Oleh : Abdurrahman MBP
Para Imam Madzhab memberikan
definisi tentang wasiat dengan sudut pandang masing-masing, berikut ini adalah
pendapat mereka :
a.
Madzhab
Malikiah.
Ulama Malikiah mendefinisikan wasiat dengan :
الوصية في عرف الفقهاء عقد يوجب حقا في ثلث المال عاقده يلزم بموته
“Akad yang mengharuskan adanya hak pada
sepertiga harta, pelaksanaan akad tersebut akan terjadi dengan meninggalnya
orang yang berwasiat.”[2]
b.
Madzhab
Hanabilah.
Ulama Hanabilah mendefinisikan wasiat dengan :
الوصية هي الأمر بالتصرف بعد الموت كان يوصي شحصا بأن يقوم علي أولاده
الصغار أو يزوج بناته أو يفرق ثلث ماله أو نحو ذلك
“Suatu perkara dengan berpindahnya ( sesuatu ) setelah kematian.
Seperti seseorang berwasiat untuk memberikan kepada anak-anaknya yang masih
kecil, atau akan menikahkan anak
perempuannya atau akan memisahkan sepertiga hartanya atau yang lainnya.”[3]
c.
Madzhab
Hanafiah.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wasiat adalah :
الوصية تمليك مضاف إلي ما بعد الموت بطريق التبرع
“Pemberian kepemilikan kepada seseorang setelah terjadinya kematian
dengan jalan berderma ( tabaru’).”[4]
d.
Madzhab
Syafi’iyyah.
Para ulama dari Madzhab Syafi’iyah mendefinisikan wasiat dengan :
الوصية تبرع بحق مضاف إلي ما بعد الموت
“Wasiat adalah Derma (pemberian)
sesuatu hak atau kepemilikan kepada seseorang yang terjadi setelah kematian”[5]
Dari definisi para imam madzhab di atas dapat disimpulkan bahwa wasiat
adalah pesan dari seseorang yang akan meninggal dunia untuk memindahkan
sebagian hartanya atau hak-haknya kepada orang lain setelah dia meninggal
dunia. Hal ini senada dengan definisi wasiat yang disebutkan oleh para ulama
salaf atau ulama kontemporer seperti As-San’ani dalam Subul As-Salam
mendefinisikan wasiat dengan :
وَهِيَ فِي الشَّرْعِ عَهْدٌ خَاصٌّ مُضَافٌ إلَى مَا بَعْدَ الْمَوْتِ
“Perjanjian tertentu yang
disandarkan kepada sesuatu sesudah meninggal.”[6]
Pengertian ini senada dengan apa yang dita’rif oleh Imam As-Syaukany bahwa
wasiat adalah :
عَهْدٌ خَاصٌّ مُضَافٌ إلَى مَا بَعْدَ الْمَوْتِ
“Akad yang bersifat khusus
yang akan dilaksanakan setelah kematian.”[7] Menurut Ibnu Qudamah Al-Maqdisi wasiat adalah
:
وَالْوَصِيَّةُ بِالْمَالِ هِيَ التَّبَرُّعُ بِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ
Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam Kitab Mulakhos Fiqh Mendefinisikan
wasiat dengan :
هي الأمر بالتصرف بعد الموت و هي التبرع بالمال بعد الموت
“Perkara berpindahnya
sesuatu setelah kematian dalam bentuk derma ( tabarru’ ) dengan harta setelah meninggalnya pewaris.”[9]
Dari
semua definisi wasiat yang dikemukakan oleh para ulama di atas semuanya kembali
pada satu definisi yaitu sebuah pesan dari seseorang yang akan meninggal dunia
yang baik berupa harta benda atau hak-hak lainnya yang pelaksanaannya terjadi
setelah kematiannya.
