Pendahuluan
Al-Qur’an al-Karim
adalah sumber tasyri pertama bagi umat Islam, kebahagian mereka
bergantung pada pemahamaan maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan
pengamalan apa yang terkandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam
memahami lafadz dan ungkapan al-Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya
sedemikian gamblang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci.
Tafsir dilihat dari
pendekatan sejarah mengalami tiga periode besar; Pertama, periode Formasi atau
pembentukan. Pada periode ini cakupan tafsir adalah Nabi Muhammad SAW, katagori
tafsir Nabi ini mengambil makna ayat, praktek dan semangat al-Qur’an. Tafsir
Sahabat mengambil sisi metodenya yaitu tekstual, kontekstual dan linguistic
sedangkan tafsir Tabiin adalah berdasarkan aliran-aliran seperti ahlul hadis
dan ahlur ro’yi juga tafsir imam-imam mazhab.
Periode kedua adalah
Afirmasi yaitu perkembangan, pada periode ini munculah tafsir mazhab-mazhab
kalam seperti Muktazilah dan Asy’ariyah juga tafsir mazhab-mazhab fiqih seperti
Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah. Dan periode ketiga adalah
Reformasi yaitu pembaharuan, pada periode ini muncul tafsir-tafsir modernism,
tafsir Neo-Modernisme dan tafsir Revivalisme.
Tafsir sebagai suatu
ilmu syar’i tentu memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia, karena objek
pembahasan tafsir adalah Kalamullah yang merupakan sumber segala hikmah dan
keutamaan. Tujuan utamanya adalah untuk dapat berpegang pada tali yang kokoh
dan mencapai kebahagian hakiki, sedangkan untuk mencapai itu semua sangat
bergantung kepada pengetahuan dan pemahamaan kita tentang Kalamullah. Dan
tentunya tidak ada jalan lain untuk mencapai itu semua kecuali dengan menggali
tafsir atau memahami dari kandungan ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri.
Diantara sekian
epistimologi tafsir adalah tafsir klasik yaitu tafsir yang berdasarkan kepada sebuah
tradisi pada masa lampau (salaf) yang sumbernya adalah riwayat-riwayat hadis
Nabi dan qaul atau perkataan para Sahabat dan Tabiin. sedangkan pendekatan yang
digunakan dalam tafsir klasik ini adalah
pendekatan normatif.
Dalam Islamic Studies
atau Dirasah Islamiyyah kajian tafsir selalu dinamis, kajian terhadap
penafsiran al-Qur’an oleh sebagian orang kadang dianggap sudah final seperti
apa adanya sebagaimana yang sudah ditafsirkan oleh para pendahulu baik tafsir
dimasa Sahabat, Tabiin maupun Ulama-Ulama salaf sebelumnya. Padahal kenyataan
sejarah membuktikan bahwa tafsir itu selalu berkembang seiring dengan
perkembangan peradaban dan budaya manusia. Karena sesungguhnya tafsir adalah
sebuah hasil dialektika antara teks yang statis dan konteks yang dinamis. Hal
itu merupakan konsekuensi logis dari diktum yang dianut oleh umat Islam bahwa
al-Qur’an itu shalihun li kulli zaman wa makan.
Sebagian lain ada yang
menganggap bahwa tafsir pada masa Nabi, Sahabat, Tabiin atau Ulama-Ulama
sebelumnya adalah sebagai karya yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi
sekarang. Itu dianggap prodak tafsir yang sudah usang, tradisonal atau kuno tidak perlu lagi untuk dijadikan rujukan
apalagi diamalkan serta dijadikan pedoman untuk kondisi zaman yang sudah
berbeda dan jauh berkembang dengan berbagai problematikanya.
Kita tidak perlu
terjebak dengan pro kontra cocok ataukah tidak tafsir-tafsir produk masa lalu
(Ulama-Ulama Salaf), masih relevankah atau tidak? karena diskusi semacam ini
tidaklah menghasil apa-apa melainkan perpecahan dikalang umat Islam itu
sendiri. Tafsir klasik atau istilah
lainnya adalah tetap relevan untuk zamannya dan relevan pula untuk dijadikan
acuan bagi Mufasir sesudahnya karena bagaimanpun juga suatu ilmu tidak akan
terlepas dari keilmuan yang telah lahir sebelumnya.
