PENDAHULUAN
Sebutan "Baduy" merupakan
sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut,
berawal dari sebutan para peneliti Belandayang agaknya mempersamakan mereka
dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah
(nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy
yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka
menyebut diri sebagaiurang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan
nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka
seperti Urang Cibeo(Garna, 1993).
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi
menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka.
* Kelompok tangtu (baduy dalam).
Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman
hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar.selain itu orang
baduy dalam merupakan yang paling patuh kepada seluruh ketentuan maupun
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat).
Orang Baduy dalam tinggal di 3
kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Baduy Dalam
adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala
putih dan golok. Pakaian mereka tidak berkerah dan berkancing, mereka juga
tidak beralas kaki. Meraka pergi kemana-mana hanya berjalan kaki tanpa alas dan
tidak pernah membawa uang. mereka tidak mengenal sekolah, huruf yang mereka
kenal adalah Aksara Hanacara dan bahasanya Sunda. Mereka tidak boleh
mempergunakan peralatan atau sarana dari luar. Salah satu contoh sarana yang
mereka buat tanpa bantuan dari peralatan luar adalah Jembatan Bambu. Mereka
membuat sebuah Jembatan tanpa menggunakan paku, untuk mengikat batang bambu
mereka menggunakan ijuk, dan untuk menopang pondasi jembatan digunakan
pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai.
* Kelompok masyarakat panamping (baduy
Luar),
mereka tinggal di desa Cikadu,
Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, yang mengelilingi wilayah baduy dalam.
Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna
hitam. suku Baduy Luar biasanya sudah banyak berbaur dengan masyarakat Sunda
lainnya. selain itu mereka juga sudah mengenal kebudayaan luar, seperti
bersekolah.
* Kelompok Baduy Dangka,
mereka tinggal di luar wilayah Kanekes,
dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung)
dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam
buffer zone atas pengaruh dari luar
Desa Kanekes adalah salah satu desa di
Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten, seluas 5.101,85 hektar,
sebagian besar tanahnya merupakan dataran tinggi yang bergunung dengan
lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai yang
mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa merupakan hutan
lindung atau Orang Baduy sering menyebutnya hutan tutupan.
Pada tahun 1888 Orang Baduy berjumlah
291 orang yang tinggal di 10 kampung, sedangkan tahun 1899 meningkat menjadi
1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs, Meijer, 1891; Pennings,1902),
tahun 1908 berjumlah 1.547 orang (Tricht, 1929), kemudian tahun 1966 meningkat lagi
menjadi 3.935 orang. Tahun 1971 berjumlah 4.078 orang, tahun 1983 penduduk Desa
Kanekes menjadi 4.574 orang, tahun 1995berjumlah 5.672 orang dan tahun 1999
berjumlah 7.041 orang.
Hal itu berarti, telah terjadi
peningkatan penduduk hampir 20 kali lipat. Keadaan ini menuntut penyediaan
lahan untuk permukiman semakin bertambah, dari pelbagai catatan dapat diketahui
pertambahan kampung, yaitu tahun 1891, masih terdiri atas 9 kampung (3 tangtu,
1 panamping, 5 dangka), 38 tahun kemudian, tepatnya tahun 1929, berjumlah
menjadi 17 kampung, tahun 1952 bertambah menjadi 31 kampung, pada tahun 1975
menjadi 36 kampung, tahun 1986 terjadi penambahan menjadi 43 kampung, tahun
1996 menjadi 53 kampung, dan tahun 2000 tercatat menjadi 56 kampung.
Pertambahan jumlah kampung di Desa
kanekes itu menunjukkan lahan garapan mereka semakin didesak oleh keperluan
lahan untuk penyediaan permukiman. Padahal dalam strategi mereka untuk
mengatasi keadaan serupa itu dikenal suatu cara penyediaan lahan permukiman
(kampung) yang boleh berada di luar wilayah Desa Kanekes, sehingga lahan
garapan berhuma mereka tidak berkurang. Strategi penyediaan permukiman seperti
itu, dikenal dalam tatanan kehidupan mereka sebagai kampung dangka yang menurut
catatan justru jumlah dangka pada masa kini semakin berkurang. Hal itu, akibat
pada masa-masa terakhir ini dangka ditarik kembali ke wilayah Desa Kanekes atas
suatu soal yang dihadapi mereka dengan penduduk sekitarnya.
Akibat yang paling parah bagi Desa
Kanekes, penduduk dan lahan untuk permukiman menjadi semakin bertambah.
