Rabu, 16 September 2015

Studi Hukum Bisnis Syariah



Bisnis yang Boleh dan yang Terlarang
Dalam qaidah fiqih terdapat suatu rumusan ”Al ashlu fi al asyya’ al ibahah hatta yadulla ad dalilu ala at tahriimi” yaitu dalam hal muamalah hukum asal sesuatu adalah dibolehkan hingga ada dalil yang mengaharamkan. Untuk itu kaum muslimin cukup bertanya tentang apa yang dilarang. Kalau tidak ada larangan maka berarti hal tersebut dibolehkan. Akan tetapi untuk mengetahui sesuatu itu dilarang atau tidak dibolehkan maka kita harus berusaha untuk mengetahui atau mempelajari apakah ada larangan dalam syariat Islam.
Jangan di salah artikan, ”belum tahu hukum” tidak sama dengan ”tidak ada larangan”. dalam qaidah fiqih dinyatakan ”al yaqiinu la yuzaalu bisysyaki” ambil yang yakin tinggalkan yang ragu. Kalau setelah di selidiki hukum sesuatu ternyata memang tidak dilarang oleh Al Quran atau Hadis Nabi maka baru kita boleh mengatakan hukumnya mubah (boleh).

Potensi Konflik
Ada beberapa peluang terjadinya konflik dalam bisnis syariah; pertama belum terwujudnya sistem pengawasan ekonomi syariah yang betul-betul berdasarkan syariah. Contohnya pengawasan perbankan syariah dilakukan oleh Gubernur Bank Indonesia yang notabenenya adalah menganut sitem konvensional.
Kedua ; belum ditemukannnya sistem mudharabah yang betul-betul berdasarkan syariah. Sistim bagi hasil yang kerap dilakukan adalah pembagian hasil dari produk mudharabah suatu lembaga keuangan syariah diawal kerjasama, padahal seharusnya dibagi diakhir kerjasama atau apabila telah ada keuntungan. Dan juga kerugian kerjasama mudharabah hanya ditanggung oleh nasabah, karena keuntungan telah dipatok oleh pihak bank dan telah dibayar diawal. Sehingga pihak bank tetap mendapat keuntungan walaupun pihak nasabah rugi.

Peraturan Perundang-undangan dan Asas-asas
Peraturan Perundang-undangan pada prinsipnya adalah untuk untuk melindungi semua pihak atau untuk melindungi kepentingan umum. Dalam hal pereknomian syariah yang yang perlu dilindungi adalah tersedianya pelayan ekonomi yang berbasis syariah. Karena Indonesia mayoritas muslim dan mereka butuh tersedia pelayanan ekonomi yang sesuai syariah.
Di samping itu juga perlu dilindungi kepentingan masyarakat umum, dan kepentingan negara yang mengurusi seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai latar belakang suku, adat, ras dan agama. Tidak di benarkan membentuk peraturan yang ditujukan untuk menindas dan menyakiti pihak lain. Namun yang perlu diperhatikan adalah segala peraturan dan perundang-undangan yang dibuat harus ditempuh dengan cara-cara elengan dan demokratis.
Di Indonesia sudah ada beberapa undang-undang, peraturan dan lain sebagainya yang mengatur tentang ekonomi syariah, baik yang yang pengatur perbankan syariah, asuransi syariah, dan lain sebagainya, namun perlu disempurnakan terus menerus. Peraturan perundang-undangan itu harus dapat menegakkan asas-asas perbankan syariah, yang tentunya berbeda dengan perbankan konvensional.

Rambu-rambu Kesehatan Bank
Pada masa-masa dekade terakhir rezim Orde Baru, bank-bank di Indonesia sering mendapat pujian dari luar negeri dan bahkan ketika itu Indonesia diberi julukan Macan Asia karena angka pertumbuhan ekonomi Indonesia paling tinggi di kawasan Asia Tenggara. Pada hal angka pertumbuhan yang menjadi patoksan waktu itu hanya sektor moneter. Setelah itu apa yang terjadi ? tahun 1997-1998 Indonesia mengalami krisis moneter yang mengakibatkan segala pujian asing tersebut tidak dapat diterima.
Oleh sebab itu perlu adanya kejujuran untuk memberikan penilaian terhadap sebuah bank apakah sehat atau tidak sehat. Tidak cukup menilainya dari aspek moneter saja, akan tetapi aspek pembiayaan, pelayanan dengan prinsip Know Your Costumers (Kyc), dll.

