REVIEW Etnosains dan Etnometodologi
Sebuah Perbandingan, Heddy Shri Ahimsa-Putra, Jurnal Masyarakat Indonesia,
Jilid XII Nomor 2, 1985, LIPI
Ada dua aliran baru yang berkembang
akhir – akhir ini dalam ilmu sosial yaitu etnosains atau yang biasa disebut etnografi
baru dan etnometodologi. Perbedaan mendasar adalah bahwa etnosains muncul dari
antropologi sedangkan etnometodologi muncul dari sosiologi. Secara tulisan, ada
kesamaan dan perbedaan antara dua aliran tersebut. Persamaannya adalah “etno”
yang merujuk pada pengertian “folk” (hal. 104). Arti dari “folk” tersebut
adalah peneliti mencoba melihat gejala sosial tidak dari dirinya sebaga objek
yang bebas nilai melainkan dari orang – orang terlibat di dalam gejala sosial
tersebut. Sedangkan perbedaan keduanya dapat dilihat dari perbedaan “sains” dan
“metodologi”. Sains memiliki kecenderungan pada sesuatu yang “saklek”, sudah
jadi, sedangkan metodologi lebih mengingatkan pada tatacara, metode yang oleh
Ahimsa-Putra dianggap memiliki konotasi aktif.
Etnosains
Berbicara mengenai etnosains,
Ahimsa-Putra merujuk pada tujuan akhir antropolog yang dirumuskan oleh
Malinowski mengenai pemahaman sudut pandang dari masyarakat pribumi.
Ahimsa-Putra juga menilai penting dari rumusan Goodenough mengenai tiga masalah
pokok dari etnosains, yaitu (1) perbedaan data yang disebabkan karena perbedaan
minat dari antropolog (2) sifat data, dan (3) tentang klarifikasi data. Hal ini
menyebabkan yang menurut Ahimsa-Putra yang lagi – lagi juga sepakat pada
pemikiran Goodenough dengan memakai model linguistik. Pada linguistik dikenal
dua cara penulisan bunyi, yaitu fonemik (emik) dan fonetik (etik). Fonemik
adalah menggunakan cara penulisan bunyi bahasa menurut cara yang digunakan oleh
si pemakai bahasa sedangkan fonetik berlaku sebaliknya (hal. 106).
Penggunaan metode linguistik ini tidak
terlepas dari definisi kebudayaan sebagai suatu sistem pengetahuan atau sistem
ide. Makna yang diberikan oleh pendukung kebudayaan memiliki posisi penting
dalam pemahaman mengenai sudut pandang kebudayaan yang diteliti. Hal inilah
yang menurut Malinowski dalam penelitian lapangan, antropolog haruslah
menguasai bahasa setempat. Keharusan ini bukanlah semata – mata agar mmudahkan transfer arus informasi
antara peneliti dengan objeknya, melainkan lebih dalam yaitu adanya asumsi
bahwa jalan yang paling mudah untuk sampai pada sistem pengetahuan suatu
masyarakat yang berisi klasifikasi –klasifikasi, aturan – aturan, prinsip –
prinsip, dan sebagainya adalah melalui bahasa (hal. 107). Lebih lanjut, Ahimsa-Putra
mencoba merumuskan apa yang dikatakan Malinowski tentang pentingnya menguasai
bahasa objek penelitian adalah untuk merumuskan pertanyaan berdasar kerangka
berpikir mereka (objek penelitian).
Ahimsa-Putra merumuskan ada tiga
kelompok yang secara langsung berimplikasi dengan masalah – masalah
antropologi, yaitu (1) mereka yang berpendapat bahwa kebudayaan adalah “forms
of things that people have in mind”. Di sini antropolog berusaha untuk
menyingkapkan suatu struktur yang dipakai untuk mengklasifikasikan berbagai
gejala atau lingkungan. (2) kelompok yang mengarahkan perhatiannya pada bidang
aturan. Tujuan antropolog pada bidang ini tidak hanya mencari prinsip
klasifikasi yang ada di dalam masyarakat tetapi juga klasifikasi – klasifikasi
yang erat kaitannya yang dipakai dalam interaksi sosial. (3) kelompok ini
menggunakan definisi kebudayaan adalah sarana yang dipakai untuk menafsirkan
berbagai gejala yang ditemui.ahimsa-Putra memasukkan Spradley sebagai contoh
anggota kelompok yang ketiga ini. Hal ini sesuai bahwa prinsip – prinsip
kebudayaan dicari melalui pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal (hal. 108
– 109). Ketiga hal inilah yang disebut sebagai wujud aliran etnosains.
Etnosains sendiri memiliki banyak “nama lain”, seperti etnografi baru, antropologi
kognitif, etnografi semantik, dan “Descriptive Semantics”.
Etnometodologi
Sebelum masuk ke dalam etnometodologi
itu sendiri, Ahimsa-Putra menarik benang merah historis darimana aliran ini
berawal. Adalah Husserl yang dengan pendekatan filsafat fenomenologinya
mengemukakan bahwa kesadaran adalah pusat perhatian dari konsep – konsep dalam
fenomenologi. Pada dasarnya menurut Ahimsa-Putra, fenomenologi adalah upaya
untuk menggambarkan kesadaran manusia serta bagaimana kesaradan itu terbentuk
(hal. 111). Lebih dari itu, oleh Husserl kesadaran diartikan sebagai kesadaran
atas sesuatu hal. Ada dua aspek yang saling melengkapi, yaitu proses sadar
(cogito) dan objek dari kesadaran itu sendiri (cogitatum) (hal. 111). Hal ini
menumbuhkan maksud yang akan menjadi makna terhadap objek yang dihadapi. Selain
dari fenomenologi, konsep Husserl yang lain yang menjadi salah satu dasar dari
etnometodologi adalah natural attitude. Konsep ini menyatakan bahwa Ego yang
berada pada situasi tertentu biasanya menggunakan penalaran yang sifatnya
praktis, seperti dalam kehidupan sehari – hari Ego tersebut tidak lagi
memertanyakan lagi secara mendetail apa yang ada di sekitarnya (hal. 112).
