Oleh : Ibnu Muhammad
A. Pengertian Akhlak Mulia
Akar kata 'AKHLAQ' dalam bahasa 'Arab adalah 'kholaqo' (masdar tsulastsy) yang merupakan akar pula kata-kata 'kholiq', 'kholq' dan 'makhluq'. 'kholaqo' sendiri berarti menciptakan. Ketiga buah kata 'Kholiq', 'Akhlaq' dan 'makhluq' merupakan kata yang saling berhubungan erat. Dan ini bisa kita sama-sama rujuk kepada Al-Qur'an, surah Ar-Rahmaan ayat 1-4:
الرَّحْمَنُ {1} عَلَّمَ الْقُرْءَانَ {2} خَلَقَ اْلإِنسَانَ {3} عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
"Ar-Rahmaan (Allah, Al-Kholiq). (Yang) Mengajarkan Al-Qur'an. (Yang) Menciptakan (kholaqo) Manusia (Al-Insaan, Al-Makhluuq). (Yang) mengajarkannya Al-Bayaan."
Insya' Allah, dengan bashirah (daya pandang) yang senantiasa dituntun oleh fitrah yang suci, kita akan memahami hakikat ayat ini bahwa: Allah adalah Al-Khaliq yang telah menciptakan makhluq-Nya (manusia) dan membekalinya, menuntunnya, mengajarkan melalui utusannya Al-Qur'an yang merupakan penjelas bagi segala sesuatu (Al-Bayaan). Dengan berbekal dan berpedoman kepada Al-Qur'an manusia menjadi terbimbing dan terarah hidupnya.
Jadi akhlaq di dalam Islam bukanlah semata-mata sopan santun, etika, atau moral dan hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
Islam selalu menyertai definisi dari sisi syari'ah di samping definisi secara bahasa. Ketika Islam (baca: Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW) memperkenalkan sebuah kata atau menggunakan kata yang sudah lazim digunakan manusia, maka kita harus memahami dalam konteks apakah hal itu digunakan? Karena kata-kata yang digunakan Al-Qur'an dan As-Sunnah seringkali memiliki arti sendiri/khas yang tidak selalu sama dengan definisi umum (baca: bahasa). Adalah keliru jika kita sebagai seorang muslim hanya menggunakan definisi secara bahasa saja. Misalnya kata sholat yang dalam pengertian bahasa adalah do'a, maka dengan berpedoman pada pengertian sholat sebagai do'a akan kacau-balaulah sholat kaum muslimin karena masing-masing merasa bebas untuk mengekspresikan do'anya. Namun ketika Rasulullah SAW menyatakan 'Sholluw kama roaytumuniy usholliy' (sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat) dan RasululLaah SAW mempraktekkan shalat, maka disitulah definisi syar'i-nya diberikan, yaitu 'gerakan-gerakan yang diawali dengan takbiiratu 'l-Ihraam dan diakhiri dengan salam, dikerjakan dengan syarat dan rukun tertentu." Demikian pula kata 'Al-Jaahiliyyah' yang diambil dari bahasa 'arab (akar katanya 'Jahala'), namun tidak pernah digunakan oleh orang 'arab sendiri sampai Al-Qur'an menggunakannya. Karena itu definisi secara bahasanya yaitu bodoh tidak ber- ilmu' haruslah diiringi arti secara Al-Qur'an sebagai penentu akan esensi kata tersebut (Ma'na Al-Jaahiliyyah mudah-mudahan sudah pernah dikupas...).
'Akhlaq'-pun tidak terlepas dari definisi secara syar'i. Perhatikan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad berikut ini: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia (makaarima 'l-Akhlaaq)." Disitu digunakan kata akhlaq-nya menggunakan Alif-lam yang sama dengan 'the' dalam bahasa Inggeris, jadi sudah spesifik apa yang dimaksud dengan Al-Akhlaaq disitu, dan tentunya bukanlah semata-mata etika, sopansantun atau moral. Ibunda 'Aisyah ra menerangkan: "Adalah akhlaq beliau (RasululLaah SAW) itu Al-Qur'an." Al-Qur'an telah menegaskan pula bahwa:"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlaq mulia (khuluqin 'adhiim)." (QS. Al-Qolam:4).
