Disusun oleh: Bambang Sahaja
1.
Imam Al-Ghazali
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada
realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan
keutamaan dan taqorrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang
tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan
selain untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan
kemudharatan. Al-Ghazali berkata: “Hasil dari ilmu sesungguhnya ialah
mendekatkan diri kepada Allah, dan menghubungkan diri dengan para malaikat yang
tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah keberasan, pengaruh
penerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri” Metode dan media
yang dipergunakan menurut Al-Ghazali harus dilihat secara psikologis,
sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran.
Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat
pengajarannya. Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pandapat Al-Ghazali
tentang metode dan metode pengajaran. Misalnya menggunakan metode mujahadah dan
riyadhlah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil
nagli dan aqli, serta bimbingan dan nasehat. Sedangkan media/alat digunakan dalam
pengajaran. Beliau menyetujui adanya pujian (reward) dan hukuman (punishment),
di samping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang
mulia (kondusif).
Al-Ghazali melihat bahwa pendidikan anak usia dini sangatlah
penting, karena pembentukan kepribadian sejak kecil, akan berdampak kepada fase
kehidupan setelahnya, menancap dalam, seperti lukisan di atas batu. Di mulai
dari pendidikan keluarga dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
pembelajarannya, misalnya; dengan tidak membiasakan hidup dalam kenikmatan dan
mengisi fitrahnya dengan bacaan al-Qur’an,
memberikan hadiah dalam setiap tingkah laku dan tindakan yang baik dari
anak untuk menancapkan rasa percaya diri dalam dirinya, tidak menonjolkan
kesalahan yang ia buat serta memberikan izin kepada anak untuk bermain dan
beristirahat sekedarnya, karena melarang bermain bagi anak akan mematikan rasa
dari hatinya dan menghancurkan potensi kecerdasannya.[1]
Kemudian di lanjutkan dengan pemahaman tentang kewajiban dan hikmah
yang terkandung di dalamnya serta larangan dan alasan di jauhinya. Tentang
kewajiban misalnya, seperti: 1) Berbakti kepada kedua orang tua, dan
menghormati yang lebih tua. 2) Memperlakukannya dengan penuh kemuliaan,
seperti, dengan tidak iktu serta bermain dengannya. 3) Tidak memberikan
toleransi saat meninggalkan sholat. 4) Melatih puasa ketika bulan Ramadlan. 5)
Melarang memakai pakaian dari sutera dan emas. 6) Memberikan pemahaman tentang
kewajiban yang harus di lakukan seperti sholat dan lainnya. Sedangkan tentang
larangan yang harus di jauhi seperti; mencuri, memakan barang haram, berkhiantan,
berbohong dan lainnya.[2]
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, sebagaimana
ditulis oleh Wahjotomo sabar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu sabar
dalam menghadapi cobaan (musibah), sabar dalam meninggalkan maksiat, dan sabar
dalam memenuhi perintah (taat).4 Tiga kelompok ini dapat ditumbuhkan melalui
aktivitas berpuasa.[3]
Sebuah Hadits menuturkan tentang adanya
firman Tuhan (dalam bentuk
Hadits Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia) adalah untuk
dirinya kecuali puasa, sebab puasa
itu adalah untuk-Ku, dan
Aku-lah yang akan
memberinya pahala."
2.
Muhammad Ibrahim At-Tuwaijiri
Muhammad Ibrahim At-Tuwaijiri mengemukakan bahwa ibadah puasa
merupakan sarana untuk mendidik atau membentuk
manusia, supaya dapat menjadi pribadi yang bertaqwa kepada Allah SWT
dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan yang
telah ditentukan. Dimana didalam ibadah puasa ada hal-hal yang harus dikerjakan
sebagai syarat atau rukun ibadah puasa dan ada pula hal-hal yang harus
ditinggalkan supaya ibadah puasa yang dikerjakan dapat diterima disisi Allah
SWT. Inilah hal utama yang menjadi nilai pendidikan Islam yang dapat diambil
dari ibadah puasa, dimana pendidikan didalam islam diarahkan pada tujuan utama
diciptakannya manusia yaitu untuk mengabdi kepada Allah SWT, mengerjakan
hal-hal yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang (Taqwa).[4]
3.
Ibn al-Qayyim al-Jawzi
Berkaitan dengan nilai pendidikan dalam ibadah puasa maka Ibn
al-Qayyim al-Jawzi memberi penjelasan bahwa puasa itu adalah untuk Tuhan seru
sekalian Alam, berbeda dari amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa
tidak melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan syahwatnya, makanannya
dan minumannya demi Sesembahannya (Ma'bud, yakni,TuhanNya). Orang itu
meninggalkan segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih mengutamakan
cinta Allah dan ridla-Nya. Puasa itu rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya,
yang orang lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat melihat
seseorang yang berpuasa meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan makan,
minum, dan syahwatnya demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang tidak
dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikatb puasa.[5]
Jadi salah satu hakikat ibadah
puasa ialah sifatnya
yang pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang manusia
dengan Tuhannya. Dan segi
kerahasiaan itu merupakan letak seorang
manusia dengan Tuhannya. Dan segi
kerahasiaan itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu sendiri terkait
erat dengan makna keikhlasan dan
ketulusan. Antara puasa yang
sejati dan puasa
yang palsu hanyalah dibedakan oleh,
misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh seseorang ketika ia berada
sendirian. Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran
akan adanya Tuhan yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan
yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap segala tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah
penghayatan nyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah) itu
bersama kamu dimana pun kamu
berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segala sesuatu yang kamu perbuat. (QS.
al-Hadid: 4)
4.
