Oleh: Cik Hasan Bisri
A. Fiqh dan Sistem Hukum Nasional
Suatu gejala yang bersifat umum bahwa
pembentukan dan pengembangan hukum nasional dilakukan dari hukum tidak tertulis
ke arah hukum tertulis, baik dalam masyarakat bangsa yang masih berkembang
maupun yang telah maju. Meskipun demikian, hukum tidak tertulis merupakan
bagian dalam sistem hukum nasional. Hukum tertulis dan tidak tertulis itu
berlaku dalam penyelenggaraan segenap bidang kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang bersifat mengikat bagi semua penduduk. Bentuk
hukum tertulis di bidang tertentu, terutama dalam bidang hukum yang relatif
netral, dikodifikasikan dan diunifikasikan.
Sementara itu, terhadap hukum yang peka,
apalagi yang amat erat hubungannya dengan keyakinan masyarakat, usaha unifikasi
hukum di Indonesia, misalnya, mengalami masalah (Bagir Manan, 1994) karena
masyarakat bangsa bersifat majemuk, terutama karena perbedaan agama yang
dipeluk. Berkenaan dengan hal itu, pengembangan hukum Islam dalam bidang
keluarga “diunifikasikan” secara khusus bagi orang-orang Islam, sebagaimana
tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ia merupakan suatu bentuk
“unifikasi” dari keanekaragaman hukum Islam sebagaimana terdapat dalam
anekaragam produk pemikiran fuqaha yang tersebar dalam berbagai kitab fiqh di
Indonesia (Cf. Harahap, 1999: 21-63). Unifikasi hukum keluarga itu dilakukan
hampir di 40 negara, baik di beberapa negara Islam dan negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam maupun di beberapa negara yang mayoritas penduduknya
non-Muslim seperti di Thailand, Philipina, dan Srilangka.
Pengembangan hukum nasional itu
didasarkan kepada politik hukum yang ditetapkan. Politik hukum tersebut
merupakan suatu keputusan kekuasaan negara tentang hukum yang berlaku secara
nasional dan arah pengembangan sistem hukum yang dianut (Cf. T. Mohammad Radhie,
1997: 4). Politik hukum itu dirumuskan dan ditetapkan melalui badan
penyelenggara negara yang memiliki kewenangan di bidang itu.[1] Dalam proses
perumusan dan penetapan politik hukum tersebut terjadi interaksi para elite
yang mewakili berbagai kelompok kepentingan untuk memperoleh konsensus bagi
pengembangan hukum dalam suatu satuan masyarakat bangsa yang diikat oleh
organisasi negara nasional.
Berkenaan dengan keterikatan satuan
masyarakat bangsa, dewasa ini, umat Islam merupakan bagian dari empat tipe
satuan masyarakat bangsa dalam ikatan organisasi negara modern. Pertama, dalam
masyarakat bangsa yang secara resmi menyatakan diri sebagai negara Islam
(Islamic states), seperti Brunei Darussalam, Pakistan, Arab Saudi, Iran, dan
Maroko (Muslim Sovereign State). Brunei Darussalam, merupakan suatu kesultanan
kecil namun kaya dengan sumberdaya alam (minyak bumi), sedangkan madzhab fiqh
yang dianut ialah Syafi‘iah. Pakistan, merupakan suatu negara republik dengan
sistem pemerintahan parlementer sebagaimana dianut di beberapa negara Eropa
Barat, sedangkan madzhab fiqh yang dianut ialah Hanafiah. Arab Saudi, merupakan
suatu kerajaan (al-mamlakah) yang didominasi oleh keluarga Sa‘ud, sedangkan
madzhab fiqh yang dianut ialah Hanabilah. Iran, merupakan suatu negara republik
dengan sistem pemerintahan presidensial di bawah otoritas wilāyat al-fāqih,
sedangkan madzhab fiqh yang dianut ialah Syi‘ah Imamiah (Ja‘fariah). Sementara
itu, Maroko merupakan suatu kerajaan, sedangkan madzhab fiqh yang dianut ialah
Malikiah.
Kedua, dalam masyarakat bangsa yang
mayoritas penduduknya beragama Islam tetapi tidak menyatakan dirinya sebagai
negara Islam, dengan madzhab fiqh yang beragam, misalnya, Indonesia (sunni),
Irak (32% sunni dan 65% syi‘i), dan Mesir (sunni). Dalam tipe masyarakat ini,
umat Islam pernah menjadi kekuatan politik yang dominan. Oleh karena itu,
transformasi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dilakukan
melalui berbagai saluran, infrastruktur maupun suprastruktur politik. Di
Indonesia, misalnya, rumusan Piagam Jakarta dan perdebatan tentang dasar negara
terjadi dalam sidang Majelis Konstituante pasca pemilihan umum tahun 1955 dan
dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat ketika dilakukan amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2000, merupakan bukti sejarah tentang usaha
transformasi tersebut. Dewasa ini, satuan masyarakat bangsa tipe ini dapat
diidentifikasi sebagai negeri Muslim.[2]
Ketiga, dalam masyarakat bangsa yang
mayoritas penduduknya beragama lain, tetapi berupaya untuk menerapkan hukum
Islam sebagai norma sosial dalam kehidupan internal umat Islam, seperti
masyarakat Islam Patani di Muangthai (Selatan) dan Moro di Philipina (Selatan).
Gerakan pemisahan diri dari satuan masyarakat bangsa, bahkan ikatan negara,
merupakan upaya mengembalikan jati diri masyarakat Muslim sebagai satuan
masyarakat yang kohesif, dengan corak ajaran Islam yang homogen, setelah
mengalami intervensi oleh satuan masyarakat mayoritas (Budha di Muangthai dan
Katholik di Philipina).
Keempat, dalam masyarakat bangsa di
negara sekuler, yang mayoritas penduduknya menganut agama lain. Sementara itu,
masyarakat Muslim terpilah dalam kelompok kecil (jamaah), yang didasarkan pada
kesamaan etnis dan aliran pemikiran Islam (corak ajaran). Hal itu merupakan
suatu gejala baru, terutama di benua Amerika dan Eropa, seperti di Amerika
Serikat, Perancis, dan Inggris. Satuan masyarakat tersebut, dari tahun ke tahun
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga proporsinya semakin
meningkat.
Uraian di atas menunjukkan tentang tipe
masyarakat Muslim dalam berbagai satuan masyarakat bangsa yang sangat majemuk.
Ia berada dalam masyarakat bangsa yang meliputi berbagai umat pemeluk agama dan
corak aliran pemikiran Islam dan madzhab fiqh. Ia berada dalam masyarakat bangsa
yang meliputi berbagai ras, etnis, dan asal-usul keturunan. Di samping itu, ia
berada dalam masyarakat bangsa yang memiliki variasi tingkat kemajuan dalam
berbagai bidang kehidupan, antara lain: sumberdaya manusia, teknologi, ekonomi,
dan pendidikan. Berkenaan dengan hal itu, terdapat variasi transformasi fiqh ke
dalam produk badan penyelenggara negara, terutama badan legislatif dan
eksekutif. Hal itu tergantung kepada politik hukum yang ditetapkan, yang
kemudian ditindaklanjuti melalui program legislasi nasional.