Dari hadits-hadits dan ayat diatas dapat dipahami bahwa Al-Akhlaaq, sebagaimana Islam itu sendiri, bersifat menyeluruh dan universal. Ia merupakan tata nilai yang memang diset-up oleh Al-Khaliq bagi manusia untuk kemudahannya dan kesejahteraannya dalam menjalankan missi kekhalifahannya dimuka bumi ini. Ia merupakan tata nilai yang selalu selaras dengan fitrah kemanusiaannya dan sudah pasti sinkron/nyambung dengan Al-Qur'an dan Sunnah RasuluLaah SAW.
Kemudian, Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita RasululLaah SAW yang menjadi uswah hasanah. RasuluLaah SAW merupakan insan
kamil, manusia paripurna, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Allah SWT berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
"Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia." (QS. Al-Qolam:4)
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
"Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullaah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu orang-orang mengharapkan (keridhoan) Allah dan (kebahagiaan) hari akhirat, serta banyak mengingat Allah." (QS. Al-Ahzab:21)
Bagaimana kehidupan sebagai pribadinya adalah rujukan kita. Cara makan dan minumnya adalah standard akhlaq kita. Tidur dan berjalannya adalah juga standard kita. Tangisnya, senyumnya, berfikir dan merenungnya, bicaranya dan diamnya adalah juga merupakan tangis, senyum, berfikir dan merenungnya, bicara dan diamnya kita.
Kehidupannya sebagai kepala rumah tangga, anggota masyarakat, kepala negara, da'i, jenderal perang adalah rujukan kehidupan kita. Demikianlah, Rasulullah SAW memang telah menjadi ukuran resmi yang Allah SWT turunkan bagi kita, dan sampai kapanpun ini tidak akn pernah berubah. Contoh-contoh akhlaq beliau:
RasululLaah SAW bersabda sehubungan dengan akhlaq hati dan lisan: "Iman seorang hamba tidaklah lurus sehingga lurus hatinya. Dan tidak akan lurus hati seorang hamba sehingga lurus lisannya." (H.R. Ahmad) Sehubungan dengan hubungan sosial, beliau bersabda : "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam." (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dan masih banyak lagi ibrah lainnya dari kehidupan RasululLaah SAW, yang tidakakan mungkin cukup kolom ini mengungkapkannya, yang menunjukkan keagungan dan kemuliaan akhlaq beliau, baik akhlaq terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap makhluq lainnya dan tentunya akhlaq terhadap Khaliqnya.
Jadi akhlaq Islam itu sudah ada formatnya dan juga mapan, berlainan dengan 'akhlaq', moral, etika dalam sistem budaya buatan manusia diluar Islam yang tidak pernah memiliki standar baku dan senantiasa berubah bergantung pada main stream budaya yang ada pada waktu itu.
Ukuran kebaikkan dan kesopanan begitu relatif dan variatif, bergantung kepada tempat dan waktu. Dahulu dua orang yang (ma'af) berpelukan dan berciuman di depan umum akan dianggap hal yang sangat memalukan dan tidak patut, namun sekarang hal itu dianggap biasa dan patut-patut saja. Seseorang yang memegang minuman keras dengan tangan kiri sambil berjalan modar-mandir dan tertawa-tawa adalah hal sangat bisa diterima oleh umum dimanapun, namun tidak oleh Islam, dan Islam tidak mentolerirnya sejak RasululLaah SAW ada sampai sekarang.
Imam Al-Ghazaly menyatakan bahwa akhlaq adalah perbuatan seseorang yang dilakukan tanpa berfikir lagi, yaitu sesuatu yang sudah menjadi kebiasaanya sehingga dikerjakan dengan spontan. Misalnya orang yang senantiasa makan dan minum dengan tangan kirinya, maka dimanapun, dan dalam keadaan bagaimanapun ia akan spontan makan dan minum menggunakan tangan kirinya. Orang yang tidak terbiasa mengucapkan salam kepada sesama muslim dan terbiasa mengucapkan 'hello' 'goodbye' juga akan mengucapakan 'hello' 'goodbye' ketika bertemu seseorang.
