KONSEP DASAR HUKUM ADAT
Konsep dasar hukum adat dapat ditelaah
dari pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu
penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Sehingga
dapat dikatakan bahwa adat merupakan pola tingkah laku kebiasaan suatu suku
bangsa. Namun demikian terdapat perbedaan pandangan diantara para ahli mengenai
konsep hukum adat. Diantaranya adalah:
a. Menurut Prof. Mr. C. van Vollenhoven
Hukum Adat adalah hukum yang tidak
bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda
dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan
sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu. Aturan-aturan tingkah laku bagi pribumi
dan Timur Asing yang di satu pihak
mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi
(maka dikatakan adat).
b. Menurut Mr. B. Ter Haar Bzn.
Hukum adat adalah aturan adat yang
mendapat sifat hukum melalui keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan
petugas hukum seperti kepala adat, hakim, dan lain-lain, baik di dalam maupun
di luar persengketaan. Ajaran dari Ter Haar ini terkenal dengan ajaran
keputusan (fungsionaris hukum).
c. Menurut Roelof van Dijk
Hukum adat adalah suatu istilah
untuk menunjukkan hukum yang tidak dikodifikasi dalam kalangan orang pribumi
dan Timur Asing. Lebih lanjut untuk membedakan antara peraturan-peraturan hukum
dari peraturan adat lainnya di pasang kata hukum di depan kata adat. Sehingga
hukum adat dan adat bergandengan erat.
d. Menurut Prof. Holleman
Hukum adat adalah norma-norma hukum
yang hidup yang disertai sanksi dan yang jika perlu dapat dipaksakan oleh
masyarakat atau badan-badan yang bersangkutan.
e. Menurut Mr. J.H.P. Bellefroid
Hukum adat adalah sebagai peraturan
hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh Penguasa tetapi dihormati dan
ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku
sebagai hukum.
f. Menurut Prof. Logemann
Hukum adat adalah norma-norma
pergaulan hidup bersama, yaitu peraturan-peraturan tingkah laku yang harus
diturut oleh segenap warga pergaulan hidup bersama itu. Norma-norma tersebut
mempunyai sanksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa norma yang memiliki sanksi
adalah norma hukum.
g. Menurut Mr. L.W.C. van den Berg
Berdasarkan teori receptio in
complexu, hukum adat adalah sama dengan hukum agama yang dianut oleh sekelompok
orang tertentu. Jadi tegasnya kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama
tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang
dipeluknya itu.
h. Menurut Mr. Is. H. Cassutto
Hukum adat adalah segenap
aturan-aturan yang dipengaruhi oleh magis dan animisme (pemujaan roh-roh luhur,
hukuman dari kekuatan-kekuatan gaib, dan sebagainya).
i. Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo
Hukum adat adalah adat yang telah
mendapatkan sifat (maupun bentuk) hukum melalui penetapan (existential moment)
yang dikeluarkan oleh para petugas hukum baik di dalam maupun di luar sengketa.
Pandangan Kusumadi ini sependapat dengan Ter Haar, tetapi tidak sepenuhnya
sama, karena menurut Kusumadi meskipun tidak mendapatkan sifat (dan bentuk
hukum) hukum melalui penetapan yang dikeluarkan oleh para fungsionaris hukum,
hukum adat tetaplah ada dan hidup di masyarakat.
j. Menurut Prof. Dr. Supomo S.H.
Hukum adat adalah hukum yang tidak
tertulis (unstatutary law) di dalam peraturan legislatif yang meliputi :
Hukum yang hidup sebagai konvensi di
badan-badan negara (parlemen, dewan
propinsi, dan sebagainya).
Hukum yang timbul karena putusan-putusan
hakim (judge made law).
