Rabu, 09 Juli 2014

Seri Disertasi: Unsur Hukum Islam yang diserap Komunitas Adat

Oleh: Abdurrahman Misno BP

Hukum Islam dilihat dari segi pembagiannya terbagi menjadi dua, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdhah dan hukum-hukum yang berkaitan dengan muamalah. Hukum Ibadah dalam Islam berkaitan dengan ritual peribadahan antara seorang hamba dengan Allah Swt, sementara hukum muamalah berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya. Berdasarkan pada pembagian hukum Islam ini, maka komunitas Kampung Baduy, Kampung Naga dan Marunda Pulo menerima unsur-unsur hukum Islam dengan variasi berbeda dalam pelaksanaannya.
Bagan 9
Unsur-unsur Hukum Islam yang diterima oleh tiga komunitas adat
Sumber bagan: Hasil analisis penulis

1.    Komunitas Kampung Marunda Pulo
Penyerapan hukum Islam oleh komunitas Kampung Marunda Pulo terjadi bersamaan dengan penyerapan mereka terhadap Islam. Hampir seluruh unsur hukum Islam dilaksanakan oleh mereka dengan baik. Hukum Islam yang diterima oleh mereka meliputi hukum yang bersifat ibadah dan muamalah. Pada bidang ibadah komunitas Marunda Pulo termasuk komunitas yang konsisten dengan keislamannya sehingga mereka menjalankan rukun Islam dengan baik. Mereka menjalankan shalat, puasa, zakat dan menunaikan ibadah haji. Walaupun demikian ada beberapa warga yang tidak melaksanakan shalat terutama ketika berada di laut untuk mencari ikan. 
Sementara dalam bidang muamalah mereka menjalankannya sesuai dengan norma-norma hukum Islam seperti larangan memakan riba, berbuat jujur dalam perdagangan, melaksanakan amanah dan bekerja pada hal-hal yang halal saja. Secara umum mereka meyakini bahwa Islam mengatur seluruh sendi kebutuhan manusia termasuk dalam masalah ekonomi.
Beberapa unsur hukum Islam yang dilaksanakan oleh mereka dalam bidang ahwal al-Syakhsiyah diantaranya adalah:
1)   Perkawinan
Proses perkawinan yang dilakukan oleh komunitas Kampung Marunda Pulo didasarkan pada sistem perkawinan Islam. Proses lamaran dilaksanakan dengan perwakilan dari calon mempelai laki-laki ke rumah calon mempelai perempuan dengan persetujuan dari kedua belah pihak. Penentuan mahar disesuaikan dengan permintaan dari calon istri yang akan diserahkan pada saat akad nikah berlangsung. Rukun dan syarat perkawinan selaras dengan nilai-nilai Islam yaitu adanya kedua mempelai, ijab qabul dan mahar.
Pesta pernikahan yang dilaksanakan diwarnai dengan tradisi Betawi namun tidak lagi dominan. Perkembangan terkini menunjukan bahwa perkawinan di Marunda Pulo lebih praktis sesuai dengan perkembangan zaman. Pelaksanaan pernikahan tidak bisa dipisahkan dengan tradisi yang masih ada walaupun kadarnya terbatas hanya pemakaian baju adat dan iring-iringan pengantin. Mengenai pakaian saat ini berkembang pula pakaian pengantin muslim di mana pengantin perempuan memakai pakaian yang menutup aurat.    
2)   Kewarisan
Kewarisan sebagai bagian dari hukum perdata Islam yang dilaksanakan oleh komunitas Kampung Marunda Pulo sesuai dengan ilmu faraid dalam Islam. Mereka memahami bahwa hukum waris Islam harus membagikan bagian antara laki-laki dan perempuan itu berbeda. Namun dalam praktiknya mereka menganggap bahwa hal ini tidak adil sehingga dalam pembagiannya mereka menyamakan bagian antara ahli waris laki-laki dan perempuan. Keadilan yang mereka pahami adalah ketika membaginya dengan sama rata. Walaupun demikian pembagian ini biasanya didasarkan kepada kesepakatan seluruh ahli waris. 
