Jumat, 22 Maret 2013

Kami Bukan Tontonan : Dilema Pemerintah Daerah dan Kampung Adat

Oleh : Abdurrahman MBP*


Otonomi daerah adalah cita-cita mulia dari para pembesar bangsa ini agar kesejahteraan dan pemerataan bisa dirasakan oleh seluruh anak bangsa. Kebijakan ini dilakukan dikarenakan terjadinya ketimpangan dalam hal pembangunan dan infrastruktur antara pusat dan daerah. Sehingga dengan otonomi daerah diharapkan daerah akan bisa mandiri dalam melaksanakan pembangunan wilayahnya masing-masing dan tujuan pemerataan pembangunan akan bisa tercapai. Namun teori yang bagus belum tentu akan berhasil ketika dipraktekan di lapangan, inilah yang terjadi dari efek otonomi daerah. Masing-masing daerah berlomba-lomba untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah, maka bermunculanlah raja-raja kecil daerah yang mengeruk harta dari masyarakat lemah dan sumber daya alam untuk dijadikan pendapatan asli daerah. Mengeruk harta rakyat dilakukan dengan cara pembuatan berbagai peraturan daerah mengenai retribusi dan berbagai pungutan yang dikenakan kepada rakyat. Sementara mengeruk sumber daya alam yang ada yaitu mengeksploitasi wilayahnya sebagai “barang jualan” yang ditawarkan agar mendatangkan keuntungan.
Di antara pengerukan kekayaan yang dilakukan oleh pemerintah adalah eksploitasi terhadap komunitas masyarakat adat yang tinggal di beberapa kampung adat di Jawa Barat. Bisa jadi niat pemerintah daerah bagus yaitu mempromosikan kampung adat sebagai obyek wisata yang akan mendatangkan pemasukan. Niat yang baik belum tentu akan direspon baik oleh pihak lain, dalam hal ini niat baik pemerintah daerah untuk mempromosikan kampung budaya atau kampung adat belum tentu akan sesuai dengan keinginan masyarakat adat itu sendiri. Apalagi jika antara pemerintah daerah dengan masyarakat adat tidak terjalin komunikasi yang baik, maka yang muncul adalah kesalahpahaman dan ketidak harmonisan di antara mereka. Efek dari hal ini adalah persangkaan yang negatif antar pemerintah daerah dan masyarakat adat.
Sebagai contoh adalah penolakan dari masyarakat Kampung Naga terhadap penjualan tiket masuk bagi pengunjung yang akan masuk ke Kampung Naga. Pihak masyarakat adat yang diwakili oleh Kuncen menolak secara tegas kebijakan pemerintah tersebut, bahkan mereka mengancam akan menutup diri jika tetap dilakukan penjualan tiket untuk masuk berkunjung ke kampung mereka. “Kami bukan tontonan” begitu menurut mereka. Hal seperti ini terjadi juga di Kampung Pulo, sebuah kampung adat yang berada di wilayah Leles Garut. Mereka juga sangat menyesalkan pihak pemerintah daerah yang mereka rasa tidak memperhatikan keadaan masyarakat adat kampung Pulo. Masyarakat adat di sana merasa tidak diperhatikan dan hanya menjadi tontonan bagi pengunjung yang datang. “Kampung Kami bukan Tontonan” begitu ucaan yang keluar dari kuncen Kampung Pulo. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Garut dan lembaga kepurbakalaan sama seali tidak memberikan perhtian kepada masyarakat adat Kampung Pulo. Bisa jadi pemerintah daerah akan berkilah bahwa dijadikannya Kampung Pulo sebagai obyek wisata adalah untuk kesejahteraan mereka, namun fakta di lapangan menunjukan bahwa hal ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap masyarakat Kampung Pulo. Hingga saat ini hubungan antara pemerintah daerah dengan warga masyarakat kampung Pulo masih belum harmonis.
Bagaimana dengan di Bogor? Kampung Urug yang menjadi Kampung Adat di Bogor juga mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Promosi yang dilakukan oleh pemerintah daerah hanya menguntungkan beberapa pihak, sementara warga masyarakat adat Kampung urug sama sekali tidak bisa merasakan keuntungan dari promosi kampung mereka tersebut. Sehingga yang terjadi adalah eksploitasi masyarakat adat yang hanya dijadikan obyek tontonan bagi para pengunjung, belum lagi jika pengunjung yang datang membawa budaya baru yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat setempat.
Oleh karena itu sudah selayaknya bagi pemerintah daerah untuk kembali memfungsikan kampung budaya dan kampung adat sesuai dengan proporsinya. Jangan juga mereka hanya dijadikan obyek kampanye ketika masa-masa pemilihan kepala daerah dilaksanakan. Masyarakat adat juga dalah anak bangsa yang memiliki hak untuk menikmati kemerdekaan ini, oleh karena itu sudah selayaknya pemerintah daerah untuk memperhatikan dan memenuhi hak-hak mereka sebagi masyarakat adat. Mereka bukanlah tontonan seperti binatang-biantang di kebun binatang, mereka adalah manusia dan saudara se-bangsa kita, oleh karena itu hentikan eksploitasi terhadap masyarakat adat.      




* Mahasiswa S3 Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung dan Peminat Kebudayaan Sunda dan Kampung Adat Jawa Barat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...