Transformasi fiqh tersebut merupakan
suatu perubahan bentuk, dari produk penalaran fuqaha yang “beragam” (mukhtalaf
fih) menjadi produk badan penyelenggara negara yang bersifat “seragam”
(muttafaq ‘alayh), yakni peraturan perundang-undangan (al-qānun).[3] Perubahan
bentuk tersebut, dalam berbagai hal diikuti oleh perubahan substansi, sehingga
dapat dikatakan sebagai perubahan struktural dalam konteks struktur dan kultur
masyarakat bangsa karena adanya faktor determinan yang bersifat konstan bagi
perubahan kehidupan manusia secara semesta.[4] Transformasi itu bermakna suatu
proses kontekstualisasi norma fiqh (sebagai majmū‘at al-ahkām) ke dalam
struktur masyarakat bangsa. Dalam proses itu terjadi reduksi, adaptasi, dan
modifikasi norma fiqh yang “anti struktur” menjadi qanun yang “terstruktur”,
yang memiliki daya ikat serta daya atur. Bahkan, dalam hal tertentu, qanun
memiliki daya paksa. Dengan demikian, ketika fiqh ditransformasi ke dalam qanun
ia telah mengalami perubahan wujud dan fungsi dalam konteks sistem hukum
nasional.[5] Fiqh telah terintegrasi dengan norma lain, yang telah berubah
bentuk menjadi qanun. Bahkan dalam hal tertentu mengalami perubahan makna, baik
dalam arti perluasan makna maupun penyempitan makna.
Atas perihal tersebut, dalam bidang
tertentu di Indonesia, misalnya, makna subyek hukum mengalami perluasan, dari
orang (naturlijk persoon) menjadi orang dan atau badan hukum (rechtspersoon)
sebagaimana tampak dalam hukum perwakafan (wakif dan nadzir) dan hukum
pengelolaan zakat (muzakki dan mustahiq). Hal itu tampak dalam ketentuan Pasal
7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, wakif terdiri atas perseorangan,
organisasi, dan badan hukum yang mewakafkan benda miliknya. Sedangkan nadzir
adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
penguasaan benda wakaf. Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, muzakki adalah orang atau badan
hukum yang dimiliki oleh Muslim yang berkewajiban menunaikan zakat. Sedangkan
mustahiq adalah orang atau badan hukum yang berhak menerima zakat.
Secara sosiologis transformasi fiqh
tersebut merupakan produk interaksi antara kelompok elite Islam (“ulama bebas”,
pemimpin organisasi kemasyarakatan, pejabat agama, dan cendekiawan Muslim)
dengan elite penguasa, yaitu pemerintah dan unsur kekuasaan lainnya. Dalam
proses penyusunan dan pembahasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, misalnya, peranan elite Islam sangat menonjol. Hal itu dilakukan
melalui pertemuan dan pendekatan dengan fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan
Rakyat, Pemerintah, dan pembahasan intensif di kalangan mereka. Setiap butir
rancangan undang-undang itu dikaji dan diukur berdasarkan ketentuan fiqh.
Pertemuan sebagian ulama Jawa Timur di Jombang, 22 Agustus 1973, yang
menghasilkan rumusan berbagai usul atas perubahan Rancangan Undang-Undang itu
(Lihat: Amak F. Z., 1976: 35-48), menunjukkan usaha mereka dalam proses
transformasi fiqh ke dalam qanun.[6]
Usaha-usaha yang demikian, menjadikan
fiqh sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan qanun. Atau, sebagaimana
dikemukakan oleh Abdurrahman Wahid (1975: 61), “Apa yang dituju adalah
bagaimana menjadikan hukum Islam lebih banyak lagi menggunakan
pertimbangan-pertimbangan manusiawi, termasuk pertimbangan ilmiah praktis,
dalam proses pengambilan keputusan hukumnya”. Dengan perkataan lain, usaha
seperti itu menjadikan (sebagian) fiqh terintegrasi ke dalam qanun. Ia menjadi
hukum yang mengikat, mengatur, dan dapat dilaksanakan bagi penataan kehidupan manusia.
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan
bahwa fiqh memiliki potensi dan posisi dalam sistem hukum nasional yang
bersumber pada qanun. Kini, di samping civil law system, dan common law system,
juga berkembang Islamic law system yang intinya adalah fiqh. Di beberapa negara
Islam, fiqh menjadi sumber utama program legislasi nasional (eksplisit dan
implisit). Misalnya, Bahrein (Pasal 2), Bangladesh (Pasal 8), Iran (Preamble),
Maroko (Preamble), Mauritania (Preamble), Mesir (Pasal 2), Kuwait (Pasal 2), Oman
(Pasal 2), Pakistan (Preamble), Saudi Arabia (Pasal 8), Syria (Pasal 2), dan
Yaman (Pasal 3). Sementara itu, di negara-negara sekuler program legislasi
nasional didasarkan pada keputusan parlemen yang tidak bersangkut paut dengan
hukum agama (pada umumnya). Khusus di Indonesia, hukum agama (Islam) dan hukum
agama pada umumnya, diakui dan dihormati sebagai hukum yang hidup dalam
masyarakat, yang menjadi salah satu “bahan baku” dalam pengembangan hukum
nasional.
Berkenaan dengan uraian di atas, ada
tiga gagasan utama yang digunakan dalam penelitian transformasi fiqh. Ketiga
gagasan itu, dewasa ini, merupakan bagian dari gejala kehidupan di berbagai
negara dan kawasan, khususnya di dunia Islam. Ia berada dalam tataran perubahan
hukum di berbagai satuan masyarakat bangsa, dari hukum tidak tertulis menjadi
hukum tertulis, dari hukum yang bersifat khusus (internal Muslim) menjadi
bersifat umum (Cf. Galanter, 1966: 168).
Gagasan pertama ialah fiqh (dalam arti
majmū‘at al-ahkām), yakni produk penalaran fuqaha bagi penataan kehidupan umat
manusia. Ia bersifat semesta, tanpa terikat oleh struktur sosial meskipun
mempertimbangkan dan berkembang dalam sistem sosial yang berlaku, sebagaimana
tampak dalam proses perumusan fiqh yang juga menggunakan dalil empiris (selain
dalil normatif dan dalil metodologis), seperti al-‘urf, syar‘un man qablanā,
dan al-maslahah al-mursalah. Atas perihal tersebut, dikenal fiqh yang bercorak
lokal di antaranya fiqh Hijazi, fiqh Kufi, fiqh Mishri, fiqh Hindi, dan fiqh
Indunisi. Demikian pula ketika fiqh itu diterapkan dalam kehidupan masyarakat,
ia mengalami penyesuaian dengan tradisi dan derajat kemampuan subyek hukum
(mukallaf) berdasarkan prinsip istitha‘a.