Oleh karena itu kita harus membiasakan dan menshibghoh (mencelup) diri dengan akhlaq Islam, sehingga mentradisi dalam jiwa dan kehidupan kita dan dimanapun serta kapanpun dengan spontan terlihat bahwa akhlaq yang Islami merupakan akhlaq kita. Allah SWT berfirman:
صِبْغَةَ اللهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
"Shibghoh Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghohnya dari Allah, dan kepada-Nyalah kami mengabdikan diri." (QS: Al-Baqarah:138).
Terakhir, Akhlaq Islam bukanlah semata-mata anjuran menuju perbaikan nilai kehidupan manusia didunia, tapi ia memberikan dampak bagi kehidupannya di akhirat. Seseorang yang berakhlaq baik tentunya akan mendapat ganjaran pahala, dan sebaliknya orang yang berakhlaq buruk pasti ia akan merasakan adzab Allah yang sangat pedih.
Seorang yang senantiasa mengucapkan kata-kata yang baik, misalnya, tentunya baik buat dirinya dan orang lain didunia ini dan juga menadapatkan ganjaran pahala yang akan menambah berat timbangan amal sholehnya di hari akhirat kelak. Dan seorang pengumpat, pencaci, penghasud tentunya akan memberikan akibat buruk bagi dirinya dan orang lain didunia dan melicinkan jalannya untuk menikmati siksa Allah di neraka kelak.
Inilah diantara ciri khas Akhlaq Islam, yang pada akhirnya ia membuat setiap muslim terpaksa atau tidak untuk menshibghoh dirinya dengan tata nilai yang telah Allah berikan kepada dia dan dengan gamblang dan lengkap telah pula diimplementasikan oleh Muhammad SAW, kekasih-Nya, manusia pilihan-Nya.
B. Keutamaan Akhlak yang mulia
لَيْسَ شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنَ الْخُلُقِ الْحَسَنِ (صحيح الجامع)
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan selain akhlak yang baik “ (Shahih Jami)
إِنَّ الرَّجُـلَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَاتِ قَائِمِ الَّليْلِ صَائِمِ النَّهَار(صحيح الجامع ِ )
“ Sesungguhnya seseorang yang berakhlak baik akan mendapatkan derajat orang yang bangun malam (beribadah), dan puasa pada siang harinya”
إِنَّ أَقْرَبَكُـمْ مِنِّي مَنْزِلاً يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقًا فِي الدُّنْيَا (صحيح الجامع)
“ Sesungguhnya orang yang paling dekat diantara kalian kepadaku pada hari kiamat adalah mereka yang akhlaknya baik di dunia “ (Shahih Jami’)
C. Urgensi akhlak Mulia
Persoalan akhlaq adalah persoalan besar bagi umat Islam, persoalan yang menentukan eksistensi seorang Muslim sebagai makhluq Allah, sebagai pribadi di dalam keluarganya, sebagai individu di dalam masyarakatnya, sebagai muharrik dalam sebuah gerakan Islam, sebagai Muslim di tengah umat, sebagai bagian dari umat di tengah interkasinya dengan bangsa dan peradaban lain di Dunia. Akhlaq adalah persoalan jati diri, persoalan karakter inheren yang tak bisa lepas kemana seseorang manusia pergi. Sekaligus akhlaq merupakan lambang kualitas seorang manusia, masyarakat dan umat. Karena akhlaq adalah seperangkat tindakan atau gaya hidup (namth) yang terpuji, yang merupakan refleksi nilai-nilai Islam yang diyakini dengan motivasi semata-mata mencari keridhaan Allah SWT.
Akhlaq adalah nilai-nilai Islam yang membumi, yang terjelma dalam bentuk konkret manusia, umat atau peradaban. Dia merupakan nilai terpuji, karena nilai-nilai islami adalah nilai fitrah manusiawi, yang bersih dan lurus. Karenanya sebaik-baik manusia adalah manusia yang sesuai dengan fitrahnya, manusia yang baik akhlaqnya. Dalam bingkai potret peradaban umat di hari ini, akhlaq islami menjadi penting, bahkan merupak an sebuah urgensi yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Karena potret buram dan retak peradaban umat di hari ini tak lepas dari pengaruh lunturnya akhlaq di kalangan kaum Muslimin. Dan lunturnya akhlaq ini pula yang telah menggeser timbangan umat dari posisi khairu ummah menjadi "buih", yang dengan mudahnya dicerai-beraikan musuh-musuh Allah. Karenanya upaya peningkatan akhlaq islami mestilah disasarkan pada pribadi Muslim, dai dan muharrik, keluarga, masyarakat, amal islami dan umat secara keseluruhan.