Definisi
yang diberikan oleh para cendekiawan di Indonesia juga kurang lebih sama,
seperti pengertian wasiat yang disampaikan oleh A. Hassan, dia mengatakan bahwa
wasiat adalah suatu pesanan dari seseorang supaya dijalankan sesudah matinya.[10]
Pandangan ini murni melihat wasiat hanya dari kaca mata syari’at Islam,
hal ini sangat berbeda sekali dengan pandangan dari M. Ali
Hasan yang berpendapat bahwa wasiat adalah memberikan hak untuk memiliki
sesuatu secara sukarela (tabarru’) yang pelaksanannya ditangguhkan setelah yang
berwasiat meninggal dunia, baik yang diwasiatkan itu berupa benda atau manfaat
( jasa ).[11]
Pendapat yang substansinya sama
dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shidieqi yang mengatakan bahwa wasiat adalah sesuatu
tasharruf terhadap harta peninggalan yang akan di laksanakan sesudah meninggal
yang berwasiat.[12]
Berbeda dengan definisi sebelumnya menurut Suparman Usman membawakan
definisi wasiat dalam pasal 875 BW “Adapun yang dinamakan wasiat atau
testamen ialah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat
dicabut kembali lagi.[13]
Definisi ini adalah berasumber dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), walaupun begitu maknanya kurang lebih sama dengan wasiat dalam
Islam.
Definisi yang lebih lengkap diungkapkan oleh Anwar Sitompul dalam
bukunya “Dasar-dasar Praktis Pembagian Harta Peninggalan menurut Hukum Waris
Islam” dia mengatakan bahwa wasiat adalah merupakan pesan terakhir dari
seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus
dilaksanakan para penerima wasiat terhadap harta peninggalan.[14]
Dari definisi ini terlihat bahwa wasiat tidak hanya pada urusan harta
saja akan tetapi wasiat juga bisa berupa tekhnis pelaksanaan dalam pembagian
waris serta pesan-pesan lainnya.
Seorang cendekiawan kita yaitu Idris Ramulya juga ikut menyumbangkan
pikirannya mengenai definisi wasiat setelah menyebutkan dua definisi sebelumnya
bahwa wasiat adalah Pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan
dilakukan terhadap hartanya sesudah dia meninggal kelak.[15]
Pendapat ini adalah hasil dari dua teori yag dibawakan sebelumnya yang diambil
dari definisi wasiat menurut Sajuti Thalib dan Ibrahim Hoesein.
Definisi wasiat yang lebih menitik beratkan pada pola perpindahan harta
adalah yang disebutkan oleh Helmi Karim yang menyatakan bahwa berwasiat berarti
Berpesan untuk melakukan sesuatu hal, atau bermakna pula suatu janji kepada
pihak lain untuk melakukan sesuatu ketika ia masih hidup atau setelah ia wafat.
Inti definisi itu adalah bahwa wasiat itu merupakan pesan dari
seseorang yang isinya memberikan sejumlah harta atau pembebasan/pengurangan
hutang atau pemberian manfaat harta kepada orang lain yang pemberian itu mulai
berlaku apabila pihak yang berpesan meninggal dunia.[16]
Penekanan mengenai wasiat dilihat dari pengalihan harta kepada pihak
lain adalah yang disebutkan oleh M. Ali Hasan yang mengatakan bahwa “wasiat
ialah memberikan hak untuk memliki sesuatu acara sukarela ( tabbaru’ ) yang
pelaksanannya ditangguhkan setelah yang berwasiat meninggal dunia, baik yang
diwasiatkan itu berupa benda atau manfaat ( jasa ).”[17]
Dari semua definisi yang telah disebutkan, semuanya mempunyai satu
makna yaitu Proses pemindahan hak atau harta benda yang terjadi ketika
seseorang masih dalam keadaan hidup yang dipindahkan kepada orang lain dan
proses ini akan terjadi ketika pewaris telah meninggal dunia.
Setelah diketahui secara
panjang lebar mengenai definisi wasiat menurut istilah maka dapat di ketahui
bahwa wasiat wajibah adalah proses pemindahan hak atau harta benda dari
seseorang kepada orang lain dengan cara diambil oleh pihak-pihak yang berwenang
semisal hakim atau negara, hal ini dilakukan karena adanya kelalaian atau
adanya tanggungan yang harus dilaksanakan oleh orang yang meninggal tersebut.