Gagasan kedua ialah transformasi fiqh ke
dalam qanun dalam sistem hukum nasional. Ia merupakan pengalihan substansi fiqh
ke dalam substansi qanun, yang meliputi empat tataran hukum, yakni (1) tataran
asas atau prinsip hukum; (2) tataran hukum material (hukum substantif); (3)
tataran hukum formal (hukum acara); dan (4) tataran pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum. Transformasi itu dilaksanakan berdasarkan politik hukum dari
badan penyelenggara negara yang ditindaklanjuti oleh program legislasi. Hal itu
terjadi di berbagai negara Islam dan negeri Muslim. Menurut beberapa sumber
sebagaimana dikemukakan oleh al-Sibā‘i (1966), Tahir Mahmood (1972 dan 1987),
Muhamamad Siraj (1993), dan Sudirman Tebba (1993), terjadi transformasi fiqh,
khususnya norma hukum pribadi dan keluarga (al-ahwāl al-syakhshiyah) ke dalam
qanun. Bahkan hal itu terjadi di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim,
misalnya di Philipina dan Thailand (Lihat: Anonimus, 1983; Surin Pitsuan,
1989).
Gagasan ketiga ialah sistem hukum
nasional sebagai bagian dari sistem masyarakat dalam ikatan negara kebangsaan.
Dalam sistem hukum itu mencakup beberapa hal. Pertama, nilai-nilai fundamental
yang telah disepakati sebagai rujukan utama sebagaimana tersurat dalam
konstitusi. Kedua, bahan baku dalam pembentukan dan pengembangan hukum. Ketiga,
arah pengembangan hukum yang hendak dicapai. Keempat, berbagai bidang kehidupan
yang memerlukan pengaturan. Kelima, proses politik melalui suprastruktur dan
infrastruktur politik. Keenam, perangkat hukum dalam jenjang hukum tertulis
yang ditetapkan oleh badan penyelenggara negara. Ketujuh, penegakan hukum
melalui badan dan aparat penegakan hukum. Kedelapan, pluralitas dan
perkembangan masyarakat bangsa secara internal. Kesembilan, perkembangan
masyarakat dunia yang ditunjang oleh produk teknologi (eksternal). Berbagai hal
itu merupakan unsur (subsistem) dalam sistem hukum nasional sebagai suatu
kesatuan terintegrasi yang saling berhubungan, saling menunjang, dan saling
tergantung.
Khusus di Indonesia, transformasi fiqh
ke dalam qanun tersebar dalam berbagai undang-undang, baik dalam hukum keluarga
maupun hukum keperdataan lain. Hal itu dapat dilihat, antara lain, dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Jo.
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2004 tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
B. Fokus Penelitian
Secara garis besar wilayah penelitian
transformasi fiqh adalah teks peraturan perundang-undangan, yang terdiri atas
mukadimah (preamble) atau konsideran, batang tubuh, dan penjelasan (umum dan
khusus). Mukadimah dalam konstitusi berisi tentang kesepakatan pembentukan
negara dan nilai-nilai dasar yang dijadikan rujukan bagi hukum dasar yang
dirinci dalam batang tubuh. Sementara itu, konsideran dalam undang-undang dan
peraturan pelaksanaannya mencerminkan tentang landasan filosofis, landasan
sosiologis, dan landasan yuridis yang digunakan sebagai dasar dalam penataan
kehidupan masyarakat bangsa di bidang tertentu, sejalan dengan perkembangan
masyarakat yang bersangkutan. Transformasi fiqh ke dalam sistem hukum nasional
dapat dipahami dan dijelaskan melalui beberapa model penelitian sebagaimana
model penelitian fiqh lainnya. Namun demikian, dalam tulisan ini hanya
dikemukakan sebuah model penelitian, untuk dikembangkan lebih lanjut. Penajaman
model ini dapat dilakukan oleh peneliti ketika mengaplikasikan model tersebut.
Tatkala hendak merumuskan fokus
penelitian, ada tiga cara yang dapat dilakukan. Pertama, fokus dirumuskan
dengan cara menelaah kemiripan substansi fiqh dengan substansi qanun. Boleh
jadi kemiripan itu hanya bersifat kebetulan; atau merujuk pada sumber yang
sama; atau memang sesungguhnya terjadi transformasi. Kedua, fokus dirumuskan
dengan cara menelaah substansi fiqh yang dialihkan ke dalam qanun. Dengan cara
ini substansi fiqh dipandang sebagai sesuatu “yang telah diketahui”, sedangkan
substansi qanun dipandang sebagai sesuatu “yang belum diketahui”. Ketiga, fokus
dirumuskan dengan cara menelaah substansi qanun yang mengandung substansi fiqh.
Dengan cara ini substansi fiqh dipandang sebagai sesuatu “yang belum
diketahui”, sedangkan substansi qanun dipandang sebagai sesuatu “yang telah
diketahui”.
Cara ketiga dipilih sebagai model
penelitian yang disajikan dan dibahas dalam tulisan ini. Berdasarkan pilihan
tersebut fokus penelitian transformasi fiqh terdiri atas empat unsur,[7] yakni
substansi fiqh, proses transformasi, rujukan konstitusi, dan perubahan sosial
(SPRP). Dalam model ini, dapat dilakukan penyempitan fokus, dengan cara
mengurangi salah satu unsur SPRP. Atau dapat dilakukan modifikasi fokus, dengan
menempatkan substansi fiqh sebagai sesuatu “yang telah diketahui”.
Unsur substansi fiqh merupakan produk
penalaran fuqaha yang memiliki variasi bidang, tataran, sumber, dan perspektif.
Variasi bidang berkenaan dengan pembidangan fiqh selaras dengan
perkembangan institusi sosial.[8]
Variasi tataran hukum berkenaan dengan asas hukum,[9] hukum material, hukum
acara, dan penegakan hukum. Variasi sumber berkenaan dengan kitab fiqh atau
sumber lain yang dirujuk. Sementara itu, variasi perspektif berkenaan dengan
madzhab yang melekat pada substansi fiqh tersebut.[10] Variasi madzhab ini akan
memiliki makna penting bagi pengalihan substansi fiqh di negara kebangsaan yang
tidak menganut salah satu madzhab fiqh yang masih berkembang.
