolektif. Firman Allah yang mengisyaratkan kewajiban
berda`wah yang ditujukan pada setiap individu muslim antara lain :
اُدْعُ
إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ
سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. 16:125)…
Sedangkan firman Allah yang dinilai sebagai perintah da`wah yang
harus dijalankan secara kolektif antara
lain :
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104) [5]
Untuk itu
jalan keluar yang mungkin dapat diterima secara logika dan hukum dapat diambil
melalui sampel yang dikemukakan oleh syekh Rasyid Ridha setelah meriwayatkan
pendapat para ulama tentang tafsir surah at-Taubah : 60, dimana beliau
menjelaskan, "Di antara alokasi penyaluran infak (zakat) fi sabilillah
yang terpenting pada saat ini adalah menyiapkan kader-kader mubalig yang
berdakwah ke wilayah kafir melalui koordinasi organisasi Islam secara
profesional yang mampu membiayai dan menjamin kebutuhan finansial mereka, untuk
mengimbangi gerakan misionaris, dan zending yang mengirimkan dan membiayai para
dai mereka untuk secara Allah swt out
dan profesional menyiarkan agama mereka." (Tafsir al-Manar, 506). Hal itu
sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat hadits Nabi r yang menyatakan
bahwa sebaik-baik imbalan yang diterima adalah dari pengajaran kitabullah.
(Op.Cit : 110)
Sebagai
salah satu sarana da`wah yang esensial, jama`ah / organisasi dakwah dapat
mensinergikan semua potensi ummat dalam spesialisasi yang utuh dan terpadu bagi
masing-masing individu da`i yang tergabung di dalamnya. Bahkan dalam sejarah
perkembangan Islam, spesialisasi di medan da`wah ini merupakan keniscayaan
kemanusiaan dan thabi`at keagamaan. Saat Abu Ubaidah bin Jarrah, Sa`ad bin Abi
Waqqash, Khalid bin Walid dan `Amr bin Ash memerdekakan Syam, Mesir dan Irak,
saat Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali memimpin politik dan memberdayakan
kehidupan umat, terdapat Mu`adz bin Jabal, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang
bertugas mendidik, memberi fatwa dan mentarbiyah umat, ada Abu Hurairah, Anas
dan Aisyah yang menghafal dan meriwayatkan hadits, terdapat Abu Dzar dan Abu
Darda yang menjadi penasehat jiwa untuk umat dan para pejabat. Mereka saling
berta`awun dan tidak saling memburukkan…mereka saling bekerjasama bukan saling
menghancurkan. Bahkan Adnan bin Muhammad Ali `Ar`ur menyatakan bahwa "
Dien kita adalah dien Spesialisasi dan ta`awun, bukan dien kegalauan dan
kekacauan". [6]
Untuk itulah dibutuhkan siyasatud dakwah yang merupakan istiglalul
amsal li mashodiril quwwah, suatu upaya mendayagunakan secara maksimal seluruh
potensi dan kekuatan dakwah, internal maupun eksternal – personal maupun
meterial untuk mencapai sasaran-sasaran dakwah. Berdasarkan visi jamaah di
atas, seorang mendayagunakan seluruh potensi yang dimilikinya baik pribadi,
keluarga maupun ummat.
Seorang yang bersifat Ihsan dalam mengidarohi dakwahnya, baik dalam
wazhifah masiriyah maupun wazhifah tanzhimiyah; niscaya akan meraih amal yang
muntijah (produktif) dunia dan akhirat. Ihsan dalam mengidarohi dakwah antara
lain meliputi;
a. Ihsan dalam
perencanaan dakwah termasuk di dalamnya: menentukan target dan tujuan dakwah
berupa proyeksi jangka panjang atau pendeknya berdasarkan nizham jamaah.
Membuat aturan dan sistem yang memudahkan pelaksanaan dakwah di berbagai bidang
kehidupan dengan melibatkan seluruh elemen jamaah terkait. Membuat
program-program dakwah yang aplikatif dalam medan da’wah.
b. Ihsan dalam
pengorganisasian dakwah. Meliputi ihsan dalam menyelenggarakan loqaal-loqaal
tanzhimiyah di berbagai peringkatnya. Menepati waktu-waktu kedatangannya,
berpartisipasi secara aktif baik dari segi ruhiyah maupun fikriyah dalam syura.