Dalam skala pribadi perbaikan akhlaq akan membuat seorang Muslim memiliki ketenangan dan kekuatan jiwa, dihormati dan diteladani, dapat menjalankan kewajiban dengan baik, dapat memberikan sumbangan bagi aktifitas kemaslahatan masyarakat, kemudian akan berkembang ruh mahabah dan ukhuwah antar pribadi Muslim.
Dalam skala masyarakat, maka pribadi-pribadi Muslim yang berakhlaqul kharimah dapat memberikan ketertiban dan kesejahteraan umum, masyarakat menjadi teratur dan bersih. Dalam skala amal islami, dengan menguatnya akhlaq para aktifis harakah, pertumbuhan dan kekuatan dapat diciptakan, yang pada gilirannya mampu meningkatkan manuver-manuver da'wah serta memberikan daya tahan (imunitas) terhadap serangan futur (kemandegan).
Peningkatan akhlaq para aktifis gerakan Islam akan memberikan pertumbuhan vertikal berupa peningkatan tanggung-jawab (mas'uliyah) dan kepemimpinan, memunculkan afkar-afkar (anggota) yang berkualitas, yang selanjutnya dapat mengadakan pertumbuhan horizontal berupa perluasan medan da'wah. Kemudian dari hub (rasa cinta) dan ikha' (rasa persaudaraan) akan memunculkan kekuatan wihdah (persatuan).
Dalam skala umat, maka akhlaq islami akan menyediakan kekuatan dan peningkatan produktifitas kerja, keberkatan dan ridha Allah SWT, dihormati, dikagumi, diteladani dan disegani bangsa dan peradaban lain. Dan peningkatan akhlaq islami ini secara langsung akan memajukan peradaban kaum Muslimin.
Pengaruh akhlaq yang demikian tinggi baik bagi pribadi Muslim,masyarakat, bahkan umat bukanlah tanpa alasan. Karena karakter inheren akhlaq itu sendiri yang merupakan penyebabnya. Karena akhlaq islami adalah suatu keyakinan terhadap nilai-nilai Rabbani yang dijawantahkan dalam kehidupan nyata untuk hanya mencari rasa suka, ridha Allah. Akhlaq Islami merupakan aktifitas lahir sekaligus bathin. Aktifitas lahir nampak dalam budi pekerti (suluk) terpuji dan aktifitas bathin nampak dalam bentuk keteguhan dan kekuatan jiwa, menumbuhkan optimisme dan tekad yang kuat. Belumlah sampai pada tingkat akhlaq, kalau penampakan dzahir suatu perbuatan, yang nampaknya terpuji, kalau tidak diiringi dengan ketulusan niat bahwa perbuatan itu dalam rangka mencari rasa suka Allah. Sikap dzahir yang nampaknya terpuji namun dengan diiringi hati yang bertolak-belakang adalah sikap kaum munafiq, tanpa diiringi keikhlasan adalah sikap kaum musyrik.
Seorang Muslim yang berakhlaqul kharimah tidak dapat bersikap pura-pura dalam tingkah laku harian untuk sekedar mendapat penghargaan secara sosial. Tetapi segala tindak tanduknya keluar dari keyakinan, sikap hidup yang bersumber untuk mencari ridha Allah. Keyakinan bathiniah ini sendiri mengiringi dan mewarnai (sibghah) aktifitas dzahir. Karenanya aktifitas dzahir baik kaum Muslimin bukan hanya bermakna sosial dan profan tetapi juga sakral, bukan saja dalam rangka berlaku baik terhadap manusia, tetapi juga dalam rangka mengharapkan pujian Allah. Pujian Allah inilah yang mestinya lebih mendominasi dan didamba Muslim yang berakhlaqul kharimah.