Unsur proses transformasi merupakan
tahapan pengalihan substansi fiqh ke dalam qanun. Tahapan tersebut dilakukan
melalui suatu prosedur yang berlaku pada negara yang bersangkutan. Prosedur itu
juga berhubungan dengan sistem pemerintahan yang dianut: presidensial atau
parlementer. Tahapan itu secara teknis meliputi: persiapan, perancangan,
pembahasan dan pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Tahapan persiapan
dapat dimulai dari pengkajian dan penyusunan naskah akademis, perumusan maksud
dan tujuan pengaturan, penentuan dasar hukum, materi yang akan diatur, dan
keterkaitan dengan qanun lain. Tahapan perancangan berkenaan dengan penyiapan
draft awal yang memuat batang tubuh dan materi qanun, yang dibagi menjadi
beberapa bab, bagian, pasal, dan ayat. Draf tersebut disusun dalam ragam bahasa
hukum (legal draft) yang lazim digunakan. Tahapan pembahasan dan pengesahan
berkenaan dengan tingkat pembicaraan materi draft, sesuai dengan hierarki
qanun, mulai dari nota pengantar, tanggapan umum, pembahasan dalam komisi,
panitia khusus, dan tim kecil, sampai persetujuan dan pengesahan. Tahapan
pengundangan berkenaan dengan penomoran dan penyantuman qanun dalam lembaran
negara dan berita negara atau lembaran daerah dan berita daerah. Sedangkan tahapan
penyebarluasan berkenaan dengan pendistribusian dan pendokumentasian produk
qanun.
Unsur rujukan konstitusi merupakan
rujukan yuridis dalam proses penyusunan qanun, sesuai dengan hierarki qanun
yang berlaku dalam negara yang bersangkutan. Dalam konteks negara bangsa
Indonesia, rujukan konstitusi tersebut adalah ketentuan dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Sementara itu, rujukan qanun di bawah undang-undang adalah
undang-undang itu sendiri; dan seterusnya.
Unsur perubahan sosial merupakan aspek
sosiologis bagi transformasi fiqh. Ia merupakan aspek eksternal dalam proses
transformasi fiqh melalui interaksi antara elite Islam dengan elite lainnya,
termasuk elite penguasa. Manakala elite Islam mempunyai daya tawar yang tinggi,
maka peluang transformasi fiqh lebih terbuka. Demikian pula sebaliknya. Boleh
jadi interaksi itu tidak hanya terbatas dalam suatu negara, tetapi juga
interaksi antar elite antar bangsa. Transformasi fiqh muamalah, khususnya
bidang ekonomi dan perbankan, misalnya, menunjukkan gejala yang mendunia.
Keempat unsur tersebut memiliki posisi
yang berlapis. Unsur proses transformasi menempati posisi sentral. Sedangkan
unsur substansi fiqh menempati posisi kedua. Sementara itu, unsur rujukan
konstitusi dan perubahan sosial menempati posisi berikutnya, sebagai unsur
eksternal dalam transformasi fiqh tersebut. Berkenaan dengan hal itu, inti
fokus penelitian ini adalah unsur proses transformasi, terutama pada tahapan
persiapan, tahapan perancangan, dan tahapan pembahasan. Pada tahapan ini
terjadi proses pengalihan substansi fiqh ke dalam qanun ketika terdapat titik
persamaan antara substansi fiqh dengan “bahan baku” lain dalam perumusan qanun
lebih besar ketimbang perbedaannya. Hal itu terjadi ketika interaksi antara
elite Islam dengan elite lain dilakukan dengan frekuensi dan intensitas yang
sangat tinggi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disusun
beberapa pertanyaan penelitian untuk dipilih sesuai dengan keperluan:
1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya
transformasi fiqh? 2. Substansi fiqh mana yang dialihkan ke dalam qanun? 3.
Bagaimana proses pengalihan substansi fiqh tersebut? 4. Apa yang menjadi
penunjang dan penghambat dalam proses itu? 5. Apa makna pengalihan substansi
fiqh bagi para pelakunya?
Kelima pertanyaan di atas merupakan
bagian dari pilihan pertanyaan yang dapat diajukan, yang disusun secara garis
besar. Untuk selanjutnya dapat disusun puluhan pertanyaan yang lebih rinci,
merujuk kepada unsur-unsur fokus penelitian (SPRP).
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian transformasi fiqh
diarahkan untuk memahami, mendeskripsikan, dan menjelaskan pengalihan substansi
fiqh ke dalam qanun. Berdasarkan hasil yang diperoleh akan tampak pola-pola
transformasi fiqh sesuai dengan hierarki qanun yang berlaku dalam suatu atau di
berbagai negara.
Patut dimaklumi bahwa penelitian ini
pada mulanya dilakukan untuk memperdalam pengetahuan ilmiah, atau untuk
menyingkap “sesuatu” di balik pengetahuan yang telah dirumuskan dan
disosialisasikan. Penelitian tersebut bertitiktolak dari masalah akademis yang
biasanya dilakukan dalam lingkungan perguruan tinggi. Akan tetapi penelitian
transformasi fiqh dapat dilakukan dengan bertitiktolak dari masalah sosial,
yang diarahkan untuk merumuskan bahan dalam proses pemecahan masalah.
Tentu saja, masalah sosial tersebut
merupakan suatu akumulasi dari berbagai unsur, yang memerlukan pendekatan yang
komprehensif. Berkenaan dengan hal itu, penelitian transformasi fiqh dapat
diintegrasikan dalam suatu kesatuan penelitian antardisiplin. Atau penelitian
multidisiplin dalam suatu kesatuan program penelitian, di samping penelitian
lain yang menggunakan disiplin atau bidang kajian masing-masing.
2. Kegunaan Penelitian
Pada dasarnya penelitian transformasi
fiqh memiliki dua kegunaan. Pertama, hasil penelitian berguna untuk
mengembangkan pengetahuan ilmiah di bidang fiqh dan ilmu perundang-undangan.
Hal itu mencakup: (1) Untuk merumuskan konsep sampai kawasan baru, sehingga
wacana fiqh semakin kaya, terutama dalam konteks kehidupan bernegara; (2) Untuk
menata pengkajian proses transformasi fiqh dalam berbagai negara yang memiliki
keunikan masing-masing sehingga kajian fiqh akan memiliki kawasan baru yang selama
ini kurang mendapat perhatian; (3) Untuk dialihkan ke dalam kegiatan
pembelajaran sehingga para mahasiswa akan memperoleh informasi mutakhir
berkenaan dengan transformasi fiqh, yang pada ujungnya kompetensi ilmiah yang
bersangkutan akan lebih bermutu; (4) Untuk dijadikan titik tolak bagi kegiatan
penelitian lebih lanjut, baik oleh peneliti yang bersangkutan maupun oleh
peneliti lain, sehingga kegiatan penelitian mengalami kesinambungan.
Kedua, hasil penelitian berguna bagi
pemenuhan hajat hidup manusia, khususnya berkenaan dengan pola dan cara
pengalihan fiqh sebagai bahan baku dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan. Hal itu mencakup: (1) Untuk mengembangkan apresiasi
terhadap fiqh sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan qanun; (2) Untuk
meningkatkan apresiasi terhadap transformasi fiqh yang beragam di berbagai
negara yang memiliki karakteristik dan keunikan masing-masing; (3) Untuk
dijadikan salah satu bahan rujukan dalam proses penataan kehidupan manusia yang
semakin pelik dan majemuk.
D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka
Berpikir
1. Tinjauan Pustaka
Transformasi fiqh dalam sistem hukum
nasional dapat dijelaskan dengan menggunakan beberapa teori, di antaranya teori
negara hukum, teori trias politica, teori akulturasi kebudayaan, dan teori
perubahan hukum (Pemilihan teori tersebut tergantung pada sudut pandang
peneliti dan ketersediaan perangkat teori yang dapat digunakan). Secara
konseptual, transformasi fiqh merupakan bagian dari konsep perubahan hukum.