Namun demikian bukan
berarti tafsir itu adalah harga mati yang tidak bisa berubah dan berkembang,
dalam hal ini ada tafsir ulama terdahulu yang masih tetap relevan untuk konteks
sekarang dan ada penafsiran yang disesuaikan dengan konteks dan perkembangan
zaman sebagaimana dikatakan al-Qur’an selamanya adalah sesuai dengan waktu,
kondisi dan tempat umat Islam berada.
Pengertian Tafsir
Tafsir berasal dari
kata fasara yafsiru fasran yang berarti menerangkan dan menjelaskan, dikatakan
tafsir maknanya sebuah tafsiran atau interpretasi. menyingkap dan menampakan
atau menerangkan makna yang abstrak. Kata tafsir itu sendiri merupakan isim
masdar (kata abstrak) dari fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti pemahaman,
penjelasan dan perincian. Tafsir bisa pula berarti al-Ibanah (menjelaskan)
al-Kasyf (menyingkapkan) dan al-idhhar (menampakan) makna atau pengertian yang
tesembunyi.
Sedangkan tafsir
menurut istilah, sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan adalah ilmu yang membahas
tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan
makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang
melengkapinya. Menurut Az-Zarkasyi tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Dari tinjauan bahasa
maupun pendapat ulama tentang tafsir maka tafsir dapat diartikan sebagai suatu
pemahaman seorang Mufasir terhadap al-Qur’an dengan menggunakan metode atau
pendekataan tertentu yang digunakan masing-masing Mufasir dalam memahami
teks-teks al-Qur’an. Jika al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan metode
tekstual maka akan lahirlah tafsir yang bercorak tekstual demikian pula jika
menggunakan pendekatan kontekstual maka akan melahirkan tafsir yang bersifat
kontekstual pula.
Contoh lain pendekatan
filsafat maka akan melahirkan penafsiran yang bercorak filosuf, jika
menggunakan pendekatan sufistik maka akan menghasilkan tafsir yang kental
dengan aroma sufistiknya. Begitu pula jika pendekatan gender maka bias
patriakhinya relative akan sangat minimal dan nuansa kesetaraan gendernya
cenderung akan lebih dominan. Kenyataaan inilah yang akhirnya melahirkan suatu
istilah yang oleh para ulama kemudian dikenal dengan madzahib at-tafsir
(aliran-aliran tafsir atau madzhab-madzhab dalam penafsiran al-Qur’an).
Adapun istilah ta’wil
dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat diantaranya mereka mengatakan bahwa
tafsir dan ta’wil adalah sama seperti Ibnu Jarir at-Tabari dan yang lain
mengatakan tafsir dan ta’wil adalah berbeda hal ini seperti pendapat Zarkasyi. Ulama
yang membedakan ta’wil dan tafsir dilihat dari segi bahasa mempunyai perbedaan
arti sekalipun agak berdekatan. Tafsir adalah menyingkap apa yang dimaksud oleh
lafadz dan melepaskan apa yang tertahan dari pemahaman. Sedangkan ta’wil yang
dimaksud adalah memalingkan ayat kepada makna-makna yang dapat diterimanya atau
esensi yang dimaksud dari suatu perkataan. Perbedaan lain dikatakan tafsir
adalah apa yang telah jelas di dalam al-Qur’an atau dalam as-Sunnah yang shahih
karena maknanya telah jelas dan gambling, sedangkan ta’wil adalah apa yang
disimpulkan oleh para Ulama. Sehingga sebagian Ulama mengatakan tafsir adalah
apa yang berhubungan dengan riwayat sedangkan ta’wil adalah apa yang
berhubungan dengan dirayah.
Sejarah dan Perkembangan Tafsir
al-Qur’an
Tafsir al-Qur’an dalam
sejarah dan perkembangannya mengalami beberapa periode yaitu periode Formasi,
Afirmasi dan Reformasi. Periode Formasi adalah pembentukan kembali system
doktrin, periode ini memiliki tahapan preseden perintisan dan tahap perumusan.
Periode ini mencakup tafsir Nabi yaitu mengungkap isi, makna, praktek dan
semangat al-Qur’an. Tafsir Sahabat dilihat dari metodologi dengan menggunakan
metode tekstual, kontekstual dan linguistic. Juga tafsir Tabiin dengan
menggunakan pendekatan aliran-aliran seperti Ahlul hadis dan Ahlul ra’yi dan
tafsir imam-imam madzhab.