Pembagian harta waris dalam bentuk penyerahan sebelum orang tua meninggal dunia sejatinya bukanlah pembagian waris. Ia adalah hibah (pemberian) orang tua kepada anak-anaknya, sehingga dalam hal ini diperbolehkan untuk membagi kepada anak-anaknya dengan bagian yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bahkan menjadi sebuah kewajiban untuk memberikan harta secara adil kepada anak-anak, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
اعْدِلُوابَيْنَ أَوْلَادِكُمْ اعْدِلُوابَيْنَ أَبْنَائِكُمْ
Berlaku adillah kepada anak-anak kalian. HR. Bukhari, Abu Dawud dan Nasai.
Adapun apabila pembagiannya setelah meninggal dunia maka harta waris akan diberikan kepada seluruh ahli warisnya dan pembagiannya telah disebutkan oleh Allah Swt dalam beberapa ayatNya:
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِمِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (QS. al-Nisaa [4]: 7).

Berdasarkan ayat ini maka bagian dari laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. Maka adat kebiasaan yang membagikan harta warisan sama antara laki-laki dan perempuan bertentangan dengan ayat ini, kecuali jika dalam pembagiannya mengetahui masing-masing bagiannya maka dibolehkan untuk menyamakan bagian keduanya. 
2.    Komunitas Kampung Naga
Unsur-unsur hukum Islam yang diterima oleh komunitas Kampung Naga meliputi beberapa aspek ibadah dan muamalah. Pada aspek ibadah hukum Islam diterima secara bertahap dalam jangka waktu yang lama. Penyerapan nenek moyang mereka terhadap Islam tidak serta merta penyerapan terhadap seluruh aspek ibadah dalam Islam. Lima rukun Islam diterima secara baik oleh komunitas Kampung Naga walaupun dalam praktiknya secara individu masih belum melaksanakannya dengan sempurna. Misalnya dalam pelaksaan shalat lima waktu dan puasa Ramadhan.
Pada rukun Islam yang ke lima yaitu menunaikan ibadah haji mereka masih keukeuh tidak mau melaksanakannya. Terbukti hingga saat ini tidak ada satu orangpun yang menunaikan ibadah haji, padahal secara ekonomi mereka mampu untuk melaksanakannya. Tidak melaksanakan ibadah haji terutama bagi mereka yang tinggal di Kampung Naga, sedangkan komunitas sa-naga yang tinggal di luar lembur ada sebagian yang sudah menunaikan ibadah haji. Mereka masih memiliki keyakinan bahwa hajat sasih yang mereka laksanakan adalah bentuk lain dari menunaikan haji ke Baitullah.
Mereka berpendapat bahwa naik haji itu adalah bagi yang mampu, sementara komunitas Kampung Naga adalah keluarga petani yang secara ekonomi berada di garis kemiskinan sehingga tidak mampu untuk menunaikan ibadah haji. Apalagi biaya haji saat ini yang semakin mahal tentu tidak akan terjangkau oleh mereka. Sekilas argumentasi ini benar, bahwa mereka miskin itu benar. Namun fakta yang penulis temukan tidak semua mereka miskin, keluarga kuncen dan beberapa tokoh adat mempunyai ekonomi yang cukup mapan dan bisa dikatakan berpenghasilan lebih akan tetapi mereka tetap tidak mau melaksanakan ibadah haji tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mereka secara sengaja tidak mau melaksanakan ibadah haji walaupun dengan alasana tidak mampu.  
Pada bidang muamalah hukum Islam yang diterima oleh komunitas Kampung Naga adalah mengenai tidak bolehnya meminjamkan uang dengan adanya bunga (riba). Mereka meyakini bahwa hal tersebut tidak baik dilakukan, namun dalam praktiknya koperasi simpan-pinjam yang didirikan di Kampung Naga menggunakan sistem bunga. Mereka berdalih bahwa bunga tersebut adalah untuk diri sendiri bukan untuk orang lain. Tentu saja argumentasi ini sangat lemah mengingat keharaman riba bukan hanya dilihat dari satu sisi saja, namun jika dampak lain yang ditimbulkannya.
