Selasa, 25 Juni 2013

Etnosains dan Etnometodologi

REVIEW Etnosains dan Etnometodologi Sebuah Perbandingan, Heddy Shri Ahimsa-Putra, Jurnal Masyarakat Indonesia, Jilid XII Nomor 2, 1985, LIPI

Ada dua aliran baru yang berkembang akhir – akhir ini dalam ilmu sosial yaitu etnosains atau yang biasa disebut etnografi baru dan etnometodologi. Perbedaan mendasar adalah bahwa etnosains muncul dari antropologi sedangkan etnometodologi muncul dari sosiologi. Secara tulisan, ada kesamaan dan perbedaan antara dua aliran tersebut. Persamaannya adalah “etno” yang merujuk pada pengertian “folk” (hal. 104). Arti dari “folk” tersebut adalah peneliti mencoba melihat gejala sosial tidak dari dirinya sebaga objek yang bebas nilai melainkan dari orang – orang terlibat di dalam gejala sosial tersebut. Sedangkan perbedaan keduanya dapat dilihat dari perbedaan “sains” dan “metodologi”. Sains memiliki kecenderungan pada sesuatu yang “saklek”, sudah jadi, sedangkan metodologi lebih mengingatkan pada tatacara, metode yang oleh Ahimsa-Putra dianggap memiliki konotasi aktif.

Etnosains
Berbicara mengenai etnosains, Ahimsa-Putra merujuk pada tujuan akhir antropolog yang dirumuskan oleh Malinowski mengenai pemahaman sudut pandang dari masyarakat pribumi. Ahimsa-Putra juga menilai penting dari rumusan Goodenough mengenai tiga masalah pokok dari etnosains, yaitu (1) perbedaan data yang disebabkan karena perbedaan minat dari antropolog (2) sifat data, dan (3) tentang klarifikasi data. Hal ini menyebabkan yang menurut Ahimsa-Putra yang lagi – lagi juga sepakat pada pemikiran Goodenough dengan memakai model linguistik. Pada linguistik dikenal dua cara penulisan bunyi, yaitu fonemik (emik) dan fonetik (etik). Fonemik adalah menggunakan cara penulisan bunyi bahasa menurut cara yang digunakan oleh si pemakai bahasa sedangkan fonetik berlaku sebaliknya (hal. 106).
Penggunaan metode linguistik ini tidak terlepas dari definisi kebudayaan sebagai suatu sistem pengetahuan atau sistem ide. Makna yang diberikan oleh pendukung kebudayaan memiliki posisi penting dalam pemahaman mengenai sudut pandang kebudayaan yang diteliti. Hal inilah yang menurut Malinowski dalam penelitian lapangan, antropolog haruslah menguasai bahasa setempat. Keharusan ini bukanlah semata  – mata agar mmudahkan transfer arus informasi antara peneliti dengan objeknya, melainkan lebih dalam yaitu adanya asumsi bahwa jalan yang paling mudah untuk sampai pada sistem pengetahuan suatu masyarakat yang berisi klasifikasi –klasifikasi, aturan – aturan, prinsip – prinsip, dan sebagainya adalah melalui bahasa (hal. 107). Lebih lanjut, Ahimsa-Putra mencoba merumuskan apa yang dikatakan Malinowski tentang pentingnya menguasai bahasa objek penelitian adalah untuk merumuskan pertanyaan berdasar kerangka berpikir mereka (objek penelitian).
Ahimsa-Putra merumuskan ada tiga kelompok yang secara langsung berimplikasi dengan masalah – masalah antropologi, yaitu (1) mereka yang berpendapat bahwa kebudayaan adalah “forms of things that people have in mind”. Di sini antropolog berusaha untuk menyingkapkan suatu struktur yang dipakai untuk mengklasifikasikan berbagai gejala atau lingkungan. (2) kelompok yang mengarahkan perhatiannya pada bidang aturan. Tujuan antropolog pada bidang ini tidak hanya mencari prinsip klasifikasi yang ada di dalam masyarakat tetapi juga klasifikasi – klasifikasi yang erat kaitannya yang dipakai dalam interaksi sosial. (3) kelompok ini menggunakan definisi kebudayaan adalah sarana yang dipakai untuk menafsirkan berbagai gejala yang ditemui.ahimsa-Putra memasukkan Spradley sebagai contoh anggota kelompok yang ketiga ini. Hal ini sesuai bahwa prinsip – prinsip kebudayaan dicari melalui pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal (hal. 108 – 109). Ketiga hal inilah yang disebut sebagai wujud aliran etnosains. Etnosains sendiri memiliki banyak “nama lain”, seperti etnografi baru, antropologi kognitif, etnografi semantik, dan “Descriptive Semantics”.