Di antara akhlak yang baik yang diajarkan oleh Allah kepada manusia Anjuran untuk berakhlak dengan akhlak yang disyaratkan atas setiap muslim, seperti:
Sifat jujur / Shiiddiq
"Biasakanlah kamu berkata benar, karena kebenaran itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu menuntun kepada surga. Dan seseorang itu selalu berkata benar sehingga dicatat di sisi Allah; shiiddiq. Dan awaslah kamu dari dusta, karenadusta itu menuntun kepada kejahatan, dan kejahatan itu menuntun kepada neraka. Dan seseorang itu berdusta sehingga dicatat di sisi Allah; pendusta." (H.R. Bukhari)
Ibarat lampu akhlaq, maka shiiddiq adalah cahayanya. Dia bersinar menerangi sekeliling bak mercu suar. Sifat ini mengantarkan si pelaku pada ketenangan jiwa, karena tak ada yang dia sembunyikan, tak ada yang perlu dia dustai. Dia, seorang Muslim, yang hidup secara transparant (nir kaca). Maka buahnya adalah kepercayaan, kehormatan, dan kemuliaan, bukan saja dari manusia, tetapi juga dari Allah Pencipta Manusia. Hati yang bersih akan selalu terikat pada kebenaran, hanya beriltizam (komit) pada kebenaran. Maka itu semua akan berpengaruh terhadap kata-kata yang dituturkan, atau perbuatan yang dipersembahkan.
Tak ada keperluan baginya untuk berdusta, karena keterikatan pada kebenaran menutup peluang untuk berdusta. Dusta muncul karena perbuatan tercela yang tak ingin diketahui orang lain; dusta muncul karena harapan-harapan egois, serakah dan kecurangan; dusta muncul karena bakhil dan ketakutan yang sangat melanda jiwa. Maka bagi hati yang bersih, karena sibgha Allah (pewarnaan Allah), tak ada lagi yang perlu didustakan dan tidak ada manfaatnya berdusta, tak ada yang malu untuk disampaikan, tak ada yang perlu dikhawatirkan atau ditakuti. Hatinya mantab, tenang dan damai, tak ada ketakutan atau kecurangan. Maka kemuliaan dari manusia dan ridha Allah adalah balasan yang setimpal. Dalam garis pemahaman dien ini, maka dua arah berlaku shiiddiq yang saling mengkait terbentang; berlaku shiiddiq kepada Allah dan berlaku shiiddiq kepada manusia. Berlaku shiiddiq kepada manusia sendiri muncul setelah seorang Muslim menjalin hubungannya dengan Allah secara benar. Hubungan dengan Allah ini yang menjadi basis, sumber motivasi dan penggerak segala amaliah seorang Muslim. Sehingga segala amaliah dan mua mallahnya akan bersandar pada syar'i, pada upaya mencari ridha Allah. Tanpa berlaku shiiddiq kepada Allah, maka akan sulitlah bagi seorang manusia untuk berlaku benar terhadap sesamanya. Ibarat lampu akhlaq islami, shiiddiq adalah cahayanya, shiiddiq adalah cahaya kebenaran, dan jalan menuju mardhotillah.
"Tunaikanlah segala kewajiban kepada Allah, apabila kamu telah berjanji " (An-Nahl:91)
"Hai sekalian orang beriman, mengapa kamu mengatakanapa-apa yang tidak kamu perbuat. Sungguh besar murka Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan" (Ash-Shaf: 3-4)
Berlaku shiiddiq kepada Allah adalah PERINTAH, WAJIB untuk dilaksanakan. Berdusta kepada Allah akan mendapat murkaNya, dan murka Allah adalah azab yang pedih. Ridha Allah surga yang indah, maka murka Allah adalah neraka jahanam. Maka seorang yang beriman tidak akan menbuat Allah menjadi murka, dia tidak akan mengingkari apa yang dia katakan, apa yang dia janjikan kepada Allah. Kita telah bersyahadah, bahkan janji dan sumpah itu kita ulang-ulang setiap shalat. Kita bersumpah setia kepada Allah, bahwa tiada ilah selain Allah: bahwa tiada tuhan, yang mendo- minasi kehidupan kita selain Allah; bahwa tiada yang kita ikuti selain Allah; tiada yang kita cintai selain Allah; bahwa tiada yang kita takuti selain Allah. Kalimat ini kita ulang-ulang dengan kesungguhan. Itu merupakan sumpah dan janji kita kepada Allah Penguasa Jagad Raya, yang jiwa kita ada di tanganNya.