Periode Afirmasi adalah
periode dimana tafsir mengalami perkembangan, pada periode perkembangan ini
banyak bermunculan tafsir mazhab-mazhab kalam seperti tafsir Mu’tazilah dan
tafsir Asy’ariyah juga berkembang tafsir mazhab-mazhab fiqih seperti tafsir
Hanafiyah, tafsir Malikiyah, tafsir Syafiiyah dan tafsir Hanabilah.
Periode Reformasi atau
periode pembahuruan, pada periode ini muncul tafsir Moderenisme, Neo-Modernisme
dan Revivalisme. Perkembangan tafsir ini muncul untuk merumuskan ulang system
doktrin untuk merspon perubahan sejarah dan zaman. Respon terhadap tafsir ada
yang reaktif yakni menolak perubahan
sejarah dan respon yang kreatif yakni memberikan ruang akal dan pengalaman
untuk merespon perubahan zaman.
Tafsir Modernisme yaitu
sebuah tafsir atau doktrin yang sesuai dengan perubahan seperti respon atas
isu-isu baru. Dalam merespon itu semua biasanya dilakukan secara sporadis tidak sistematis sehingga bisa jadi ajarannya
sudah sesuai tetapi mentalnya tidak sesuai. Tafsir Neo-Modernisme, tafsir ini
merespon secara kreatif dengan akal dan pengalaman secara lebih sistematis
tidak sporadis untuk melakukan suatu pembaharuan. Dan tafsir Revivalisme, yaitu
tafsir fundamentalis yang bersumberkan pada idiologi dengan pendekatan
skripturalistik dan rasionalisme idiologis.
Dalam memahami sebuah
tafsir tentu tidak terlepas dari pemahaman tentang paradigm tafsir itu sendiri
yaitu suatu pandangan fundamental tentang al-Qur’an atau tafsir al-Qur’an.
Seperti Abu Hayan mengatakan tafsir adalah suatu ilmu yang membahas tentang
pengungkapan (ada objek, sistematika dan metode) kata-kata al-Qur’an, arti dari
kata-kata itu dan hukum-hukumnya dengan ketentuan yang berlaku baik ketika
berdiri sendiri (istisyqoq) dan ketika dalam susunan kalimat (tarkib) serta
makna-maknanya dalam susunan kalimat. Al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang
kompleks tentu harus mengungkapkan makna, bacaan al-Qur’an dan cara pengucapannya.
Abu Hayan juga
menjelaskan tafsir adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang hal ihwal al-Qur’an
sesuai kemampuan manusia. Paradigma ini adalah akomodatif yaitu penjelasan
makna oleh manusia yang kemudian diakomodasi sebagai tafsir. Dalam paradigma
tafsir secara umum memiliki dua fungsi yaitu paradigama yang bersifat
intelektual dan fungsional. Paradigm Intelektual adalah al-Qur’an menjadi
sebuah tujuan seperti pendekatan bahasa dan I’rob, sedangkan paradigma
fungsional yaitu tafsir untuk mencapai fungsi tertentu seperti tafsir mazhab
dimana tafsir ini adalah untuk membela kepentingan mazhabnya.
Dalam dinamika
perkembangan tafsir terjadi perbedaan dalam memahami teks al-Qur’an adalah hal
wajar yang sering dikatakan terjadinya perbedaan (dalam hal positif) pada umat
Islam adalah rahmat. Namun jika dirinci munculnya suatu perbedaan dalam
penafsiran al-Qur’an disebabkan beberapa faktor, secara umum dapat dibagi
mejadi dua yaitu:
1.
Factor internal
(al-awamil ad-dakhiliyyah)
Faktor internal adalah
hal-hal yang ada di dalam teks itu sendiri, seperti pertama, kondisi objektif
teks al-Qur’an itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam.
Sebagaimana banyak dalam literatur ulumul Qur’an bahwa al-Qur’an diturunkan
dengan berbagai versi bacaan atau yang dikenal dengan sab’atu tiwal.
Kedua, kondisi objektif
dari kata-kata dalam al-Qur’an yang memang memungkinkan untuk ditafsirkan
secara beragama. Sebagaimana dikatakan oleh para ahli bahasa bahwa bahas arab
itu sangat kaya makna, bahkan makna dari suatu kata kadang terus mengalami
perkembangan.
Ketiga, adanya
ambiguitas makna dalam al-Qur’an dengan adanya kata-kata musytarak seperti kata
al-Qur’u (dapat bermakna suci dapat pula bermakna haid). Demikian pula
kata-kata yang dapat diartikan hakiki dan majaz seperti kata lamasa (dapat
bermakna bersentuhan biasa dapat pula bermakna bersetubuh)
2.
