Kamis, 03 Juli 2014

Hijab, Simbolitas atau Sebuah Penanaman Nilai???

Oleh: Amatulloh Mujtahidah

Bismillahirrohmaanirrohiim..
Menjalani masa-masa sebagai seorang pemuda pada sebuah kampus yang memiliki motto sebagai kampus yang bersyari’ah menjadi sebuah pengalaman yang bermakna dan memiliki kesan tersendiri bagi penulis. Mungkin hal ini dikarenakan penulis termasuk tipe mahasiswa yang “sok analis” dan cukup memiliki  pandangan yang juga“sok idealis” namun tetap realistis karena ia sangat  menyadari, dizaman initidak ada satu pun makhlukNya yang perfectionis.
Kampus “bersyari’ah”, mendengar kata syari’ah, banyak sekali reaksi yang akanmuncul diberbagai individu yang memiliki keheterogenan pola fikir, budaya serta ideologis dimasyarakat yang sudah banyak tercemar oleh segala yang berbau liberalis dan pluralis. Ada reaksi sebagian individu yang anti pati, menganggap syari’ah sebagai sesuatu yang berlebihan, sebuah angan-angan kosong serta hisapan jempol belaka dan ada juga yang menganggap bahwa segala yang berkaitan dengan hal itu harus diperangi karena mengancam keselamatan jiwa berbangsa dan bernegara,(Extreme-nya, mereka menganggap bahwa shariaa is same with a terrorism,,,) kita jumpai pula reaksi individu tertentu yang bersikap biasa-biasa saja ketika mendengar kata syari’ahdan kemudian sebagian individu lain sangat merasa excited ketika mendengar kata syariah, wujud sikap excitednya pun beragam, ada yang memiliki ghiroh tinggi dalam menyuarakannya meski pada tatanan aplikasi masih perlu dipertanyakan, ada yang berghiroh menyuarakan syari’ah dan tetap selaras dengan aplikasi dalam kehidupannya serta ada pula yang tidak banyak bicara namun apa yang ia aplikasikan dalam kehidupannya adalah segala hal yang sesuai dengan syari’ah. So,,Which one are us ??
Suatu ketika  tengah diadakan syuro salah satu organisasi yang berada dalam naungan kampus “bersyaria’h”, yang didalam salah satu visi dari  organisasinyai tersebut adalah menjadi salah satu organisasi yang bersyari’ah,, kemudian ketika sesi diskusi ada seorang ikhwahyang bertanya kepada pemimpin syuro tersebut,,” ‘afwan akh,,, menurut pandangan antum sendiri pengertian dari syari’ah itu apa ?”, pertanyaan menarik yang membuat penulis mengerutkan dahi ketika mendengarnya,, bukan karena apa-apa, penulis hanya merasa sekian tahun menjalani rutinitas dikampus yang memilih visi misi bersyari’ah sebagai Motto-nya, memahamiternyata memang tidak semua orang mampu benar-benar menghadirkan pertanyaan tersebut kedalam diri dan hatinya ataupun mampu menjawab berdasarkan pandangannya. Pertanyaan yang jawabannya juga sangat dibutuhkan bagi setiap orang, khususnya ketika seseorang sedang berada dalam masa pencarian jati diri. Maklum saja, salah satu waktu peralihan fase metamorfosis dalam mencari jati diri adalah ketika mahasiswa, karena memang menurut teori perkembangan manusia, pada fase ini kita sebagai manusia sudah berpotensi untuk mampu menentukan serta memilih segala sesuatu sepaket dengan resiko yang akan dihadapi, hal ini seiring dengan bertambahnya kedewasaan dan pengalaman hidup yang dijalani. Oleh karena itu penulis merasa bahwa pada pertanyaan itu jawaban yang dibutuhkan sang ikhwah bukanlah sekedar jawaban yang klisesemata.^^
Namun disini tidak akan dipaparkan mengenai definisi atau pandangan mengenai makna syari’ah, namun yang akan sedikit di ulas adalah mengenai hijab yang akan dibahas sesuai konteks keberadaanya dalam kampu bersyari’ah.(Pembahasan dibatasi tidak menyangkut hijab pakaian mukminah).Salah satu ciri pada sebuah kampus atau lembaga yang menjunjung nilai syari’ah adalah adanya pemisahan antara ikhwan dan akhwat, Dan dalam memberi batas pemisahan tersebut, maka digunakanlah hijab.Apa itu hijab?