Lalu, setelah janji itu kita ikrarkan; apakah benar hidup kita diserahkan untuk didominasi oleh aturan Allah, bukan aturan manusia, bukan kehendak syahwat ? Apakah benar kita telah mengikuti semua aturan Allah, dan tidak akan mengikuti aturan, prilaku, konsep-konsep yang datang dari selain Allah? Atau malah sebaliknya kesenangan mengikuti aturan taghut? Apakah benar kita mencintai Allah, dimana orang-orang beriman sangat besar cintanya kepada Allah, mencintai dienNya, sehingga dalam shalat pun kita berjanji "inna shalati wa nusuki, wamayahya, wama mati lillahi rabbil 'alamiin" (shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah Tuhan Semesta Alam). Benarkah kita telah menyerahkan hidup dan mati hanya untuk Allah, atau hanya untuk mengejar karier, materi atau kedudukan? Apakah benar kita takut kepada Allah, takut akan menerima azabNya, sehingga melaksanakan semua perintahNya dan menjauhkan segala laranganNya, beramar ma'ruf nahi munkar? atau malah dengan terang-terangan kita BERANI mengingkari aturan hidup yang telah diberikanNya; menyerahkan wala (loyalitas) tidak kepada Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman; berkasih- sayang kepada musuh-musuh Allah; bercuriga terhadap pejuang-pejuang agama Allah yang ikhlash; serta mengangkat pemimpin orang-orang yang tidak membela agama Allah? Benarkah kita telah memenuhi janji kepada Allah, membuktikan syahadah kita, atau hanya DUSTA belaka?
Dalam shalat kita katakan Allahu Akbar, Allah Maha Besar, hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. Namun setelah selesai shalat apakah benar setiap perkataan dan gerak kita untuk membesarkan nama Allah, untuk mengagungkan agama Allah, atau malah sebaliknya ? Benarkah kita hanya meminta tolong kepada Allah, RasulNya dan orang-orang beriman ? Atau justru malah meminta pertolongan kepada musuh-musuh Allah dan musuh orang-orang yang beriman?
"Sungguh besar murka Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan" "Dan celakalah orang-orang yang shalat, yang shalatnya karena riya'"
Apakah kita akan mengulang dan terus mengulang dusta ini kepada Allah? Sesungguhnya murka Allah adalah jahanam, seburuk-buruknya tempat kembali.
Sifat amanah (bertanggung jawab)
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanah kepada yang berhak" (An-Nisa: 58) Menunaikan amanah adalah salah satu PERINTAH Allah, yang WAJIB untuk dilaksanakan dan dalam surat Al Mu'minuun dijanjikan Allah dengan surga sebagai balasan bagi mereka yang berlaku amanah. Amanah adalah nilai fitri, yang setiap hati merah manusia, baik Muslim ataupun kafir mengakuinya. Inilah ciri akhlaq islami, ciri yang tak dipunyai kaum munafiq. Rasulullah bersabda; Ciri munafiq itu ada 3, jika bicara dia berdusta, jika berjanji dia ingkar, jika dipercaya dia berkhianat (H.R. Bukhari, Muslim).
Di awal masa tegaknya risalah Allah ini, Rasulullah Muhammad telah mencontohkan keharusan menegakkan amanah. Meski dalam keadaan sulit, sehubungan dengan persiapan hijrah ke Madinah, Rasulullah tetap menjaga amanah dan mengembalikan barang-barang yang dititipkan kepada beliau melalui Ali. R.A. Di tengah kondisi yang terjepit dan mendapat incaran para pembunuh bayaran, menjaga dan mengembalikan barang yang diamanahkan orang lain tetap merupakan hal yang utama. Inilah diinul Islam. Dia tegak di atas sendi-sendi aturan "langit", di atas nilai-nilai luhur, dan berkembang dalam basis fitri kemanusiaan. Apalah artinya hijrah kalau amanah dilanggar; apalah artinya persiapan teliti untuk suatu perjuangan islam kalau amanah diabaikan? Sesungguhnya Islam tegak dan ditegakkan untuk dan melalui nilai-nilai luhur yang datang dari Allah, bukan menegakkan kekuasaan untuk kekuasaan. Dan bukan pula meraih kekuasaan dahulu baru menegakkan nilai-nilai samawi. Sejak panji risalah ini dikibarkan, maka nilai-nilai "langit" ditegakkan di bumi dengan kekuasaan ataupun tidak.
