Selasa, 10 September 2013

Hijab Story in Indonesia: Seabad yang Lalu...

Oleh: Buya Hamka

Ketika penulis datang ke Tanjung Pura dan Pangkalan Berandan dalam tahun 1926 penulis masih mendapati kaum perempuan di sana memakai jilbab. Yaitu kain sarung ditutupkan ke seluruh badan hanya separuh muka saja yang kelihatan. Asal saja mereka keluar dari rumah hendak menemui keluarga di rumah lain, mereka tetap menutup seluruh badan dengan memasukkan badan itu ke dalam kain sarung dan salah satu dari kedua belah tangannya memegang kain itu di muka, sehingga hanya separuh yang terbuka, bahkan hanya mata saja.
Ketika penulis datang ke Makassar pada tahun 1931 sampai meninggalkannya pada tahun 1934, perempuan-perempuan yang berasal dari Salayer berbondong-bondong pergi ke tempat mereka jadi buruh harian memilih kopi di gudang-gudang pelabuhan Makassar, semuanya memakai jilbab, persis seperti di Langkat itu pula.
Seketika penulis pergi ke Bhima pada tahun 1956 penulis masih mendapati perempuan di Bhima jika keluar dari rumah berselimutkan kain sarung sebagai di Langkat 1927 dan di Makassar 1931 itu pula.
Seketika penulis pergi ke Gorontalo pada tahun 1967 (40 tahun sesudah ke Langkat) penulis dapati perempuan-perempuan Gorontalo memakai jilbab di luar bajunya, meskipun pakaian yang di dalam memakai rok moden.
Pergerakan perempuan Islam di bawah pimpinan ulama-ulama pun membuat pakaian perempuan yang memegang kesopanan Islam yang tidak memperagakan badan. Gerakan Aisyiyah di Tanah Jawa atas anjuran Kiyai H.A. Dahlan selain memakai khimaar (selendang) yang dililitkan ke dada agar dada jangan kelihatan, dibawa pula untuk menutup kepala. Ketika saya mulai datang ke Yogyakarta pada tahun 1924 (tiga tahun sebelum ke Tanjung Pura Langkat) kelihatan di samping khimaar penutup kepala dan dada itu, Aisyiyah pun memakai jilbab di luarnya. Pakaian secara begini menjalar ke seluruh tanahair  dalam pergerakan Islam. Almarhum Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah mempertahankan khimaar dengan dililitkan pada muka dan kepala dengan kemas sekali; muka tidak ditutup. Seorang perempuan pergerakan yang sama pengguruannya dengan Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah, yaitu Rangkayo Hajah Rasuna Said tidak pernah lepas khimaar (selendang) itu dari kepala beliau.
Menjadi adat-istiadat perempuan Indonesia jika telah kembali dari Haji, lalu memakai khimaar (selendang) yang dililitkan di kepala dengan di bawahnya dipasak dengan sanggul bergulung, sehingga rambut kemas tidak kelihatan. Tetapi di zaman akhir-akhir ini perempuan-perempuan moden yang mulai tertarik kembali kepada agama, lalu pergi naik haji, di Jakarta (1974) pernah mengadakan suatu mode show (peragaan pakaian) di Bali Room Hotel Indonesia memperagakan pakaian moden yang sesuai dengan ajaran Islam dan tidak menghilangkan rasa keindahan (estetika). Beberapa tahun yang lalu tukang-tukang mode di Eropa membuat kaum perempuan setengah gila dengan keluarnya mode rok mini, yaitu rok yang sangat pendek sehingga sebahagian besar paha jadi terbuka. Tetapi kemudian mereka bosan juga sehingga timbul rok maxi, yaitu rok panjang atau longdress yaitu pakaian panjang sampai ke kaki. Perempuan-perempuan moden yang telah haji lalu memakai longdress atau rok panjang itu jadi stelan pakaian orang haji.
Dalam ayat yang kita tafsirkan ini jelaslah bahwa bentuk pakaian atau modelnya tidaklah ditentukan oleh al-Quran. Yang jadi pokok yang dikehendaki al-Qur’an ialah pakaian yang menunjukkan Iman kepada Tuhan, pakaian yang menunjukkan kesopanan, bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan laki-laki.
Alangkah baiknya kalau yang jadi ahli mode itu orang yang beriman kepada Tuhan, bukan yang beriman kepada uang dan kepada syahwat nafsu (sex appleal).
(Disalin dari: Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar Juz 22, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, Cetakan Nopember 2006, hal. 97-98)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...