Senin, 18 Maret 2013

The Journey To Kampung Naga

Oleh: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro

Kisah dari seorang teman di Tasikmalaya katanya Kampung Naga itu berada di sisi Jalan Raya Tasikmalaya, dan lokasinya sangat mudah dijangkau. Akhirnya berbekal kisah dari teman ini saya memberanikan diri untuk berangkat ke Kampung Naga dengan menggunakan bis angkutan umum. Rute kendaraan dari arah Jakarta sebenarnya sangat mudah, hanya mencari bus jurusan Tasikmalaya dan turun di Terminal Indihiang lalu mencari mobil jurusan Garut. Kelihatannya mudah sekali, tapi di lapangan ada saja kedala yang saya hadapi. Kebetulan saya naik bis antar propinsi kelas ekonomi rute Kampung Rambutan-Tasikmalaya. Pilihan bis ini tentu saja selain murah juga bis ini melintasi Bogor sehingga akses bagi saya yang tinggal di Bogor semakin mudah.
Setelah sampai di Terminal Bus Indihiang Tasikmalaya, sesuai dengan petunjuk dari teman, saya mencari angkutan Tasikmalaya-Garut. Sayang sekali angkutan umum tersebut ternyata tidak sampai di Terminal Indihiang, bisa jadi karena waktunya masih pagi atau memang sopir-sopir bis tersebut tidak mau sampai ke terminal. Setelah bertanya kepada beberapa orang yang berada di terminal tentang mobil yang menuju ke Kampung Naga, akhirnya saya bersabar untuk menunggu bus tersebut. Kurang lebih 2 jam saya menunggu ternyata bus yang dicari tidak kunjung datang, sementara seorang tukang ojek dengan gigih merayu saya untuk ngojek menuju tempat pemberangakatan bus Tasikmalaya-Garut. Saya sempat bertahan untuk menunggu hingga ternyata waktu semakin siang, akhirnya saya menyerah dan ngojek dari Terminal Indihiang ke Rawa Bango. Ternyata mobil trayek Tasikmalaya tersebut ngetem di pertigaan dengan lampu merah ini. Kemudian saya menunggu bis diberangkatkan, tapi lagi-lagi bis tersebut akan diberangkatkan baru pada pukul 08.00 WIB sehingga saya harus menunggu satu jam lagi. Merasa menyia-nyiakan waktu akhirnya saya mencari mobil lain dengan trayek yang sama.
Perjalanan dari Rawabango ke Kampung Naga ebenarnya cukup nyaman seandainya sopirnya tidak sering mencari penumpang. Tercatat lebih dari tiga kali bus yang saya tumpangi ngetem  di tempat pemberhentian merea untuk mencari penumpang. Kondisi jalan menuju Kampung Naga sendiri sangat bagus, bisa dipahami karena jalan ini merupakan jalan raya yang menghubungi kota Tasikmalaya dan Garut. Sementara mendekati lokasi Kampung Naga mulai terlihat lembah-lembah hijau di kanan-kiri jalan raya. Terlihat pula Kantor Kecamatan Salawu berada kurang lebih 5 KM sebelum lokasi, kurang lebih 100 meter menjelang lokasi di sebelah kanan jalan terlihat pula Kantor Desa Neglasari yang menjadi kantor desa bagi wilayah Kampung Naga. Membutuhkan waktu sekitar 1.5 jam untuk mencapai Kampung Naga dari arah Tasikmalaya menggunakan bus umum, jika menggunakan mobil pribadi tentu lebih cepat. 
Turun dari bus tepat di depan plang nama menunjuk ke seberang jalan dengan tulisan “Kampung Naga”, akhirnya perjuangan semalaman menuju kampung ini berjalan dengan lancer dan tiba sampai tujuan dengan selamat, Alhamdulillah.
