Oleh: DR. Munir dan DR. Ramdhan
Sumber yang diriwayatkan Musṭafa al-Saqa dan Sayyid ‘Abdul Maqṣud,[1] memberikan keterangan bahwa al-Mawardi hidup pada masa peradaban Islam mencapai puncak
keemasannya (fî azhâr al-Suhûr al-Ṡaqâfaṫ al-Islâmiyyaṫ). Ketika Daulah ‘Abbasiyaṫ mencapai derajat yang
tinggi dalam kemajuan ilmu pengetahuan (Darâjaṫ al-‘A1iyyaṫ fî Ruqqi al-‘Ilm,), melahirkan ulama, dan cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu dan
sebagai transformator ilmu-ilmu klasik.[2]
Al-Mawardi
merupakan seorang pemikir Islam, fȃqîh dan ḥâfiẓ terbesar mażhab Šafi‘i,
pakar politik pemerintahan ‘Abbasiyaṫ, cendekiawan dalam berbagai cabang
keilmuan, pemikirannya obyektif, metodologi ilmu yang akurat, dan mewariskan
kepada umat Islam karya-karya master-piece sebagai bagian dari akumulasi
peradaban Islam.
Riwayat
ini dapat membuktikan kualitas intelektual dan religius al-Mawardi yang diperoleh sebagai hasil dari fase-fase pendidikan, baik pada tingkat
dasar maupun level tertinggi semasa hidupnya. Selain itu, aktivitas dan
mobilitas al-Mawardi ikut mendukung dalam membentuk kepribadiannya
sebagai seorang ulama sekaligus cendekiawan dalam subyek keilmuan yang beragam.
Berdasarkan
literatur-literatur klasik dan modern,[3] al-Mawardi menerima pendidikan dasar di Baṣraṫ. Ia belajar ḥadiṡ kepada ulama-ulama terkemuka waktu itu, antara
lain, al-Hasan Ibn Ali bin Muhammad al-Jaballi (Sahabat ‘Abu Ḣalifaṫ al-Faḍl
Ibn Ḥubab al-Jahmi al-Muhaddiṡ al-Lugawi), Muhammad Ibn ‘Adiy bin Zuhar
al-Muqri, Muhammad Ibn al-Ma‘ala al-Azdi, Ja‘far Ibn Muhammad Ibn al-Faḍil al-Bagdadi,
dan belajar fiqh kepada ‘Abu al-Qasim ‘Abd al-Wahid Ibn Muhammad al-Ṣaimiri
al-Qaḍi, seorang faqih terkemuka Mażhab Šafi‘i.
Dalam
literatur-literatur tersebut tidak dijelaskan secara rinci masa al-Mawardi menerima pendidikan pada level dasar di Baṣrah. Riwayat
ini didukung oleh catatan Muṣṭafa a1-Saqa dan Sayyid ‘Abd. Al-Maqsud,’[4] al-Mawardi beberapa tahun kemudian bersama dengan orang tuanya pindah ke Bagdad dan
di sana ia dibesarkan. Al-Mawardi kemudian
melanjutkan studinya pada level tertinggi di Bagdad yang saat itu sebagai pusat
kajian ilmu pengetahuan dan filsafat, khususnya,
bidang fiqh kepada ‘Abu Ḥamid ’Ahmad bin Abi Ṭahir al-Isfiraini (w. 406 H).[5]
Riwayat
lain berasal dari Jamil ’Ahmad,[6] al-Mawardi pindah ke Bagdad
untuk melanjutkan studi hukum,
tata bahasa, dan kesusasteraan kepada ‘Abdullah al-Baqi dan al-Isfiraini. Materi-materi kuliah yang diberikan oleh gurunya itu dalam waktu
singkat telah dikuasai oleh a1-Mawardi mencakup bidang ḥadiṡ , fiqh, politik, etika, dan sastera.
Sumber
lain berasal dan Harun Nasution,[7] studi lanjut al-Mawardi di
Bagdad untuk belajar kepada ulama-ulama terkemuka dalam kurikulum ilmu-ilmu
agama, seperti al-Hasan Ibn ’Abu al-Ḥambali, Muhammad lbn
al-Ma‘alIa al-’Azdi, Ja‘far Ibn Muhammad Ibn al-Faḍal al-Bagdadi, dan Abu Ḥamid al-Isfiraini.
Literatur
terlengkap yang memberikan riwayat tentang guru-guru Al-Mawardi tersebar dalam
sumber-sumber sejarah klasik yang memuat biografi para tokoh yang dikumpulkan ‘Abdul
Maqsud[8] dengan subyek yang dipelajari
al-Mawardi, yaitu:
1) Belajar Fiqh dan
Uṣȗl Fiqh kepada ‘Abu al-Qasi ‘Abdul
Wahid bin Ḥusain al-Baṣri a1-Ṣaimiri (w. 386 H).