Tentunya, keadaan itu pun mengakibatkan dalam sistem perladangan mereka yang
dikenal sebagai slash and burn lajunya semakin dipercepat yang menimbulkan
tingkat kesuburan tanah semakin berkurang dari tahun ke tahun.
Sebutan dan asal Orang Baduy, Orang
Baduy hanya mengenal bahasa lisan. Oleh karena itu, asal-usul mereka dicatat
dalam ingatan dari generasi ke generasi dalam cerita tentang karuhun mereka.
Bagi Orang Baduy, yang melihat tentang catatan waktu ialah segala peristiwa dalam
kehidupan masyarakatnya, proses waktu merupakan perjalanan riwayat dunia yang
setara dengan keadaan alam semesta. Demikian juga halnya mengenai asal dan
sebutan Orang Baduy sebaiknya dilihat dari segi apakah anggapan mereka tentang
dirinya sendiri, yaitu berbagai kaitan karuhun dengan alam semesta menurut
perputaran waktu dan masa yang menempatkan mereka pada posisinya tertentu
seperti digariskan pada awal eksistensinya.
Sebutan terhadap orang Baduy dapat
dibagi pada dua jenis, yaitu sebutan yang diberikan oleh orang luar
masyarakatnya dan mereka menyebut dirinya sendiri. Sebutan mana yang lebih
dikenal akan tergantung pula pada kekerapan istilah itu menurut kebiasaan dan
keinginan para pemakai istilah. Dalam menelaah penggunaan sebutan untuk orang
Baduy, adalah menarik ditinjau bagaimana sebutan itu digunakan dalam jangka
waktu yang panjang selama beberapa ratus tahun. Dengan demikian, nama Baduy
kini seperti telah digunakan sebagai sebutan untuk kelompok masyarakat yang
tinggal di Desa Kanekes, tampaknya bermula setelah agama Islam masuk ke wilayah
Banten utara pada Abad ke-16.
Kegalauan sebutan terhadap penduduk
Kanekes baik oleh warga masyarakat bukan Baduy maupun penulis-penulis asing
pada permulaan Abad ke-18 dan Abad ke-19 memperlihatkan perkiraan yang
mempertimbangkan semua aspek dan mencoba mencari jawabannya, termasuk aspek
linguistik (misalnya, Jacobs dan Meijer, 1891; Pennings, 1902). Pembakuan
sebutan Badawi, Badoeien, Badoei dan Bedoeis oleh orang-orang Belanda
seringkali ditunjang pula oleh laporan-laporan resmi para pejabat pemerintahan
kolonial. Karena itu, ada pula kemungkinan bahwa kata Badoeis, Bedoeis
dikaitkan dengan kata badwi kelompok masyarakat Arab yang hidup secara nomaden
di gurun pasir. Selain kata itu kadangkala dikaitkan dengan kata Buddha, buda
yang berarti tidak beragama Islam.
Pleyte (1909), memberikan alasan tentang
sebutan Baduy itu dikaitkan dengan unsur kebudayaan mereka sendiri. Ia
mengemukakan bahwa kata Baduy tidak ada konotasi sebagai kata hinaan dan juga
tidak ada kaitannya dengan kata Badwi, tetapi semata-mata nama Baduy yang
berasal dari kata Cibaduy, nama sungai di sebelah utara Desa Kanekes. Itu
artinya, untuk menyebut diri sendiri memang merupakan salah satu kebiasaan
masyarakat Sunda menyebut nama kampung atau tempat bermukim, tempat dilahirkan
atau tempat yang dapat memberikan arti penting dalam kehidupannya. Sehubungan
dengan itu, tidaklah mengherankan apabila sebutan urang Kanekes dipakai pula
oleh mereka, sebagai sebutan yang menekankan hakekat dan nilai budayanya.
Selain, sebutan untuk orang Baduy yang
merupakan masalah oleh semua penulis, masalah asal juga menjadi bahan kajian
yang tidak hentinya-hentinya (Jacobs dan Meijer, 1891; van Trich, 1929; Geisi,
1952). Bahkan penulis-penulis setelah kemerdekaan Indonesia seringkali
mengaitkan asal-usul mereka dengan keruntuhan kerajaan Sunda-Hindu terakhir di
Jawa Barat, yaitu kerajaan Pajajaran pada Abad ke-15 (misalnya, Djunaedi dkk.,
1985; dan Danasasmita, 1986).