Sementara itu, konsep perubahan hukum merupakan bagian dari konsep perubahan
sosial. Adapun perubahan sosial dapat diartikan lebih sempit terutama ketika
akan dilakukan penelitian.[11] Dengan perkataan lain, perubahan sosial dapat
diartikan secara spesifik dengan menggunakan tolok ukur tertentu (Lihat: McIver
and Page, 1957: 523). Ia dapat diartikan sebagai perkembangan,[12]
reformasi,[13] dan transformasi.
Selanjutnya, konsep perubahan sosial
mengandung dimensi lain, yakni faktor determinan, arah, pelaku, dan bentuk
perubahan. Berkenaan dengan hal itu, dikenal teori perubahan sosial menurut
perspektif linier atau perspektif cyclical.[14] Teori perubahan sosial
merupakan bagian dari teori perubahan kehidupan makhluk Allah, dan dapat
diturunkan menjadi teori perubahan hukum dalam kehidupan manusia. Salah satu
teori perubahan di bidang biologi adalah teori evolusi Darwin, yang menggunakan
empat konsep: struggle for life, survival of the fittest, natural selection,
dan progress. Teori ini didasarkan pada perspektif linier, yang dalam berbagai
hal digunakan untuk menjelaskan perubahan sosial. Sementara itu, dalam wacana
sosiologi dikenal unilinier theories of evolution, universal theory of
evolution, dan multilined theories of evolution (Lihat: Soerjono Soekanto,
1996: 345-346). Berkenaan dengan hal itu, tipologi masyarakat
primitif-tradisional-modern (masyarakat tradisional-praindustri-industri)
didasarkan pada teori evolusi. Demikian pula tipologi masyarakat
agraris-industri-informasi yang digagas oleh Alvin Toffler, didasarkan kepada
asumsi dalam teori itu meskipun dipandang sebagai revolusi (rapid change).
Di samping itu, perubahan sosial dapat
dipandang sebagai peristiwa, atau proses, atau metode. Apabila perubahan sosial
itu dipandang sebagai peristiwa, maka penekanannya pada berbagai unsur yang
berinteraksi dalam peristiwa tersebut. Ia merupakan perwujudan interaksi sosial
yang melibatkan berbagai pihak, baik dalam bentuk kerja sama, maupun persaingan
atau konflik. Perubahan yang terjadi adalah sesuatu yang baru, yakni
pertumbuhan atau perkembangan dari yang telah ada. Apabila perubahan sosial
dipandang sebagai proses, maka penekanannya pada tahapan perubahan dari waktu
ke waktu. Perubahan itu terjadi secara bertahap, baik kualitatif maupun
kuantitatif, sebagaimana yang dimaksud dengan pengembangan masyarakat. Apabila
perubahan sosial dipandang sebagai metode, maka penekanannya pada pencapaian
tujuan berdasarkan yang telah ditetapkan, sebagaimana dikenal pada konsep
pembangunan, yaitu suatu perubahan yang disengaja, direncanakan, dan
diorganisasikan. Oleh karena itu, pembangunan bidang hukum dapat dipandang sebagai
metode, walaupun terbuka untuk dijelaskan sebagai peristiwa atau proses.
Berkenaan dengan perubahan hukum, apa
yang dirumuskan dalam kaidah fiqh yang menyatakan: “hukum berubah karena
perubahan waktu, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan” (تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد) merupakan suatu teori yang bersifat umum,
yang dirumuskan dengan pernyataan tunggal. Dalam pernyataan itu terdapat
hubungan kausal antara hukum dengan waktu, tempat, keadaan, niat, dan
kebiasaan. Hukum sebagai akibat, yang lainnya sebagai sebab (al-‘illah).
Apabila diperhatikan secara seksama,
dalam pernyataan itu terdapat tujuh konsep yakni hukum, tempat, waktu, keadaan,
niat, dan kebiasaan, di samping konsep perubahan. Ketujuh konsep tersebut
bersifat umum, yang masing-masing dapat dipilah dan ditafsirkan. Relasi antara
watak dan perilaku manusia dalam kehidupan kolektif pada suatu waktu dan dalam
kawasan tertentu, dapat disebut sebagai interaksi sosial. Tentu saja, atas hal
tersebut muncul satu pertanyaan: interaksi antar siapa yang berpengaruh
terhadap perubahan hukum pada suatu periode dan kawasan tertentu? Apakah
perubahan hukum itu merupakan produk interaksi setiap manusia ataukah produk
interaksi sejumlah manusia tertentu yang memiliki pengaruh atau otoritas dalam
masyarakat.
2. Kerangka Berpikir
Berdasarkan hasil kajian pustaka dapat
disusun kerangka berpikir, yang untuk selanjutnya dijadikan kerangka analitis
terhadap data yang ditemukan. Kerangka berpikir makro dalam penelitian ini
terdiri atas enam komponen, yakni: (1) konstitusi yang dijadikan rujukan; (2)
politik hukum nasional; (3) program legislasi nasional; (4) bahan baku, yakni
substansi fiqh dan “bahan baku” dari tatanan hukum lain dalam proses penyusunan
qanun; (5) tuntutan perubahan dalam skala nasional; dan (6) produk legislasi,
berupa qanun.
Berkenaan dengan keenam komponen di
atas,[15] dapat dirumuskan beberapa pernyataan sebagaimana berikut ini.
Pertama, konstitusi merupakan hukum dasar negara yang menjadi sumber dan
landasan yuridis dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Ia berisi
pengaturan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, untuk melaksanakan berbagai
ketentuan dalam konstitusi itu, antara lain ditetapkan politik hukum nasional
yakni kehendak kekuasaan negara tentang arah pengembangan hukum nasional.
Politik hukum itu mengalami perubahan, sejalan dengan dinamika masyarakat
secara nasional dan internasional.
Ketiga, perwujudan politik hukum itu
diimplentasikan dalam suatu program legislasi nasional, yakni pembentukan hukum
tertulis melalui peraturan perundang-undangan. Berkenaan dengan hal itu, materi
hukum dalam tatanan hukum Islam memiliki peluang menjadi “bahan baku” dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Keempat, perubahan masyarakat merupakan
landasan sosiologis dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Perubahan masyarakat itu mencakup perubahan struktur dan pola kebudayaan. Hal
itu tampak dalam bentuk tuntutan reformasi dan transformasi dalam berbagai
bidang kehidupan masyarakat, di antaranya tuntutan demokratisasi di bidang
hukum, politik, dan ekonomi.
Kelima, produk legislasi itu berupa
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai “muara” yang mempertemukan
hukum dasar dengan tuntutan perubahan serta dinamika dalam kehidupan
masyarakat, yang selanjutnya dilaksanakan oleh peraturan yang lebih rendah
jenjangnya.
