Oleh : Imam Yazid
Istishlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum
Islam yang menjadikan mashlahah yang sifatnya tidak terikat (mursalah)
menjadi suatu hukum sekunder. Karenanya konsep ini lebih dikenal dengan sebutan
al-Mashlahah al-Mursalah. Konsep penalaran ini bermula dikembangkan
dalam aliran pemikiran hukum islam Malikiyah.[1]
Tapi pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan
pertama ahl al-ijtihad, kalangan Sahabat dan Tabi’in. Kemudian
dilanjutkan oleh Imam al-Ghazali dari aliran Syafi’iyah dengan beberapa
penyempurnaan. Namun konsep ini ditolak oleh aliran Zhahiriyyah dan Syi’ah.[2]
Istishlah ( اَلْاِسْتِصْلاَحُ ) adalah bentuk mashdar
dariيَسْتَصْلِحُ اِسْتَصْلَحَ - yang berasal dari kata صَلَحَ yang bermakna “baik”, lawan dari
kata buruk atau rusak.[3]
Bentuk mashdar dari صَلَحَ adalah
الصَلاَحُ yang
semakna dengan mashlahat. Mashlahat itu sendiri mengandung arti
adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti
menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti
menjauhi kemudaratan dan penyakit. Semua itu bisa dikatakan mashlahah.[4]
Mashlahah dalam
bahasa Arab berarti perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. Dalam
pengertian umum adalah setiap yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti
menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau
dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemudaratan atau
kerusakan.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa hakikat dari mashlahat
adalah
المحافظة على مقصود الشرع ومقصود الشرع من
الخلق خمسة وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم[5]
“Memelihara
tujuan syara’. Tujuan syari’at dari makhluk itu ada lima, yaitu menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta mereka.”
Amir Syarifuddin menyimpulkan bahwa maslahat itu adalah
sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan
menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’
dalam menetapkan hukum.[6]
Terlihat ada perbedaan antara mashlahah dalam
pengertian bahasa dengan mashlahah dalam pengertian syara’. Perbedaannya
terlihat dari segi tujuan syara’ yang dijadikan rujukan. Maslahat dalam
pengertian bahasa merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya
mengandung pengertian untuk mengikuti syahwat atau hawa nafsu. Sedangkan pada
maslahat menurut syara’ yang selalu menjadi rujukannya adalah tujuan syara’
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta tanpa melepaskan tujuan
pemenuhan kebutuhan manusia yaitu mendapatkan kesenangan dan menghindarkan
ketidaksenangan.
Ulama ushul menggunakan beberapa peristilahan yang
berbeda berkaitan dengan metode mencari kemaslahatan ini. Sebagian ulama menggunakan istilah al-Mashlahah
al-Mursalah ( المصلحة
المرسلة ), ada pula yang menggunakan al-Munasib al-Mursal
( المناسب المرسل ) oleh
Ibu Hajib dan Baidawi, al-Istidlal al-Mursal ( الاستدلال المرسل ) oleh Syatibi, atau al-Istishlah
( الاستصلة ) oleh
Al-Gazali.
Rahmat Syafei menjelaskan bahwa dari ketiga istilah itu
meskipun tampak menuju kepada satu tujuan, akan tetapi memiliki tinjauan yang
berbeda-beda. Pertama, dari segi kemaslahatan yang terdapat pada kasus
yang dipersoalkan. Kemaslahatan ditinjau dari segi ini disebut al-Mashlahah
al-Mursalah (kemaslahatan yang terlepas dari dalil khusus) tetapi sejalan
dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at Islam. Misalnya pembuatan akta nikah
dinilai memiliki kemaslahatan sebagai pelengkap administrasi akad nikah di masa
sekarang. Kedua, dari segi sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf
al-munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta
suatu kemaslahatan. Misalnya pembuatan akte nikah itu mengandung sifat yang
sesuai dengan tujuan syara’, antara lain menjaga status keturunan. Ketiga, dari
segi proses penetapan hukum terhadap suatu kemaslahatan yang ditunjukkan oleh
dalil khusus. Proses seperti ini disebut Istishlah (menggali dan
menetapkan suatu kemaslahatan). Istilah al-Istishlah dipakai oleh
Al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Mustashfa.[7]
Walaupun berbeda istilah namun hakikatnya adalah satu,
yaitu setiap manfaat yang di dalamnya terdapat tujuan syara’ secara umum namun
tidak ada dalil yang secara khusus menerima atau menolaknya.
Landasan pemikiran yang membentuk konsep Istishlah
ini ialah bahwa syari’ah Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya mengarah
kepada terwujudnya mashlahah dan mencegah mafsadah. Dengan kata
lain seseorang tidak dituntut untuk melakukan sesuatu melainkan membawa
kemaslahatan dalam hidupnya, dan manusia tidak dicegah melakukan perbuatan
melainkan karena membahayakan hidupnya. Menurut Al-Ghazali, upaya mewujudkan mashlahah
dan mencegah mafsadah adalah sesuatu yang sangat nyata diturunkan oleh
Allah dalam menjaga lima pokok yang penting dalam kehidupan manusia yaitu
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang menjamin kelima pokok
itu adalah mashlahat, dan menolak setiap kerusakan atas pokok-pokok itu
juga merupakan mashlahat.[8]
[1] Ali Yafie,Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah : Kosep-konsep Istihsan, Istishlah, Dan Mashlahat
Al-Ammah, (Edit.) Budhy Munawar-Rachman (Jakarta: Yayasan paramadina,
1994), h. 365.
[2] Ibid.
[3] Ibn al-Manzhur, Lisan
al-Arab (Maktabah Syamilah).
[4] Rahmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, cet. iii (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 117.
[5] Al-Ghazali, Al-Mustashfa
fi ‘Ilm al-Ushul, juz i (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1413 H), h. 173.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, h. 344.
[7] Rahmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqh, h. 118.
[8] Al-Ghazali, Al-Mustashfa,
h. 173.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...