Berkenaan dengan perkawinan dan kewarisan maka komunitas Kampung Naga menerima sebagiannya dan tidak menggunakan sebagian lainnya. Berikut adalah pemaparan dari keduanya:  
a.       Perkawinan
Proses perkawinan yang dilakukan oleh komunitas Kampung Naga menerima hukum perkawinan Islam dalam hal rukun dan syaratnya. Proses akad nikah yang menghadirkan mempelai laki-laki dan perempuan serta wali dari mempelai perempuan merupakan syarat sah dalam sebuah pernikahan Islam. Demikian pula adanya mahar dan ijab qabul yang dilaksanakan merupakan model perkawinan dalam Islam yang dilaksanakan oleh komunitas Kampung Naga. Hal ini bisa dipahami karena mereka sebagai muslim diwajibkan untuk menjalankan syariat Islam khususnya di bidang perkawinan.
Adapun tahapan-tahapan sebelum dan sesudah akad yang dilaksanakan oleh mereka sejatinya berasal dari adat kebiasaan mereka. Semisal lamaran yang mengharuskan membawa sirih, gambir, pinang dan yang lainnya. Selain itu acara sungkeman dan ngariung setelah akad nikah selesai merupakan tradisi yang bukan berasal dari Islam. Walaupun demikian bukan berarti Islam menolaknya, selama tidak ada nash atau dalil yang melarangnya maka hal tersebut diperbolehkan.
Sistem pernikahan di Kampung Naga berasakan monogamy, sehingga mereka tidak mengenal istilah poligami. Wawancara yang penulis lakukan menunjukan bahwa poligami dianggap perbuatan yang mendzalimi perempuan sehingga tidak ada satu orangpun yang melakukan poligami di Kampung Naga. Pemberian sumbangan pada acara walimah menjadi adat yang telah berakar pada kalangan mereka. Walaupun mereka tidak menggunakan surat undangan untuk mengundang para tetangga namun ikatan kekeluargaan yang kokoh menyebabkan mereka akan datang walaupun tanpa undangan ke keluarga yang menikahkan anaknya.
Sebagaimana di wilayah Sunda lainnya, komunitas Kampung Naga dalam proses pernikahan dilakukan adat sawer yaitu pembacaan pantun yang berisi nasehat-nasehat kepada pengantin. Adat ini dilaksanakan di depan rumah pengantin perempuan sebelum adat muka panto dimulai. Pengaruh Islam pada saweran ini sangat kentara dengan lafadz-lafadz yang genuine dari Islam. Misalnya pembukaan dengan membaca istighfar dan basmalah, kemudian pada isinya juga terkandung lafadz-lafadz arab yang sangat islami tentang nasehat kepada pengantin perempuan untuk taat kepada suaminya dan seorang suami yang harus mengasihi istrinya tersebut.    
b.      Kewarisan
Sistem kewarisan Islam tidak diterima secara sempurna oleh komunitas Kampung Naga. Pembagian harta warisan yang mereka lakukan lebih kepada kebijakan dari orang tua yang memiliki harta tersebut, sehingga mereka membagikan hartanya tersebut kepada anak-anakanya sebelum mereka meninggal dunia. Pembagian dilakukan dengan porsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Selain itu pembagian juga dilakukan tidak secara ketika anaknya tersebut menikah, orang tua akan memberikan harta berupa tanah atau rumah untuk anaknya yang baru menikah tersebut. Demikian seterusnya jika anak berikutnya menikah maka akan diberikan harta bagiannya.
Apabila orang tua meninggal dunia dan harta warisan belum dibagikan, maka pihak ahli waris akan bermusyawarah untuk menentukan bagiannya masing-masing, biasanya pembagian dilakukan dengan porsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Apabila ahli waris meninggalkan anak perempuan saja maka hartanya diberikan semua kepadanya. Istri mendapatkan bagian sesuai dengan pembagian harta gono-gini. Ahli waris lainnya yang dikenal dalam waris Islam tidak mendapatkan harta warisan seperti ayah mayit atau ibunya. Apabila mayit tidak memiliki anak maka harta diberikan kepada syabah (saudara-saudaranya).
