Oleh : Aswandi
Selama beberapa
dekade pasca berdirinya pada tahun 132H/750M, Dinasti Abbasiyah berhasil
melakukan konsolidasi internal dan memperkuat kontrol atas wilayah-wilayah yang
mereka kuasai. Era kepemimpinan khalifah kedua, Abū Ja`far ibn `Abdullāh ibn Muhamad
Al-Mansūr (137-158H/754-775M), menjadi titik yang cukup krusial dalam
proses stabilisasi kekuasaan ini ketika ia mengambil dua langkah besar dalam
sejarah kepemimpinannya.Yaitu; Pertama, menyingkirkan para musuh maupun
bakal calon musuh (potential and actual rivals) serta menumpas sejumlah
perlawanan lokal di beberapa wilayah kedaulatan Abbasiyah; Kedua,
meninggalkan Al-Anbār dan membangun Baghdad sebagai ibukota baru, yang beberapa
saat kemudian menjadi lokus aktivitas ekonomi, budaya dan keilmuan dunia Muslim
saat itu.
Langkah-langkah penting yang diambil Al-Mansūr
tersebut dan efek besar yang ditimbulkannya terhadap perkembangan Dinasti
Abbasiyah pada masa-masa berikutnya menjadikan para sejarahwan kemudian
menganggapnya sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah yang sebenarnya (al-muassis
al-haqīqi li al-dawlah al-`Abbasiyah).
Selain figur politiknya yang begitu kuat dan dominan, Al-Mansūr juga dikenal
memiliki perhatian cukup besar terhadap ilmu pengetahuan, bahkan sejak masa
mudanya atau sebelum menjadi seorang khalifah. Gerakan penerjemahan yang
kemudian menjadi salah satu ’ikon’ kemajuan peradaban Dinasti Abbasiyah juga
tidak lepas dari peranan Al-Mansūr sebagai khalifah pertama yang mempelopori
gerakan penerjemahan sejumlah buku-buku kuno warisan peradaban pra-Islam.
Demikian dengan gerakan pembukuan (tasnīf)
dan kodifikasi (tadwīn) ilmu tafsir, hadits, fiqh, sastra serta sejarah
mengalami perkembangan cukup signifikan di era Al-Mansūr pula. Konon, sebelum
masa itu, para pelajar dan ulama dalam melakukan aktivitas keilmuan hanya
menggunakan lembaran-lembaran yang belum tersusun rapi, sehingga tidak
mengherankan jika Al-Qanūji secara tegas menyebut Al-Mansur sebagai khalifah
pertama yang memberikan perhatian besar terhadap ilmu-ilmu kuno pra-Islam,
setelah sebelumnya terabaikan oleh para khalifah Bani Umayyah.
Namun betapapun pentingnya peranan Al-Mansūr,
kemajuan peradaban yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah pada hakekatnya tidak
datang dari ruang hampa, melainkan pada titik yang paling penting merupakan
buah dari pengaruh konsep-konsep dalam ajaran Islam itu sendiri. Hal ini diakui
pula oleh beberapa penulis Barat semisal Vartan Gregorian dalam bukunya Islam:
A Mosaic, Not a Monolith.
Kesimpulan tersebut jika ditilik dari
perspektif kajian sejarah peradaban berkesesuaian dengan teori yang menyatakan
bahwa semangat yang dibawa oleh konsep keagamaan (al-fikrah al-dīniyyah)
merupakan élan vital dan menjadi unsur paling penting terbangunnya
sebuah peradaban.
Di samping itu, faktor lain yang secara lebih
lanjut turut mempengaruhi kemajuan peradaban Dinasti Abbasiyah adalah interaksi
masif kaum muslimin era Abbasiyah dengan komunitas-komunitas masyarakat di
beberapa wilayah yang sebelumnya telah menjadi pusat warisan pemikiran dan
peradaban Yunani seperti Alexandria (Mesir), Suriah, serta wilayah Asia Barat,
khususnya Persia.
Singkat kata, tidak lama setelah berdirinya, Dinasti
Abbasiyah dengan cepat telah mampu menciptakan sebuah kemajuan ilmu dan
peradaban yang menurut Prof. Dr. Ahmad Syalabi terwujud dalam tiga
sektor yaitu kegiatan
1.
Kegiatan menyusun buku-buku ilmiah,
Kegiatan
menulis buku-buku dibagi tiga tingkat yang masing-masing tingkatannya mempunyai
keistimewaan.
Tingkat
pertama merupakan tingkat yang paling mudah dan rendah ialah mencatat idea tau
percakapan atau sebagainya disuatu halaman kertas yang berasingan atau dua
rangkap, asli dan salinannya.
Tingkat
kedua, yaitu tingkat pertengahan, merupakan pembukaan ide-ide yang serupa atau
hadist-hadist Rasul dalm satu buku. Pada masa inilah kitab-kitab fiqih,
hadits-hadist, sejarah dan lain-lain dihimpun dalam satu buku.