Faktor eksternal
(al-awamil al-kharijiyyah)
Faktor eksternal adalah
faktor yang berada di luar teks al-Qur’an yaitu kondisi subjektif si Mufasir
sendiri seperti kondisi sosio-kultural, politik, prejudice-prejudice yang
melingkupi Mufasirnya. Selain itu persepektif dan keahlian atau ilmu yang
ditekuninya juga merupakan faktor yang cukup signifikan. Termasuk pula
riwayat-riwayat atau sumber yang dijadikan rujukan dalam menafsirkan suatu
ayat.
Munculnya perbedaan
aliran tafsir seringkali merupakan tanggapan kritis atau pengembangan dari
aliran yang ada sebelumnya. Sesungguhnya dialektika semacam ini merupakan
faktor yang dapat menyebabkan atau mendorong perkembangan dan kematangaan suatu
bidang ilmu tertentu. Dengan kata lain tanpa adanya dialektika internal, suatu
bidang ilmu pengetahuan akan stagnan dan berada dalam kematian. Perkembangan
keilmuan juga bisa disebabkan oleh dialektika eksternal, dalam arti interaksi
dengan cabang ilmu lain.
Al-Qur’an yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah sesuai dengan bahasanya dan bahasa
kaumnya, dan jika bahasa Nabi Muhammad adalah bahasa arab maka kitab yang
diturunkan kepadanya juga berbahasa arab. Hal ini bukan berarti al-Qur’an
diturunkan dengan berbahasa arab adalah untuk orang-orang arab saja tetapi
al-Qur’an itu diturunkan untuk seluruh umat manusia. Penjelasan ini dijelaskan
dalam al-Qur’an:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا
عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa
al-Qur’an dengan berbasa arab agar kamu memahaminya”
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ
الْعَالَمِينَ (192) نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ
لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194) بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (195)
“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini
benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, ia dibawa oleh ar-Ruhul Amin
(Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara
para pemberi peringatan, dengan bahasa arab yang jelas”
Dengan demikian
lafadz-lafadz al-Qur’an adalah bahasa arab dan aspek-aspek makna yang
terkandung di dalamnya pun sesuai dengan aspek-aspek makna yang dikenal di
kalangan bangsa Arab. Apabila terdapat sedikit lafadz yang diperselisihkan
dalam pandangan para Ulama apakah ia berasal dari bahasa lain yang kemudian
diarabkan ataukah ia bahasa arab asli tetapi terdapat pula dalam bahasa lain?
Maka yang demikian ini tidak mengeluarkan al-Qur’an dari statusnya sebagai
kitab berbahasa arab. Dan lafadz-lafadz tersebut merupakan kata-kata yang ada kesamaannya
antara bahasa arab dengan bahasa lain, inilah pendapat yang dipilih oleh tokoh
besar Mufasir Ibnu Jarir at-Tabari.
Epistimologi Tafsir Klasik
Tafsir Klasik dalam epistimologi adalah tafsir yang
bersumber kepada tradisi yaitu kebiasaan masyarakat, ajaran dan pandangan yang
dikemukakan oleh para tokoh yang dipandang memiliki otoritas untuk mengemukakan
pandangan-pandangan keagamaan. Adapun tokoh yang dianggap memiliki otoritas
adalah Nabi, Sahabat, Tabiin, Ulama, Israiliyyat dan kebiasaan masyarakat baik
itu kebiasaan lama (al-Aadah) atau kebiasaan baru (al-Urf).
Tafsir klasik atau dikenal dengan tafsir bil ma’sur adalah
tafsir yang bersumber atau disandarkan secara langsung atau tidak langsung
kepada riwayat-riwayat dari Nabi Muhammad SAW, para Sahabat dan Tabiin. Sehngga
epistimologi tafsir klasik itu adalah klasik
langsung kepada kutipan riwayat-riwayat
yang menjelaskan suatu makna dari al-Qur’an.
Tafsir klasik yang langsung disandarkan kepada Nabi adalah
didasarkan kepada isi yaitu untuk menjelaskan suatu makna ayat, seperti
makna غَيْرِ
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّي kebanyakan Mufasir
menjelaskan makna tersebut berdasarkaan riwayat-riwayat hadis bahwa kalimat
al-Magdub itu untuk orang Yahudi dan ad-Dhaaliin adalah orang Nasrani. Walaupun
didalam kalimat tersebut masih dapat digali makna lain seperti al-Magdhub yang
dimaksud adalah orang mengetahui kebenaran tetapi tidak mau menjalani kebenaran
dan ad-Dhaaliin adalah orang yang mencari kebenaran tetapi tidak mendapatkan
kebenaran itu sendiri.