Etnometodologi
Sebelum masuk ke dalam etnometodologi itu sendiri, Ahimsa-Putra menarik benang merah historis darimana aliran ini berawal. Adalah Husserl yang dengan pendekatan filsafat fenomenologinya mengemukakan bahwa kesadaran adalah pusat perhatian dari konsep – konsep dalam fenomenologi. Pada dasarnya menurut Ahimsa-Putra, fenomenologi adalah upaya untuk menggambarkan kesadaran manusia serta bagaimana kesaradan itu terbentuk (hal. 111). Lebih dari itu, oleh Husserl kesadaran diartikan sebagai kesadaran atas sesuatu hal. Ada dua aspek yang saling melengkapi, yaitu proses sadar (cogito) dan objek dari kesadaran itu sendiri (cogitatum) (hal. 111). Hal ini menumbuhkan maksud yang akan menjadi makna terhadap objek yang dihadapi. Selain dari fenomenologi, konsep Husserl yang lain yang menjadi salah satu dasar dari etnometodologi adalah natural attitude. Konsep ini menyatakan bahwa Ego yang berada pada situasi tertentu biasanya menggunakan penalaran yang sifatnya praktis, seperti dalam kehidupan sehari – hari Ego tersebut tidak lagi memertanyakan lagi secara mendetail apa yang ada di sekitarnya (hal. 112).
Tokoh lain yang berperan dalam hadirnya metodologi adalah Alfred Schultz (salah seorang murid Husserl). Melalui pendalaman konsep intersubyektivitas yang menurutnya adanya timbal balik perspektif yang di dalamanya terdapat dua macam idealisasi yaitu (1) interchangability of view points (2) congruence of system of relevances. Shultz mengemukakan bahwa dalam interaksi sosial di mana si pelaku harus mendefinisikan situasi yang dihadapi, masing – masing pihak juga melakukan typification. Pada etnosains, konsep typification ini lebih dikenal dengan pengklasifikasian.
Adalah Harold Garfinkel yang mengenalkan pendekatan etnometodologi pada dunia. Pendekatan Garfinkel lebih ditekankan pada mempersoalkan hal – hal yang biasanya tidak dianggap sebagai persoalan oleh orang – orang dalam kehidupan sehari – hari mereka, atau hal – hal yang sudah sebagaimana adanya yang membuat mereka memahami dunia mereka (hal. 114). Garfinkel mengemukakan dua definisi etnometodologi (1) pandangan bahwa kegiatan – kegiatan interaksi sehari – hari memiliki sifat sestematis dan terorganisir bagi orang – orang yang terlibat di dalamnya (2) perbedaan antara ekspresi yang sifatnya objektif dan indeksikal. Ekspresi indeksikal menggambarkan objek – objek menurut kekhususan dan keunikannya sedangkan ekspresi objektif menggambarkan properti umum dari objek tersebut (hal. 115).
Dilihat dari definisi pertama yang diajukan Garfinkel bahwa adanya kesadaran dalam proses terjadinya interaksi sosial. Sehingga dapat dirumuskan bahwa tujuan etnometodologi adalah mencari dasar – dasar yang mendukung terwujudnya interaksi sosial. Seperti etnosains, etnometodologi juga memperhatikan bahasa para pelaku (objek penelitian). Bahasa yang diperhatikan adalah bahasa yang alami yang ada di keadaan tertentu lalu dianalisis. Perbedaannya dengan etnosains seperti yang dikatakan Phillipson adalah terletak pada mutual processes of reality negotiating constructions and maintenance sedangkan pada etnosains leih untuk merumuskan peta kognitif dari suatu masyarakat yang terwujud dari bahasa mereka (hal. 116).

Data dan Analisis
Pada bab data dan analisis ini, Ahimsa-Putra memberikan model data berupa percakapan orang – orang perosok. Dari data ini dilakukan analisis dengan tiga pendekatan etnosains dan pendekatan etnometodologi. Dalam pendekatan pertama etnosains, Ahimsa-Putra memberikan analisis bahwa hal yang dilakukan peneliti dengan pendekatan pertama etnosains akan lebih mengarahkan pada istilah – ustilah dan melakukan pengklasifikasian. Pada pendekatan kedua etnosains, hal yang dilakukan adalah melukiskan aturan – aturan yang berlaku dalam kehidupan perosok itu. Sendangkan pada pendekatan ketiga dalam etnosains adalah bentuk lebih kompleks dari pendekatan pertama yaitu klasifikasi. Klasifikasi yang dilakukan lebih banyak dan berusaha mendapatkan tema budaya dari percakapan tersebut. Pada pendekatan etnometodologi, Ahimsa-Putra memberikan gambaran bahwa kekuatan penelitian terdapat dalam bahasa yang di dalamnya terselip asumsi bahwa bahasa merupakan sarana yang paling pokok dalam membangun intersubyektivitas dan mengkomunikasikan kenyataan – kenyataan sosial dan makna -  makna yang ada pada masing – masing pelaku (hal. 123)

Perbandingan
Bab ini lebih banyak membahas persamaan etnosains dengan etno-metodologi. Persamaan itu berupa (1) sama – sama menggunakan data “bahasa” atas pernyataan orang – orang yang diteliti sebagai bahan analisis (2) terlibat pada masalah relativisme budaya, bahwa tidak ada budaya yang lebih tinggi dari kebudayaan lainnya (3) berusaha mendapatkan aturan – aturan yang mendasari tingkah laku manusia (4) asumsi bahwa pada dasarnya manusia selalu memberikan makna terhadap gejala sosial yang dihadapi (hal. 126 – 128). Sedangkan perbedaannya, menurut Ahimsa-Putra tidak dibahas karena sudah diterangkan secara jelas pada bab – bab sebelumnya. Hanya saja, Ahimsa- Putra memberikan penekanan dalam aspek kognitif pada etnosains yang dinilainya lebih akrab dengan antropologi bahwa cara pandang peneliti haruslah disamakan denga sudut pandang dari objek yang diteliti.

Berdasarkan pengamatan pada tulisan Ahimsa-Putra tersebut, saya melihat tulisan ini malalui pembandingan etnometodologi dan etnosains merupakan kritik terhadap pembangunan yang dilakukan oleh orde baru pada masa itu (tahun 1985 tulisan ini dirilis), bahwa pembangunan itu tidak bisa diseragamkan. Hal ini dilihat pada pendapatnya di bab perbandingan. Selain itu, dari segi pemilihan kata, tulisan ini cukup mudah untuk dipahami dan ditelaah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...