Orang Baduy menurut pandangan yang
dikemukakan penulis itu, adalah keturunan dari pelarian keraton Pajajaran yang
melarikan diri ke sebelah selatan Banten dan terdesak oleh serangan Sultan
Hasanuddin yang menyebarkan agama Islam di kawasan itu. Dari penulis asing
tampaknya ada kecenderungan persamaan pandangan dalam hal asal orang Baduy,
mereka beranggapan bahwa asal orang Baduy bukan dari Banten utara ataupun
pelarian dari kerajaan Pajajaran tetapi mereka adalah orang-orang setempat yang
sudah berada di sana sejak lama sebelum pengaruh Islam tiba dan mengubah
kepercayaan setempat.
Kampung dan Ikatan Kerabat
Untuk melihat kekerabatan orang Baduy,
lokasi tempat tinggal mereka dianggap penting. Lokasi permukiman itu menentukan
pada kedudukan mana terletak seseorang sebagai keturunan para Batara. Selain itu,
dapat pula dipahami berbagai sistem sosial lainnya seperti perkawinan, pola
tempat tinggal sesudah kawin, penempatan rumah di kampung yang dapat memberikan
gambaran tentang kekerabatan dan kedudukannya dalam masyarakat.
Hubungan antara sistem kekerabatan dan
lokasi kampung dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: pertama tentang kampung
tangtu; kedua, kampung panamping; dan ketiga pajaroan. Tentang hal itu, ekpresi
orang Baduy menyatakan bahwa seluruh wilayah Desa Kanekes adalah tangtu teulu
jaro tujuh. Artinya, bahwa wilayah Kanekes seluruh penduduknya merupakan satu
kerabat yang berasal dari satu nenek moyang, kalau pun ada perbedaan terletak
pada tua dan muda dari sisi generasi.
Dalam kekerabatan orang Baduy, Cikeusik
dianggap yang tertua, Cikertawana yang menengah dan Cibeo yang termuda. Oleh
karena itu, Puun Cikeusik lah yang mengurus kunjungan tahunan ke Sasaka Domas
tempat yang disucikan oleh orang Baduy. Kerabat yang lebih muda cukup dengan
mengikuti yang tertua. Demikian juga halnya dengan pembagian kombala, berupa
tanah putih dan lumut yang dibawa dari tempat itu, mengikuti ketentuan kerabat
tua dan muda.
Namun demikian, untuk memudahkan
pembahasan kekerabatan, istilah kekerabatan atau kinship dalam tulisan ini
mengacu pada sejumlah status (posisi atau kedudukan sosial), dan saling
hubungan antarstatus sesuai dengan prinsip-prinsip budaya yang berlaku terutama
digunakan untuk: (1) menarik garis pemisah antara kaum-kerabat (kin) dan bukan
kaum-kerabat (non-kin); (2) menentukan hubungan kekerabatan seseorang dengan
yang lain secara tepat; (3) mengukur jauh/dekatnya hubungan kekerabatan
seseorang dengan yang lain; dan (4) menentukan bagaimana seseorang harus
berperilaku terhadap seseorang yang lain sesuai dengan aturan-aturan
kekerabatan yang disepakati bersama.
Prinsip kekerabatan tersebut, dalam
konteks Orang Baduy sebagaimana ditunjukkan oleh N.J.C. Geise (1952) dalam
disertasinya yang berjudul Badujs en Moslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten,
mengungkapkan bahwa kekerabatan Orang Baduy tidak menyimpang dari model klasik
yang dibuat oleh van Wouden (1935), untuk beberapa masyarakat Indonesia Timur.
Menurutnya, ada beberapa perubahan yang terjadi disebabkan isolasi yang
dilakukan Orang Baduy sendiri. Model van Wouden itu berdasarkan perkawinan
asimetris (asymetric connumbium), dan garis keturunan (double descent) serta
suatu preferensi untuk perkawinan antarsepupu (cross-cousins marriage) dengan
kedudukan yang utama untuk saudara laki-laki dari pihak ibu.
Temuan Geise tentang sistem kekerabatan
Orang Baduy yang sebagaimana model Van Wouden itu dibantah oleh Berthe, sebab
ia menganggap bahwa model klasik yang diajukan itu hampir tidak bisa dipakai
untuk menelaah kekerabatan Orang Baduy. Kalau bisa dipakai pun, seharusnya akan
diperoleh sesuatu istilah untuk saudara laki-laki dari pihak ibu di dalam
terminologi kekerabatan Orang Baduy. Dalam kenyataannya Geise tidak menyebutkan
istilah itu. Namun begitu, Berthe berdasarkan kekerabatan Orang Baduy
mengidentifikasi atas sesuatu sifat yang khas Orang Sunda, yaitu perlawanan
(oposisi) antara kakak dan adik.
