Secara bahasa, syuruuth (syarat-syarat) adalah bentuk jamak dari kata syarth yang berarti alamat. Sedangkan menurut istilah adalah apa-apa yang ketiadaannya menyebabkan ketidakadaan (tidak sah), tetapi adanya tidak mengharuskan (sesuatu itu) ada (sah). Contohnya, jika tidak ada thaharah (kesucian) maka shalat tidak ada (yakni tidak sah), tetapi adanya thaharah tidak berarti adanya shalat (belum memastikan sahnya shalat, karena masih harus memenuhi syarat-syarat yang lainnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang wajibnya dan menghindari hal-hal yang membatalkannya). Adapun yang dimaksud dengan syarat-syarat shalat di sini ialah syarat-syarat sahnya shalat tersebut.
Berbeda dengan rukun, maka syarat-syarat shalat menjadi syarat mutlak syahnya shalat. Ini berarti jika salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi maka shalat yang dilaksanakan tersebut tidak syah atau batal. Di antara syarat-syarat shalat tersebut adalah :
1. Islam,
2. Berakal
3. Tamyiz (dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk),
4. Menghilangkan hadats
5. Menghilangkan najis
6. Menutup aurat
7. Masuknya waktu,
8. Menghadap kiblat,
9. Niat.
Kesembilan syarat-syarat shalat tersebut menjadi penentu bagi shalat seseorang apakah sah atau tidak. Berikut adalah penjelasannya :
1. Islam (Muslim).
Shalat hanya sah dilaksanakan oleh rang Islam. Ketika orang di luar Islam melaksanakan shalat maka shalatnya tidak diterima, walaupun di adengan ikhlas dalam melakukan shalat tersebut. Dasarnya adalah firman Allah ta’ala :
مَاكَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَن يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنفُسِهِم بِالْكُفْرِ أُوْلاَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ
Tidaklah pantas bagi orang-orang musyrik untuk memakmurkan masjid-masjid Allah padahal mereka menyaksikan atas diri mereka kekafiran. Mereka itu, amal-amalnya telah runtuh dan di dalam nerakalah mereka akan kekal.” QS At-Taubah : 17.
Dalam ayat yang lainnya disebutkan secara tegas mengenai hal ini, Allah ta’ala berfirman :
وَقَدِمْنَآ إِلَى مَاعَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَآءً مَّنثُورًا
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” QS Al-Furqan : 23.
Kedua ayat ini menjelaskan bahwa amalan shalat dari selain umat Islam maka tertolak sebagaimana agama mereka juga tertolak di sisi Allah ta’ala :
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ اْلأِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” QS Ali Imran : 85.
2. Berakal
Berakal berarti seseorang yang dapat menggunakan akal pikirannya secara normal. Maka jika seseorang yang tidak berakal atau akalnya kurang, ia tidak memiliki kewajiban untuk shalat, kalaupun ia tetap mengerjakan maka shalatnya tersebut tidak sah.
Orang gila misalnya, ia tidak memiliki kewajiban untuk shalat. Karena tidak ditulis baginya kesalahan atau dosa hingga ia sembuh dari gilanya tersebut. Hal ini seperti disebutkan oleh rasulullah dalam suatu haditsnya :
Telah diangkat pena (ketetapan hukum tidak berlaku) pada tiga golongan, yaitu ; pada orang yang sedang tidur hingga ia terbangun, pada orang gila hingga ia sadar, dan pada anak kecil hingga ia mengalami mimpi (yang menyebabkan ia mandi)". Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu daud, An-Nasaa'i dan Al-Hakim
3. Tamyiz
Tamyiz berasal dari bahasa Arab yang berarti membedakan. Tamyiz adalah keadaan di mana anak-anak yang sudah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, dimulai dari umur sekitar tujuh tahun. Jika sudah berumur tujuh tahun maka mereka diperintahkan untuk melaksanakan shalat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
"مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع واضربوهم عليها وهم أبناء عشر، وفرقوا بينهم في المضاجع"
Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika berumur sepuluh tahun (jika mereka enggan untuk shalat) dan pisahkanlah mereka di tempat-tempat tidur mereka masing-masing.” HR. Al-Hakim, Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud)
Dari sini dapat dipahami juga bahwa shalat anak kecil yang belum tamyiz (baligh) “tidak” diterima karena ia belum memiliki kewajiban untuk shalat. Kalaupun dia shalat maka pahalanya adalah bagi orang tua yang telah mengajarkan shalat kepada anak tersebut.