E. Langkah-langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipandang tepat
bagi penelitian transformasi fiqh ialah analisis isi teks, baik fiqh maupun
qanun. Berkenaan dengan hal itu, dapat dilakukan modifikasi metode penelitian
analisis isi bagi penelitian kualititif atau metode penelitian hermeneutik.
Metode penelitian ini diarahkan untuk memahami teks dengan menggunakan beberapa
metode penafsiran teks hukum, dalam hal ini teks qanun.[16] Metode penafsiran
autentik dapat digunakan untuk memahami kehendak penyusun qanun sebagaimana
dirumuskan dalam penjelasan qanun, yang secara rinci dapat diketahui dalam
notula pada setiap tahap pembahasan draft qanun. Sementara itu, metode
penafsiran sosiologis dapat digunakan untuk memahami dan mendeskripsikan
aspek-aspek sosiologis berkenaan dengan pembahasan, pengesahan, dan
pengundangan suatu qanun dalam konteks sistem sosial yang mengalami dinamika.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.
Qanun sebagai suatu dokumen hukum yang terdiri atas konsideran, batang tubuh,
dan penjelasan.
2.
Dokumen pada tiap tingkat pembicaraan draft qanun, mulai dari nota
pengantar, tanggapan umum, pembahasan dalam komisi, panitia khusus, tim kecil,
sampai persetujuan dan pengesahan. Risalah (notula) pada setiap pembahasan
merupakan sumber data yang penting.
3.
Kitab fiqh dan sumber lainnya yang dijadikan rujukan, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
4.
Para pihak, sebagai responden, yang terlibat langsung dalam proses
pengalihan substansi fiqh ke dalam qanun.
3. Pengumpulan Data
Secara rinci pengumpulan data dapat
dilakukan dengan cara kajian dokumen dan wawancara, melalui beberapa tahapan
sebagai berikut:
1.
Peneliti menentukan jenis data yang hendak dikumpulkan, yang merujuk
kepada unsur-unsur fokus penelitian sebagaimana dirinci dalam pertanyaan
penelitian.
2.
Peneliti menyusun jenis data lebih rinci. Misalnya, dalam unsur proses
transformasi dapat mencakup: pemilihan dan penentuan referensi (kitab fiqh)
yang digunakan, pembahasan terhadap substansi fiqh yang dialihkan, musyawarah
untuk menentukan substansi fiqh dialihkan (termasuk istilah yang digunakan),
dan seterusnya. Rincian unsur fokus tersebut dijadikan bahan dalam penyusunan
pertanyaan penelitian, baik yang “diajukan” kepada teks qanun dan fiqh maupun
kapada responden.
3.
Peneliti menginventarisasi isi teks qanun serta kelengkapan dokumen
lainnya (terutama risalah pada tahapan pembahasan draf qanun) sesuai dengan
jenis data yang dikumpulkan. Di samping itu, menyusun beberapa butir pertanyaan
yang tersusun dalam sebuah panduan wawancara sebagai pegangan peneliti untuk
dikembangkan dalam pelaksanaan wawancara dengan responden yang terlibat dalam
proses transformasi.
4.
Peneliti melakukan pengecekan terhadap dokumen yang akan diteliti, baik
berkenaan dengan otentisitas dokumen itu maupun kelengkapannya agar penelitian
dapat dilakukan dengan lancar dan datanya memadai. Di samping itu, peneliti
menghubungi responden untuk meminta kesediaan wawancara berkenaan dengan isi,
tempat dan waktu wawancara. Hal itu menjadi penting karena keberhasilan
wawancara sangat tergantung kepada kesediaan pelaku (penyelenggara negara)
untuk menyampaikan informasi dan pendapat yang akan dikumpulkan.
5.
Peneliti mengumpulkan data dengan cara memahami dan mencatat isi teks
qanun dan wawancara. Dalam mencatat isi teks qanun ada yang patut mendapat
perhatian peneliti. Teks itu menggunakan ragam bahasa hukum, yang memiliki
karakteristik tersendiri. Sementara itu, dalam kegiatan wawancara ada hal yang
patut mendapat perhatian peneliti, yakni kemampuan peneliti untuk menciptakan
situasi dalam mengembangkan isi wawancara; menimbulkan kepercayaan kepada
responden; dan memelihara hubungan baik antara peneliti dengan responden dengan
mengembangkan kemampuan empati.
6.
Peneliti mencatat isi naskah yang dibaca dan hasil wawancara yang
diperoleh. Pencatatan isi teks dan hasil wawancara cukup dibatasi pada hal-hal
yang dipandang penting. Sedangkan isi wawancara secara lengkap direkam dalam
alat perekam.
7.
Peneliti melakukan pengecekan terhadap hasil bacaan teks dan hasil
wawancara, yang dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, dilakukan pembacaan
ulang dan wawancara ulang apabila hasil bacaan dan wawancara belum memadai dan
ditemukan hal-hal yang belum jelas. Kedua, khusus bagi wawancara dilakukan kepada
responden berikutnya apabila kesamaan pandangan antar responden tampak dengan
nyata. Di samping itu, pengecekan dapat dilakukan terhadap bahan tertulis yang
dirujuk oleh responden.
8.
Peneliti menyalin hasil bacaan teks qanun dan hasil wawancara menjadi
bahasa tulisan, sesuai dengan apa yang tertera dalam teks dan ungkapan
responden. Salinan itu dicatat secara lengkap, kemudian dialihkan ke dalam
lembaran khusus yang diberi kode.
9.
Peneliti menyarikan isi catatan yang telah disalin ke dalam bahasa
tulisan menurut kosa kata dan gaya bahasa yang digunakan oleh peneliti. Dalam
proses ini diperlukan kehatihatian, terutama hasil wawancara yang dapat
disarikan. Pendapat disarikan sebagaimana adanya, terutama mengenai ungkapan
spesifik dalam konteks kebudayaan yang dianut oleh responden, rujukan yang
digunakan, dan ungkapan yang menggambarkan situasi wawancara dan situasi
sosial. Selain itu, peneliti agar menghindarkan diri untuk memberi komentar
atau penilaian terhadap hasil wawancara.
10.
Peneliti melakukan konfirmasi kepada responden terutama tentang sari
hasil wawancara. Konfirmasi ini dilakukan untuk memperoleh persetujuan
responden; dan menghidarkan kemencengan berdasarkan persepsi atau subjektivitas
peneliti.
11.
Peneliti mengklasifikasikan data sesuai dengan unsur fokus dan
pertanyaan penelitian yang diajukan. Hal itu dilakukan melalui seleksi terhadap
sari hasil kajian teks dan wawancara, mana yang layak digunakan dan mana yang
tidak layak digunakan. Kemudian, mana yang dipandang pokok, dan mana yang
dipandang penting, dan mana pula yang dipandang sebagai penunjang.
12.
Berdasarkan hasil klasifikasi data itu, dilakukan klasifikasi yang lebih
spesifik, yakni subkelas data sebagaimana hasil pengumpulan data.