Membagi-bagi tugas dalam struktur dakwah, memberikan penugasan yang
memungkinkan orang-orang giat bekerja dalam dakwah.
c. Ihsan dalam
operasionalisasi dakwah : termasuk di dalamnya melaksanakan dakwah dengan
sebaik-baiknya dalam berbagai peringkat, sesuai dengan tuntunan minhaj yang
telah ditentukan. Berhubungan dengan
mad’u dan du’at lain secara baik berdasarkan prinsip ukhuwah islamiyah.
d. Ihsan dalam
memutaba’ahi dan mengevaluasi da’wah meliputi kontrol pelaksanaan dakwah secara
tepat dan memberikan kegairahan untuk meningkatkan kualitas amal. Kontrol
terhadap keuangan jamaah secara baik sehingga dapat mengefektifkan
pengalokasian dana dakwah.
e. Ihsan dalam melibatkan para pendukung
dakwah, baik keluarga maupun masyarakat. Menempatkan manusia sesuai
kedekatannya dengan dakwah dan jama’ah. [7] (H. Hilmi Aminuddin, 2003 :
117-126)
Pembentukan sosok tubuh perubah (dalam hal ini berbentuk organisasi
dakwah) yang kuat, yang sanggup mengadakan perubahan total dan mempertahankan
hasil dari perubahan itu serta meneruskannya menuju kepada kesempurnaan berarti
merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan pula. Bagian-bagian dari
sosok ini adalah personal (manusia) tandzim (sistem) dan harta (sarana).[8]
(Dawatuna : )Di sinilah keterkaitan masalah da`wah dan hukum yang tekandung
dalam fiqh muamalah menjadi sesuatu yang tidak dapat dilepaskan, karena di
antara faktor-faktor produksi yang merupakan bagian integral dari suatu fungsi
ekonomik diantaranya adalah tenaga kerja (manusia), modal (harta) dan
organisasi (tandzim), di samping tanah. Memang dalam Islam ini merupakan satu
kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya sebagai
suatu syumuliyah dan takamul ajaran-ajaran Islam, bahkan Dr As Sayyid Muhammad
Nuh mencantumkan Asy Syumul dan takamul disertai tawazun merupakan salah satu
dari qaedah dan titik tolak dakwah yang amat urgen. [9]
Dari pandangan inilah seorang da`i yang melakukan dakwah dalam
suatu lembaga atau organisasi memiliki 2 fungsi : sebagai da`i yang harus
memiliki bekal dakwah dan metodologi dakwah serta sebagai pekerja yang akan
terkait dengan berbagai konsekwensi kerja seperti bentuk kerjanya (job description),
batas waktu kerja (timing), besar gaji / upahnya (take home pay) serta berapa
besar tenaga / keterampilan yang harus dikeluarkannya (skill). Dengan begitu,
pekerjaan (dakwah) tersebut benar-benar telah ditentukan bentuknya, waktunya,
upah dan tenaga yang dicurahkan dalam melaksanakannya. Atas dasar inilah, maka
ketika hukum syara` memperbolehkan menggunakan pekerja, maka hukum syara` ikut
menentukan pekerjaannya, jenis, waktu, upah tenaganya. Sedangkan upah yang
diperoleh oleh seorang pekerja sebagai kompensasi dari kerja yang dia lakukan
itu merupakan hak milik (yang halal) dari orang tersebut, sebagai konsekuensi
tenaga yang telah dia curahkan. [10]
DAFTAT SEKOLAH/PESANTREN MANHAJ SALAF:
BalasHapus1. MA’AHAD RAHMATIKA AL-ATSARI SUBANG
RAYA DAYEUHKOLOT SAGALAHERANG, SUBANG
TEL : 0260-7481974
http://www.mahadrahmatika-alatsari.com
2. SD ISLAM MAFAZA
JL. BANDAR II UJUNG NO. 44, JAKARTA UTARA 14230
TEL : 021-43903030
E-MAIL : mafazajakarta@yahoo.com ; yayasan@mafazajakarta.com
https://groups.yahoo.com/neo/groups/assunnah/conversations/topics/58486
3. PESANTREN MINHAJ SHAHABAH
KAMPUNG SUKAMAJU RT.001/RW.011, DESA SUKAMANTRI
KEC. TAMANSARI, KAB. BOGOR
TEL : 0251-8486112
http://www.minhajshahabah.com
Assalamu'alaikumwr wb : sy sngat berterimakasih atas tulisan ini, mhn shre yaa :)
BalasHapusalhamdulillah dengan tulisan ini saya tidak merasa bersalah atas pemberian amplop ke para khotib yang bertugas di masjid baitussalam kampus sttj, terima kasih yaaa
BalasHapus