Memasuki lokasi Kampung Naga saya disambut oleh sebuah pintu gapura besar bercat putih dengan tinggi kurang lebih 5 meter. Kesan tradisional dan etnik terlihat dari bagian atapnya yang terbuat dari injung pohon Kawung, sayangnya waktu telah menjadikan beberapa bagian atap dari gapura ini ditumbuhi tumbuhan liar semacam pakis. Di bagian kanan gapura terdapat pohon Caringin (Beringin) besar yang memberikan kesan sejuk, menurut Bapak Abdul majid salah seorang pemilik kios di depan gapura ini, pohon caringin  ini ditanam bersamaan dengan dibangunnya terminal tempat parkir Kampung Naga. Sementara di bagian kiri terdapat papan bertuliskan “Tanah ini milik Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya” tertulis luas tanah 2.635 M2, Nomor Sertifikat 10.
Melangkah masuk ke dalam tepatnya ke arah tempat parkir kendaraan, tampak lokasi parkir yang cukup luas dengan model parkir serong sehingga memungkinkan hingga sepuluh bis besar terparkir di situ. Pada bagian sebelah kiri terdapat sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat menyimpan drum-drum minyak tanah. Tentu saja minyak tanah tersebut menjadi satu-satunya energy bagi Kampung Naga karena mereka menolak Gas dan listrik. Bangunan sebelahnya adalah Kantor Pusat Informasi dan Kantor Koperasi Warga Kampung Naga dengan nama “Sauyunan”. Bangunan ini juga menjadi Kantor Perhimpunan Pramuwisata Kampung Naga yang disingkat “Hipana”. Bersebelahan dengan kantor ini berjajar kios-kios cenderamata  yang menjual produk-produk masyarakat Kampung Naga dan sekitarnya. Sementara di sebelahnya lagi terdapat banguan yang digunakan untuk tempat pembakaran sampah.
Beralih ke sebelah kanan, tampak kios cenderamata yang menjual berbagai souvenir khas Kampung Naga, took kelontong, warnet dan penyewaan Play Station (PS) dan di pojok terdapat mini museum yang memamerkan berbagai senjata tradisional seperti kujang, keris, pedang, golok dan yang lainya. Mini museum ini juga menyedikan buku tentang Kampung Naga, Pin Khas Kampung Naga, baju, ikat kepala dan aksesoris khas Kampung Naga lainnya. Karena berada pada posisi tanah bagian atas, maka di sebelah kanan tempat parkir ini terdapat tangga menuju bagian bawah yang digunakan untuk tempat warga dan ada juga WC umum.
Pada bagian ujung kiri tempat parkir berdiri kokoh Tugu Kujang Pusaka[1] yang tampah megah dengan warna dominan hitam. Tugu ini dikelilingi pagar besi yang memiliki satu pintu di bagian muka. Pada kedua sisi pintu pagar bagian luar terdapat patung kepala harimau. Pada bagian kanan tugu terdapat tulisan mengenai keterangan detail pembangunan tugu ini. Tertulis bahwa tugu ini diresmikan oleh Gubernur Jawa barat pada 16 April 2009 atau 19 Maulud 1430 H. Pengagas utama pembuatan tugu ini adalah Drs. Anton Charliyan, MPKN yang pada waktu itu menjawabat sebagai Kapolwil Priangan dan KRAT. H. Derajat Hadiningrat selaku Pimpian Graha Limau Kencana. Tugu ini dikelilingi oleh sebuah kolam kecil dengan ukurna kurang lebih 80 cm, serta dikelilingi pagar besi kecuali di bagian depan. Pada bagian belakang tugu terdapat tembok yang menjadi batas dengan warga Sa-naga.
Dari depan tugu saya dihadapkan pada belokan ke arah kiri dan menaiki anak tangga yang terbuat dari batu bercampur semen dengan jumlah 11 anak tangga. Pada bagian kanan tangga terdapat plang selamat datang dengan tulisan “Wilujeng Sumping” yang berarti “selamat Datang” di Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya. Pada bagian bawahnya terdapat tulisan dengan aksara sunda yang maknanya kurang lebih sama. Plang ini terlihat sudah sangat usang pada beberapa bagian yang mengalami karat dan catnya sudah mulai mengelupas.
Selanjutnya saya berjalan menyusuri jalanan datar kurang lebih 50 meter, di bagian kanan dan kiri jalan terdapat beberapa rumah warga dan took-toko kelontong yang menjual makanan dan minuman ringan. Di ujung bagian kiri tepatnya di sisi tangga yang menuju ke bawah terdapat mushola kecil bercat putih, mushola ini digunakan untuk shalat dan mengaji beberapa warga yang berada di sekitar lokasi parkir tersebut.