4. Analisis Data
Tahapan pengumpulan data sebagaimana
diuraikan di atas, terutama dengan cara kajian teks dan wawancara, sebagian
telah memasuki bagian awal dari analisis data, yakni ketika dilakukan
klasifikasi data. Berkenaan dengan hal itu, pada tahap analisis data dilakukan
dengan melibatkan tahapan penelitian yang telah dilaksanakan. Secara umum
analisis data dilakukan dengan cara menghubungkan apa yang diperoleh dari suatu
proses kerja sejak awal. Ia ditujukan untuk memahami data yang terkumpul dari
sumber, untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan menggunakan kerangka
berpikir di atas. Atas perihal tersebut, disusun tahapan analisis data secara
terus menerus.
Merujuk kepada gambar tersebut, analisis
data dilakukan sejak pengumpulan data, dengan tahapan sebagaimana berikut ini.
Pertama, data yang telah terkumpul (Data 1) diedit dan diseleksi sesuai dengan
ragam pengumpulan data (kajian teks qanun dan wawancara), ragam sumber (qanun,
kitab fiqh, dan responden), dan pendekatan yang digunakan (kerangka berpikir),
untuk menjawab pertanyaan penelitian yang terkandung dalam fokus penelitian.
Oleh karena itu, terjadi reduksi data sehingga diperoleh data halus (Data 2).
Dalam proses itu, dilakukan konfirmasi dengan sumber data (Konfirmasi 1: teks;
Konfirmasi 2: responden).
Kedua, berdasarkah hasil kerja pada
tahapan pertama, dilakukan klasifikasi data: kelas data dan subkelas data. Hal
itu dilakukan dengan merujuk kepada pertanyaan penelitian dan unsur-unsur yang
terkandung dalam fokus penelitian.
Ketiga, data yang telah diklasifikasikan
diberi kode. Kemudian antar kelas data itu disusun dan dihubungkan dalam
konteks SPRP. Hubungan antar kelas data tersebut divisualisasikan dalam tabel
silang (matriks), atau diagram. Dengan cara demikian berbagai hubungan antar
data dapat dideskripsikan secara verbal, sehingga diperoleh kesatuan data yang
menggambarkan tentang transformasi fiqh.
Keempat, selanjutnya dilakukan
penafsiran data berdasarkan salah satu, atau lebih, pendekatan yang digunakan,
yakni: pendekatan yuridis (koherensi substansi qanun), pendekatan antropologis
(pemaknaan transformasi menurut responden), atau pendekatan sosiologis (pola
interaksi antar elite). Ketepatan pendekatan yang digunakan merujuk kepada
kerangka berpikir yang dijadikan kerangka analitis.
Kelima, berdasarkan hasil kerja pada
tahapan keempat dapat diperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian. Berdasarkan
hal itu, dapat ditarik simpulan internal, yang di dalamnya terkandung data baru
atau temuan penelitian (Data 3). Dalam proses itu dilakukan konfirmasi dengan
sumber data dan sumber lainnya (Konfirmasi 3: teks qanun dan fiqh; dan
Konfirmasi 4: responden).
Keenam, menghubungkan apa yang ditemukan
dalam penelitian ini dengan hasil penelitian tentang fokus serupa, yang pernah
dilakukan dalam konteks yang sama atau berbeda sebagaimana dapat ditemukan
dalam tinjauan pustaka Berdasarkan hal itu, dapat ditarik kesimpulan makro dari
penelitian tersebut. Dengan cara demikian, akan tampak makna dan posisi
penelitian dalam gugus penelitian yang tercakup dalam model penelitian
transformasi fiqh.
Rangkaian penelitian tentang
transformasi fiqh merupakan unsur penggerak dalam pengembangan ilmu. Oleh
karena itu, diharapkan, setiap kegiatan penelitian, terutama yang dilakukan
oleh para peneliti senior, menghasilkan gagasan baru atau teori baru, sebagai
peta pemikiran yang menjadi milik peneliti. Di samping itu, penelitian yang
dilakukan dapat dijadikan media untuk menguji model penelitian yang telah
disusun dan dirumuskan.
Daftar Pustaka
Abdurrahman Wahid. 1975. “Menjadikan
Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan”, dalam Prisma Nomor 4 Tahun VI, hlm.
53-62. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial.
al-Jawziyah, Ibn Qayyim. 1955. I‘lam
al-Muwāqi‘īn, Juz III. Qāhirah: al-Maktabah al-Tijāriyah.
Amak F. Z. 1976. Proses Undang-Undang
Perkawinan. Bandung: Al-Ma‘arif.
Anonimus. 1983. Code of Muslim Personal
Laws in Philippines. Manila: Ministry of Muslim Affairs.
________. 1999. Ketetapan-ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1999. Jakarta: Tamita
Utama.
Bagir Manan. 1994. “Mengkaji Ulang
Syari‘ah dan Hukum Menuju Pembangunan Hukum Nasional”, Makalah disampaikan
dalam Diskusi Panel Nasional tentang Mengkaji Ulang Syari‘ah dan Hukum Menuju
Pembentukan Hukum Nasional, tanggal 4 Juni 1994 di Malang. Kerjasama Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang dengan PP Ikatan Hakim Peradilan Agama.
Burhan Bungin (Editor). 2003. Analisis
Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah
Penguasaan Model Aplikasi, Cetakan Pertama. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Galanter, Marc. 1966. “The Modernization
of Law”, in Myron Weiner (Editor), Modernization: The Dynamic of Growth.
Washington D.C.: Voice of America Forum Lectures.
http://www.soas.
ac.uk./centres/islamiclaw/html.
Harahap, M. Yahya. 1999. “Informasi
Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”, dalam Cik
Hasan Bisri (Penyunting), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam
Sistem Hukum Nasional, Cetakan Kedua, hlm. 21-80. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Ija Suntana. 2009. 2009. Konsep
Pengelolaan Air Milik Publik menurut Hukum Islam: Analisis Hukum Pengairan
Islam terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Resume
Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung.
McIver, Robert M., and Page, Charles H.
1957. Society: An Introductory Analysis. New York: Rinehart and Company, Inc.
Muhammad Jawad Mughniyah. 1417/1996.
Fiqih Lima Madzhab (al-Fiqh ‘alā al-Madzāhib al-Khamsah).
Muhammad Siraj. “1993. Hukum Keluarga di
Mesir dan Pakistan”, dalam Heijer, Johannes den, dan Syamsul Anwar (Redaksi),
Islam, Negara dan Hukum, hlm. 97-116. Jakarta: Indonesian Netherlands
Coorporation in Islamic Studies.
Musthafa al-Siba‘i. 1386 H./1966 M.
al-Mar’ah bayn al-Fiqh wa al-Qānūn: Dirāsāt Syar‘iyah wa Qānūniyah wa
Ijtimā‘iyah, al-Thaba‘ah al-Tsāniyah. Damsyiq: al-Maktabah al-‘Arabiyah.