Tafsir klasik juga menjelaskan sebuah praktek Nabi SAW
seperti; صلوا كما رأيتموني أصلي “Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat” Tafsir klasik juga menjelaskan suatu semangat dari apa yang
disampaikan oleh Nabi untuk di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari seperti
akhlak budi pekerti. إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَق “Sesungguhnya aku
diutus untuk menyempurnkan (memperbaiki) akhlak”
Tafsir klasik selain yang langsung disandarkan kepada Nabi
juga bersifat tidak langsung seperti ucapan Umar bin Khatab :”Bekerjalah untuk
duniamu seolah kamu akan hidup selamanya dan beramallah untuk akhiratmu
seolah-olah kamu akan mati besok”. Perkataan ini selaras dengan firman Allah:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آَتِنَا
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
“Dan diantara mereka ada orang yang
berdoa: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat,
dan peliharalah kami dari siksa neraka”
Demikian pula kutipan
Umar bin Khatab tentang haramnya menikahi seorang musyrik atau musyrikah dalam
surat al-Baqarah ayat 221: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedngkan Allah mengajak ke surge dan
ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahNya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. Larangan menikahi perempuan
musyrik atau menikahkan seorang laki-laki yang musyrik adalah bersifat umum
baik wanita musyrikah dari golongan Yahudi, Nasrani atau Islam.
Tafsir klasik tidak hanya disandarkan kepada Nabi atau
Sahabat tetapi juga disandarkan kepada Tabiin. Seperti perkataan Qatadah dalam
menjelaskan al-Baqarah: 275: “orang-orang yang makan (mengambil riba)tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan penyakit gila). Keadaan mereka yang demikian itu adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambil terdahulu
(sebelum datang larangan), dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang
mengulangi (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni nereka,
mereka kekal di dalamnya”.
Tentang keharaman riba,
yang dimaksud haramnya riba adalah riba yang terjadi dalam jual beli yang sudah
jatuh tempo atau disebut riba konsumtif.
Orang–orang yang mengambil tidak akan tentram jiwanya seperti orang yang
kemasukan syetan. Keharaman riba inipun hanya berlaku setelah turun ayat ini
sedangkan riba yang terjadi sebelum turun ayat ini boleh tidak di kembalikan.
Inilah yang dimaksud haramnya riba menurut Qatadah dan ini pula yang dipakai
rujukan dalam tafsir klasik .
Seorang Mufasir yang
menempuh cara ini (klasik ) biasanya menelusuri lebih dahulu atsar-atsar yang
ada mengenai makna ayat kemudian atsar tersebut dikemukakan sebagai tafsir ayat
bersangkutan. Dalam hal ini ia tidak boleh melakukan ijtihad untuk menjelaskan
sesuatu makna tanpa ada dasar, juga hendaknya ia meninggalkan hal-hal yang
tidak berguna atau bermanfaat untuk diketahui selama tidak ada riwayat yang
shahih mengenainya.
Ibnu Taimiyah berkata:
kita wajib meyakini bahwa Nabi telah menjelaskan kepada para Sahabat
makna-makna al-Qur’an sebagaimana telah menjelaskan kepada mereka
lafadz-lafadznya. Firman Allah SWT
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون
“Agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”
Tafsir klasik atau bil ma’sur berkisar pada riwayat-riwayat
yang dinukil dari pendahulu umat ini. Perbedaan pendapat yang terjadi diantara
mereka sedikit sekali jumlahnya dibanding dengan yang terjadi diantara generasi
sesudahnya. Perbedaan itupun sebagian besar terletak pada aspek redaksional
sedang maknanya tetap sama, atau hanya berupa penafsiran kata-kata umum dengan
salah satu makna yang dicakupnya. Dan pada umumnya perbedaan itu hanya
berkonotasi variatif bukan kontradiktif. Perbedaan itu dapat diklasifikasikan
menjadi dua macam:
Pertama, seorang
Mufasir mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan
redaksi Mufasir lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang berbeda
pula tetapi maksud semuanya adalah sama. Contoh penafsiran kalimat صراط المستقيم
sebagian ditafsirkan dengan al-Qur’an dan sebagian lagi dengan Islam.