Karena lokasi Kampung Naga berada di sebuah lembah maka hanya ada satu jalan menuju ke lokasi yaitu dengan menuruni anak tangga. Saya bersyukur karena karena saat saya berkunjung tangga tersebut telah dibangun dengan menggunakan semen yang kokoh dan pada permukaannya ditambahkan batu kali. Anak tangga pertama yang saya injak berjumlah 11 anak tangga yang menyampaikan saya ke perempatan tangga. Jika belok ke kiri maka tangga kembali naik dan menuju bagian lain dari warga di sekitar Kampung Naga, demikian juga jika lurus maka terdapat beberapa rumah warga dengan gapura bertuliskan  “Mangga 4”, kumpulan rumah ini adalah warga Sa-naga yang tinggal di luar perkampungan inti Kampung Naga sehingga bangunan rumah mereka terbuat dari semen dan beratap genteng dan asbes.
Untuk menuju Kampung Naga maka dari perempatan ini kita belok kana dengan mnyusuri anak tangga menurun. Susunan tangga kedua ini berjumlah 30 anak tangga yang berujung pada batas setiap tangga berupa semacam anak tangga dengan panjang kurang lebih 2 meter. Anak tangga berikutnya yang saya injak berjumlah 17 anak tangga yang juga diselingin dengan batas anak tangga dengan panjang kurang lebih dua meter. Pada anak tangga ke-10 setelahnya terdapat pula tangga menanjak yang mengarah ke pemukiman warga di bagian kiri tangga menunju Kampung Naga. Jumlah anak tangga ini adalah 44 anak tangga. Anak tangga berikutnya berjumlah 25 kemudian diselingi dengan batas anak tangga dan selanjutnya berjumlah 10 anak tangga. Selanjutnya jalan kurang lebih 25 meter dengan lantai terbuat dari batu kerikil berukuran sedang yang ditanam sepajang jalan. Akkhir dari jalan datar ini adalah sebuah kios cenderamata dan sebuah rumah etnik yang sedang dibangun untuk dijadikan semacam café. Beberapa rumah yang beerada di sisi kiri dan kanan tangga ini telah menggunakan listrik dan alat-alat modern. Paad beberapa lahan kosong terdapat pepohonan rindang selain juga beberapa pohon enau (kawung).
Tangga berikutnya menurun cukup curam dengan sebuangai sungai kecil megalir di bagian bawahnya, sungai ini kurang lebih lebarnya dua meter dan menjadi salah satu sumber air bersih warga di sekitar Kampung Naga. Di sebelah kanan jembatan kecil di tepi sungai terdapat rumah warga yang menjual minuman dan makana ringan. Di bagian bawah sungai kecil ini terdapat jalan setapak yang menghubungkan perkampungan di luar Kampung Naga.
Selanjutnya saya menuruni tangga curam yang berjumlah 5 anak tangga dan 24 anak tangga yang menyampaikan saya ke sebuah mushola di sebelaj kiri jalan, sangat disayangkan sepertinya mushola ini kurang terawat, sementara di bagian depannya digunakan oleh warga untuk menjual kelapa muda. Jika kita berjalan keluar tangga ke arah kiri dan melewati depan mushola maka dari ujung dataran tinggi ini kita akan bisa meyaksikan panorama Kampung Naga dari kejauhan yang sangat eksotik. Bagi yang ingin mengambil gambar tempat ini semestinya tidak disia-siakan.