Dari perlawanan itu ada kecenderungan
yang dianggap paling baik bagi perkawinan anak laki-laki yang pertama (kakak)
dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari
garis keturunan yang lain. Kemudian hal yang dianggap penting dalam kaitan
dengan ketentuan itu adalah adik tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum
kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal). Dalam prakteknya pada Orang
Baduy tidak terdapat perbedaan antara sepupu persamaan (paralel-cousins) dan
antarsepupu (cross-cousins) (Garna,1987), sehingga ada kecenderungan dalam
perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, yang menurut Berthe
(2000) dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat. Atau, istilah Orang
Baduy menyebut dengan baraya.
Mitologi Baduy mengungkapkan bahwa
Batara Tunggal Karang menurunkan 7 anak (batara) yang memerintah di 7 wilayah,
yaitu Parahyang, Jampang, Sajra, Jasinga, Bombang dan Banten. Dalam kaitan ini
sistem kekerabatan orang Baduy terkait dengan organisasi sosial Banten (Berthe,
1965). Para puun diturunkan dari garis tua atau kakak sedangkan sultan-sultan
Banten dari garis muda atau adik yang mempunyai peranannya masing-masing sesuai
dengan hirarki tersebut (Garna, 1988).
Dalam pamarentahan Baduy dikenal suatu
sistem pemimpin yang meliputi sejumlah pejabat dengan sebutan sendiri-sendiri.
Orientasi setiap pemimpin kepada pemimpin tertinggi, yakni para puun. Mereka
dianggap satu kesatuan pemimpin tertinggi untuk mengatasi semua aspek kehidupan
di dunia dan mempunyai hubungan dengan karuhun. Dalam kesatuan puun tersebut
senioritas ditentukan berdasarkan alur kerabat bagi peranan tertentu dalam
pelaksanaan adat dan keagamaan Sunda Wiwitan. Puun memiliki kekuasaan dan
kewibawaan yang sangat besar, sehingga para pemimpin yang ada di bawahnya dan
warga masyarakat Baduy tunduk dan patuh kepadanya. Berdasarkan konsep itu dalam
menjalankan pemerintahannya, semua lingkup dan mekanisme menjalankan kekuasaan
tercakup dalam tiga tangtu dan tujuh jaro.
Asal Pemimpin
Untuk mengetahui asal mula pemimpin dan
pamarentahan Baduy dapat ditelusuri dari folklor yang hidup di tiga daerah
tangtu yang berkaitan dengan manusia pertama yang turun ke dunia. Tempat mula menurunkan
para Batara sebutan lain untuk para leluhur mereka, adalah di Sasaka Domas yang
setelah menurunkan para Batara kemudian turun para daleum, peristiwa itu mereka
menyebutkan sebagaimana dikehendaki oleh nu ngersakeun. Karena itu, tempat
tersebut merupakan pusat dunia (Pancer Bumi) dan tempat suci dari suatu awal
kelahiran manusia serta Mandala Sunda.
Batara Patanjala merupakan anak
laki-laki kedua dari Batara Tunggal yang mempunyai 7 orang anak, 6 orang
laki-laki dan seorang perempuan. Mereka itulah oleh Orang Baduy dikenal sebagai
nenek moyang Orang Tangtu. Ketujuh anak Batara Pantajala, ialah daleum
Janggala, daleum Lagondi, daleum Putih Seda, daleum Cinangka, daleum Sorana,
Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu.
Daleum Janggala menurunkan puun Cikeusik,
daleum Langondi menurunkan Puun Cikertawana. Dan daleum Seda Hurip penurunkan
puun Cibeo. Sedangkan daleum Cinangka menurunkan para girang seurat, daleum
Sorana, menurunkan para kokolot dan Nini Hujung Galuh menurunkan para jaro
dangka.
Dalam perkembangannya kemudian, setelah
semua batara dan daleum menghilang, maka tinggal para puun yang meneruskan
kehadiran manusia di dunia. Itu maknanya, bahwa dari mulai ada alam dan dunia
hanya dihuni oleh dua orang, yaitu sepasang puun, yakni puun Cikeusik. Tuturan
tersebut, mengemukakan bahwa puun Cikeusik lah manusia pertama yang ada di
dunia. Manusia pertama di dunia atau yang tertua adalah sepasang, yaitu puun
Cikeusik. Baru kemudian menyusul puun Cikertawana dan Cibeo. Tuturan lainnya,
menyebutkan, bahwa kejeroan semuanya adalah anak-cucu puun perempuan. Anak puun
Cikeusik menjadi puun Cibeo, anaknya
kemudian menjadi puun Cikertawana.