Secara bahasa hijab berasal dari bahasa arab yang berarti penghalang. Idealnya pemisahan ini memang dilakukan dalam hal pemisahan kelas bahkan pemisahan gedung atau kampus. Namun, jika satu dan lain hal belum memungkinkan maka biasa digunakan hijab sebagai pembatas atau penghalangberupa kain tau papan kayu yang tidak tembus pandang.Lalu untuk apakah penggunaan hijab tersebut?Apa perlu sampai seperti itu? Bukankah dalamadab muamalah yang diperbolehkan antara ikhwan dan akhwat salah satu dari empatnya adalah dalam hal pendidikan ?dan lagi pula bukankah segala sesuatu itu tergantung kepada pribadinya masing-masing?
Seringkali dalam hidup ini, kita lebih senang mencari-cari alasan atau memunculkan pertanyaan-pertanyaan (seperti diatas) tentang segala aturan yang telah Alloh tetapkan.Alasan dan pertanyaan itu bisa menunjukkan dua hal, yakni adanya rasa keberatan tentang aturan tersebut atau memang merupakan salah satu usaha untuk penguatan keyakinan agar dapat dengan mantap menerapkannya.
Berdasarkan pengalaman yang ada berkaitan dengan hijab, banyak sekali kejadian yang pada akhirnya menjadi sebuah gejolak pertanyaan yang berkecamuk dalam diri ketika merasa kecewa kepada individu yang tidak menghargai keberadaan hijab yang ada.Dihijab dalam ruang kelas, namun berselancar bebas tanpa kendali berinteraksi didunia maya bahkan dunia nyata. Dihijab didalam ruang kelas, namun bertelepon ria dengan lawan jenis berbicara yang tidak jelas tanpa batas. Hingga akhirnya pertanyaan yang muncul adalah : Lalu untuk apa disini ia (red:hijab) digunakan jika pada kenyataannya tidak memberikan sedikitpun sentuhan pemahaman dan penanaman nilai? Apakah ia hanya bentuk simbolitas?Dan apakah batasan itu hanya dalam ruang kelas? Jangan sampai frame yang ada ketika seseorang memutuskan untuk memilih kampus bersyariah sebagai tempat dirinya menimba ilmu yang tepat berubah menjadi frame yang tidak baik dikarenakantertular dan terbawa kedalam arus yang tidak seharusnyakarena disebabkan pengalaman kurang baik yang ia dapatkan.Memang benar dan sangat tidak dipungkiri, hal ini berkaitan dengan perkara hidayah.Namun, perlu juga diingat bahwa lingkungan juga dapat berpengaruh dalam membentuk pola berfikir seseorang.Semoga kita yang masih lemah dan seringkali berbuat khilaf bisa lebih menghargai keberadaan hijab yang ada dan bisa menemukan bahkan menjadi pribadi yang layak dijadikan uswah bukan malah menodai nilai-nilai syari’ah.
Sejatinya penggunaan hijab yang bertengger disamping kita adalah sebagai alat. Yakni alat yang akan membantu dan mempermudah kita dalam menundukkan pandangan, juga alat yang akan mempermudah kita untuk tidak terjadinya ikhtilath dan pembicaraan yang tidak bermanfaat. Maka dengan menundukkan pandangan seharusnya hati kita akan lebih terjaga, konsentrasi belajar akan lebih terarah sehingga niat dalam tholabul ‘ilmu dapat lebih tertata. Yang dimaksud dengan menundukkan (sebagian) pandangan (al-ghadhdh min al-abshar) disini adalah menahan (kaff) pandangan mata dari hal-hal yang haram dilihat (Tanwir al-Miqbaas fi Tafsir Ibn ‘Abbas). Perintah menundukkan pandangan ditujukan kepada mukmin dan mukminah dalam Al-Qur’an surat Al-Nur 30 – 31.
Ada beberapa hal yang sudah disepakati dalam masalah pandangan mata (al-nazhr).
  1. Memandang aurat orang lain yang tidak ditutup adalah tidak boleh, baik disertai syahwat ataupun tidak. Hanya saja batasan-batasan aurat itu berbeda-beda, tergantung pada jender, usia (anak-anak, dewasa, atau orang tua), kondisi (saat shalat atau diluar shalat), dan lingkungan (sedang bersama siapa). Disamping itu, dalam masalah batasan-batasan aurat juga terdapat perbedaan pendapat para ulama’.
