Oleh Agoes Soenoto*
Yunus bin Ubaid rahimahullah,seorang saudagar yang hidup di masa tabi'in,hendak menunjukkan kepada kita betapa mulianya akhlak seorang muslim dalam bermuamalah dengan saudaranya sesama muslim. Beliau juga ingin menunjukkan bagaimana seorang yang memiliki aqidah yang lurus dan memamami benar teladan Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam dalam memperlakukan saudara sesama muslim, sebagaimana dia memperlakukan dirinya sendiri. Terutama dalam hal jual beli.
Alkisah..suatu hari Yunus bin Ubaid rahimahullah hendak pergi sholat ke masjid,dia menyuruh saudaranya untuk menggantikannya menjaga toko perhiasannya.Lantas datanglah seorang Badui mengunjungi tokonya untuk membeli sebuah perhiasan.Tanpa menawar lagi Badui tersebut membayar perhiasan yang dibelinya seharga 400 Dirham,sesuai permintaan saudara Yunus.
Di tengah jalan sekembalinya dari toko Yunus,Badui tersebut bertemu dengan Yunus Bin Ubaid yang baru kembali dari masjid,dengan perhiasan yang masih dipegangnya. Demi barang tersebut dilihat Yunus, tahulah Yunus bahwa barang tersebut dibeli dari tokonya.Yunus menanyakan harga pembeliannya.
Demi mendengar jawaban Badui bahwa perhiassan tersebut dibeli dengan harga 400 Dirham,maka Yunus bin Ubaid mendesak badui tersebut untuk kembali ke tokonya seraya mengatakan : "Harga perhiasan tersebut tidak lebih mahal dari 200 Dirham !" Yunus bin Ubaid Rahimahullah bermaksud hendak mengembalikan kelebihan pembayaran dari Badui tersebut. Mula-mula Badui tersebut menolak sambil berkata ; "Aku sangat senang dengan harga yang diberikan saudaramu,karena di negeriku harga perhiasan semacam ini tidak kurang dari 500 Dirham !" Tetapi Yunus bin Ubaid terus mendesak sebab beliau merasa malu karena perhiasan seharga 200 Dirham,dijual oleh saudaranya seharga 400 Dirham.
Setelah mengembalikan kelebihan pembayaran kepada Badui tersebut,Yunus bin Ubaid menegur saudaranya seraya mengatakan bahwa saudaranya telah melakukan penipuan. "Apakah engkau tidak takut kepada Allah atas perbuatanmu itu?" Yunus bertanya kepada saudaranya.
"Sungguh aku tidak melakukan penipuan" sergah saudara Yunus,"Kalau dia merasa dirinya ditipu,tentu dia tidak akan mau membayar dengan harga 400 Dirham dengan tanpa menawar lagi" kata saudara Yunus membela diri."Benar" kata Yunus "Karena dia tidak tahu bahwa harganya 200 Dirham,dan kita sudah mendapat keuntungan yang sangat pantas."
Ceritanya barangakali akan sangat jauh berbeda apabila saudara Yunus bin Ubaid hidup di jaman sekarang. Mungkin dia akan banyak yang membela,dan mendukung pendiriannya dalam berbisnis. Bahkan mungkin akan mendapat julukan,gelar maupun penghargaan yang tinggi sebagai pelaku bisnis yang sukses karena sanggup memberikan keuntungan yang besar kepada usaha atau perusahaannya. Bank bank dan para investor akan berduyun-duyun menawarkan dananya untuk berinvestasi. Harga sahamnya akan melonjak di lantai bursa......Fotonya akan menghiasi sampul - sampul majalah bisnis dan gaya hidup sebagai "Manager Satu Trilyun"....
Coba kita perhatikan berita-berita di media masa,kita akan menyaksikan betapa perilaku sebagian para pelaku bisnis di negeri kita sungguh sangat menyedihkan,memalukan,dan bahkan memuakkan.
Dia akan melakukan apa saja untuk menciptakan "distorsi pasar" demi meraih keuntungan yang sebesar - besarnya dalam waktu yang sesingkat - singkatnya.Sebagai contoh,yang masih terasa "pedas" hingga hari ini adalah kasus kelangkaan cabai sehingga harga cabai di negeri agraris ini hampir menyentuh Rp 100.000 per kilogram !!! subhanallah...