Sesungguhnya kedua tafsir sama maksudnya karena Islam adalah mengikuti al-Qur’an,
hanya saja masing-masing penafsiran menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh
yang lain.
Kedua, seorang Mufasir
menafsirkan kata-kata yang berifat umum dengan menyebutkan sebagian makna dari
sekian banyak macamnya. Sebagai contoh adalah firman Allah:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ
اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ
مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ
الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada
orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lau diantara mereka ada
yang menganiyaya diri mereka sendiri dan diantara mereka ada yang
pertentangahan dan diantara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dengan izin Allah, yang demikian itu adalah karunia Allah”
Penafsiran pertama
kalimat sabiq maksudnya adalah orang yang menunaikan shalat di awal waktu,
muqtasid adalah orang yang melakukan shalat di tengah waktu sedangkan dhalim
maksudnya adalah orang yang mengakhirkan shalat ashar sampai langit berwarna
kekuning-kuningan. Sedangkan Mufasir lain mengatakan bahwa sabiq adalah orang
yang berbuat baik dengan sodakoh dan zakat, muqtasid adalah orang yang hanya
menunaikan zakat wajib saja dan dhalim adalah orang yang enggan membayar zakat.
Terjadinya perbedaan
dalam mentafsirkan sesungguhnya disebabkan sebuah lafadz itu mengandung dua
makna atau karena beberapa lafadz yang dipakai mengungkapkan makna-makna yang
saling berdekatan. Kedudukan tafsir bil ma’sur adalah tafsir yang harus
diikuti dan dipedomani karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan
merupakan jalan yang aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan
dalam memahami Kitabullah. Menurut Ibnu Abbas tafsir itu ada empat macam
1. Tafsir
yang dapat diketahui oleh orang arab melalui bahasa mereka sendiri, yaitu
tafsir yang merujuk kepada tutur kata mereka melalui penjelasan bahasa
2. Tafsir
yang dapat diketahui oleh setiap orang, yaitu tafsir menegenai ayat-ayat yang
maknanya mudah dimengerti seperti nash-nash yang mengandung hukum-hukum syar’i
dan dalil-dalil tauhid secara jelas.
3. Tafsir
yang hanya diketahui hanya oleh ulama atau ahli tafsir, maksudnya tafsir yang
merujuk kepada ijtihad yang didasarkan pada bukti-bukti dan dalil-dalil
4. Tafsir
yang sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapapun selain Allah, tafsir ini
berkisar kepada hal-hal yang ghaib seperti kapan terjadinya kiamat, tentang
hakikat roh.
Corak lain dari tafsir klasik
adalah menghindari adanya takwil ayat,
seperti Ibnu Jarir at-Tabari mengemukakan berdasarkan penjelasan Allah nyatalah
bahwa diantara kandungan al-Qur’an yang diturukan Allah kepada NabiNya terdapat
ayat-yat yang tidak dapat diketahui ta’wilnya kecuali dengan penjelasan
Rasulullah (hadis). Dalam hal ini tidak boleh seorangpun mentafsirkannya tanpa
ada penjelasan resmi dari Rasulullah baik secara tegas atau dengan dalil-dalil
yang dapat dijadikan pedoman oleh umat untuk mentafsirkannya. Tafsir sebagai
sebuah turas tentunya bukanlah wujud yang terlepas dari realitas yang dinamis,
berubah dan berganti yang mengekpresikan zaman, pembentukan generasi dan fase
perkembangan sejarah. Jadi turas adalah kumpulan tafsir yang diberikan oleh
setiap generasi berdasarkan pada syarat-syaratnya. Turas bukanlah sekumpulan
keyakinan teoritis yang permanen maupun kebenaran-kebenaran abadi yang tidak
berubah, tetapi kumpulan perwujudan teori dalam lingkungan teretentu.
Dari pemahaman terhadap
tafsir klasik ini akan melahirkan dan
membentuk sebuah struktur keagamaan masyarakat dengan pola dasar pertama
al-Qur’an, hadis lalu tradisi (tradisi
orang-orang salaf) kemudian umat atau masyarakat yang terbentuk dengan tradisi
tersebut. Hal ini adalah suatu hal yang mesti terjadi sebagaimana struktur
keagamaan pada tafsir rasional akan melahirkan tradisi yang modernis, struktur
keagamaan tafsir revivalis melahirkan agama atau masyarakat yang idiologis dan
tafsir kontekstual akan melahirkan sebuah struktur keagamaan yang otensitas
atau kemaslahatan umat.