Mengenai wasiat wajibah disebutkan oleh Ahmad Rafiq yang mengatakan bahwa
wasiat wajibah adalah :
Suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak
agar harta seseorang yang telah meninggal dunia tetapi tidak melakukan wasiat
secara sukarela, agar diambil hak atau benda peninggalannya untuk diberikan
kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.[18]
Definisi ini kurang lebih sama dengan apa yang dikemukakan oleh
Fathurrahman yang mengatakan secara umum bahwa wasiat wajibah adalah wasiat
yang diambil oleh Penguasa atau hakim sebagai aparat Negara tertinggi
dikarenakan keteledoran seseorang dalam memenuhi hak-hak Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.[19] Sementara Wahbah Zuhaily mengatakan :
“Sebagian Fuqaha diantaranya Ibnu Hazm Ad-Dhohiri, Ath-Thobary, Abu
bakar bin Abdul Aziz dari madzhab Hanabilah berpendapat bahwa wasiat wajibah
adalah wasiat yang diambil oleh hakim untuk kedua orang tua dan kerabat yang
tidak mendapatkan waris karena terhalangi dari mendapatkannya, atau tercegah
dari mendapatkannya seperti perbedaan agama maka apabila si mayit tidak
berwasiat kepada kerabat ini maka wajib bagi ahli waris untuk mengeluarkan
sebagian dari harta mayit dan memberikannya kepada orang tua yang bukan
termasuk ahli waris.”[20]
Definisi yang telah disebutkan di atas mengenai wasiat wajibah saling
melengkapi dan bertemu pada satu titik bahwa wasiat wajibah adalah wasiat yang
diambil oleh hakim (pihak yang berwenang) dari harta mayit baik dengan izin
dari ahli waris atau tanpa izin yang diberikan kepada orang-orang yang dekat
dengan mayit. Kata-kata diambil menunjukan bahwa wasiat tersebut tidak dibuat
oleh mayyit sebelum meninggal dunia. Hal ini bisa terjadi karena kelalaiannya
atau karena tidak sempat untuk membuat wasiat.
[2] Abdurrahman Al-Jazairy, Kitab Al-Fiqh ‘ala
Madzhahib Al-Arba’ah, Darul Ihya At-Turots Al-‘Araby, Beirut, Libanon, hal.
316.
[3] Abdurrahman Al-Jazairy, Kitab Al-Fiqh ‘ala
Madzhahib Al-Arba’ah, Darul Ihya At-Turots Al-‘Araby, Beirut, Libanon, hal.
316.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] As-San’ani, Subul As-Salam, Jil. III, Jam’iyyah Ihya At-Turats Al-Islamy , Kuwait , 1997 / 1418 H.
[9] Syaikh Shalih Al-Fauzan, Mulakhol
Fiqh, Darul Ibnul Jauzi, Riyadh, 2000,
hal. 172.
[11] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam
Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 91.
[13] Suparman Usman, Ikhtisar Hukum
Waris Menurut KUH Perdata ( Burgerlijk Wetboek ), Darul Ulum Press, Serang, 1993, hal. 104.
[14] Anwar Sitompul, Dasar-dasar
praktis Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum Waris Islam, CV. Armico,
Bandung, 1984, hal. 60.
[15] Idris Ramulya, Perbandingan
Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 105
[16] Helmi Karim, Fiqh Muamalah, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 85.
[17] M. Ali Hasan, Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam, hal. 91.
[18] Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris,
hal. 184.
[19] Fathurrahman Ilmu Waris, hal.
62-63.
[20] DR. Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh
Al-Islamy wa Adilatuhu Juz VIII, hal. 122.
Bagaimana pendapat antum jika ada yang mengatakan bahwa Qs 2 : 182 tentang pemberian wasiat kepada orang tua dan karib kerabat telah di mansukh hukumnya bagi ahli waris setelah turunnya ayat Faraaidh?
BalasHapusCoba periksa Kitab Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1 hal : 570, terbitan Pustaka Ibnu Katsir. Hal ini membuat kebingungan bagi ana pribadi (sebenarnya perihal mansukh itu sendiri). Syukron Qoblaha
Terima kasih komentarnya, QS 2: 182 secara maknawi (hukum) mansukh dikarenakan ahli waris yang telah ditetapkan bagian harta warisnya secara otomatis tidak membutuhkan adanya wasiat, karena ia akan mendapatkan haknya sesuai dengan firmanNya dalam QS An-Nisaa.
BalasHapusMansukh adalah suatu ketetapan hukum dalam Islam yang dihapuskan dikarenakan Allah ta'ala memberikan gantinya yang lebih baik. Dalam hal ini wasiat untuk ahli waris tidak diperlukan karena ia sudah mendapatkan haknya masing-masing secara nash qurabi... Kalau bingung, terus belajar... saya juga sedang belajar.