Oleh : Hj. Aah Tsamrotul Fuadah *
Baru-baru ini sangat ramai dibicarakan di media-media massa dan
media elektronik, polemik mengenai nikah
siri. Polemik ini timbul gara-gara diajukannya Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan atau yang populer
dengan sebutan RUU Nikah Siri, yang mengancam pelaku nikah siri dengan sanksi
pidana yakni ancaman hukuman bervariasi, mulai dari 6 bulan sampai tiga tahun,
dan denda mulai Rp. 6 juta sampai Rp. 12 juta. RUU ini menimbulkan pro dan
kontra. Pada umumnya mereka yang pro itu adalah para perempuan, karena RUU itu
dimaksudkan untuk melindungi pihak perempuan dan anak-anak, sebab perempuanlah
yang banyak dirugikan dengan nikah siri itu karena pernikahannya tidak legal
menurut hukum negara, bahkan menurut salah seorang aktifis perempuan, Musdah
Mulia misalnya mengatakan bahwa nikah siri itu kerap dijadikan ajang wisata
seks, karena itu RUU tersebut dinilainya sebagai kemajuan. Sebaliknya pendapat
yang kontra menilai RUU itu menggunakan logika terbalik dalam memandang kasus
nikah siri sebagai masalah sosial, sebab sangat tidak logis dan aneh kalau
nikah siri dihukum, tetapi perzinaan, fee sex, dan kumpul kebo dianggap bagian
dari HAM karena suka sama suka. Hasyim Muzadi menilai bahwa pemidanaan nikah siri yang
diatur dalam RUU tersebut adalah sebagai langkah yang tidak benar, cukup sanksi administrasi saja untuk mereka.
Harusnya yang lebih dahulu dipidanakan itu yang melakukan hubungan seks di luar
nikah. Menurutnya RUU tersebut mengandung agenda tersembunyi untuk melegalkan
mereka yang melakukan seks bebas, tapi malah menyalahkan yang nikah[1].
Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Hukum
Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan tersebut akan menyebabkan perubahan
yang signifikan dalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan. Salah
satu perubahannya adalah tentang sanksi pidana bagi pelaku perkawinan baik
sanksi pelanggaran maupun kejahatan. Ketentuan
pidana yang dimaksud tercantum dalam pasal 143 sampai pasal 150 RUU dengan ketentuan : Pasal 143 tentang Pelaksanaan
perkawinan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah, pasal 144 tentang Perkawinan
mut’ah, pasal 145 tentang perkawinan poligami tanpa izin pengadilan, pasal 146
tentang perceraian tidak di depan sidang
Pengadilan, pasal 147 tentang perzinaan dengan seorang perempuan yang belum
kawin sehingga hamil sementara pelaku laki-laki menolak mengawininya, pasal 148
tentang pelanggaran kewajiban oleh Pejabat Pencatat Nikah, pasal 149 tentang siapapun yang bertidak seolah-olah
sebagai Pencatat Perkawinan atau wali hakim, pasal 150 tentang siapapun yang bukan wali nikah, tetapi dengan sengaja
bertindak sebagai wali nikah. Sedangkan pada pasal 151 dinyatakan bahwa pasal 143,
pasal 145, pasal 146 dan pasal 148 merupakan tindak pidana pelanggaran,
sedangkan pasal 144, pasal 147, pasal 149 dan pasal 150 dinyatakan sebagai
tindak pidana kejahatan.
Sanksi yang
dikenakan kepada pelaku tindak pidana tersebut ada yang berupa pidana denda,
pidana kurungan dan atau pidana penjara. Hal tersebut karena tindak pidana dalam
pasal-pasal tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan,[2]
sedangkan proses penindakannya berdasarkan pada laporan dari masyarakat atau
pihak-pihak yang berkepentingan, setelah melalui penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan.
Jika melihat
Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata pada pasal 26 menyebutkan bahwa, Undang-Undang
memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata. Artinya ,
bahwa unsur agama tidak dilibatkan dalam menyatakan sebuah perkawinan, oleh karenanya perkawinan
hanya bisa dilihat dari sisi keperdataan dan bersifat sekuler. Batasan
perkawinan tersebut berbeda dengan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang
Perkawinan, yang pada pasal 2 ayat (1) dinyatakan Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaanya itu. Ketentuan tesebut menggambarkan dengan tegas
bahwa unsur agama tidak dapat dipisahkan dari keabsahan suatu perkawinan. Dengan
kata lain perkawinan di Indonesia merupakan perkawinan yang tidak sekuler.
Benar, bahwa
Undang-Undang Perkawinan tidak menyebutkan adanya sanksi pidana bagi
pelanggarnya padahal sanksi tesebut dapat ditentukan karena undang-undang
adalah produk wakil rakyat, sehingga
logis jika di dalam Undang-undang tersebut diatur sanksi pidana, yang berarti
rakyat menghendakinya.
Jika kita berpikir
positif bahwa nikah bukan semata-mata mengikat hubungan antara satu orang
laki-laki dan perempuan, tapi menimbulkan konsekwensi yang sangat luas tidak
hanya pada pelaku pernikahan tersebut, melainkan juga pada anak-anak akibat
perkawinan, keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan demikian pernikahan tidak
dianggap selesai dengan hanya terjadinya akad nikah, tetapi sejalan dengan
perubahan dan perkembangan hukum Islam dalam format perundang-undangan hukum
keluarga di Indonesia khususnya dan di dunia muslim pada umumnya, maka
pencatatan perkawinan merupakan pembaharuan hukum Islam demi tertibnya administrasi
keluarga dan kependudukan. Hal ini penting karena hukum keluarga dianggap
sebagai inti syari’ah dan dipandang sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih
jauh ke dalam agama Islam.
[1] http://karodalnet.blogspot.
Com/2010/ruu-nikah-siri.html
[2].Tindak pidana
pelanggaran tercantum dalam pasal 143, 145 dan pasal 146 pelaku dikenakan
pidana penjara enam bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 6000.000,-
.Sedangkan pasal 147 pelaku dikenakan pidana penjara satu tahun dan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 12.000.000,- Untuk tindak pidana kejahatan yang
tercantum pada pasal 144, 149 dan pasal 150 pelaku dipidana penjara tiga tahun,
dan pada pasal 147 pelaku dipidana tiga bulan. Lihat Rancangan Undang-Undang
Perkawinan Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang PerkawinanTahun 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...