2) Belajar Fiqh kepada
‘Abu Hamid Ahmad bin Muhammad Ibn Ahmad al-Isfiraini (w. 406 H).
3) Belajar Fiqh kepada
‘Abdullah Muhammad Al-Bukhari, al-Syaikh al-imȃm
‘Abu Muhammad a1-Baqi‘ (w. 398 H).
4) Belajar Ḥadiṡ kepada al-Hasan Ibn Ali Ibn Muhammad
aJ-Jabali.
5) Belajar Ḥadiṡ kepada Ja’far Ibn Muhammad al-Faḍl Ibn ‘Abdillah ‘Abu al-Qasim al-Daqaq al-Maristani a1-Bagdadi (w. 387
H).
6) Belajar Ḥadiṡ kepada Muhammad Ibn Adly Ibn Zuhr al-Munqari.
7) Belajar al-‘Ulum
a1-‘Arbiyyaṫ kepada Muhammad Ibn al-Ma‘aIla Ibn ‘Ubaidillah, ’Abu
‘Abdillah a1-Asadi al-Azdi al-Nahwi al-Lugawi.
Perlu dicatat, Al-Mawardi belajar fiqh kepada
al-Isfiraini. Di antara guru-gurunya yang lain, al-Isfiraini inilah yang amat berpengaruh pada diri al-Mawardi. Riwayat dari As-Subḥi, lbn Jawzi, dan Ḣatib Bagdad[9] memberikan catatan bahwa al-Isfiraini adalah
seorang Hafiẓ ala-Mażhab a1-Šafi‘i wa Imâmih. Pada gurunya tersebut, al-Mawardi
mendalami mażhab Šafi‘i dalam kuliah rutin yang diselenggarakan di
sebuah masjid terkenal, Masjid ‘Abdullah Ibn Mubarok di Bagdad.[10]
Literatur
yang berasal dari Ibn ‘Aṡîr[11] meriwayatkan bahwa al-Isfiraini, seorang Imâm Aṣhab
Šafi‘i memberikan kuliah rutin di
Masjid ‘Abdullah Ibn Mubarak dengan seke1ompok fuqaha dan dihadiri oleh
400 mahasiswa. Bahkan, menurut Ahmad Salabi, [12] perkuliahan ‘Abu Ḥamid al-Isfiraini dihadiri
antara 300 sampai 700 mahasiswa.
Dalam
sejarah pendidlikan Islam, pendidikan pada tingkat dasar berlangsung dalam kuttab[13] dengan sejumlah kurikulum yang diajarkan.[14] Kemudian melanjutkan pada pendidikan level tertinggi
di ḥalaqaṫ-ḥalaqaṫ[15] dalam masjid, sampai ia sendiri menguasai subyek
kurikulum tertentu lalu menjadi Šaiḣ dan membuka halaqahnya sendiri.
Biasanya,
pendidikan tingkat tinggi ini yang menentukan kualitas dan mobilitas
intelektual ulama dalam memperoleh popularitas. Sehingga tidak mengherankan,
demikian Ḥasan Aš‘ari,[16] para penulis biografi dan sejarahwan hanya
memberikan riwayat secara detail tentang pendidikan seorang tokoh dan karirnya
sebagai sarjana dibandingkan dengan informasi tentang pendidikannya pada level
yang lebih rendah. Dengan kata lain, ketika sejarahwan mencoba merekonstruksi pendidikan
Islam masa lalu, gambar yang tercipta terfokus pada pendidikan tertinggi. Hal
inilah yang juga tercermin pada fase pendidikan al-Mawardi.
Berdasarkan
keterangan dari sumber di atas, basis intelektual dan spiritual al-Mawardi
dapat ditinjau dan fase pendidikan di Baṣrah dan di Bagdad. Analisis demikian
cukup penting untuk memberikan kerangka dasar dalam memahami pemikirannya.
Pertama, dalam peradaban Islam, Baṣrah
dan Bagdad merupakan pusat kajian ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu dan
filsafat. Fasilitas keilmuan yang tersedia, dukungan para penguasa, dan
kajian-kajian ilmiah oleh para ilmuwan dan cendekiawan sangat memungkinkan
munculnya wacana ilmiah dengan iklim akademis yang tinggi.[17] Tidak
mengherankan apabila fenomena tersebut memberikan kontribusi penting terhadap
pemikiran a1-Mawardi dalam menganalisis hukum melalui qiyâs dan
menuangkan gagasan-gagasan sosial-politiknya.