Pembagian model pertama atau yang disebut dengan hibah diperbolehkan dalam Islam walaupun jumlah bagian antara laki-laki dan perempuan sama. Bahkan orang tua harus bisa berbuat adil dalam pemberian (hibah) kepada anak-anaknya baik laki-laki ataupun permepuan. Model ini bisa menjadi alternative dalam pembagian waris yang ada di masyarakat, sehingga rasa keadilan yang mereka yakini tetap terlaksana dan hukum Islam juga membolehkannya. Hanya saja, ini bukanlah harta waris melainkan hanya hibah (pemberian) dari orang tua kepada anak-anaknya sebelum ia meninggal dunia. 
Sedangkan pada pembagian setelah orang tua meninggal maka sudah selayaknya untuk disesuaikan dengan nilai-nilai Islam yaitu bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Kalaupun ingin dibagi secara merata antara laki-laki dan perempuan maka ketika pembagian harta waris berlangsung masing-masing ahli waris sudah mengetahui bagiannya masing-masing. Misalnya seorang laki-laki sudah mengetahui haknya adalah dua kali lipat hak perempuan, demikian pula seorang ahli waris perempuan mengetahui bahwa haknya adalah separuh dari perempuan. Kemudian pihak laki-laki memberikan tambahan bagiannya kepada ahli waris perempuan. Maka dalam hal ini diperbolehkan untuk membaginya lagi kepada ahli waris perempuan. Tentunya dengan kesepakatan dari masing-masing ahli waris tersebut.   
3.    Komunitas Baduy
Komunitas Baduy adalah komunitas yang belum menerima Islam sebagai agama mereka, sehingga dalam banyak hal tidak menerima hukum Islam. Namun interaksi mereka dengan umat Islam telah memunculkan penyerapan hukum Islam oleh mereka. Beberapa hukum Islam yang diterima oleh mereka meliputi hukum ibadah dan muamalah.
Dua kalimat syahadat yang menjadi pintu gerbang masuknya seseorang ke dalam bangunan Islam mereka ucapkan ketika melaksanakan akad pernikahan di depan penghulu (pegawai pencatat nikah). Pembacaan ini disaksikan oleh beberapa orang saksi dari keluarga pengantin perempuan. Sebelum pembacaan syahadat pihak penghulu akan memberikan penjelasan tentang pernikahan dalam Islam beserta hak dan kewajiban suami istri.
Komunitas Baduy juga menjalankan puasa, terutama pada bulan-bulan kawalu yang dilaksanakan tiga hari dalam tiga bulan. Puasa mereka jalankan dengan variasi yang berbeda, walaupun hal ini dipertanyakan apakah berasal dari hukum Islam atau dari budaya mereka. Hasil penelitian saya menunjukan bahwa hal tersebut sangat dipengaruhi oleh hukum Islam tentang puasa. Termasuk setelah bulan tersebut selesai mereka akan merayakan “lebaran” versi mereka dengan berkunjung ke camat Leuwidamar, bupati Lebak dan gubernur Banten.
Menunaikan zakat ketika mendapatkan rizki mereka lakukan dengan istilah “Jekat” yaitu memberikan sebagian harta milik kepada fakir miskin dan anak yatim. Mereka juga mengenal istilah shadaqah yang dikeluarkan pada saat mereka mendapatkan rizqi. Ketika mereka mendapatkan uang dari pengunjung yang menginap di rumahnya mereka akan membaginya kepada para tetangga yang miskin sebagai bentuk kebersamaan di antara mereka. Penelitian saya terhadap sistem sosial mereka juga menunjukan perhatian mereka terhadap fakir miskin dan anak yatim di antara mereka cukup baik dengan menyantuni mereka dan memenuhi kebutuhannya.
