Oleh : Abdurrahman Ar-Rasyid
Bogor sebagai kota hujan yang sejuk dan damai ternyata tidak berlaku bagi para penerbit, penulis dan pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia penerbitan. Pasalnya kota seribu angkot ini juga tidak luput dari incaran pasar para pengedar buku bajakan. Sebenarnya sesuatu yang wajar mengingat Bogor walaupun hanya sebuah kota keci, namun memiliki universitas negeri yang sudah masyhur yaitu IPB, selain itujuga ada Akademi Kimia Anlisis dan beberapa Sekolah Tinggi Peternakan dan Pertanian. Selain itu lebih dari lima puluh perguruan tinggi swasta juga memadati kota Bogor ini. Maka potensi pasar yang cukup besar tersebut tidak disia-siakan oleh para pengedar buku bajakan.
Sebagai penyangga metropolitan, wilayah Bogor merupakan akses yang mudah bagi para pengedar buku bajakan. Walaupun untuk tempat penjualan hanya berada di sekitar stasiun Bogor. Itupun hanya beberapa kios saja, namun walaupun hanya satu tempat omset yang dihasilkan cukup menjanjikan.
Harga yang ditawarkan di sini cukup bersaing dengan buku bajakan serupa yang dipasarkan di daerah Senen Jakarta, atau di sekitar stasiun Pondok Cina Depok. Novel Tetralogi Laskar Pelangi ditawarkan hanya Rp. 60.000 sebanyak empat buah, padahal kita ketahui bahwa Novel terakhir Andrea Hirata yaitu Maryamah Karpov saja di toko buku dijual dengan harga Rp. 79.000. Buku Ekonomi Mikro karya dijual hanya dengan harga Rp. 25.000 padahal harga buku aslinya kurang lebih tiga kali lipat. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab kenapa konsumen buku di Bogor lebih memilih membeli di sini dari pada jauh-jauh beli di Jakarta, tentunya lagi-lagi dengan pertimbangan ekonomis.
Sejatinya kalau kita berbicara pembajakan maka tidak hanya buku-buku bajakan yang diterbitkan oleh percetakan-percetakan buku saja, melainkan pembajakan yang dilakukan secara manual dan kecil-kecilan semisal di tempat-tempat layanan phto kopi. Hal ini juga terjadi hampir di setiap kampus yang ada di kota ini. Cara klasik yang dilakukan adalah dengan memphoto kopi buku asli, hal ini bisa dilakukan oleh satu pihak yang berkepentingan dengan buku itu, baik sebagian ataupun secara keseluruhan atau photo kopi dilakukan oleh pemilik tempat photo kopi sendiri. Dari sini gambaran bahwa Bogor ternyata telah menjadi pasar dari buku-buku bajakan, setali tiga uang dengan kota-kota pendidikan lainnya.
Hal ini bukan mengindikasikan tidak adanya usaha pencegahan dari pihak-pihak berwajib untuk melakukan razia buku bajakan. Maka, walaupun letaknya dekat dengan Jakarta, namun sosialisasi terhadap kejahatan pembajakan sepertinya tidak digubris, bahkan belum pernah terdengar kabar pihak yang berwenang di wilayah Bogor menggerebek kios-kios buku tersebut, apalagi sampai ke pusat-pusat pelayanan photo kopi yang berada di sekitar perguruan-perguruan tinggi di Bogor. Maka sebagai pecinta buku dan penentang aksi pembajakan kita harapkan semoga segera dilakukan langkah-langkah strategis bagi penegakan kejahatan pembajakan buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...