Karenanya dalam titik ini, menegakkan amanah, menegakkan satu nilai islami dalam diri seorang Muslim berarti menegakkan Islam dan memancarkan keharumannya. Inilah agama yang lurus. Islam adalah agama yang mulia. Hanya dengan kemuliaandia ditegakkan dan untuk kemuliaan dia tegak. Hanya orang-orang yang berhati mulia ikut dalam barisannya dan tidak untuk mereka yang munafiq. Maka dalam pemahaman aqidah ini kekuasaan hanyalah alat bukan tujuan, perangkat kekuasaan dan politik adalah sarana bukan ghoyyah. Qiadah (kepemimpinan) muncul dari tegaknya nilai-nilai islami dalam dada setiap Muslim, dan nilai-nilai itu yang ingin ditegakkan dengan ataupun tanpa kekuasaan dan perangkatnya. Sesungguhnya qiadah itu akan muncul dengan sendirinya, manakala kondisi islami telah tercipta. Ibarat buah, manakala tepung sari sudah menempel pada putik, secara alamiah sunatullah, buah akan muncul perlahan tapi pasti. Inilah diinul islam dengan misi tunggal rahmattan lil alamiin.
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh…. (Al-Ahzab: 72)
Seperti juga kewajiban memelihara amanah dari manusia, maka memelihara amanah dari Allah, Tuhan manusia, adalah juga kewajiban yang mesti dijalankan manusia yang beriman. Adalah tidak logis kalau seorang manusia menjaga amanah dari sesamanya namun mengingkari amanah Allah. Bahkan dalam sudut pandang aqidah ini, menjalankan amanah yang datang dari Allah adalah kemuliaan, karena Allah telah mempercayai kita, Allah mengakui kelebihan kita disbanding makhluk yang lain. Suatu karunia yang amat besar.
Tugas itu, amanah itu adalah untuk menegakkan diinullah di alam ini. Tugas yang teramat berat, langit, bumi, dan bebukitan menolak tugas ini. "sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat" (al-Muzzammil: 5). Perkataan yang berat, berat dalam arti konsekuensi yang harus diterima dalam meniti jalan itu. Itulah jalan kemuliaan, jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi ni'mat, jalan para Nabi, shiddiqiin, syuhada dan para shalihiin, jalan yang sukar lagi mendaki, jalan ketaqwaan.
Amanah itu mesti dipenuhi agar tidak ada lagi fitnah, agar tidak ada lagi penyembahan manusia pada manusia, penyembahan manusia pada materi dan kekuasaan, pada pangkat dan nafsu syahwat. Semua penyembahan hanya untuk Allah Rabbal'alamiin. Dalam skala individual amanah ini menjadi tanggung jawab pribadi Muslim. Dalam skala global adalah menjadi tugas qiyadah islamiyah (kepemimpinan islam) untuk mewujudkannya. Tugas dalam skala global itu kini praktis terbengkalai. Bukan hanya fitnah menghegemoni jagad, namun kondisi ummat sangat memperihatinkan. Umat Islam terhina dan dihinakan, baik di Bosnia maupun Palestina. Tiada qiadah islamiyah yang mempersatukan, membela, dan menegakkan izzah (harga diri) Islam dan ummatnya. Inilah azab atas kelalaian menjaga amanah Allah. "Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh " zalim terhadap dirinya sendiri dan bodoh terhadap diin yang telah dituntunkan Allah untuknya. Kini, tak ada waktu lagi untuk berfalsafah, kenapa mesti menerima amanah Allah itu dsb-dsb.? Yang perlu adalah menyambut amanah ini mewujudkan qiadah Allah di Bumi dalam semangat dan kesiapan sami'na wa atho'ana (kami dengar dan kami taat).