Pelaksanaan haji yang oleh umat Islam laksanakan ke Baitullah mereka laksanakan ke Arca Domas sebagai pusat spiritual tertinggi mereka. Hingga saat ini mereka meyakini bahwa pada lokasi Arca Domas terdapat pintu yang menghubungkan ke Ka’bah Baitullah. Sehingga ritual muja yang mereka lakukan juga diyakini sebagai bentuk lain dari haji menurut umat Islam. Muja sendiri adalah ritual ziarah ke makam leluhur yang berada di lokasi Arca Domas. Ritual ini dilaksanakan setahun sekali dan hanya diikuti oleh orang-orang khusus yang telah ditunjuk oleh Pu’un.
Khitanan menjadi unsur hukum Islam yang diterima oleh komunitas Baduy, mereka mengkhitan seorang anak yang sudah menginjak usia 6-10 tahun. Mereka menyebut khitanan dengan istilah ngislamkeun yaitu mengeluarkan darah dengan menyudat kulit penutup kemaluan seorang anak laki-laki. Sedangkan bagi perempuan ada peuperan khitan khusus bagi anak perempuan pada komunitas Baduy. Walaupun mereka mengaku bahwa khitan sudah menjadi tradisi mereka, namun secara nash dan fakta bahwa khitan adalah bagian dari hukum Islam.
Pada bidang muamalah mereka menolak tambahan bunga yang ada pada bank modern serta ketika meminjam uang kepada orang lain. Mereka menyatakan bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Apabila mereka memiliki uang dalam jumlah banyak maka mereka akan menitipkan uang tersebut kepada seseorang yang dipercaya di luar kampung. Selanjutnya mereka akan mendapatkan semacam “bagi hasil” dari uang yang mereka titipkan berupa ikan asin, garam atau kebutuhan makanan lainnya. Adapun hukum Islam dalam bidang perkawinan dan kewarisan maka menerima pada beberapa bagiannya. Berikut adalah penjelasannya:     
a.    Perkawinan
Hukum Islam yang diterima dalam pelaksanaan perkawinan pada komunitas Baduy adalah pembacaan syahadat dalam pelaksanannya. Pembacaan syahadat secara langsung dilakukan di depan amil sebagai pegawai pencatat nikah dari Kecamatan Leuwidamar. Pihak pengantin laki-laki dibimbing oleh amil untuk membaca dua kalimat syahadat, sebelum itu amil akan memberikan nasehat berkenaan dengan perkawinan dalam Islam yaitu mengenai rukun dan syarat nikah dan bekal-bekal perkawinan bagi calon pengantin.
Selain pembacaan syahadat pihak pengantin laki-laki juga memberikan kelapa, gula aren, beras dan uang kepada penghulu. Menurut keterangan dari penghulu bahwa itu adalah perjanjian Baduy dengan penguasa Banten pada masa lalu yang dianggap sebagai mahar.     
b.    Kewarisan
Unsur hukum Islam di bidang kewarisan yang diterima oleh komunitas Baduy hanya sebatas istilah “waris” dan “wasiat”. Sedangkan dalam pelaksanaannya mereka menggunakan sistem waris mereka sendiri yaitu dengan membagikannya kepada anak-anaknya sesuai dengan keinginan orang tuanya. Pembagian dilakukan secara merata antara laki-laki dan perempuan yang menjadi ahli warisnya.
Apabila seseorang meninggal dunia maka pihak ahli waris akan bermusyawarah untuk memutuskan pembagian harta peninggalannya. Mereka akan membagi rata harta warisan tersebut antara anak laki-laki dan perempuan. Mereka juga mengenal harta warisan bagi anak angkat, walaupun jumlahnya tidak sebesar untuk anak kandung. Mereka meyakini bahwa pembagian dengan merata antara anak laki-laki dan perempuan adalah bentuk keadilan yang sesuai dengan pemahaman mereka. Walaupun dalam praktiknya sebenarnya tidak persis sama bagian waris laki-laki dan perempuan, karena disesuaikan dengan bagiannya masing-masing yang berupa lahan, leuit atau rumah tinggal.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...