Hukum yang hidup sebagai kebiasaan yang
dipertahankan dalam pergaulan baik di kota maupun desa (customary law).
k. Menurut Dr. Sukanto
Hukum adat adalah sebagai kompleks
adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan,
mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum.
l. Menurut Prof. M.M. Djojodigoeno
Hukum adat adalah hukum yang tidak
bersumber kepada peraturan-peraturan. Pokok pangkal hukum adat adalah
ugeran-ugeran dan timbul langsung sebagai pernyataan rasa keadilannya dalam
hubungan pamrih.
m. Menurut Prof. Dr. Hazairin
Hukum adat adalah perhubungan dan
persesuaian yang langsung antara hukum dan kesusilaan. Adat adalah endapan
kesusilaan dalam masyarakat dan mendapat pengakuan masyarakat. Meskipun
berbeda, tetapi kaidah hukum dan kaidah kesusilaan memiliki kaitan yang sangat
erat. Kaidah hukum juga memiliki unsur sanksi dan paksaan.
Demikianlah beberapa pendapat para
ahli mengenai hukum adat. Ada beberapa poin yang menjadi perbedaan tegas antara
pemahaman para ahli dari Barat dengan pemahaman para ahli nasional. Perbedaan
pemahaman yang paling menonjol adalah bagi pemikiran Barat hukum (termasuk
hukum adat) selalu identik dengan adanya sanksi. Sedangkan bagi pemikiran nasional,
meskipun ada juga beberapa ahli nasional yang menganut pemahaman sanksi, hukum
adat lebih bertitikberatkan pada keseimbangan. Di mana pada sistem masyarakat
yang paguyuban, hidup bersama secara komunal dengan diikat oleh adanya aturan
tingkah laku sangatlah lebih bermakna. Sedangkan unsur sanksi hanyalah sekadar
unsur penunjang dari adanya konsep keseimbangan tersebut, tetapi tetap bukan
unsur yang esensial.
Sebenarnya ada banyak perbedaan
pandangan antara pemahaman yang saya
pegang dengan pemahaman para ahli di atas. Namun untuk memudahkan penjelasan
saya ada baiknya jika sedikit dijelaskan tentang hukum sebagai norma sosial
yang hidup dan tumbuh di masyarakat. Pemahaman yang saya peroleh adalah
berdasarkan tulisan Prof. Dr. Peter Machmud, S.H., M.S., LL.M. dalam bukunya
Pengantar Ilmu Hukum (bab 2). Penjelasan dinamika hukum yang terdapat pada buku
beliau menurut saya sangat relevan jika dikaitkan dengan konsep hukum adat.
Dijelaskan bahwa:
1.
Hukum dalam
masyarakat primitif tumbuh melalui tuntutan individual dan kesadaran akan
perlunya aturan (opinio necessitatis) yang didasarkan pada praktik-praktik dan
pengalaman-pengalaman di masyarakat.
2.
Kesepakatan
bersama terhadap suatu aturan tingkah laku.
3.
Hasil kerjasama
masyarakat.
4.
Pandangan yang
sama terhadap garis kewenangan.
5.
Merupakan
perkembangan yang tidak disadari (proses muncul dan tumbuhnya aturan hukum).
Kelima hal di atas merupakan alasan
adanya hukum di masyarakat. Sebab kelima hal tersebut berkaitan dengan hak dan
kewajiban, jadi bukan sekedar kebiasaan. Jika dikaitkan dengan hukum adat, maka
kelima hal tersebut merupakan alasan adanya hukum adat di masyarakat tertentu.
Dalam hal konsep hukum adat,
menurut pemahaman saya adat adalah sama dengan kebiasaan dan hukum sama juga
pengertiannya dengan hukum adat. Sebab kata adat identik dengan pola kebiasaan
yang berakar pada karakter jiwa suatu suku bangsa. Pengertian kebiasaan lebih
ke arah praktik-praktik yang sedang terbentuk. Sedangkan definisi kebiasaan perbuatan-perbuatan
yang diulang-ulang tanpa adanya rasio yang digunakan dan berdasarkan keyakinan
(berkaitan dengan hal supranatural) bahwa perbuatan yang diulang-ulang itu
adalah baik. Tetapi seiring dengan perkembangan pengalaman-pengalaman dan
praktik-praktik yang ada, tiap-tiap anggota masyarakat memiliki pegangan norma
kebiasaan yang berbeda-beda. Sehingga apabila terjadi perselisihan antar
individu dalam satu komunal, maka penyelesaian melalui kebiasaan sangatlah
tidak efektif.