4. Menghilangkan Hadats (Thaharah)
Di antara syarat mutlak dalam shalat adalah terhindarnya seseorang dari hadats, baik itu hadats besar ataupun hadats kecil. Hadats sendiri adalah keadaan yang menurut Islam dalam keadaan tidak suci dikarenakan suatu sebab. Hadats akbar (hadats besar) misalnya dalam keadaan junub/janabat (seorang laki-laki ataupun perempuan yang belum mandi setelah berhubungan badan) dan haidh (datang bulan bagi wanita yang sudah baligh). Cara menghilangakan hadats ini adalah dengan mandi (yakni mandi junub/janabah). Adapun hadats ashghar (hadats kecil) misalnya buang air kecil atau buang air besar dan buang angin, maka cara bersucinya adalah dengan istinja dan berwudhu`, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لا تقبل صلاة بغير طهور
Artinya : “ shalat tidak diterima (tidak sah) bila tanpa bersuci” HR. Muslim. Dalam riwayat yang lainnya disebutkan secara tegas, beliau bersabda : Allah tidak akan menerima shalat orang yang berhadats hingga dia berwudlu.” HR Bukhari dan Muslim
5. Menghilangkan Najis
Pelaksanaan shalat dilakukan dengan sucinya badan termasuk pakaian dan tempat shalat dari berbagai najis. Karena itu suci badan dan tempat adalah salah satu dari syarat sahnya shalat. Perintah menghilangkan najis dari tiga hal tersebut yaitu badan, pakaian dan tanah (lantai tempat shalat) adalah sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla :
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Dan pakaianmu, maka sucikanlah.” QS Al-Muddatstsir : 4
Perintah menyucikan pakaian dalam ayat ini adalah sebagai persiapan untuk melaksanakan shalat. Kesucian sangat diperhatikan dalam Islam, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Bersucilah dari kencing, sebab kebanyakan adzab kubur disebabkan olehnya.” Maka sucinya badan, pakaian dan tempat kita shalat adalah salah satu syarat sahnya shalat.
6. Menutup Aurat
Shalat adalah salah satu dari media untuk berdialog antara seorang hamba dengan Penciptanya. Maka sangatlah wajar jika pakaian yang dikenakanpun harus diperhatikan, sebagai bentuk ibadah kepada Allah ta’ala Menutupnya dengan apa yang tidak menampakkan kulit (dan bentuk tubuh), berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Allah tidak akan menerima shalat wanita yang telah haidh (yakni yang telah baligh) kecuali dengan khimar (pakaian yang menutup seluruh tubuh, seperti mukenah).” (HR. Abu Dawud)
Para ulama sepakat atas batalnya orang yang shalat dalam keadaan terbuka auratnya padahal dia mampu mendapatkan penutup aurat. Batas aurat laki-laki dan budak wanita ialah dari pusar hingga ke lutut, sedangkan wanita merdeka maka seluruh tubuhnya aurat selain wajahnya selama tidak ada ajnaby (orang yang bukan mahramnya) yang melihatnya, namun jika ada ajnaby maka sudah tentu wajib atasnya menutup wajah juga.(terdapat iktilaf pada para Ulama’).Di antara yang menunjukkan tentang mentutup aurat ialah hadits Salamah bin Al-Akwa` radhiyallahu ‘anhu, “Kancinglah ia (baju) walau dengan duri.” Dan firman Allah ‘azza wa jalla, “
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid.”QS Al-A’raaf : 31. Yakni tatkala shalat.
7. Masuk Waktu
Dalil dari As-Sunnah ialah hadits Jibril ‘alaihis salam bahwa dia mengimami Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal waktu dan di akhir waktu (esok harinya), lalu dia berkata :
Wahai Muhammad, shalat itu antara dua waktu ini.” Dan firman Allah ‘azza wa jalla,
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. QS An-Nisa`: 103
Artinya diwajibkan dalam waktu-waktu yang telah tertentu. Dalil tentang waktu-waktu itu adalah firman Allah ‘azza wa jalla :
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah tergelincirnya matahari sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat).” QS Al-Israa`: 78
8. Menghadap Kiblat
Dalilnya firman Allah (yang artinya),
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Sungguh Kami melihat wajahmu sering menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, dan di mana saja kalian berada maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya. QS Al-Baqarah : 144
9. Niat
Tempat niat ialah di dalam hati, sedangkan melafazhkannya adalah bid’ah (karena tidak ada dalilnya). Dalil wajibnya niat adalah hadits yang masyhur (yang artinya) :
Sesungguhnya amal-amal itu didasari oleh niat dan sesungguhnya setiap orang akan diberi (balasan) sesuai niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Umar Ibnul Khaththab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...