Kedua, literatur-literatur klasik yang
ditulis Ibn Aṣîr, Ḣaṭîb Bagdad, dan al-Subḥi meriwayatkan bahwa al-Mawardi berprofesi sebagai Hakim Agung (Qaḍi al-Quḍât) untuk
berbagai wilayah dan menjadi duta keliling untuk menyelesaikan berbagai
persoalan politis yang menimpa Dinasti ‘Abbasiyaṫ.[18] Ini bisa berarti bahwa basis pendidikan
intelektual al-Mawardi adalah ilmu-ilmu religius dan pengalaman profesi dan
mobilitasnya di pemerintahan.[19]
Ketiga, secara khusus, sumber-sumber
klasik tidak menyebutkan basis intelektual al-Mawardi dalam teologi, filsafat,
ataupun ilmu-ilmu sosial. Namun, wacana keilmuan di Bagdad dapat memfasilitasi al-Mawardi
untuk mengkaji dan mendalaminya. Tinjauan ini cukup signifikan, sebab dalam
beberapa karyanya, Ia mengutip dan memberikan analisis tentang
pemikiran-pemikiran filosof (ahlu al-ḥikmaṫ).[20]
Keempat, Al-Mawardi memperoleh kedudukan
yang tinggi pada posisi intelektual dan spiritual yang iakui oleh para penguasa
‘Abbasiyaṫ, ulama, cendekiawan, dan masyarakat luas. Ia mengakui sebagai
eksponen terbesar mażhab Šafi‘i
yang menguasai mażhab dan berbagai cabang keilmuan.[21] Al-Mawardi, demikian halnya, sejak
dini memiliki kecerdasan istimewa dan
bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek atau materi yang dipelajari
dalam fase pendidikannya.
Sejauh
ini, habar yang lengkap tentang kurun waktu dan lamanya belajar yang dilalui al-Mawardi
belum ditemukan. Beberapa
literatur hanya memberikan keterangan tentang mobilitas, aktivitas, dan profesi
al-Mawardi sebagai ‘pengajar’ (teacher) di Baṣrah dan di Bagdad serta
peranannya dalam panggung politik Bagdad.[22] Kehidupan intelektual dan spiritual al-Mawardi
dengan basis kurikulum ilmu-ilmu re1igius dan penguasaannya atas filsafat dan
cabang-cabang ilmu pengetahuan, ḣususnya, ilmu politik dan ilmu sosial.
Otoritasnya yang tinggi dalam pemerintahan ‘Abbasiyaṫ, rezim Buwaihiyaṫ, dan
masyarakat luas menjadikan al-Mawardi sebagai tokoh penting yang memiliki
pengikut dan murid-murid kenamaan.
Catatan
yang diriwayatkan ‘Abu Ishaq al-Šairazi,[23] memberikan keterangan tentang aktivitas pengajaran
AI-Mawardi, yang tinggal di Dâr al-Z‘afarani, di Bagdad, dengan subyek
kurikulum meliputi Fiqh, Tafsir, Uṣul Fiqh, dan Adab.
Musṭafa
al-Saqa dan ‘Abdul Maqsud[24] secara rinci menyatakan mahasiswa al-Mawardi
antara lain sebagai berikut:
1) ʼAbu Bakar Ahmad Ibn Ṡabit bin Ahmad Ibn Mahdi a1-Ḣatîb al-Bagdadi (w. 463 H). Ia seorang Ḥuffaẓ, pakar Ḥadiṡ dan al-Imȃm al-Kabir pada
zamannya.
2) ‘Abu al-Faḍl Ahmad
bin al-Husain lbn Ḣairan, Ibn al-Baqilani (w. 463 H).
3) ‘Abd ul Malik bin Ibrahim bin Ahmad ʼAbu al-Faḍal al-Hamażani
al-Muqaddasi (w. 489 H).
4) ‘Ali bin al-Husain Ibn ‘Ahdillah al-Rabi‘i, lbn ‘Arabiyaṫ (w. 502 H).
5) Muhammad Ibn Ahmad Ibn ‘Abdul Baqi Ibn a1-Ḥusain Ibn Muhammad Ibn Tuqa ‘Abu al-Faḍa’il al-Rabi‘i al-Mauṣuli (w. 494 H).
6) ‘Ahmad Ibn ‘Abdillah Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Hamdan, lbn Kadisy al-Bagdadi (w. 526 H).
7) Ahmad Ibn Ali Ibn Badran ʼAbu Bakar al-Halwani (w. 507
H). Ia belajar Ḥadiṡ kepada Al-Mawardi.
8) ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Abd aI-Karim Ibn Hawazin ‘Abu Mansyur al-Qušairi (w. 482 H). Ia belajar Ḥadiṡ kepada Al-Mawardi.
9) ‘Abd al-Wahid Ibn ‘Abd al-Karim Ibn Hawazin ‘Abu Mansyur al-Qušairi (w. 494 H).
10) ‘Abd al Ghani Ibn Nazil Ibn Yahya Ibn al-Hasan Ibn Šahi al-Alwahi ʼAbu Muhammad al-Bashri
(w. 486 H). Ia belajar Ḥadiṡ kepada al-Mawardi.
11) ‘Ali bin Sa‘îd Ibn ‘Abd a1-Rahman Ibn Muharraz Ibn Abi Uṡman Abi Hasan al-‘Abdari (w. 493 H).
Ia belajar Ḥadiṡ kepada al-Mawardi.
12) Muhammad bin Ahmad
bin ‘Umar ʼAbu ‘Umar al-Nahawandi. al-Hanafi (w. 497 H). Ia
belajar Ḥadiṡ kepada al-Mawardi.
[2] Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu klasik (‘ulum
al-qudama’ atau ‘ulum al-awwal) adalah filsafat dan ilmu-ilmu alam yang
berasal dan Yunani, Persia, dan daerah peradaban kuno lainnya. Ilmu-ilmu klasik
merupakan satu bagian Dari kirikulum madrasah pada abad keemasan Islam, di
samping ilmu-ilmu keagamaan (‘ulum al-diniyaṫ) dan ilmu-ilmu bahasa dan
sastera (‘ulum al-adâb). Lebih Ianjut tentang kurikulum madrasah dapat dibaca Iḣwan Al-Ṣafa, Rasâ’il Iḣwan Al-Ṣafa, wa al-Wafa‘, (Mesir: Maṭba‘ah al-Sa‘adah, 1932), vol. I, h. 202-203.
[13] Kuttab
atau maktab adalah lembaga pendidikan dasar yang memberikan pengajaran
tulis baca, berhitung, dan dasar-dasar agama. Secara historis, kuttab
sudah ada sejak masa Jahiliyah. Kuttab ini biasanya terletak di rumah
guru ataupun di luar dan di dalam masjid. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan
Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosda Kaya. 1994) h. 60, dan Ḥasan Aš‘ari,
Op.Cit., h. 17-18.
[14] Ibn Ḣaldûn mengklasiflkasikan kurikulum
yang diajarkan di kuttab untuk berbagai wilayah, yaitu: I) di Maghrib (Maroko)
menekankan pengajaran al-Qur’ân, 2) di Spanyol (Andalus) rnengutamakan
rnenulis dan membaca, 3) di Afrika Utara menitikberatkan baca al-Qur’ân dan qira’at, seni kaligrafi, dan
hadits, 4) di Timur Tengah , Iran, Asia Tengah, dan India menganut kurikulum
campuran, dengan al-Qur’ân sebagai
inti. lbn Ḣaldûn, al-Muqaddimaṭ., Beirut; Dâr al-Fikr, t.t, h. 594-595.
Bandingkan dengan Nakosteen, Ibid., h. 62-63 dan Ḥasan Aš‘ari, Ibid.,
h. 17-18.
[15] Secara harfiaṫ, halaqah adalah suatu
perkumpulan melingkar (pengajian yang dilakukan dengan duduk melingkar).
Seorang Šaiḣ biasanya duduk di dekat dinding atau pilar masjid,
sementara para mahasiswa duduk didepannya membentuk setengah lingkaran.
Lingkaran tersebut berdasarkan tingkat pendidikan mahasiswa di mana mahasiswa
dengan level tertinggi duduk paling dekat dengan Šaiḣ. Namun, mahasiswa
secara akadernis dapat berpindah-pindah lingkaran mencari Šaiḣ yang
tepat ataupun meninggalkan. Nakosteen, Ibid., h . 60-62.
[17] Bukti yang relevan
mengenal institusi pendidikan Islam, peranan ḣalîfaṫ dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan filsafat dan
berbagai sarana akademis, antara lain didirikan bait al-Ḥikmaṫ (215 H/830
M) sebagai tempat pengajaran dan penterjemahan karya-karya filsafat dan
pengetahuan asing dan berbagai bahasa perpustakaan, masjid, observatorium,
rumah sakit, madrasah, lembaga-lembaga sufi (ribaṭ, zawiyaṫ, dan ḣanqaṫ).
Secara lengkap baca Nakosteen, Op. Cit., h. 60-70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...