Karakter norma / aturan hukum dalam
masyarakat primitif (tetapi juga dalam masyarakat adat) adalah norma hukum
bersifat self enforcing dalam tiap anggota karena adanya sistem pembagian
fungsi yang pasti, dan sistem kewajiban timbal balik yang ketat dalam hidup
bermasyarakat.
Berangkat dari pemahaman saya di atas,
maka unsur yang sangat esensial dari hukum adalah aturan-aturan yang tumbuh dan
hidup di masyarakat haruslah diterima oleh segenap anggota dengan berdasarkan
tuntutan dan kesadaran akan perlunya aturan yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban agar memiliki kekuatan yang mengikat. Jadi bukanlah sanksi yang
dipahami oleh para ahli seperti van Vollenhoven, Holleman, Logemann, Soekanto,
dan Hazairin. Dalam hal ini sanksi hanyalah unsur tambahan saja untuk melindungi
hak dan kewajiban tiap anggota. Pemahaman mengenai hukum yang identik dengan
sanksi ini tentu berakar dari konsep aliran Positivis John Austin yang
mengatakan bahwa hukum adalah perintah penguasa dengan disertai sanksi. Ini
tentu pemahaman yang salah sebab hukum tidak identik dengan sanksi yang lebih
lekat dengan karakteristik hukum Pidana.
Sedangkan pemahaman teori fungsionaris
juga pada hakekatnya mengikuti pemahaman Positivis John Austin, yaitu pandangan
yang menyatakan bahwa hukum baru ada karena adanya masyarakat yang
terorganisasikan. Sebab jika berpedoman pada pemahaman ini, maka aturan tingkah
laku yang tidak dibuat oleh penguasa “formal” bukanlah hukum, tetapi hanya
sebatas aturan tingkah laku saja. Jadi jika dalam suatu masyarakat tidak dijumpai
adanya organisasi “formal” maka tidak dijumpai pula adanya hukum. Akibatnya
yang disebut hukum menurut pandangan semacam ini adalah suatu aturan yang
dibuat oleh mereka yang memang ditugasi untuk membuatnya meskipun dalam
bentuknya yang masih sederhana. Pandangan ini dianut oleh Ter Haar dan
Holleman, yang pada dasarnya berpandangan bahwa “…adalah aturan adat yang
mendapat sifat hukum melalui keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan
petugas hukum seperti kepala adat, hakim, dan lain-lain, baik di dalam maupun
di luar persengketaan.”
Sebenarnya yang menjadi hal esensial
adalah aturan-aturan yang hidup dan tumbuh di masyarakat adalah aturan-aturan
tersebut bersifat konsensus dan berdasarkan tuntutan individual dan kesadaran
akan pentingnya suatu aturan (opinio necessitatis). Sehingga aturan yang bersifat “formal” tidak
diperlukan selama anggota-anggota kelompok menyepakati aturan-aturan tingkah
laku yang benar. Jadi apakah aturan itu dibuat oleh penguasa “formal” ataukah
oleh masyarakat yang terbentuk karena praktik-praktik yang cukup panjang secara
esensial tidk berbeda. Keduanya merupakan aturan yang ditaati masyarakat. Dan
masalah adanya peraturan dan aturan tidak tertulis hanyalah terletak pada hal
teknis, tetapi tidak menggerus makna esensial dalam hukum.
Sedangkan masalah aturan hukum adat yang
tidak dikodifikasi maupun yang dikodifikasi seperti yang disinggung oleh para
ahli seperti Roelof van Dijk dan van Vollenhoven hanyalah sekadar masalah
teknis pula, yang tidak menjadi unsur esensial hukum, sehingga tidak terlalu
penting untuk dibicarakan.