Asal Pamarentahan Baduy
Dengan demikian, bagi orang Baduy
seorang pemimpin dalam pamarentahan (jaro, girang seurat, tangkesan kokolotan,
kokolot, dan baresan), berasal dari keturunan para puun yang artinya, satu sama
lain terikat oleh garis kerabat. Dalam konteks itu, ciri penting dalam
pamarentahan Baduy, terletak pada diferensiasi peran dan pembagian jabatan yang
terpisahkan melalui struktur sosial, namun semuanya terikat oleh satu hubungan
kerabat yang erat.
Perbedaan peran yang mendasar antara
para pemimpin yang disebut puun dan yang disebut para jaro, adalah pada
tanggung jawab yang berurusan dengan aktivitasnya, karena para puun berurusan
dengan dunia gaib sedangkan para jaro bertugas menyelesaikan persoalan duniawi.
Atau, dengan perkataan lain, para puun berhubungan dengan dunia sakral dan para
jaro berhubungan dengan dunia profan. Oleh karena itu, para puun menerima
tanggung jawab tertinggi pada hal-hal yang berhubungan dengan pengaturan
harmonisasi kehidupan sosial dan religius, sehingga kehidupan warga
masyarakatnya dapat berlangsung dengan tertib.
Dalam situasi seperti itu warga
masyarakat dituntut patuh memenuhi ketentuan pikukuh yang telah digariskan para
karukun. Pelanggaran terhadap pikukuh berarti telah siap menerima hukuman
berupa pengusiran dari daerah tangtu. Atau, bagi masyarakat panamping melanggar
ketentuan itu berarti harus menangung kewajiban bekerja di huma puun, yang
lamanya disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran.
Pamarentahan Baduy
Di rumah, kepala keluarga inti mengatur
kehidupan para anggota keluarganya, termasuk pengawasan sosial terhadap aturan
adat. Urusan dan pengaturan yang dilakukannya ialah membina kehidupan keluarga
intinya, berhuma, hubungan dengan kaum kerabat, melakukan perhitungan untuk
menentukan saat mulai menanam, bepergian, menyelenggarakan perkawinan,
pengasuhan, pendidikan anak dan turut serta dalam berbagai upacara.
Pada tingkat kampung ada beberapa jenis
pemimpin. Di kampung dangka terdapat seorang pemimpin adat dan agama yang
disebut jaro dangka. Ia meneruskan dan mengawasi ketentuan karuhun yang
disampaikan melalui puun, dan ia juga dapat berkumpul di tangtu dalam upacara
keagamaan penting. Selain itu, jaro dangka juga diharuskan turut serta dalam
upacara membersihkan kampung tangtu dari dosa yang ditinggalkan oleh si pelanggar.
Dalam pamarentahan Baduy, ada dua orang
yang dituakan dalam kampung panamping namun berfungsi berbeda, yaitu: pertama,
kokolot lembur. Yang menjadi pemimpin pikukuh. Ia bertugas atas nama puun untuk
mengawasi, mengatur, dan melaksanakan ketentuan puun. Kedua, kokolotan lembur
yang kedudukannya sejajar dengan ketua rukun kampung dalam sistem pemerintahan
formal. Rumah kokolot lembur dianggap sakral yang tidak boleh diinjak orang
asing. Karena itu, rumah kokolot terletak di bagian paling ujung dari jajaran
paling luar yang berbatasan langsung dengan hutan kampung. Hal itu, maksudnya
agar para guriang yang kehadirannya dianggap penting sebagai penjaga
keselamatan masuk ke kampung melalui rumah kokolot.
Pemimpin kampung tangtu adalah jaro
tangtu. Ia bertugas sebagai kokolot lembur dan sekaligus pula bertindak sebagai
kokolotan lembur. Selain itu, ia pun harus turut serta seba ke ibukota
kabupaten di Rangkasbitung dan keresiden Banten yang kini Gubernur di Serang.
Jaro tangtu diangkat menurut alur keturunan dari para jaro terdahulu, yang
disiapkan oleh pikukuh langsung di bawah tangkesan dan pengawasan puun. Apabila
calon jaro tangtu dianggap siap, walaupun ia masih muda, ia dapat saja
diangkat.
Dalam pamarentahan Baduy, istilah jaro
banyak digunakan. Arti kata jaro sendiri adalah ketua kelompok atau pemimpin.
Pada tingkat panamping terdapat seorang jaro yang tidak hanya mengurus dan
mengatur seluruh jaro, tetapi juga berkuasa mutlak sebagai pengawas serta
pelaksana tertinggi pikukuh di panamping. Dari keduabelas jaro, yaitu tiga jaro
tangtu, tujuh orang jaro dangka, seorang jaro warega, dan seorang jaro
pamarentah, maka ia adalah koordinator kerja para jaro yang dalam pamarentahan
Baduy dikenal dengan sebutan jaro duawelas. Jaro warega berperan dalam upacara
keagamaan, terutama untuk persiapan dan pelaksanaan seba, tetapi pada posisi
pimpinan dalam Sunda Wiwitan, ia adalah pembantu utama tanggungan jaro
duawelas.