Negeri kita adalah negeri agraris,tetapi kita mengimpor beras,sayuran,buah dan lain-lain. Negeri kita kaya akan minyak dan hasil tambang,tetapi kita mengimpor minyak dan sumber energi lainnya, Dua pertiga bagian negeri kita berupa lautan,tetapi kita mengimpor ikan dan hasil laut lainnya,bahkan garam pun harus kita beli dari negeri tetangga....!!!!! Semua itu terjadi bukan semata - mata karena pergerakan kurva suply yang tersendat dan kurva demand yang melaju..tetapi disinyalir adanya "distorsi pasar" yang sengaja diciptakan dengan motif-motif tertentu yang dilakukan oleh sebagian "pelaku bisnis" yang berkolaborasi dengan para pembuat kebijakan...
"Pelaku bisnis" sengaja diberi tanda petik,karena pelakunya bisa benar - benar pelaku bisnis,bisa juga pelaku bisnis dadakan..
Maka tidak mengherankan,jika kita menemukan orang yang sangat dihormati masyarakat,menduduki posisi penting,diberitakan di mana-mana, disanjung-sanjung sebagai pengusaha sukses ternyata di kemudian hari menjadi pesakitan,meringkuk di penjara karena telah melakukan kegiatan bisnis yang tidak jujur...
Konstruksi ekonomi Islam dilandasi oleh nilai-nilai universal yang dijadikan sebagai dasar inspirasi untuk membangun ekonomi yang islami,yaitu Keimanan (Tauhid), Keadilan ('Adl), Nubuwwah,Khilafah,dan Ma'ad (Hasil).
Tauhid merupakan pondasi pokok dalam segala aspek kehidupan Islami,termasuk dalam hal ekonomi.Bahwa tujuan diciptakannya manusia hanyalah untuk beribadah kepada Allah,hampir setiap muslimin sudah mengetahui,bahwa Allah adalah pemilik hakiki atas langit,bumi dengan segala isinya,Insya Allah setiap muslim tentu menyadarinya. karena itu,segala aktifitas manusia dalam bermuamalah dan dalam pengelolaan sumberdaya alam seharusnya dibingkai dengan kerangka ketaatan kepada Allah."Kepemilikan" yang dimiliki manusia pada hakikatnya adalah titipan Allah yang suatu saat diminta lagi.
Keadilan yang dimaksud dalam konsep ekonomi Islam sangat mencolok perbedaanya dengan adil dalam ideologi kapitalis maupun sosialis."Modal sekecil - kecilnya untung sebesar - besarnya" adalah sebuah kezaliman yang diterapkan dalam prinsip ekonomi kapitalis."seseorang mendapatkan apa yang diusahakannya" adalah bentuk kezaliman lain yang diterapkan oleh kaum kapitalis.Orang kaya karena usahanya,orang berhasil karena kerja kerasnya.Prinsip ini mengesampingkan ketidakmampuan orang lain dalam mendapatkan kekayaan.Yang kaya semakin kaya,yang miskin semakin miskin.Homo homini lopus,manusia menjadi serigala bagi manusia lain.Na'udzubillahi min dzalik.
Sedangkan ideologi Sosialis mengartikan adil sebagai "sama rata sama rasa". Hal ini tentu menafikan kemampuan individu dalam mengeksplorasi untuk memperoleh hasil yang lebih dibanding orang lain. Islam memdefinisikan adil sebagai "Tidak saling mendzalimi"
Para pihak yang melakukan transaksi bisnis akan mendapatkan keuntungan yang proporsional dan atau menikmati manfaat yang sebanding dari harga yang harus dibayar.Penjual dan pembeli sama - sama untung.Bahkan orang lain pun akan memperoleh keuntungan dari transaksi yang dilakukannya,yaitu berupa hak yang dimilki oleh "yang belum beruntung" dari orang - orang yang mendapatkan keuntungan.Transaksi hanya dilakukan atas kerelaan para pihak yang bertransaksi,tanpa ada paksaan dari salah satu pihak.
Nilai Nubuwwah adalah nilai-nilai yang dijadikan prinsip dalam bertransaksi secara Islami,yaitu prinsip prinsip yang mengambil teladan dari Rasulullah Salallahu'alaihiwassalam dalam bermaumalah: Siddiq,Amanah,Fathonah,dan Tabligh.
Khilafah (Pemerintah) mengambil peran kunci sebagai pengawas pasar,sebagai wasit,sebagai hakim yang adil demi terciptanya pasar yang berjalan sesuai dengan syariah.
Islam memandang hasil (Ma'ad) yang diperoleh dari sebuah usaha,bukan hanya keuntungan di dunia (Temporary Goal) tetapi lebih ditekankan kepada keuntunga akhirat (Ultimate Goal).Dunia hanyalah berfungsi sebagai ladang akhirat,karena kesenangan dunia tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan kesenangan di akhirat kelak... Insya Allah.
*Agoes Soenoto, Seorang Praktisi Ekonomi Islam sebagai direktur BMT Berkah Mulia Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...