Senin, 10 Juni 2013

Pendapat Tokoh Islam mengenai Nilai-nilai Pendidikan dalam Puasa

Disusun oleh: Bambang Sahaja


1.      Imam Al-Ghazali
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqorrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemudharatan. Al-Ghazali berkata: “Hasil dari ilmu sesungguhnya ialah mendekatkan diri kepada Allah, dan menghubungkan diri dengan para malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah keberasan, pengaruh penerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri” Metode dan media yang dipergunakan menurut Al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajarannya. Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pandapat Al-Ghazali tentang metode dan metode pengajaran. Misalnya menggunakan metode mujahadah dan riyadhlah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil nagli dan aqli, serta bimbingan dan nasehat. Sedangkan media/alat digunakan dalam pengajaran. Beliau menyetujui adanya pujian (reward) dan hukuman (punishment), di samping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang mulia (kondusif).
Al-Ghazali melihat bahwa pendidikan anak usia dini sangatlah penting, karena pembentukan kepribadian sejak kecil, akan berdampak kepada fase kehidupan setelahnya, menancap dalam, seperti lukisan di atas batu. Di mulai dari pendidikan keluarga dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembelajarannya, misalnya; dengan tidak membiasakan hidup dalam kenikmatan dan mengisi fitrahnya dengan bacaan al-Qur’an,  memberikan hadiah dalam setiap tingkah laku dan tindakan yang baik dari anak untuk menancapkan rasa percaya diri dalam dirinya, tidak menonjolkan kesalahan yang ia buat serta memberikan izin kepada anak untuk bermain dan beristirahat sekedarnya, karena melarang bermain bagi anak akan mematikan rasa dari hatinya dan menghancurkan potensi kecerdasannya.[1]
Kemudian di lanjutkan dengan pemahaman tentang kewajiban dan hikmah yang terkandung di dalamnya serta larangan dan alasan di jauhinya. Tentang kewajiban misalnya, seperti: 1) Berbakti kepada kedua orang tua, dan menghormati yang lebih tua. 2) Memperlakukannya dengan penuh kemuliaan, seperti, dengan tidak iktu serta bermain dengannya. 3) Tidak memberikan toleransi saat meninggalkan sholat. 4) Melatih puasa ketika bulan Ramadlan. 5) Melarang memakai pakaian dari sutera dan emas. 6) Memberikan pemahaman tentang kewajiban yang harus di lakukan seperti sholat dan lainnya. Sedangkan tentang larangan yang harus di jauhi seperti; mencuri, memakan barang haram, berkhiantan, berbohong dan lainnya.[2]
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, sebagaimana ditulis oleh Wahjotomo sabar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu sabar dalam menghadapi cobaan (musibah), sabar dalam meninggalkan maksiat, dan sabar dalam memenuhi perintah (taat).4 Tiga kelompok ini dapat ditumbuhkan melalui aktivitas berpuasa.[3] Sebuah Hadits menuturkan tentang adanya  firman  Tuhan  (dalam bentuk  Hadits Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia) adalah untuk dirinya kecuali puasa,  sebab  puasa  itu  adalah untuk-Ku,  dan  Aku-lah  yang  akan  memberinya  pahala."
2.      Muhammad Ibrahim At-Tuwaijiri
Muhammad Ibrahim At-Tuwaijiri mengemukakan bahwa ibadah puasa merupakan sarana untuk mendidik atau membentuk  manusia, supaya dapat menjadi pribadi yang bertaqwa kepada Allah SWT dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan yang telah ditentukan. Dimana didalam ibadah puasa ada hal-hal yang harus dikerjakan sebagai syarat atau rukun ibadah puasa dan ada pula hal-hal yang harus ditinggalkan supaya ibadah puasa yang dikerjakan dapat diterima disisi Allah SWT. Inilah hal utama yang menjadi nilai pendidikan Islam yang dapat diambil dari ibadah puasa, dimana pendidikan didalam islam diarahkan pada tujuan utama diciptakannya manusia yaitu untuk mengabdi kepada Allah SWT, mengerjakan hal-hal yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang (Taqwa).[4]
3.      Ibn al-Qayyim al-Jawzi
Berkaitan dengan nilai pendidikan dalam ibadah puasa maka Ibn al-Qayyim al-Jawzi memberi penjelasan bahwa puasa itu adalah untuk Tuhan seru sekalian Alam, berbeda dari amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa tidak melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan syahwatnya, makanannya dan minumannya demi Sesembahannya (Ma'bud, yakni,TuhanNya). Orang itu meninggalkan segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih mengutamakan cinta Allah dan ridla-Nya. Puasa itu rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang orang lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat melihat seseorang yang berpuasa meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang tidak dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikatb puasa.[5]