Jaro pamarentah, adalah jaro Kanekes,
kepala desa yang pengangkatannya disetujui oleh kedua belah pihak, para puun
dan pemerintah daerah. Acuan ke atas juga dua yaitu puun dan camat. Karena itu
seorang jaro pamarentah merupakan pengimbang di antara kedua kategori pemimpin
itu, yang dengan penuh bijaksana harus mampu melaksanakan semuanya. Masa kerja seorang
jaro pamarentah tergantung dari lamanya dan sejauh mana ia mampu melaksanakan
kebijaksanaan pengimbang dimaksud. Jaro pamarentah dibantu oleh paling tidak
tiga orang pembantu utama, yaitu carik adalah juru tulis desa yang selalu
berasal dari luar Kanekes, dan dua orang pangiwa, pembantu jaro pamarentah yang
berasal dari panamping.
Pada tingkat tangtu terdapat tiga puun,
yang tidak hanya menjadi pemimpin agama dan adat tertinggi di kampung tangtu,
tetapi juga untuk seluruh Kanekes. Semua pemimpin bawahan termasuk jaro
pamarentah harus tunduk kepada mereka. Puun dalam menjalankan aktivitasnya
dibantu oleh sejumlah pejabat adat dan agama. Pejabat adat dan agama tertinggi
yang berfungsi sebagai penasihat ialah tangkesan yang juga disebut dukun putih.
Ia biasanya berasal dan berkedudukan di kampung Cikopeng. Dukun-dukun pada
tingkat kampung lainnya selain berada di bawah pengawasan puun juga diamati
oleh tangkesan.
Puun mempunyai staf yang lengkap,
seperti seurat atau girang seurat yang menjadi pembantu puun untuk berbagai
hal. Jabatan seurat hanya ada di Cikeusik dan Cibeo, tetapi tidak ada di
Cikertawana. Jaro tangtu membantu seurat dan puun secara langsung. Penyampaian
berita dan lain-lainnya dilakukan oleh pembantu umum. Jumlahnya tergantung dari
kekerapan kerja, upacara dan pelaksanaan pikukuh.
Semacam dewan penasihat puun terdapat di
setiap kampung tangtu, yang disebut baresan (barisan, dewan atau kumpulan) atau
sering disebut baresan salapan, karena terdiri dari sembilan orang tokoh,
termasuk jaro tangtu, seurat dan lainnya. Fungsi baresan adalah membantu puun
dan jaro tangtu memecahkan berbagai masalah dan melaksanakan pikukuh.
Dengan demikian seorang puun didukung
oleh panasihat batin melalui tangkesan dan penasihat pelaksanaan pikukuh oleh
baresan salapan. Pengawasan para puun mampu menjangkau wilayah dan seluruh
warga Kanekes melalui tanggungan jaro duawelas dan dukun-dukun lembur serta
kokolot dan kokolotan lembur.
Dalam konteks itu, pamarentahan Baduy
berfungsi untuk mensucikan dan membuat tapa dunia, termasuk memelihara alam
sebagai pusat dunia, sedangkan dunia beserta isinya dijaga oleh keturunan muda,
dan sultan-sultan Banten yang harus membuat dunia ramai.seorang pemimpin agama
dihubungkan dengan garis keturunan yang paling tua, sedangkan seorang pemimpin
politik dihubungkan dengan garis keturunan yang paling muda. Kekuasaan agama
dihubungkan dengan para leluhur atau karuhun dan kekuasaan politik dihubungkan
dengan aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itu artinya, seorang
pemimpin agama mewujudkan identatis masyarakat Baduy, sedangkan seorang
pemimpin politik mengurus kehidupan duniawi termasuk mengurus dan memelihara
kelestarian tanah.
Untuk melangsungkan aktivitasnya itu,
kegiatan duniawi dipusatkan di tangtu Cibeo, sedangkan aktivitas ritual dan
keagamaan berada di tangtu Cikeusik. Namun tangtu dalam menjalankan
aktivitasnya itu saling menyokong dan sekaligus saling terikat. Karena diantara
keduanya saling memberikan pengaruh untuk mengokohkan tradisi Baduy yang
bersandar pada pikukuh karuhun, yaitu: ‘nu lain kudu dilainkeun, nu enya kudu
dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun’. Artinya, yang bukan harus dikatakan
bukan, yang benar harus dikatakan benar dan yang dilarang harus dikatakan
dilarang.