Tingkat
ketiga, yaitu tingkat yang paling tinggi, ialah tingka penyusunan yang lebih
halus daripada kerja pembukuan, karena ditingkat ini segala yang sudah dicatat
diatur dan disusun dalam bagian-bagian bab-bab tertentu serta berbeda satu sama
lain. Diantara penyusun yang terkemuka dizaman tersebut adalah Imam Malik yang
menyusun kitab Al Muwattha’, Ibnu Ishaq penyusun sejarah hidup Nabi SAW, Abu
Hanifah menyusun fiqih dan pendapat ijtihad. Khalifah Abu Ja’far Al Manshurlah
yang memainkan peranan penting dalm mengarahkan ulama dakm bidang ini.
2.
Penyusunan ilmu-ilmu Islam
Ilmu-ilmu islam
ialah ilmu-ilmu yang muncul ditengah-tengah suasana hidup keislaman berkaitan
dengan agama dan bahasa Al-Quran. Sebagian dari penyusun menamakannya Ilmu
Naqli (ilmu salinan), karena setiap penyeliduk dilpangan ii bertugas menyalin
dan meriwayatkan apa yang diterimanya dari satu golongan lain dan seterusnya
sehingga sampai pada sumber aslinya yaitu Rasulullah SAW. Begitu juga halnya
ahli bahasa.
Berikut adalah
sebagian dari ilmu-ilmu islam yang telah mengalami perubahan dan perkembangan
besar di zaman pemerintahan Abbasiah pertama.
·
Kelahiran Ilmu Tafsir dan Pemisahannya dari Hadist.
Boleh dikatakan
bahwa pada zaman Abbasiah yang pertama ini telah melahirkan ilmu tafsir
Al-Quran dan pemishannya dari ilmu hadist.
·
Ilmu Fiqh dan Mazhab-Mazhabnya
Diantara
kebanggaan zaman Abbasiah pertama adalah terdapatnya empat Imam Fiqih yang
besar ketika itu. Mereka itu ialah Imam Abu Hanifah (150 H), Imam Malik (179
H), Imam Syafi’I (204 H), dan Imam Ahmad Bin Hambal (241 H).
·
Nahwu dan Aliran-Alirannya
Zaman abbasiah
pertama sangat kaya dengan ahli-ahli nahwu bahasa Arab yang terbagi kepada dua
aliran terbesar; aliran Basrah dan aliran Kufah. Dianatara rokoh-tokoh aliran
nahwu Basrah ketika itu ialah Isa bin Umar As-Tsaqafi (149 H), Al-Akhfasy (177
H) Sibawaih (180 H), Yunus bin Habib (182 H). diantara tokoh nahwu aliran Kufah
ialah Abu Ja’far Ar-Ruasi, Al Kisaa’I (182 atau 183 atau tahun 186 H, tarikh
wafatnya menurut Ibnu Khallikan jilid I, halaman 331 atau tahun 189 H menurut
sumber-sumber yang lain) dan AL-Farra’ (208 H).
·
Sejarah dan Kelahirannya
Sebagaimana
hadist ini merupakan induk dari ilmu tafsir, ia juga menjadi induk dari ilmu
sirah ( sejarah hidup Nabi SAW) para Sahabat dan tabiin telah meriwayatkan
hadist-hadist tentang kehidupan Rasulullah SAW.
3.
Terjemahan dari Bahasa Asing
Sesungguhnya
kebangkitan pikiran dikalangan kaum Muslimin pada masa Abbasiah pertama
(780-848) secara terang bergantung kegiatan yang luas dibidang terjemahan dari
bahasa sansekerta, Suriani. dan Yunani. pada tahun 762 M, Khalifah Al-Manshur
telah meletakkan batu pertama bagi ibu kotanya yang baru, yaitu Baghdad, dan
telah menghimpun golongan cerdik pandai diberbagai lapangan serta menggalakkan
penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dan sastra dari dari bahasa-bahasa lain
ke bahasa Arab.
Pengaruh gerakan terjemahan ini
sangat mempengaruhi kemajuan dan perkembangn ilmu umum, terutama dibidang
astronomi, kedikteran, filsafat, kimia, dan sejarah. Dalam bidang astronomi
kita mengenal Al-Farazi sebagai asronom islam pertamayang pertama kali menyusun
astrolabe. Al-Fargani yang menulis ringkasan ilmu astronomi. Dalam bidang
kedokteran Al-Razi, Ibnu sina dengan karyanya yang menjadi rujukan barat yaitu
Al-Qanun Fil Al-Thib. Dalam bidang optik Abu Al-Hasan ibn Al-Haithami yang di
eropa dikenal dengan nama Al Hazen. Dalam bidang kimia Jaabir ibn Al-Hayyan. Di
bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa Al-Khawarizmi yang menciptakan
ilmu Al-Jabbar. Tokoh-tokoh terkenal dibidang filsafat, antara lain Al-Farabi,
Ibn Sina, dan Ibn Rusyd yang di barat lebih dikenal dengan nama Avveroes.
Demikianlah asas-asas kemajuan peradaban yang
dibangun oleh dinasti Abbasiah. Sehingga pada masa tersebut umat islam mencapai masa-masa keemasan dan kejayaannya.
Yang mana berkat kejayaan peradaban yang dibangun oleh dinasti Abbasiah ini
menyebabkan kemajuan yang luar biasa pada ilmu pengetahuan pada saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...