Kitab-Kitab Tafsir bil Ma’sur
Beberapa contoh
kitab-kitab tafsir bil ma’sur yang terkenal adalah tafsir Ibnu Abbas, Ibnu
Uyainah, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir at-Tabari (w. 310 H) tafsir Jami’ul Bayan
fi Tafsiril Qur’an), Abil Fida al-Hafidz Ibnu Katsir (w. 774 H) Tafsirul
Qur’anil Adzim), al-Baghawi (w. 516 H) tafsir ma’alim al-Tazil, as-Suyuti (w.
911 H) tafsir al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’sur, dan yang lainnya.
Berikut sekilas penjelasan tentang kitab-kitab tafsir bil ma’sur yang dikenal
disebagian besar masyarkat kita.
1.
Tafsir Jami’ul
Bayan fi Tafsiril Qur’an
Pengarang taafsir ini
Ibnu Jarir at-Tabari adalah dipandang sebagai salah seorang tokoh terkemuka
yang mengusai benar berbagai disiplin ilmu dan telah meninggalkan warisan
keislaman cukup besar yang senantiasa mendapat sambutan baik disetiap masa dan
generasi. Ia mendapatakan popularoitas luas melalui dua buah karyanya tarikhul
umam wal mulk tentang sejarah dan Jami’ul bayan fi tafsiril Qur’an tentang
tafsir. Kedua buku tersebut termasuk diantara sekian banyak rujukan ini paling
penting. Bahkan buku tafsirnya merupakan rujukan utama bagi para Mufasir yang
menaruh perhatian terhadap tafsir bil ma’sur. Tafsir Ibnu Jarir terdiri dari
tiga puluh jilid, masing-masing berukuran tebal, Darul a’rif Mesir telah
menerbitakn dan mempublikasikan kitab Ibnu Jarir tersebut yang ditangani secara
baik, hadis-hadisnya ditazkhrijkan oleh Ahmad Muhaammad syakir.
Tafsir Ibnu Jarir
merupakan sebuah tafsir yang bernilai tinggi yang sangat diperlukan oleh seitap
orang yang mempelajari tafsir. As-Suyuti menjelaskan kitab tafsir Ibnu Jarir
adalah tafsir paling besar dan luas. Didalamnya ia mengemukakan berbagai pendapat dan pertimbangan mana yang
paling kuat serta membahas i’rab dan istinbat. Karena itulah ia melebihi
tafsir-tafsir karya para pendahulu. Imam Nawawi berkata “Umat telah sepakat bahwa
belum pernah disusun sebuah tafsir pun yang sama dengan tafsir at-Tabari.
Tafsir at-Tabari adalah
tafsir kitab paling tua yang sampai kepada kita secara lengkap. Sementara
tafsir-tafsir yang mungkin pernah ditulis orang sebelumnya tidak ada yang sampai
kepada kita kecuali hanya sedikit
sekali, itupu terselip di celah-celah kitab at-Tabari tersebut. Metode yang
diikuti Ibnu jarir dalam tafsirnya ialah apabila hendak menafsirkan suatu ayat al-Qur’an ia berkata: pendapat mengenai
tafsir firman Allah ini begini dan begitu. Kemudian ia menafsirkan dengan
mendasarkan pada pendapat Shabat dan Tabiin yang diriwayatkan dengan sanad yang
lengkap yakni tafsir bil ma’sur berasal dari mereka. Ia tidak hanya
meriwayatkan tetapi juga mengkonfrontir pendapat tersebut dengan yang lain
kemudian mentarjihkan salah satunya. Disamping itu ia juga menerangkan aspek
i’rab jika hal itu dianggap perlu dan mengistinbatkan sejumlah hukum. Terkadang
pula ia mekritik sanad tak ubahnya seperti kritikus sanad berpengalaman. Ibnu
Jarir juga menaruh perhatian besar terhadap masalah qiraat dengan menyebutkan
bermacam-macam qiraat dan menghubungkan msing-masing qiraat dengan makna yang
berbeda-beda. Dikatakan bahwa ia telah menulis sebuah karangan khusus mengenai
qiraat.