Jadi salah satu  hakikat  ibadah  puasa  ialah  sifatnya  yang pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi  kerahasiaan  itu  merupakan letak  seorang  manusia  dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu sendiri  terkait  erat  dengan makna keikhlasan dan ketulusan. Antara  puasa  yang  sejati  dan  puasa  yang  palsu  hanyalah dibedakan  oleh,  misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh seseorang ketika ia berada sendirian. Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian  kesadaran  akan adanya  Tuhan  yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam  pengawasan-Nya  terhadap segala  tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan nyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah)  itu  bersama  kamu dimana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segala sesuatu yang kamu perbuat. (QS. al-Hadid: 4)
4.      'Ali  Ahmad al-Jurjawi
'Ali  Ahmad al-Jurjawi, seorang tokoh pemikir Islam di Zaman  Modern  dari  Mesir.  Dalam  uraiannya tentang hikmah puasa, antara lain ia katakan: Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syar'i (manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat (amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak, padahal puasa itu adalah rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih. Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari syahwatnya dan kesenangannya sebulan penuh, yang dibalik itu ia tidak mengharapkan apa apa kecuali Wajah Allah Ta' ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia. Maka hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam  kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam keterbukaan - (publicity)-nya. Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan Yang Maha Agung itu untuk melanggar larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa, kezaliman, dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan). Ia merasa malu kepada Allah jika nampak oleh-Nya, bahwa ia mengenakan baju kecurangan, penipuan dan kebohongan.    Karena itu ia tidak berpura-pura, tidak mencari muka, dan tidak pula bersikap mendua (munafik). Ia tidak menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut kekuasaan seorang pemimpin atau pembesar.
5.      Hasan Langgulung
Menurut Hasan Langgulung tujuan-tujuan pendidikan agama harus mampu mengakomodasikan tiga fungsi utama dari agama, yaitu fungsi spiritual yang berkaitan dengan akidah dan iman, fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk nilai-nilai yang mengangkat derajat manusia ke derajat yang lebih sempurna, dan fungsi sosial yang berkaitan dengan aturanaturan sosial yang menghubungkan manusia dengan manusia lain atau masyarakat dimana masing-masing memiliki hak-hak dan tanggungjawab untuk menyusun masyarakat yang harmonis dan seimbang.[6] Tujuan ini sangat relevan jika dikaitkan dengan hikmah-hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa.
6.      Ahmad Tafsir
Menurut Ahmad Tafsir, kesalahan terbesar dalam dunia pendidikan Indonesia selama ini adalah karena para konseptor pendidikan melupakan keimanan sebagai inti kurikulum nasional Meskipun konsep-konsep pendidikan nasional yang disusun pemerintah dalam UU Sisdiknas 1989 sudah menekankan pentingnya pendidikan akhlak dalam hal pembinaan moral dan budi pekerti, namun ternyata hal tersebut tidak diimplementasikan ke dalam kurikulum sekolah dalam bentuk Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Akibatnya, pelaksanaan pendidikan di tiap lembaga tidak menjadikan pendidikan keimanan sebagai inti semua kegiatan pendidikan yang berakibat lulusan yang dihasilkan tidak memiliki keimanan yang kuat. Jadi bisa dikatakan bahwa penyebab terbesar dalam krisis pendidikan ini adalah akibat gagalnya pembangunan karakter anak didik yang mengabaikan pembinaan akhlak dalam proses pendidikan yang sedang berlangsung.[7]
Di antara sarana pendidikan akhlak adalah dengan mengajarkan anak didik syiar-syiar agama Islam seperti puasa. Dalam puasa terkandung nilai-nilai pendidikan yang sangat banyak dan akan membentuk karakter anak.
7.      Zakiah Daradjat
Menurut Zakiah Daradjat: Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.[8] Oleh karena itu puasa adalah salah satu ibadah yang memiliki nilai-nilai pendidikan yang bisa diterapkan kepada setiap anak didik.  






[1] Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin, I dan III. 1991. Beirut: Darul Fikr
[2] Tahqiq, Al-Ghazali dan Ali Muhyiddin. Ayyuhal Walad. 1985. Beirut: Darul Basyair al-Islamiyah
[3] Wahjoetomo, Puasa dan Kesehatan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 5
[4] Muhammad Ibrahim At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2012), hlm: 805
[5] Abu 'Abd-Allah ibn al-Qayyim al-Jawzi, Zad al-Ma'ad fi Huda Khayr al-Ibad, 4 jilid (Beirut: Dar al-Fikr, 1392/1973), Jil. I, h 154.    

[6] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung:  Al-Ma.arif, 1962), hlm : 45-46
[7] Ahmad Tafsir, “Kajian Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Tedi Priatna (ed), Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004, hlm. 23.
[8] Zakiah Darajat, et. al, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 86.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...