  2. Memandang lawan jenis dengan tujuan taladzdzudz (memuaskan nafsu) adalah tidak boleh.
  3. Apabila diyakini akan timbul fitnah (godaan), maka memandang lawan jenis adalah tidak boleh.
  4. Pandangan seketika yang tidak disengaja terhadap lawan jenis adalah dimaafkan.
  5. Tujuan dari perintah menundukkan pandangan adalah untuk menghindari fitnah sehingga hati tetap bersih dan tidak terdorong untuk melakukan perbuatan yang keji. (QS Al-Nur: 30)
  6. Apabila ada hajat syar’iyyah atau bahkan dharurat maka diperbolehkan memandang lawan jenis dalam rangka memenuhi hajat atau dharurat tersebut. Diantara hajat syar’iyyah tersebut adalah melamar, bersaksi, mengobati, dan mengajar. Namun hajat syar’iyyah tidaklah hanya terbatas pada beberapa hal tersebut saja (Masalah ini dibahas lebih mendalam dalam kajian ushul fiqh).
Dr. Yusuf Al-Qaradhawiy dalam buku Fatwa-fatwa kontemporer menjelaskan bahwa digunakannya kata min (li tab’idh) pada Q.S An-Nuur:30 adalah tidak semua pandangan harus ditahan. Hanya pandangan mata terhadap yang haram dilihat saja yang harus ditahan.Namun yang menjadi pertanyaannya sekarang, dapatkah kita sebagai insan lemah mampu menjamin serta memastikan bahwa kita dapat mengendalikan pandangan dengan baik dan bisa mengelolanya agar tidak membawa kepada keharaman dan tidak menimbulkan fitnah jika tidak terdapat hijab yang memisahkan dengan para ajnabi?
Dalam menundukkan pandangan, ada berbagai hikmah yang tak terkira nilainya.Diantara berbagai hikmah tersebut adalah:
1.  Akan dikaruniai oleh Allah kelezatan iman. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi,”Barangsiapa memandang seorang wanita kemudian menundukkan (memalingkan) pandangannya (karena takut fitnah, pen) maka Allah akan mengkaruniakan kepadanya kelezatan iman”.
2.  Akan dikaruniai oleh Allah cahaya kalbu dan kekuatan firasat. Karena itulah setelah menerangkan perintah menundukkan pandangan dan berbagai perintah untuk bersikap ‘iffah (menjaga kehormatan diri) maka Allah menyambungnya dengan ayat Cahaya, yang menerangkan tentang cahaya-Nya yang Agung (yang tersulut sendiri tanpa disulut).
3.  Akan dikaruniai oleh Allah kekuatan dan ketetapan hati serta keberanian. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah, jilid 15, kitab Tafsir, hal 410 – 427)
Ya demikianlah hijab sebagai alat menundukkan pandangan….Sebuah alat tidak akan berfungsi dengan baik, jika memang sang pengguna alat tersebut tidak benar-benar meyakini dan memahami akan cara kerja dan manfaat yang akan diperoleh dari alat tersebut. Begitupun hijab, ia tidak akan memberikan manfaat jika didalam hati kita masih belum memahami bahwa keberadaannya adalah untuk kemanfaatan kita bersama. Sekali lagi, hijab itu hanyalah sebuah alat, sifatnya hanya sekedar membantu, bukan menjadi hal utama,lalu apakahhal yang utama?
Yang utama adalah membangun kesadaran diri kita sendiri, bahwakita perlu membangun hijab yang sesungguhnya didalam hati kita, hijab berupa benteng yang kokoh dan menghujam dalam hati dengan dihiasi prajurit-prajurit tangguh yang terbentuk dari rasa al-haya’ (malu) atas tatapan-Nya dan al-khauf (takut) atas murka-Nya yang tidak akan membiarkan musuh-musuh yang dapat mengobrak-abik kehanifan hati.
Juga yang utama adalah kita perlu menanam bibit-bibit iffah dan izzah dengan berada dalam media tanah yang tepat agar dapat memiliki akar-akar yang menjulur kuat kemudian akan menghasilkan bunga-bunga ketenangan, ketetapan hati, keberanian serta ketentaraman jiwa juga buah manis dari iffah dan izzah itu sendiri, sirami ia dengan air keikhlasan, dan jika didapati gulma sertahama melanda, gunakan pestisida istiqomah dan do’a sebagai seutama-utama kekuatan.
Kita memang manusia biasa, seringkali merasa lupa dan tergoda , maka agar izzah dan iffah tetap terjaga, salinglah menasehati, menerima dan berbaik sangka, dan jangan sekali-kali mau mencoba untuk berbuat yang tidak-tidak, agar tidak menjadi sebuah kekeliruan dan dosa yang terbiasa, semoga kini mata kita lebih terbuka, bahwa hijab bukan hanya sebuah simbolitas semata…
Mari memulai dari diri sendiri, dari hal yang terkecil dan dimulai kembali sejak saat ini..
 Barokallohu fiikum,, Allohulmusta’an, Wallohu a’lam bishowwab…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...