Aspek Hukum Pasar Modal Syariah
Salah satu kelemahan Pasar modal konvensional adalah menyalahgunakan uang dari alat bayar menjadi barang dagangan. Uang dibuat tujuan aslinya adalah sebagai alat tukar bukan sebagai barang dagangan. Pasar modal dibuat juga demikian tujuannya adalah untuk menghimpun modal dari investor guna disalurkan untuk progrtam pembiayaan. Namun sekarang pasar modal telah berubah menjadi perdagangan uang.
Disinilah perlunya kehadiran pasar modal syariah yang dapat menjamin aspek kenyamanan kustumer terutama dibidangan agama. Ada beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam yaitu :
1. Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang didalamnya mengandung unsur dharar, gahar, riba, maisyir, riswah, maksiat dan kezaliman.
2. Transaksi yang mengandung dharar, gharar, riba, maisyir, riswah, maksiat, dan kezaliman meliputi :
a. Najsy yaitu melakukan penawaran palsu.
b. Ba’i al-ma’dum yaitu melakukan penjualan atas barang (Efek yang belum dimiliki (short selling)
c. Insider trading yaitu memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang.
d. Menimbulkan informasi yang menyesatkan.
e. Margin Trading, yaitu melakukan transaksi atas Efek dengan Fasilitas pinjaman berbunga atas kewajiban penyelesaian pembelian efek Efek tersebut.
f. Ihtikar (penimbunan) yaitu melakukan pembelian atau pengumpulan suatu Efek untuk menyebabkan perubahan harga Efek dengan tujuan mempengaruhi pihak lain.
g. dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur di atas.

Aspek hukum Pegadaian Syariah
Secara etimologi dalam bahasa Arab, kata ar-rahn, berarti “tetap” dan “lestari”. Kata ar-rahn juga berarti Al-Habsu artinya “penahanan” seperti dikatakan Ni’matun Rahinah, artinya “karunia yang tetap dan lestari”, sebagaimana firman Allah : “Tiap-tiap pribadi terikat/tertahan (rahinah) atas apa yang telah diperbuat”. (QS. Al-Mudatsir (74) : 38).
Sedangkan secara terminologi Rahn didefinisikan oleh beberapa ulama fiqh sebagai berikut :
Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan rahn adalah : “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat”. Ulama Hanafiyah merumuskan rahn sebagai : “menjadikan sesuatu (barang) jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagainya”. Sementara itu, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah memberikan definisi rahn : “menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu. [12]
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa ”Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Mutahin ( penerima barang ) mempunyai hak untuk menahan Marhun ( barang ) sampai semua utang Rahin ( yang menyerahkan barang ) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatanya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya
3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin namum dapat juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan Marhun
• apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingati Rahin untuk segera melunasi hutangnya.
• Apa bila Rahin tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
• Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
• Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.
jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajiban atau jika terjadi perselisihan diantara dua belah pihak, maka penyelesaian dilakukan melalui badan Arbitrase syariah setelah tidak terjadi kesepakatan melalui musyawarah.[13]

Aspek hukum BMT
BMT adalah sebuah organisasi informal dalam bentuk Kelompok Simpan Pinjam (KSP) atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Secara prinsip BMT memiliki sistem operasi BPR syariah. Namun ruang lingkup dan produk yang dihasilkan berbeda.[14]
Penggunaan badan hukum KSM dan koperasi untuk BMT itu disebabkan karena BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan UU Nomor 7 Tahun 1992 dan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, yang dapat dioperasikan untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Menurut undang –undang , pihak yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat, baik dioperasikan dengan cara konvensional maupun dengan cara bagi hasil. Namun demikian, kalau BMT dengan badan hukum KSM atau koperasi itu telah berkembang dan telah memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak manajemen dapat mengusulkan diri kepada pemerintah agar BMT itu dijadikan sebagai BPRS dengan badan hukum koperasi atau perseroan terbatas.[15]
Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang berdasrkan sistem syariah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip-prinsip syariah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. SEbagai lembaga keuangan syariah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang seba cukup (ilmu pengetahuan ataupun materi), maka BMT mempunyai tugas penting dalam segala aspek kehidupan masyarakat.[16]

Pengertian Asas Hukum Bisnis Islam
            Perkataan asas berasal dari bahasa arab asasun, yang artinya dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berfikir, yang dimaksud dengan asas adalah landasar berfikir yang sangat mendasar. Oleh karena itu, Di dalam bahasa Indonesia, asas mem[unyai arti (1) dasar, alas, pondamen (Poerwadarminta, 1976:60).(2) Kebenaran yang menjadi tumpuan berfikir atau pendapat.(3) cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau Negara[1].
            Jika asas dihubungkan dengan hokum, yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berfikir dan alas an pendapat, terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hokum.[2]
            Sedangkan Bisnis memiliki pengetian kerjasama dalam melakukan pekerjaan tertentu, yang terjadi antara pihak pertama dan pihak kedua dalam arti dua orang yang bersekutu.Dari pernyataan diatas dapat kita simpulkan bahwa pengertian asas hokum bisnis islam adalah tata cara atau dasar-dasar yang mengatur tentang kerjasama dalam prinsip syariat islam.
          

Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau simpulan baik ikatan Nampak (hissy) maupun tidak Nampak (Ma’nawy)[3].Sedangkan akad menurut istilah adalah suatu kesepakatan atau komitment bersama baik lisan, Isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hokum nyang mengikat untuk melaksanakannya.[4]Dalam hokum islam istilah kontrak tidak dibedakan dengan perjanjian, keduanya identik dan disebut akad. Sehingga dalam hal ini akad didefinisikan sebagai pertemuan ijab yang dinyatakan oleh salah satu pihak dengan Kabul dari pihak lain secara sah menurut syarak yang tampak akibat hukumnya pada obyeknya.[5]
Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overeenscomstrecht.[6]Michael D. Bayles mengartikan contract of law atau hokum kontrak adalah “Might than be taken to be the law pertaining to enporcement of promise or agreement”.[7]Yaitu sebagai aturan hokum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.




Dari definisi hokum kontrak diatas dapat dikemukakan unsure-unsur yang tercantum dalam hokum kontrak yaitu :
a.       Adanya kaidah hokum
b.      Adanya subyek hokum
c.       Adanya prestasi
d.      Adanya kata sepakat
e.       adanya akibat hukum[8]
Adapun yang dimaksud dengan istilah hokum ontrak syari’ah disini adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hokum yang mengatur hubungan hokum di bidang mu’amalah khususnya perilaku dalam menjalankan hubungan ekonomi antara dua pihak atau lebih bedasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hokum secara tertulis berdasarkan hokum islam.[9]Kaidah-kaidah hokum yang berhubungan langsung dengan konsep hokum kontrak syari’ah di sini, adlaah yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist maupun hasil interpretasi terhadap keduanya, serta kaidah-kaidah fiqih.[10]
      Tahap pracontractual dalam hokum kontrak syari’ah adalah perbuatan sebelum terjadi kontrak yaitu tahap bertemunya ijab dan Kabul, sedangkan tahap postcobtractual adalah pelaksanaan perjanjian termasuk timbulnya akibat hokum dari kontrak tersebut.



2.Asas-asas Hokum Bisnis Islam
Dalam hokum kontrak syari’ah terdapat asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan dan pelaksanaannya. Asas-asas perjanjian tesebut di klasifikasi menjadi asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hokum dan sifatnya umum dan asas-asas perjanjian yang berakibat hokum dan sifatnya khusus, adapun asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hokum yang bersifat umum adalah:
a.Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam Q.S.al-Hadid ayat 4 yang artinya “DIa bersama kamu dimana saja kamu berada, Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”.Kegiatan muamalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal itu. Tanggung jawab kepada masyarakat, Tanggung jawab pada pihak kedua, tanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung jawab kepada ALLAH SWT. Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari ALLAH SWT.[11]
b.Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
            Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya,”Pada dasarnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”.[12]Kaidah fiqih tersebut bersumber pada dua hadist berikut ini :
            Hadist riwayat al Bazar dan at-Thabrni yang artinya:
“Apa-apa yang dihalalkan ALLAH adalah halal, dan apa-apa yang di haramkan ALLAH adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalahdari ALLAH pemaaf-Nya. SUngguh ALLAH itu tidak melupakan sesuatu.”[13]
Hadist riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya:
“Sesungguhnya ALLAH telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan dia dan ALLAH telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan ALLAH telah mengharamkan sesuatu makajanganlah kamu pertengkarkan dia, dan ALLAH telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia.[14]
            Kedua hadist diatas menunjukkan bahwa segala sesuatu adalah boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hokum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa islam member kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
c.Asas keadilan ( Al’Adalah )
            Dalam Q.S Al-Hadid ayat 25 disebutkan bahwa Allah berfirman yang artinya”Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksakan keadilan”. Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadilan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.[15]
d.Asas persamaan atau Kesetaraan
            Hubungan muamalah dilakukan untuk memenuhi kebutuhana hidup manusia.sering kali terjadi bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya.Oleh karena itu sesame manusia masing-masing memilki kelebihan dan kekurangan.Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan.[16]  
e.Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq)
            Jika kejjuran ini tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak.[17]Suatu perjanjian dikatakan benar apabila memiliki manfaatbagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat dilarang.
f.Asas Tertulis (Al Kitabah)
            SUatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terdapat persengketaan.[18]
g.Asas Iktikad Baik (Asas Kepercayaan)
            Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi, “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.
h.Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan
            Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuan dalam AL-Quran dan Al-Hadist.[19]
i.Asas Keseimbangan Prestasi
            Yang dimaksud dengan asas ini adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.[20]Dalam hal ini dapat diberikan ilustrasi, kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui harta debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
j.Asas Kepribadian (personalitas)
            Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa sesorang yang akan  melakukan dan atau membuat  kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan.Hal ini dapat dipahami dari bunyi pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya sesorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”Dengan demikian asas kepribadian dalam perjanjian dikecualikan apabila perjanjian tersebut dilakukan seseorang untuk orang lain yang memberikan kuasa bertindak hokum untuk dirinya atau orang tersebut berwenang atas nya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...