Jumat, 29 Juli 2022

Antara Shubuh, Khilafiyah Fiqh dan Kenyamanan Hati

Oleh: Misno bin Mohamad Djahri

 


Shubuh pada Jumat 29 Juli 2022 bertepatan juga depan 29 Dzulhijjah 1443 Hijriah ini terasa berbeda suasananya. Seperti biasa saya shalat di salah satu masjid milik orang tempatan yang bermadzhab Syafi’i. Sebagaimana masjid-masjid lainnya yang mengikuti madzhab Syafi’i maka imam membaca do’a qunut di rakaat kedua sebelum sujud. Sampai di sini tidak ada masalah karena qunut memang menjadi khilafiyah (perbedaan) fiqh yang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Selanjutnya imam membaca surat al-fiil dan al-quraisy dengan cukup cepat dan menurut ilmu yang pernah saya pelajari kurang sesuai dengan hukum tajwid.

Setelah selesai salam, maka imam memimpin bacaan dzikir dengan diikuti oleh beberapa jama’ah. Beberapa jama’ah ada yang laangsung berdiri keluar masjid, namun Sebagian besar mundur ke belakang dan duduk menyandarkan badan di beberapa tiang masjid. Maklum karena sebagian besar jamaah masjid shubuh ini adalah para orang tua di atas 55 tahun. Saya sendiri duduk di bagian pojok shaf depan dan memperhatikan sambal berdizikir dan mencoba meresapi shubuh berjama’ah ini.

Namun, ada sesuatu yang membuat kurang nyaman di hati, dari mulai pelaksanaan shalat shubuh di masjid tersebut yang terlalu cepat, dalam makna setelah adzan hanya jeda waktu 5 menit langsung dikumandangkan iqamat. Sehingga sedikit memberikan kesempatan kepada jamaah untuk shalat sunnah fajar yang keutamaannya lebih baik dari dunia dan seisinya. Hal ini sebagaimana sabda dari Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مَنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

Dua rakaat (sebelum) Subuh lebih baik daripada dunia seisinya. HR. Muslim.

Pada Riwayat lainnya dijelaskan:

لَهُمَا أَحَبُّ إِلَيَّ مَنَ الدُّنْيَا جَمِيْعًا

Dua rakaat itu lebih aku cintai ketimbang seluruh dunia. HR. Muslim.

Maknanya bahwa shalat sunnah fajr atau sunnah qabliyah (sebelum) shalat shubuh menjadi shalat sunnah yang sangat tinggi nilainya, sehingga hendaknya pengurus masjid dan imam memberikan waktu yang cukup agar para jamaah bisa melaksanakan shalat ini khususnya dilaksanakan di rumah, karena Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

قَدْ عَرَفْتُ الَّذِي رَأَيْتُ مِنْ صَنِيْعِكُمْ، فَصَلُّوْايُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوْ تِكُمْ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ، إِلاَّ الْمَكْتُوْ بَةَ

 

“Aku telah mengetahui apa yang telah kalian perbuat. Karenanya, wahai sekalian manusia, shalatlah kalian di rumah kalian, karena sebaik-baik shalat seeorang adalah di rumahnya kecuali sahalat wajib”. HR. Bukhari dan Muslim.

Merujuk kepada riwayat ini maka jelas bahwa hendaknya shalat sunnah dilaksanakan di rumah sedangkan shalat wajib di masjid. Kembali ke shubuh maka pengurus masjid hendaknya memberikan jeda waktu bagi para jamaah untuk bisa melaksanakan shalat sunnah di rumah dengan cara memberikan jeda waktu kurang lebih 10 menit bagi para jamaah khususnya yang rumahnya tidak jauh dari masjid. Ini hal pertama yang membuat hati ini kurang nyaman, buru-buru dalam melaksanakan shalat sunnah karena khawatir terlambat takbir pertama imam di shalat shubuh.

Selanjutnya masih terkait dengan waktu antara adzan dan iqamat adalah sebaik-baik waktu untuk berdo’a, sebagamana sabda Rasul Shalallahu Alaihi Wassalam:

لَا يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ.

“Tidak ditolak do’a antara adzan dan iqamat. HR. Thirmidzi dan Ahmad.

Maka hendaknya pengurus masjid dan imam juga memberikan waktu bagi para jamaah untuk dapat berdoa di waktu antara adzan dan iqamat, karena memiliki banyak keutamaan salah satunya adalah akan dikabulkan doa tersebut. Tentu saja selain itu adalah pelaksanaan shalat shubuh yang tidak buru-buru waktunya karena waktu shalat shubuh sebagaimana disebutkan adalah ketika langit di ufuk timur mulai berwarna keputihan.  Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam:

اَلْفَجْرُ فَجْرَانِ فَجْرٌ يُحَرَّمُ فِيْهِ الطَّعَامُ وَ تَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاَةُ وَفَجْرٌ تُحَرَّمُ فِيهِ الصَّلاَةُ وَ يَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ

“Fajar itu ada dua, pertama fajar (shodiq) yang haram saat itu makanan dan halal shalat (subuh), dan fajar yang lain (kadzib) haram shalat (subuh) dan halal makanan. HR Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim.

Makna dari riwayat ini adalah hendaknya shalat shubuh dilaksanakan pada shalat fajar shidiq, yaitu warna keputihan di ufuk timur yang sudah nampak. Karena keterbatasan manusia maka hal ini memang sering terluput dari kebanyakan manusia. Sehingga berhati-hati dalam hal ini, tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lambat dalam melaksanakan shalat shubuh berjamaah.   