'Ali Ahmad al-Jurjawi
'Ali Ahmad al-Jurjawi,
seorang tokoh pemikir Islam di Zaman
Modern dari Mesir.
Dalam uraiannya tentang hikmah
puasa, antara lain ia katakan: Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting
syar'i (manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat (amalan
mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak, padahal puasa itu adalah
rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap
pamrih. Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari syahwatnya dan
kesenangannya sebulan penuh, yang dibalik itu ia tidak mengharapkan apa apa
kecuali Wajah Allah Ta' ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia. Maka
hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam
keterbukaan - (publicity)-nya. Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan Yang Maha
Agung itu untuk melanggar larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa,
kezaliman, dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan). Ia merasa malu
kepada Allah jika nampak oleh-Nya, bahwa ia mengenakan baju kecurangan,
penipuan dan kebohongan. Karena itu ia
tidak berpura-pura, tidak mencari muka, dan tidak pula bersikap mendua
(munafik). Ia tidak menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut kekuasaan
seorang pemimpin atau pembesar.
5.
Hasan Langgulung
Menurut Hasan Langgulung tujuan-tujuan pendidikan agama harus mampu
mengakomodasikan tiga fungsi utama dari agama, yaitu fungsi spiritual yang
berkaitan dengan akidah dan iman, fungsi psikologis yang berkaitan dengan
tingkah laku individual termasuk nilai-nilai yang mengangkat derajat manusia ke
derajat yang lebih sempurna, dan fungsi sosial yang berkaitan dengan
aturanaturan sosial yang menghubungkan manusia dengan manusia lain atau
masyarakat dimana masing-masing memiliki hak-hak dan tanggungjawab untuk
menyusun masyarakat yang harmonis dan seimbang.[6] Tujuan
ini sangat relevan jika dikaitkan dengan hikmah-hikmah yang terkandung dalam
ibadah puasa.
6.
Ahmad Tafsir
Menurut Ahmad Tafsir, kesalahan terbesar dalam dunia pendidikan
Indonesia selama ini adalah karena para konseptor pendidikan melupakan keimanan
sebagai inti kurikulum nasional Meskipun konsep-konsep pendidikan nasional yang
disusun pemerintah dalam UU Sisdiknas 1989 sudah menekankan pentingnya
pendidikan akhlak dalam hal pembinaan moral dan budi pekerti, namun ternyata
hal tersebut tidak diimplementasikan ke dalam kurikulum sekolah dalam bentuk
Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Akibatnya, pelaksanaan pendidikan
di tiap lembaga tidak menjadikan pendidikan keimanan sebagai inti semua
kegiatan pendidikan yang berakibat lulusan yang dihasilkan tidak memiliki
keimanan yang kuat. Jadi bisa dikatakan bahwa penyebab terbesar dalam krisis
pendidikan ini adalah akibat gagalnya pembangunan karakter anak didik yang
mengabaikan pembinaan akhlak dalam proses pendidikan yang sedang berlangsung.[7]
Di antara sarana pendidikan akhlak adalah dengan mengajarkan anak
didik syiar-syiar agama Islam seperti puasa. Dalam puasa terkandung nilai-nilai
pendidikan yang sangat banyak dan akan membentuk karakter anak.
7.
Zakiah Daradjat
Menurut Zakiah Daradjat: Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan dengan
melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap
anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya
secara menyeluruh, serta menjadikan agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya
demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.[8]
Oleh karena itu puasa adalah salah satu ibadah yang memiliki nilai-nilai
pendidikan yang bisa diterapkan kepada setiap anak didik.
[1] Al-Ghazali. Ihya’
Ulumuddin, I dan III. 1991. Beirut: Darul Fikr
[2] Tahqiq,
Al-Ghazali dan Ali Muhyiddin. Ayyuhal Walad. 1985. Beirut: Darul Basyair
al-Islamiyah
[3] Wahjoetomo, Puasa
dan Kesehatan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 5
[4] Muhammad
Ibrahim At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil, (Jakarta: Darus Sunnah
Press, 2012), hlm: 805
[5] Abu
'Abd-Allah ibn al-Qayyim al-Jawzi, Zad al-Ma'ad fi Huda Khayr al-Ibad, 4
jilid (Beirut: Dar al-Fikr, 1392/1973), Jil. I, h 154.
[6] Hasan
Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma.arif, 1962), hlm : 45-46
[7] Ahmad Tafsir,
“Kajian Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Tedi Priatna (ed), Cakrawala
Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Mimbar Pustaka, 2004, hlm. 23.
[8]
Zakiah Darajat, et. al, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
1992), h. 86.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please Uktub Your Ro'yi Here...