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui
adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah
satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga
memiliki keyakinan tabuuntuk difoto
Pada saat ini orang luar yang
mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per
kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga
para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut,
bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti
adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak
boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di
sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing
(non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu
ditolak masuk
Pada saat pekerjaan di ladang tidak
terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar
wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi
dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah
kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan
tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang
untuk mencukupi kebutuhan hidup
Baduy atau biasa disebut juga dengan
masyarakat kanekes adalah nama sebuah kelompok masyarakat adat Sunda di Banten.
Suku Baduy tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau
oleh kendaraan adalah DESA Ciboleger (jawa barat). Dari desa ini kita baru bisa
memasuki wilayah suku baduy luar. Tetapi sebelum kita masuk kewilayah suku
baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan adatnya yang di sebut Jaro.
Kini sebutan bagi suku Baduy terdiri
dari :
1. Suku Baduy Dalam yang artinya suku
Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu ( Kepuunan ) yakni Cibeo, Cikeusik dan
Cikertawana.
2. Suku Baduy Panamping artinya suku
Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di desa
Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat dibawah pimpinan Puuun ( kepala adat
).
3. Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy
yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan prilakunya
telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.
Adapun sebutan suku Baduy menurut cerita
adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan dari golongan/ kaum Islam yang
maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama
Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui
maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit di atur sehingga
dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku Baduy.
KELOMPOK MASYARAKAT
Orang Kanekes masih memiliki hubungan
sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan
orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan
cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan
secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda
lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi
menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001)
Kelompok tangtu adalah kelompok yang
dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat,
yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.
Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru
tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu
dengan orang asing (non WNI)
Kanekes Dalam adalah bagian dari
keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam
masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku
Kanekes Dalam antara lain:
- Tidak diperkenankan menggunakan
kendaraan untuk sarana transportasi
- Tidak diperkenankan menggunakan alas
kaki
- Pintu rumah harus menghadap ke
utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
- Larangan menggunakan alat elektronik
(teknologi)
- Menggunakan kain berwarna hitam/putih
sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan
menggunakan pakaian modern.
- Kelompok masyarakat kedua yang disebut
panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang
tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam,
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.
Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala
berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang
telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang
menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
- Mereka telah melanggar adat masyarakat
Kanekes Dalam.
- Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes
Dalam
- Menikah dengan anggota Kanekes Luar
7 UNSUR KEBUDAYAAN SUKU BADUY:
1. BAHASA
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa
Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka
lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya
tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Mayoritas masyarakat Baduy Sunda namun
mereka tak menutup diri untuk terus mempelajari Bahasa nasional yakni bahasa
Indonesia. Terbukti, tidak sedikit masyarakat Baduy yang dapat berbahasa
Inbdonesia.
2. PERALATAN HIDUP SUKU BADUY
Peralatan dan Teknologi Kehidupan orang
Baduy berpusat pada daur pertanian yang diolah dengan menggunakan peralatan
yang masih sangat sederhana. Dalam adapt Baduy terutama Baduy Dalam, masyarakat
tidak boleh menggunakan peralatan yang sudah modern. Mereka mengandalkan
peralatan yang masih sangat primitive seperti bedog, kampak, cangkul, dll
- Mereka telah mengenal teknologi,
seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan
untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan
peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas
dari Kanekes Dalam
- Proses pembangunan rumah penduduk
Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku,
dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
- Menggunakan pakaian adat dengan warna
hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci.
Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
- Menggunakan peralatan rumah tangga
modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
- Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes
Dalam
Foto: baduyluar(kanan) dan baduydalam
(kiri)
3. MATA PENCAHARIAN
Mata pencarian masyarakat Baduy yang
paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat
kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian
kecil telah mengenal berdagang. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan
tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian
dan asam keranji, serta madu hutan.
Kehidupan orang Baduy berpenghasilan
dari pertanian, dimulai pada bulan kaampat kalender Baduy yang dimulai dengan
kegiatan nyacar yakni membersihkan semua belukar untuk menyiapkan ladang. Ada4
jenis lading untuk padi gogo yaitu Huma serang, merupakan suatu lading suci
bagi mereka yang berpemukiman dalam. Huma tangtu merupakan lading yang
dikerjakan oleh orang Baduy Dalam yang meliputi Huma tuladan atau huma jaro.
Huma penamping merupakan ladang yang dikerjakan oleh orang Baduy diluar kawasan
tradisional.