Setelah mengambil beberapa gambar saya kembali lagi ke tangga semula dan menyusuri tangga tersebut yang berjumlah 140 anak tangga. Kali ini tangga yang saya turuni sangat curam dengan bentuk hurus “S” yang menikung tajam, di sebelah kanan tangga masih terdapat satu rumah warga yang juga menggunakan listrik sementara di bagian kiri terdapat sebuah kolam penampung air yang tidak terurus. Akhir dari tangga yang menurun curam ini adalah sebuah belokan ke kanan yang landai, pada ujung tikungan terdapat bekas bangunan berupa pos yang telah dibongkar. Dari keterangan Kang Entang bangunan “saung” tersebut sengaja dirobohkan karena sering disalahgunakan oleh pengunjung terutama untuk berpacaran. Pada tikungan ini juga terdapat sebuah anak tangga yang sudah tidak digunakan terbuat dari campuran pasir dan semen, anak tangga ini mengindikasikan bahwa dulu tangga yang ada melewati anak tangga tersebut, namun karena dirasa terlalu curam dan dekat dengan tebing maka akhirnya arah tangga dinaikan ke atas. Dari tikungan ini juga lokasi Kampung Naga sudah terlihat jelas dan siap menyambut saya dan seluruh pengunjung yang datang.
Selanjutnya dari tikungan ini kita berbelok ke kanan menyusuir atangga dengan jumlah 16, 42 dan 56 anak tangga. Ini adalah anak tangga terakhir menuju Kampung Naga, selanjutnya perjalanan menyusuri jalan desa dengan lebar kurang lebih 2 meter dengan susunan batu kali ukuran sedang dan tanah liat. Bagi yang ingin refleksi kaki tempat ini sangat cocok, karena itu disarankan jika sudah sampai di sini alas kakinya boleh dibuka. Pada ujung tangga juga terdapat sebuah tanda bagi selesainya pembangunan tangga. Di sini terdapat pula jalan setapak ke arah kanan menuju bendungan air dan sungai Ciwulan. Rasa penasaran saya juga membawa saya pada kesempatan lain menyusuri jalan ini, menyeberangi sungai Ciwulan dan menyusuri tangga yang terbuat dari semen menanjak tepat di samping Leuweng (Hutan Larangan). Tangga ini menanjak melewati beberapa rumah warga dan jika berada di ujungnya maka akan bertemu ke jalan menurun ke arah Kampung Naga dengan mentas (menyeberangi) sungai Ciwulan dari arah yang berbeda.
Selanjutnya saya berjalan ke kanan menyusuri jalan berbatu, jalan ini sendiri berada di tepi sungai Ciwulan yang paad musim kemarau airnya sedikit berkurang. Berbelok ke kanan mata saya dimanjakan oleh pemandangan sungai yang menghampar di sebelah kanan, gemericik air yang jatuh dari tebih di ujung sebelah kana saya membawa pesona yang berbeda dengan suasana di tempat lainnya. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah hijau yang berbapdu dengan warna dasar cokla tanah khas pedesaan. Sementara memandang ke depan tampak Kampung Naga dengan susunan rumah yang tertata rapi, atap-atap rumah itulah yang selama ini hanya saya dengar dari cerita teman atau gambar di internet. Perjalanan menyusuri jalan desa di tepi sungai Ciwulan berjarak kurang lebih 500 meter.
Saya sedikit heran dengan komposisi letak dari kampung ini, saya pikir sebuah kampung adat biasanya akan ditengarai dengan sebuah gapura atau pintu gerbang yang berada di depan desa atau minimal arah masuk yang langsung ke desa tersebut. Hal inilah yang menjadikan saya sempat masuk kampung bukan dari pintu utamanya. Saya memasuki kampung ini untuk pertama kalinya justru melewati balong (kolam ikan), saung lisung dan pinggir rumah warga. Setelah sampai di dalam baru tahu bahwa pintu utama berada di ujung jalan setapak dan berbelok ke kiri kurang lebih 20 meter.
Memasuki Kampung Naga kita disambut dengan sebuah tanah lapang dengan dua buah rumah di bagian kiri dan tiga buah rumah di bagian kanan. Rumah Kuncen sendiri berada di bagian kiri nomor dua dari arah pintu masuk. Pandangan pertama ketika masuk selain adanya tanah lapang juga berdiri kokoh sebuah Masjid dan Bale Patemon yang saling berdampingan.   


[1] Disebut Tugu Kujang Pusaka karena tugu ini memiliki bagian atasnya berupa kujang yang terbuat dari kurang lebih 900 pusaka yang berasal dari seluruh wilayah Pasundan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please Uktub Your Ro'yi Here...