Tokoh lain yang berperan dalam hadirnya
metodologi adalah Alfred Schultz (salah seorang murid Husserl). Melalui
pendalaman konsep intersubyektivitas yang menurutnya adanya timbal balik
perspektif yang di dalamanya terdapat dua macam idealisasi yaitu (1)
interchangability of view points (2) congruence of system of relevances. Shultz
mengemukakan bahwa dalam interaksi sosial di mana si pelaku harus
mendefinisikan situasi yang dihadapi, masing – masing pihak juga melakukan
typification. Pada etnosains, konsep typification ini lebih dikenal dengan
pengklasifikasian.
Adalah Harold Garfinkel yang mengenalkan
pendekatan etnometodologi pada dunia. Pendekatan Garfinkel lebih ditekankan
pada mempersoalkan hal – hal yang biasanya tidak dianggap sebagai persoalan
oleh orang – orang dalam kehidupan sehari – hari mereka, atau hal – hal yang
sudah sebagaimana adanya yang membuat mereka memahami dunia mereka (hal. 114).
Garfinkel mengemukakan dua definisi etnometodologi (1) pandangan bahwa kegiatan
– kegiatan interaksi sehari – hari memiliki sifat sestematis dan terorganisir
bagi orang – orang yang terlibat di dalamnya (2) perbedaan antara ekspresi yang
sifatnya objektif dan indeksikal. Ekspresi indeksikal menggambarkan objek –
objek menurut kekhususan dan keunikannya sedangkan ekspresi objektif
menggambarkan properti umum dari objek tersebut (hal. 115).
Dilihat dari definisi pertama yang
diajukan Garfinkel bahwa adanya kesadaran dalam proses terjadinya interaksi
sosial. Sehingga dapat dirumuskan bahwa tujuan etnometodologi adalah mencari
dasar – dasar yang mendukung terwujudnya interaksi sosial. Seperti etnosains,
etnometodologi juga memperhatikan bahasa para pelaku (objek penelitian). Bahasa
yang diperhatikan adalah bahasa yang alami yang ada di keadaan tertentu lalu
dianalisis. Perbedaannya dengan etnosains seperti yang dikatakan Phillipson
adalah terletak pada mutual processes of reality negotiating constructions and
maintenance sedangkan pada etnosains leih untuk merumuskan peta kognitif dari
suatu masyarakat yang terwujud dari bahasa mereka (hal. 116).
Data dan Analisis
Pada bab data dan analisis ini, Ahimsa-Putra
memberikan model data berupa percakapan orang – orang perosok. Dari data ini
dilakukan analisis dengan tiga pendekatan etnosains dan pendekatan
etnometodologi. Dalam pendekatan pertama etnosains, Ahimsa-Putra memberikan
analisis bahwa hal yang dilakukan peneliti dengan pendekatan pertama etnosains
akan lebih mengarahkan pada istilah – ustilah dan melakukan pengklasifikasian.
Pada pendekatan kedua etnosains, hal yang dilakukan adalah melukiskan aturan –
aturan yang berlaku dalam kehidupan perosok itu. Sendangkan pada pendekatan
ketiga dalam etnosains adalah bentuk lebih kompleks dari pendekatan pertama
yaitu klasifikasi. Klasifikasi yang dilakukan lebih banyak dan berusaha
mendapatkan tema budaya dari percakapan tersebut. Pada pendekatan etnometodologi,
Ahimsa-Putra memberikan gambaran bahwa kekuatan penelitian terdapat dalam
bahasa yang di dalamnya terselip asumsi bahwa bahasa merupakan sarana yang
paling pokok dalam membangun intersubyektivitas dan mengkomunikasikan kenyataan
– kenyataan sosial dan makna - makna
yang ada pada masing – masing pelaku (hal. 123)
Perbandingan
Bab ini lebih banyak membahas persamaan
etnosains dengan etno-metodologi. Persamaan itu berupa (1) sama – sama
menggunakan data “bahasa” atas pernyataan orang – orang yang diteliti sebagai
bahan analisis (2) terlibat pada masalah relativisme budaya, bahwa tidak ada
budaya yang lebih tinggi dari kebudayaan lainnya (3) berusaha mendapatkan
aturan – aturan yang mendasari tingkah laku manusia (4) asumsi bahwa pada
dasarnya manusia selalu memberikan makna terhadap gejala sosial yang dihadapi
(hal. 126 – 128). Sedangkan perbedaannya, menurut Ahimsa-Putra tidak dibahas
karena sudah diterangkan secara jelas pada bab – bab sebelumnya. Hanya saja,
Ahimsa- Putra memberikan penekanan dalam aspek kognitif pada etnosains yang
dinilainya lebih akrab dengan antropologi bahwa cara pandang peneliti haruslah
disamakan denga sudut pandang dari objek yang diteliti.
Berdasarkan pengamatan pada tulisan
Ahimsa-Putra tersebut, saya melihat tulisan ini malalui pembandingan
etnometodologi dan etnosains merupakan kritik terhadap pembangunan yang
dilakukan oleh orde baru pada masa itu (tahun 1985 tulisan ini dirilis), bahwa
pembangunan itu tidak bisa diseragamkan. Hal ini dilihat pada pendapatnya di bab
perbandingan. Selain itu, dari segi pemilihan kata, tulisan ini cukup mudah
untuk dipahami dan ditelaah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...