Ibnu Jarir meriwayatkan
berita yang bersumber dari kisah Israiliyyat tetapi cerita itu ia susun dengan
pembahasan dan kritikan. Ia sangat memperhatikan penggunaan bahas arab sebagai
pegangan disamping riwayat-riwayat hadis yang dinukil. Sebagai seorang Mujtahid
juga banyak membicarakan hukum fiqih ia sebutkan pendapat para ulama dan
madzhab kemudian ia menyatakan pendapat sendiri sebagai pendapat yang
dipilihnya dan dipandang kuat.
2.
Tafsir Ibnu
Katsir.
Pengarang tafsirul
Qur’anil Adzim adalah Ibnu Kasir yang nama lengkapnya Imaduddin Abul Fida
Ismail bin Amr bin Kasir adalah seorang imam besar dan seorang hafidz. Ia
belajar kepada Ibnu Taimiyah dan mengikuti sebagian dalam sejumlah besar
pendapatnya.
Para ulama banyak
mengakui keluasan ilmunya terutama dalam bidang tafsir, hadis dan sejarah.
Tafsir Quranil Adzim merupakan tafsir paling terkenal diantara sekian banyak
tafsir bil ma’sur yang pernah ditulis
orang dan menduduki peringkat kedua
sesudah kitab Ibnu Jarir at-Tabari. Ibnu kasir menafsirkan Kalamullah dengan
hadis dan asar yang disandarkan kepada pemiliknya serta membicarakan pula
masalah jarh dan ta’dil yang diperlukan, mentarjihkan sebagian pendapat atas
yang lain, menetapkan dhaif (lemah) pada sebagian riwayat dan menyatakan shahih
pada riwayat yang lain. Keistimewaan Ibnu Kasir terletak pada seringnya akan
riwayat-riwayat Israilayyat munkar (tertolak) yang terdapat dalam tafsir bil
ma’sur. Juga pada pengungkapan berbagai pendapat ulama tentang hukum fiqih yang
kadang-kadang disertai pendiskusian atas madzhab dan dalil yang dikemukakan
mereka masing-masing.
Tafsir Ibnu Kasir ini
diterbitkan bersama (bergabung) dengan ma’alimut tanzil karya al-Bagawi. Juga
diterbitakan secara terpisah dalam empat jilid berukuran besar. Syekh Ahmad
Syakir menangani pula penerbitannya sesaat menjelang wafat, sesudah
sanad-sandanya.
Penutup
Dalam pendekatan
epistimologi tafsir klasik adalah tafsir
yang disandarkan kepada tradisi yang sudah ada (salaf) yang disandarkan
langsung kepada Nabi Muhammad SAW, Sahabat maupun Tabiin dengan menggunakan
pendekatan normatif. Dalam memahami al-Qur’an ada yang memahami secara tekstual
ada pula yang memahami secara kontekstual. Sesungguhnya tidak ada istilah
seorang tekstualis murni atau kontekstual murni karena pada dasarnya mereka
masih mengunakan teks dan akalnya. Yang membedakan adalah cara berpikir yang
lebih dominan antara tekstual dan kontekstual itulah yang menentukan. Pemahaman
tafsir klasik akan melahirkan sebuah struktur keagamaan dimasyarakat seperti
pondasi dasarnya adalah al-Qur’an, hadis lalu tradisi (salaf) itu sendiri
kemudian melahirkan suatu umat atau masyarakat klasik yang berkarekter klasik dalam pemahaman keagamaanya.
Tidak ada suatu karya
yang sempurna dan abadi kecuali karyanya Allah (al-Qur’an) sedangkan karya manusia
(tafsir) tentu memilki kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan tafsir klasik
adalah tidak bersifat sektarian yang
dimaksudkan untuk membela kepentingan madzhab tertentu, tidak banyak perbedaan
diantara mereka mengenai hasil penafsirannya dan selektif terhadap riwayat-riwayat Israiliyyat yang dapat
merusak akidah Islam. Sedangkan kelemahan tafsir klasik antara lain belum mencakup keseluruhan
penafsiran al-Qur’an, sehingga masih banyak ayat-ayat al-Qur’an yang belum
ditafsirkan dan penafsirannya masih bersifat parsial dan kurang detail dalam
menafsirkan suatu ayat sehingga kadang sulit mendapatkan gambaran yang utuh
mengenai pandangan al-Qur’an terhadap suatu masalah tertentu. Apalagi harus
dihadapkan untuk menjawab persoalan-persoalan zaman yang terus berkembang.
Sumber: http://muhammadiyahdiy.or.id/opini/baca/65/tafsir_klasik
_studi_epistimologi_tafsir_al-quran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...