Hukum di didalam Masyarakat Baduy
Hukuman disesuaikan dengan kategori
pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un
untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan
antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka
yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman
ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan.
Menariknya, yang namanya hukuman berat
disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes
pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota.Banyak
larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh
bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian
dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga
mewah dan beristri lebih dari satu.
4. SISTEM KEKERABATAN
Suku baduy memakai system bilineal,
yaitu mereka mengikuti garis keturunan dari ayah dan ibu. Di dalam proses
pernikahan pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang
namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua
perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan,
kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali lamaran.
Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus
melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan
gambir secukupnya.
Tahap kedua, selain membawa sirih,
pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat
dari baja putih sebagai mas kawinnya.
Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat
kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.
Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan
perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu
dari mereka telah meninggal
5. IPTEK
Sistem pengetahuan orang Baduy adalah
Pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat peraturan yang diturunkan oleh
leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang Baduy memiliki tingkat toleransi,
tata krama, jiwa social, dan teknik bertani yang diwariskan oleh leluhurnya.
Dalam pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun mereka belajar
secara otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat informasional sekali
sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena kegemaran sebagai
orang rawayan (pengembara).
Kemungkinan bahwa budaya lama telah
banyak digantikan dengan budaya baru menandakan sebetulnya budaya sangat
relatif dan adaptif di lingkungan Suku Baduy, terutama Baduy luar. Namun,
sebagai pelengkap yang lebih akurat dibandingkan foklore (cerita rakyat) dan
narasumber lainnya, adalah peninggalan sejarah dan prasejarah yang tertinggal
sebagai bukti terkuat, bahwa mereka termasuk komunitas masyarakat yang tertua
di Banten.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah,
karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak
usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan
hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa
mereka untuk mengubah cara hidupmereka dan membangun fasilitas sekolah modern
di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut.
Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis menggambar.
6. KESENIAN
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum
pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka secara mandiri dengan cara
bercocok tanam dan berladang. Selain itu mereka menjual hasil kerajinan seperti
Koja dan Jarog(tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang,
baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu.
Dalam melaksanakan upacara tertentu,
masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya
yaitu:
1. Seni Musik (Lagu daerah yaitu
Cikarileu dan Kidung ( pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan).
2. Alat musik (Angklung Buhun dalam
acara menanan padi dan alat musik kecapi)
3. Seni Ukir Batik.
Provinsi Banten memiliki masyarakat
tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu suku baduy yang
tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan
masyarakat baduy pada umumnya terletak pada daerah.
7. SISTEM RELIGI
Suku Baduy yang merupakan suku
tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan sunda
wiwitan.
Yang mana kepercayaan ini meyakini akan adanya
Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan
melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi
kepercayaan turunan ini.
Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi
pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku,
pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang
mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak
mengunakanlistrik,tembok,mobildll.
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan
oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan sunda wiwitan:
1. Upacara Kawalu yaitu upacara yang
dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada
bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu
bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
2. Upacara ngalaksa yaitu upacara besar
yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu,
setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang bsering disebut
lebaran.
3. Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan
daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat
baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan dari masyarakat baduy
4. Upacara menanam padi dilakukan dengan
diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing
kemakmuran.
5. Kelahiran yang dilakukan melalui
urutan kegiatan yaitu:
- Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu
yang sedang hamil.
- Saat bayi itu lahir akan dibawa ke
dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
- Setelah 7 hari setelah kelahiran maka
akan diadakan acara perehan atau selametan.
- Upacara Angiran yang dilakukan pada
hari ke 40 setelah kelahiran.
- Akikah yaitu dilakukannya cukuran,
khitanan dan pemberian nama oleh dukun(kokolot)yang didapat dari bermimpi
dengan mengorbankan ayam.
6. Perkawinan, dilakukan berdasarkan
perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat
(Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai mahar atau
seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.
Dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari
tentunya masyarakat baduy disesuaikan dengan penanggalan:
1. Bulan Kasa
2. Bulan Karo
3. Bulan Katilu
4. Bulan Sapar
5.Bulan Kalima
6. Bulan Kaanem
7. Bulan Kapitu
8. Bulan Kadalapan
9. Bulan Kasalapan
10. Bulan Kasapuluh
11. Bulan Hapid Lemah
12. Bulan Hapid Kayu
Seperti yang telah diuraikan di atas,
apabila ada masyarakat baduy yang melanggar asalah satu pantangan maka akan
dikenai hukuman berupa diasingkan ke hulu atau dipenjara oleh pihak polisi yang
berwajib
Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan
dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan
sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh'
(kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun",
atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk
heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh
dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...