Sabar
Ibnu Mas'ud R.A. berkata: Seolah-olah saya masih melihat pada Rasulullah SAW ketika mencontohkan kejadian seorang Nabi yang dianiya kaumnya hingga berlumuran darah, sambil mengusap darah dari mukanya berkata ALLAHUMAGHFIR LIQOUMI FA INNAHUM LA YA'LAMUN (ya Allah ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahui). (H.R Bukhari, Muslim). Sabar adalah sepenggal kata yang sering diucap dan enteng untuk dituturkan, namun dengan konsekuensi yang luar biasa berat. Sabar lebih sebagai sebuah hasil tempaan panjang tak-winniyah ketimbang sebuah bekal untuk belajar. Dia wujud karena kematangan fikrah dan kelembutan khusyu'. Dia adalahsebuah karakter yang diidamkan, kokoh, ibarat karang di tengah gelombang pasang. Ibarat black hole yang menyerap semua sinar tanpa membuatnya kehilangan pegangan. Maka Allah bersama orang-orang yang sabar. Maka Nabi-nabi Allah selalu dengan kesabaran. Tanpa akhlaq islami ini da'wah islamiah tak akan tegak. Tanpa sabar al Haq tak dapat ditegakkan. Karena, jalan bersama al haq, jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi ni'mat, jalan para Nabi, Shiiddiqiin, syuhada dan shalihiin, jalan ketaqwaan adalah jalan yang sukar lagi mendaki, jalan yang penuh celaan dari orang-orang yang suka mencela, jalan penuh hasutan dari orang-orang yang suka menghasut, jalan yang penuh hinaan dari orang-orang yang suka menghina, jalan penuh fitnah, teror, interogasi dan intimidasi. Tanpa sabar jalan yang mendaki menjadi lebih mendaki dan tak dapat dilalui. Rasulullah saat di Tha'if berlumuran darah dilempari batu, begitu juga Nabi-nabi lain, karena kaumnya belum faham, tidak tahu kebenaran Allah, mereka jahil. Kalau saja mereka tahu, mereka faham, maka mereka akan lebih banyak menangis karena kesalahan-kesalahan mereka. Apa yang harus dilakukan untuk mereka yang tidak tahu, selain memohonkan pengampunan pada Sang Khalik? Memasukkan kebenaran ke dalam kepala, hati lalu mewujud dalam amaliah seseorang mad'u, bukanlah pekerjaan sederhana. Ini adalah pekerjaan para anbiya, makhluk pilihan Allah. Coba kita bermuhasabah, baru saja perkataan kita disinggung saudara kita, ditanggapi dengan sedikit sinis atau dibiarkan, segenap ketersinggungan meluncur, meluap, lalu kita serang mereka yang bersinis-sinis kepada kita dengan kata-kata tajam-menusuk jantung. Baru saja nasehat-nasehat kita dibalas dengan canda, dibalas dengan tawa, dibalas dengan olok-olok, segera saja segenap kebencian melanda. Belum lagi menghadapi fikrah rekan- rekan yang lain, yang tidak sama dengan kita, yang nampak kacau yang merugikkan, yang nampak munafiq, segenap kebencian penuh menghiasi layar kaca. Setumpuk buruk sangka menghiasi muka. Lalu dimana letak sabar? Akankah kebenaran merasuk dalam hati rekan-rekan yang kepada mereka ingin kita sampaikan kebenaran, dengan tetap memelihara ketidaksabaran? Apakah kita menganggap orang lain segera akan menerima kata-kata kita, meresapinya, lalu mengamalkannya, dengan sangat mudahnya? Apakah kita berharap masuk surga, padahal belum datang cobaan kepada kita sebagaimana cobaan datang kepada mereka yang terdahulu? Astaghfirullah, kita sering bermimpi.
Daftar Pustaka
1. Al-Qur’an dan terjemahnya
2. Kitab Shahih Bukhary
3. Kitab Shahih Muslim
4. Shahih Jami’ Ash-Shaghir
5. Kitab Sunan Thirmidzi
6. Riyadhus Shalihin
7. Bbulughul Maram