Berkaitan dengan pemahaman van den Berg,
dengan teorinya receptio in complexu, bahwa hukum adat identik hukum agama yang
dianut pada masyarakat tertentu, juga menurut saya itu merupakan proses
akulturasi saja antara hukum adat dan hukum agama seperti yang terdapat pada
masyarakat Bali. Tetapi pada masyarakat Minangkabau teori receptio in complexu
van den Berg menjadi tidak berarti karena meskipun masyarakat Minang mayoritas
menganut agama Islam tetapi dalam praktik-praktik hukum sehari-hari tidaklah
identik / sama dengan hukum agama Islam. Persoalan akulturasi ini juga secara
pribadi tidak menjadi polemik, sebab persoalan hukum adat yang identik / sama
dengan hukum agama adalah soal substansi kaidah hukumnya saja dan tidak
menggerus makna yang esensial dari hukum.
Sedangkan persoalan mengenai hukum adat
adalah segenap aturan-aturan yang dipengaruhi oleh magis dan animisme (pemujaan
roh-roh luhur, hukuman dari kekuatan-kekuatan gaib, dan sebagainya) sebagaimana
yang diutarakan oleh Mr. Is. H. Cassutto, menurut saya itu adalah hal yang
salah. Sebab kesadaran hukum tiap-tiap anggota masyarakat tentu berdasarkan
pada rasio dan tuntutan individual yang sadar akan hak dan kewajiban. Jika
masih berkaian dengan hal-hal yang berbau magis dan animis, maka hal tersebut
tentu adalah pola-pola kebiasaan.
Secara keseluruhan, saya sependapat
dengan Mr. J.H.P. Bellefroid yang berpendapat bahwa hukum adat adalah sebagai
peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tetapi dihormati
dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut
berlaku sebagai hukum dan Prof. Dr. Supomo S.H. yang berpendapat bahwa hukum
adat adalah hukum yang hidup sebagai kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan
baik di kota maupun desa (customary law). Kedua pendapat tersebut menurut saya
adalah benar sebab bukanlah sanksi maupun perintah penguasa yang menjadi esensi
hukum, tetapi kesepakatan bersama dan ditaati oleh tiap anggota yang
berdasarkan pada rasio dan kesadaran akan hak dan kewajiban. Meskipun pada
pemahaman Soepomo konvensi (asas-asas umum peraturan yang baik) merupakan hukum
adat. Hal itu adalah salah besar. Sebab asas-asas umum peraturan yang baik
merupakan pedoman-pedoman dalam jalannya pemerintahan yang tidak tertulis.
Demikian juga saya setuju dengan
pendapat Prof. M.M. Djojodigoeno, bahwa pokok pangkal hukum adat adalah
ugeran-ugeran dan timbul langsung sebagai pernyataan rasa keadilannya dalam
hubungan pamrih. Aturan yang berdasarkan kesepakatan bersama tentu saja
berdasarkan rasa keadilan dalam tiap-tiap anggota masyarakat. Hubungan pamrih
yang dimaksud juga berkaitan dengan hubungan hukum dan hak dan kewajiban,
seperti sewa menyewa misalkan.
Sedangkan menurut Prof. Kusumadi
Pudjosewojo yang sependapat dengan Ter Haar bahwa hukum adat adalah adat yang
telah mendapatkan sifat (maupun bentuk) hukum melalui penetapan (existential
moment) yang dikeluarkan oleh para petugas hukum baik di dalam maupun di luar
sengketa, meskipun tidak sepenuhnya sama, karena menurut Kusumadi meskipun
tidak mendapatkan sifat (dan bentuk hukum) hukum melalui penetapan yang
dikeluarkan oleh para fungsionaris hukum, hukum adat tetaplah ada dan hidup di
masyarakat. Pendapat Kusumadi pun saya sependapat. Sebab persoalan adanya
penetapan atau tidak dari yang berwenang merupakan persoalan teknis formal
saja, tetapi yang terpenting adalah ada atau tidaknya penetapan dari yang
berwenang, aturan hukum tetaplah ditaati oleh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...