Neuman, W. Lawrence. 2000. Social
Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, Fourth Edition.
Boston: Allyn & Bacon.
Sudirman Tebba (Editor). 1993.
Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga
dan Pengkodifikasiannya, Cetakan Pertama. Bandung: Mizan.
Surin Pitsuan. 1989. Islam di Muangthai:
Nasionalisme Masyarakat Melayu di Patani (Diterjemahkan oleh Hasan Basari),
Cetakan Pertama. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi
dan Sosial.
Tahir Mahmood. 1972. Family Law Reform
in the Muslim World. New Delhi: The Indian Law Institute.
_____________. 1987. Personal Law in
Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis. New Delhi: Academy
of Law and Religion.
Tatang Astarudin. 2007. “Rekayasa Model
Pembuatan Peraturan Daerah Berbasis Syari‘at Islam”, dalam Cik Hasan Bisri
(Penyunting), Kontroversi Pelaksanaan Syari‘at Islam di Indonesia, hlm.
205-270. Naskah belum diterbitkan.
Teuku Mohammad Radhie. 1997.
“Pembangunan Hukum dalam Perspektif Kebijakan”, dalam Artidjo Alkotsar
(Editor). Identitas Hukum Nasional, hlm. 202-234, Cetakan Pertama. Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
[1] Ketika Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) memiliki wewenang untuk menetapkan
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), politik hukum dituangkan dalam GBHN
tersebut. Kini dituangkan dalam undang-undang.
[2] Kedudukan agama Islam dalam
konstitusi negara yang bersangkutan sangat bervariasi. Di Mesir (Pasal 2),
Islam sebagai agama negara dan menjadi sumber dasar legislasi adalah hukum
Islam (Islamic Jurisprudence). Di Indonesia (Pasal 29), negara berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, tanpa mengatur kedudukan agama. Di Turki (Pasal 2),
menganut negara sekuler tanpa diskriminasi agama.
[3] Di Indonesia, berdasarkan Ketetapan
MPR-RI Nomor III Tahun 2000 tata urut peraturan perundang-undangan adalah
sebagai berikit: (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Ketetapan MPR-RI; (3)
Undang-Undang; (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (5) Peraturan
Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; dan (7) Peraturan Daerah (Provinsi dan
Kabupaten/Kota). Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut: (1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2)
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); (3) Peraturan
Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; (5) Peraturan Daerah. Sementara itu
Peraturan Daerah terdiri atas: (1) Peraturan Daerah Provinsi; (2) Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota; (3) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat.
[4] Secara garis besar faktor determinan
yang bersifat konstan terhadap perubahan sosial adalah: (1) faktor kebudayaan:
lingkungan kebudayaan dan ideologi; (2) faktor pola interaksi: kepribadian,
orang besar, dan kekuasaan; (3) faktor alam fisik: lingkungan alam fisik dan
kependudukan. Sementara itu, faktor ekonomi merupakan relasi antara pola
interaksi dengan alam fisik berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan terhadap benda
(materi); dan faktor teknologi merupakan relasi antara unsur kebudayaan
(penerapan ilmu) dengan unsur pola interaksi dan unsur alam fisik, berkenaan
dengan kemudahan pemenuhan kebutuhan hidup (Lihat: McIver dan Page, 1957:
508-635; Remmling, 1976: 266-271; dan Selo Soemardjan, 1981: 304).
[5] Yang dimaksud dengan qanun dalam
tulisan ini, khusunya di Indonesia, ialah peraturan perundang-undangan
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sementara
itu, yang dimaksud dengan qanun dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
adalah Peraturan Daerah dalam lingkungan provinsi tersebut.
[6] Menurut Taufiq (2000: 16-24) dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hukum perkawinan yang berasal dari
madzhab Syafi‘i mencakup: pencatatan perkawinan, poligini (seorang pria beristeri
lebih dari seorang perempuan), umur perkawinan, perkawinan atas persetujuan
kedua belah pihak, pencegahan perkawinan, harta bersama dalam perkawinan, dan
alasan perceraian.
[7] Dalam penelitian ini, fokus
penelitian didefinisikan sebagai hubungan antar unsur dalam suatu kesatuan yang
terintegrasi. Hal ini lebih menekankan pada menelitian akademis dengan
menggunakan paradigma penelitian kualitatif. Sedangkan dalam penelitian
berparadigma kuantitatif, unsur-unsur tersebut dikenal sebagai variabel, yakni
variabel bebas, variabel antara, dan variabel terikat. Di samping itu, dalam
penelitian kebijakan, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai kesenjangan
antara “yang seharusnya” (das söllen) dengan “yang senyatanya” (das sein).
[8] Pembidangan fiqh yang yang disusun
dalam tulisan ini meliputi: a. fiqh ibadah, b. fiqh munakahah, c. fiqh
waratsah, d. fiqh muamalah, e. fiqh jinayah, f. fiqh siyasah, g. fiqh aqdhiyah.
[9] Menurut ketentuan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 materi peraturan perundang-undangan
mengandung asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan
dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
[10] Apabila Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dapat dipandang sebagai qanun, maka
sumber dan madzhabnya akan sangat mudah diketahui.
[11] Tatang Astaruddin (2007) ketika
melakukan penelitian Rekayasa Model Pembuatan Peraturan Daerah Berbasis
Syari‘at Islam menggunakan teori negara berdasar atas hukum (rechtstaat), teori
trias politica, dan konsep pembaharuan hukum.
[12] Perkembangan hukum dapat diartikan
sebagai perubahan hukum secara struktural dan kultural yang dinyatakan secara
kualitatif.
[13] Reformasi atau pembaruan hukum
dapat diartikan sebagai perubahan hukum dari struktural ke arah kultural, yang
didasarkan kepada nilai fundamental yang telah disepakati sebagaimana tersurat
dalam pembukaan konstitusi.
[14] Perspektif linier, dianut oleh
Comte, Spencer, Hobhouse, dan Mark. Sedangkan perspektif cyclical dianut oleh
Pareto, Sorokin, dan Toynbee (Lihat: Soerjono Soekanto, 1983: 17-21). Sementara
itu, Ibn Khaldun dapat diidentifikasi sebagai penganut perspektif cyclical.
[15] Kerangka berpikir ini pernah
diadaptasi dan diaplikasikan oleh Tatang Astarudin (2007: 222) dan Ija Suntana
(2009: 5). Tatang Astarudin melakukan penelitian tentang Rekayasa Model
Pembuatan Peraturan Daerah Berbasis Syari‘at Islam. Sedangkan Ija Suntana
melakukan penelitian untuk penyusunan disertasi tentang Konsep Pengelolaan Air
Milik Publik menurut Hukum Islam: Analisis Hukum Pengairan Islam terhadap
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
[16] Beberapa metode penafsiran teks
hukum yang berpeluang untuk digunakan adalah: metode penafsiran kebahasaan
(letterlijk), metode penafsiran ekstensif, metode penafsiran restriktif, metode
penafsiran teleologis, metode penafsiran otentik, dan metode penafsiran
sistematis.