Selanjutnya yang membuat hati kurang nyaman adalah bacaan imam yang secara hukum tajwid masih banyak yang salah serta tidak sesuai dengan kaidah bacaan al-Qur’an yang mulia. Sebenarnya hal ini bisa dipahami karena imam memang orang yang sudah tua dan bukan alumni dari sebuah pesantren atau lembaga pendidikan islam lainnya. Ini bukan berarti salah lebih baik, tapi hendaknya imam yang memimpin shalat adalah yang bagus bacaannya dan enak untuk didengar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَؤُمُّ اْلقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءٌ فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ ، فَإِنْ كَانُوْا فِى السُّنَّةِ سَوَاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً ، فَإِنْ كَانُوْا فِى اْلهِجْرَةِ سَوِاءٌ فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا (وَفِى رِوَايَةٍ : سِنًّا)، وَ لاََ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِه (وفى رواية : فِي بَيْتِهِ) وَ لاَ يَقْعُدْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya”. HR. Muslim.

Merujuk pada riwayat ini, maka hendaknya pengurus masjid memilih imam yang sesuai dengan kriteria tersebut yaitu, pandai membaca al-Qur’an, paling paham sunnah, hijrah lebih dahulu, usia atau awal masuk Islam dan orang tempatan (lokal). Jangan juga memilih imam yang bacaannya bagus tapi masih muda usianya dan kurang memahami adab-adab sebagai imam masjid, misalnya kurang memperhatikan jamaah yang sudah tua usia.

Terkait dengan bacaan shalat shubuh di hari jumat juga disunnahkan untuk membaca surat As-Sajdah pada rakaat pertama dan surat al-Insaan di rakaat yang kedua, sebagaimana Riwayat dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الجُمُعَةِ فِي صَلاَةِ الفَجْرِ الم تَنْزِيلُ السَّجْدَةَ، وَهَلْ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ»

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jum’at dalam shalat Fajar (Shubuh) biasa membaca Alif  Lâm Mîm Tanzîl as-Sajdah dan Hal ata ‘alal insâni hînum minad dahri”. HR. Al-Bukhâri.

Hadits lainnya menjelaskan :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، ” أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، يَوْمَ الْجُمُعَةِ: الم تَنْزِيلُ السَّجْدَةِ، وَهَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ، وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ سُورَةَ الْجُمُعَةِ، وَالْمُنَافِقِينَ “.

Dari Ibnu Abbâs  Radhiyallahu anhu , “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat Fajar (Shubuh) di hari jum’at biasa membaca: Alîf  Lâm Mîm Tanzîl as-Sajdah dan Hal ata ‘alal insâni hînum minad dahri. Dan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca Dalam shalat Jum’at surat al-Jum’at dan al-Munâfiqûn”. HR. Muslim.

Merujuk pada dua riwayat ini maka sunnah memabca surat keduanya pada saat shubuh berjamaah di hari jumat, sekali-kali boleh tidak membacanya dan menggantinya dengan bacaan lainnya. Bagi imam yang belum hafal boleh membaca ayat lainnya dengan syarat tetap tartil dalam membacanya. Apabila bacaan kurang sesuai tajwid atau terburu-buru maka terkadang membuat kurang nyaman makmum.

Demikian pula dalam pelaksanaan shalat hendaknya imam tidak terlalu cepat dalam bacaan dan gerakan sehingga makmum akan lebih khusyu dalam shalatnya, karena khusyu’ merupakan salah satu dari rukun dalam shalat. Mengenai hal ini Rasulullah bersabda:

 أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِيْ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهَا وَلاَ سُجُوْدَهَا

“Sejahat-jahatnya pencuri adalah orang yang mencuri dalam shalatnya”, mereka bertanya: “Bagaimana ia mencuri dalam shalatnya?” Beliau menjawab: “(Ia) tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya”. HR. Ahmad.

Maksud dari riwayat ini adalah hendaknya seseorang ketika melaksanakan shalat menyempurnakan semua gerakannya sebagai salah satu ciri dari kekhusyuannya. Demikian pula seorang imam hendaknya juga memerhatikan shalatnya serta shalat makmum yang mengikutinya. Jangan sampai mereka terburu-buru karena mengikuti imamnya, sehingga tidak bisa mendapatkan kekhusyu’an dalam shalat mereka. Sebaliknya imam juga tidak boleh membaca surat yang panjang atau memperlama shalat padahal banyak makmum yang sudah tua usia atau ada keperluan lainnya.  

Pelajaran yang bisa diambil dari shubuh ini adalah bahwa masih banyak kekurangan kita yang harus diperbaiki, shalat shubuh kita utamanya yang ahrus dilaksanakan dengan penuh keikhlasan, pengurus masjid yang harus memerhatikan waktu shalat dan memberikan kesempatan kepada jamaah untuk shalat sunnah fajr dan berdoa di antara adzan dan iqamat serta tertib-nya shalat shubuh berjamaah dan sunnah-sunnah dalam pelaksanannya.

Kenyamanan hati itu memang muncul dari banyak hal, salah satunya adalah keyakinan (paradigma) dan ilmu yang kita miliki. Namun hal tersebut tidak mengurangi toleransi kita terhadap perbedaan fiqh di masyarkat, demikian pula memahami karakter orang lain dan masyarakat yang berbeda dengan kita menjadi bukti kedewasaan kita dalam beragama. Mungkin kenyamanan akan didapatkan ketika melaksanakan shubuh berjamaah di masjid yang sesuai dengan pemahaman kita, tanpa memutus silaturahmi dengan masjid lain yang berbeda dalam masalah fiqh dan pelaksanaannya. Wallahu a’alam, 29072022.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...